• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1. Adat Perkawinan

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa tata cara atau adat istiadat perkawinan Jawa terbilang cukup rumit. Berbagai prosesi yang panjang dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit harus dijalani pengantin dengan baik. Upacara-upacara perkawinan adat Jawa sebagai berikut; Nontoni, Meminang, Peningset, Serahan, Pingitan, Tarub, Siraman, Panggih, Ngunduh Penganten.55 Berbagai prosesi ini mengandung banyak makna dan arti bagi pengantin. Nilai-nilai kultural dan filosofi kehidupan pun mengisi setiap sisi ritual yang dilakukan. Kemudian dapatlah disampaikan secara kronologis upacara perkawinan adat Jawa dari awal sampai akhir antara lain, Upacara Siraman pengantin putra-putri, Upacara Malam Midodareni, Upacara Akad Nikah/Ijab kabul, Upacara penyerahan pengantin, Upacara Panggih, Upacara dalam resepsi.56 Secara umum demikian runtutan upacara yang perlu dilakukan pengantin yang menggunakan adat Jawa dalam suatu perkawinan.

Berbagai prosesi dalam pernikahan Jawa ini pada dasarnya dibagi menjadi dua; model Yogyakarta dan model Surakarta (Jogja dan Solo). Namun dalam pembagian ini tidak ada perbedaan mendasar yang menegaskan perbedaan di antara kedua model ini. Kronologis upacara yang perlu dilakukan dalam perkawinan adat Jawa antara Yogyakarta dan Surakarta sama. Perbedaan di antara keduanya terlihat pada busana dan tata rias yang dikenakan pengantin dalam

55

Thomas W Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat jawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1985, hlm. 12-13

56

upacara perkawinan mereka. Perbedaan antara dua model ini terletak pada: paes pengantinnya, prosesi panggih, dan pada busana yang dikenakan. Rias atau paes pada pengantin putri Jogja dan Solo berbeda. Cengkorongan Paes adalah riasan yg berupa "lukisan" berwarna gelap/hitam pada dahi dari pidih kental. Untuk Jogja pada paes ini di pinggirnya dihias lagi dengan prada/serbuk emas, sedangkan untuk Solo tidak menggunakan prada. Paes terdiri dari: penunggu/ gajahan (bagian tengah yang paling besar berbentuk seperti daun sirih), pengapit (bentuknya seperti penunggul hanya saja lebih kecil berbeda di samping kanan dan kiri penunggul setelah pengapit), panitis (berbentuk seperti taring berada di sela-sela penunggul dan pengapit), dan godeg (berbentuk seperti taring panjang atau degan kata lain jambang yang dibentuk runcing dan simetris berada di atas sampai di bawah telinga).57 Bentuk paes ini dibuat secara geometris di dahi pengantin putri dengan ukuran-ukuran tertentu yang disesuaikan dengan bentuk muka pengantin putri tersebut. Bentuk penunggul/ gajahan di Yogyakarta pada polanya sangat mengutamakan sudut-sudut lancip pada gajahan yang membentuknya menjadi terlihat lebih tegas, sedangkan Surakarta pola gajahannya lebih berbentuk lengkung-lengkung yang bila dilihat mengurangi kesan lancip.58 Untuk hiasan telinga pengantin memakai suweng/anting dengan bermata berlian kecil-kecil. Di atas telinga dipasang sumping pupus kates (daun pepaya muda) yang tengahnya disepuh prada. Alis mata dibuat bercabang, berbetuk seperti tanduk rusa sehingga dinamakan menjangan mranggah (Rusa menantang).

57

Marmien S Yosodipuro, Rias Pengantin Gaya Yogyakarta Dengan Segala Upacaranya, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm. 55-57

58

Gambar x. Tata rias Solo Putri (kiri) dan Yogya Putri (kanan)

Gambar xi. Tata rias putri Jogja Paes Ageng

Sumber: Thomas Wiyasa Bratawidjaya dalam Upacara Perkawinan Adat jawa

Sumber: Marmien S Yosodipura dalam Rias Pengantin Gaya Yogyakarta Dengan Segala Upacaranya

Perbedaan kedua dalam adat perkawinan Jogja dan Solo terletak pada upacara Panggih. Perbedaannya sebagai berikut;

1. Pada Panggih Jogja tidak ada upacara Midak Wiji Dadi, yaitu upacara menginjak telur Ayam. Di Jogja upacara ini disebut wiji dadi hanya diadakan pembasuhan kaki pengantin putra oleh pengantin putri, kemudian telur ayam tidak diinjak tetapi hanya ditempelkan di dahi dan dipecahkan oleh juru rias.59 Prosesi ini melambangkan sebuah awal yang menandakan adanya pengabdian sebagai seorang istri terhadap suaminya. Di Jogja telur yang ditempelkan pada dahi kedua pengantin sebagai tanda terwujudnya suatu pemikiran bersama sehingga mampu menyelesaikan persoalan rumah tangga.60 Sedangkan makna dari telur yang dipecahkan merupakan lambang dari awal membangun hidup baru. Midak wiji dadi Solo tidak dipecahkan juru rias atau

“pemaes” tetapi diinjak hingga pecah oleh pengantin putra baru kemudian kakinya dibasuh oleh pengantin putri. Maknanya pun hampir sama mencerminkan pengabdian dan sang istri terhadap suaminya begitu pula sang suami bersedia mendampingi dan melindungi istrinya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap apa yang telah ia mulai.

2. Pada Panggih Jogja tidak ada upacara Sindur Binayang yaitu, upacara ketika kedua mempelai diselimuti sindur (kain khusus) oleh ibu Pengantin Wanita dan berjalan menuju kursi mempelai dibimbing oleh bapak Pengantin Wanita. Upacara ini bermakna bahwa sang ibu menunjukkan jalan

59

Marmien S Yosodipuro, op.cit, hlm. 47 60

Tienuk Rifky, dkk, Kasatrian Ageng Selikuran dan Kasatrian Ageng: Tata Rias Pengantin Yogyakarta, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 38

kebahagiaan bagi sang anak dan memberikan dukungan moral terhadap kedua mempelai untuk membangun bahtera rumah tangga yang baru.

3. Kemudian pada Panggih Jogja tidak ada upacara Bobot Timbang Pangkon yaitu, upacara di mana kedua mempelai duduk di pangkuan kanan dan kiri ayahanda mempelai wanita. Kemudian ditanyakan beratnya oleh ibu mempelai wanita, manakah yang lebih berat. Ayah mempelai wanita yang memangku kedua mempelai akan menjawab berat keduanya sama. Upacara timbangan mengandung makna bahwa antara anak sendiri dengan anak menantu bagi orangtua tidak ada bedanya artinya kasih sayang orang tua terhadap kedua mempelai sama.61

Selanjutnya perbedaan tata rias ini diikuti juga dengan perbedaan busana yang dikenakan oleh pengantin putra dan putri dalam berbagai bentuk/model. Corak tata rias busana Jogja antara lain Jogja Putri, Paes Ageng atau disebut Kebesaran, Paes Ageng Jangan Menir, Kesatrian Ageng dan Kesatrian,62 sedangkan untuk Solo memiliki Solo Putri, Solo Basahan, Busana Sikepan Ageng / Busana Solo Basahan Keprabon. Untuk Jogja Putri, tata riasnya berbeda dengan Paes Ageng. Pengantin Jogja Putri menggunakan sanggul tekuk model bokor mengkureh berhias sebuah mentul lima sampai tujuh buah menghadap belakang dan bros di dada bagi mempelai wanita.63 Busana tradisionalnya menggunakan kebaya beludru panjang berhias sebuah bordir keemasan dan kain batik prada. Tata rias pengantin wanita Solo Putri menggunakan paes hitam pekat menghiasi

61

http://discussion.weddingku.com/ 62

Marmien S. Yosodipuro, op.cit, hlm. 50 63

dahi. Rias rambut dengan ukel besar model bokor mengkureh (bokor tengkurep), berhias ronce melati tibo dodo, dilengkapi perhiasan cundhuk sisir dan cundhuk mentul di bagian atas konde.64

Pengantin Jogja Paes Ageng menggunakan dodot atau kampuh lengkap dengan perhiasan khusus. Paes hitam dengan ditambahi sisi keemasan pada dahi sesuai dengan bentuk paes, rambut sanggul bokor dengan ditambahi perhiasan gajah ngolig yang menjuntai ke bawah dipasangkan pada konde, serta sumping yang terbuat dari daun pepaya muda dihiasi dengan prada.65 Sedangkan pengantin pria, memakai kuluk6 6 menghiasi kepala, ukel ngore (buntut rambut menjuntai) dilengkapi sisir dan cundhuk mentul kecil.67 Busana Sikepan Ageng / Busana Solo Basahan Keprabon adalah salah satu gaya busana basahan yang diwarnai dari tradisi para bangsawan dan raja Jawa. Mempelai pria mengenakan kain dodotan dilengkapi dengan baju Takwa yakni semacam baju beskap yang dulu hanya boleh dipergunakan oleh Ingkang Sinuhun saja. Untuk mempelai wanita memakai kain kampuh atau dodot dilengkapi dengan bolero potongan pendek berlengan panjang dari bahan beludru sebagai penutup pundak dan dada.68 Nampaknya hal busana Solo basahan Keprabon ini hampir sama dengan busana yang dikenakan pada rias pengantin gaya Jogja Paes Kanigaran.

64 Ibid 65 Ibid, hlm. 79 dan 116 66

Kuluk adalah semacam penutup kepala yang berbentuk tabung, sedangkan yang dimaksud ukel ngore adalah hiasan rambut yang tidak panjang dan menempel pada kuluk.

67

Ibid, hlm. 95 68

Gambar xii. Pengantin tatarias Jogja Paes Kanigaran (kiri) dan Solo Basahan Keprabon (kanan)

Gambar xiii. Jogja Paes Ageng (kiri) dan Solo Basahan (kanan)