• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR PENDORONG PERBEDAAN AKTUALISASI

B. Budaya sebagai jati diri

Kebudayaan merupakan jawaban atas tantangan alam maupun kondisi dan situasi saat manusia itu hidup, kebudayaan sangat dipengaruhi oleh alam. Walaupun demikian kebudayaan bukan sekedar kegiatan yang dilakukan hanya untuk menghadapi tantangan alam namun kebudayaan merupakan bentuk dari tindakan manusia terhadap keprihatinan atau kebutuhan sosial mereka. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pokok pangkal terbentuknya kebudayaan ialah bahwa setiap individu mempunyai tugas untuk hidup dan mengadakan pengelolaan lingkungan hidupnya, sesuai dengan kepentingan pribadi maupun kelompok.14

Kebudayaan merupakan kebutuhan hidup manusia. Dalam kebudayaan setiap orang memperoleh porsinya sendiri untuk berperan dalam masyarakatnya.

13

Mattulada, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, Jakarta, LP3ES, 1979, hlm. 104 14

Astris. S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta, Bina Cipta, 1985, hlm. 122

Dalam kondisi ini kemudian politik punya peran dalam keberlangsungan suatu kebudayaan. Kebudayaan merupakan tanda pengenal yang membedakan antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Ini artinya budaya merupakan identitas bagi anggotanya. Pada titik inilah kebudayaan berkaitan erat dengan proses politik. Demikian juga yang terjadi di Mataram ketika terjadi perpecahan antara Sunan PB II dan Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Perselisihan Mangkubumi dan Paku Buwono II berujung pada pembagian negara Mataram menjadi dua. Pembagian negara ini juga diikuti dengan pembelahan budaya.15 Pembelahan budaya ini merupakan langkah untuk membentuk identitas masing-masing kerajaan baik Yogyakarta maupun Surakarta. Kebudayaan Mataram dibelah demi menciptakan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Bahwa Yogyakarta itu kekuasaan sendiri bukan di bawah Surakarta, sedangkan Surakarta tetaplah Surakarta dan keduanya tetap mengakui ke-Mataram-annya. Ini membuktikan bahwa baik Sultan maupun Sunan mengupayakan kekhasan masing-masing namun tanpa meninggalkan ciri khas kebudayaan Mataram yang sudah ada sebelumnya. Ini menandakan bahwa antara Sultan dan Sunan tetap menginginkan pengakuan atas kebudayaan Mataram yang dimilikinya. Di lain sisi dengan tetap mempertahankan tradisi-tradisi budaya Mataram yang masih terdeteksi hingga kini seperti pelaksanaan Grebeg, Sekaten, dan adat perkawinan adalah usaha membuktikan kelayakan kekuasaan dalam wilayahnya.

15

Pada konteks lain sebenarnya secara tersirat dapat ditangkap bahwa terdapat semacam kegengsian di antara kedua pihak untuk saling meniru atau memiliki kebijaksanaan yang sama dalam beberapa hal. Walaupun persamaan tersebut bukan dalam hal kebudayaan tetapi dalam bentuk sebuah kebijaksanaan dalam pemerintahan. Seperti yang dapat ditemukan dalam Babad Mangkubumi bahwa ada kesan Sultan enggan untuk meniru apa yang dilakukan oleh Sunan. Ini membuktikan sesungguhnya di antara dua pihak masih terjadi “Perang Dingin”. Perang kegengsian dengan campur tangan kompeni di dalamnya. Perang untuk memenangkan warisan nenek moyang dan rakyat Mataram, pembuktian kelayakan memerintah dan sekaligus sebagai pusat kebudayaan manusia. Kegengsian terlihat pula seperti berikut;

“Di sini Kangjeng Sultan agak tersinggung mengapa harus menirukan kebijaksanaan Surakarta. Kata Kangjeng Sultan, “Mengapa harus memakai contoh di Surakarta, apakah aku ini dibawah pengaruh Ananda Susuhunan Pakubuwono. Aku tidak akan meniru kebijaksanaan seperti di Surakarta. Dan jika aturan itu dijalankan maka hal itu berarti membatasi kebebasan orang.”1 6

Bila melihat dari kutipan di atas sudah tentu dapat dilihat bagaimana usaha dari Sultan untuk tetap sebisa mungkin berbeda dengan Sunan di Surakarta. Memang bahwa terlihat semacam dendam lama yang masih membekas di antara keduanya akibat perselisihan yang telah terjadi. Sehingga memunculkan kegengsian yang masih tersisa. Mangkubumi masih mempertahankan budaya Mataramnya namun bukan lagi di Surakarta. Walau sekali lagi diketahui bahwa baik Yogyakarta dan Surakarta merupakan keturunan Mataram. Ini adalah usaha untuk tetap menjaga karakteristik Ngayogyakarta sebagai cahaya terang yang

16

Babad Mangkubumi alih aksara Moelyono Sastronaryatmo, op.cit, hlm. 221. Kegengsian ini berarti ada semacam perasaan tidak ingin disamai oleh seterunya. Menandakan sisa-sisa perselisihan masih membekas.

ingin mengembalikan Mataram yang sesungguhnya. Setidaknya seperti itulah yang dapat ditangkap dari bentuk kegengsian Sultan ini.

Bentuk identitas kebudayaan Surakarta dan Yogyakarta pada akhirnya pun sampai pada bidang kesenian. Kedua kerajaan dengan sengaja mengembangkan tradisi artistik di bidang tari, karawitan, tata busana dan adat perkawinan dengan tujuan membentuk/ menciptakan identitas artistik yang khas.17 Kesenian Mataram yang awalnya satu kemudian pecah baik Yogyakarta maupun Surakarta bukan Mataram lagi. Perbedaan-perbedaan di antara Yogyakarta dan Surakarta terlihat dalam beberapa aktualisasi budaya yang ada. Seperti pada corak batik yang merupakan komoditi yang menjadi trend saat ini. Materi corak batik Yogyakarta mengambil bahan olahan berupa materi-materi yang lebih beraroma magis sedangkan corak batik Surakarta sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan tata krama keraton, sehingga mencerminkan corak-corak batik yang sopan, tenang, dan lembut.18 Ciri khas corak batik antara dua pihak ini memang tidak langsung terwujud ketika perpecahan terjadi tetapi melalui proses yang lama pula hingga mencapai identitas seperti sekarang ini. Hal ini didasari pula bahwa corak-corak batik Yogyakarta diciptakan dengan maksud agar terjadi harmonisasi kehidupan di masyarakat dan dalam rangka tujuan politis.19

Upaya lainnya adalah mengidentitaskan tarian Bedhaya Semang oleh Sultan sedangkan Surakarta sendiri tetap mempertahankan Bedhaya Ketawang sebagai peninggalan raja Mataram yang menampilkan ciri khas Surakarta. Di bidang kesenian ini usaha mendapatkan identitas kebudayaan telah didapat hingga

17

Brakel-Papenhuyzen, Clara, op.cit, hlm. 41 18

Anesia Aryunda Dofa, op.cit, hlm 31 19

sampai pada image yang dapat ditemukan di berbagai sumber entah buku, surat kabar, media elektronik dan lainnya. Dikatakan bahwa Yogyakarta memiliki gaya gerak tari yang lebih tegas dibandingkan dengan Surakarta yang cenderung lemes. Budaya Yogyakarta bersifat “serba adanya- gagah- maskulin aktif” sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes penuh bunga- feminim- kontemplatif”.20 Ini terlihat dalam berbagai aktualisasi tari, seperti drama tari wayang wong di mana Yogyakarta lebih mengutamakan pemain laki-laki sedangkan Surakarta pada perempuan. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian muncul suatu pendapat bahwa tari Yogyakarta lebih gagah dan tegas karena inilah yang sesungguhnya diharapkan. Tari Yogyakarta yang gagah tegas ini merupakan cerminan dari usaha yang keras bahwa memang Sultan ingin membentuk jati diri kerajaan yang gagah tegas dan berani. Hal ini didukung pula dengan kebanyakan tema yang diangkat pada seni tari Yogyakarta adalah tema perang yang sering menggambarkan secara tersirat perjuangan Mangkubumi melawan saudaranya Pakubuwono III.

Pada gaya berbusana dan tari terjadi perbedaan antara Sultan (memakai baju surjan, blangkon dan gerakan tari yang statis) dan Susuhunan yang akan Yasa ingkang Enggal (menciptakan gaya baru) yang memberi kesan dinamis.21 Hal tersebut terlihat pada pakaian adat yang sekarang dapat ditemui yaitu blangkon, baju Surjan dan keris. Masing-masing bagian dari pakaian adat Jawa ini di antara keduanya berbeda. Yogyakarta memiliki blangkon dengan mempertahankan mondholan walaupun fungsinya tidak lagi sebagai tempat

20

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan dunianya, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 9 21

Moedjanto, G., Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hlm. 14

rambut, baju surjan dengan mempertahankan jenis Surjan Lurik dan Surjan Kembang, dan keris yang mengakomodasi gaya dari leluhur Mataram Senopaten dan Mataram Sultan Agung. Surakarta memiliki blangkon yang berbeda karena mengubah bentuk menonjol di belakang kepala menjadi trepesan. Ini bentuk adaptasi terhadap perkembangan zaman ketika sudah tidak banyak orang memiliki rambut panjang. Dalam hal busana pakaian Surakarta mengembangkan model baju surjan yang berbeda disebut beskap dari kata beschaafd, yang lebih terihat seperti jas karena mendapat pengaruh dari model busana Eropa dengan jenis kain yang lebih tebal dan tidak terdapat motif-motif seperti baju surjan Yogyakarta. Keris gaya Surakarta pun berbeda dengan ukuran yang lebih besar dibanding dengan keris Yogyakarta, selain itu juga memiliki perbedaan pada istilah pamor dan bagian-bagian (ricikan) keris.

Pembentukan jati diri yang diusahakan oleh masing-masing pihak ini memang disengaja, bahwa bukan saja untuk sekedar kebutuhan legitimasi politik namun juga merupakan usaha membentuk suatu pandangan rakyat agar mampu memberikan jawaban atas perpecahan yang terjadi di antara keturunan Mataram ini. Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa hampir di setiap aktualisasi budaya yang ada di antara kedua belah pihak selalu menuntut atau membentuk tradisi (corak/ gaya) agar menjadi khas. Sehingga dengan pembentukan gaya yang demikian memungkinkan orang untuk dapat membedakan secara jelas kiblat dari suatu aktualisasi budaya tertentu yang ada di dalam masyarakat. Hal tersebut ditemukan dalam perbedaan aktualisasi adat perkawinan terutama pada upacara panggih, busana dan tata riasnya, wayang kulit, wayang wong, seni karawitan dan

lain-lain. Corak khas yang dianut oleh dalang wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta sejak kerajaan ini terbagi mendapat dorongan dari raja masing-masing, proses ini merupakan bagian dari usaha pencarian kepribadian sendiri.22 Gaya masing-masing pihak ini akan mampu menjadi standar penilaian rakyat terhadap eksistensi keraton yang menjadi kiblat kekuasaannya. Pembentukan gaya yang hingga sekarang mampu mengakar kuat di dalam masayarakat ini merupakan hasil dari aktualisasi budaya yang dibuat berbeda. Gaya yang hingga sekarang orang mampu menilai adalah bahwa dalam kebanyakan atau mungkin juga hampir seluruhnya tradisi Yogyakarta selalu menampilkan diri menjadi pihak yang memiliki “ketegasan” entah dalam seni tari, karawitan maupun aktualisasi budaya yang lain. Demikian pula berusaha membentuk jati diri yang “sederhana”

karena dalam beberapa hal seperti pada rancakan gamelan, motif dan bentuk keris, baju surjan yang cenderung mengurangi tambahan-tambahan motif yang memberi kesan kemewahan. Oleh karenanya pula kemudian menjadi mungkin bahwa tradisi Yogyakarta mengurangi hasrat diri untuk mengembangkan aktualisasi budaya tertentu yang tidak mengikuti pakem. Semakin menjadi jelas bahwa aktualisasi budaya Yogyakarta memang sengaja selalu bertahan terhadap arus perkembangan zaman dengan berbagai alasan yang kuat. Ini membuktikan bahwa Yogyakarta berusaha membentuk kesan diri yang apa adanya, mampu menjadi dan menghidupkan kembali warisan budaya leluhur.

Pembentukan jati diri kerajaan Surakarta yang sekarang mampu dilihat adalah menampilkan kesan diri yang serba mewah, glamour, lemah lembut, dan

22

segala sesuatu selalu dibuat pernes atau menarik. Tentu saja dapat dilihat dari aktualisasi budaya pada wayang kulit, tari, busana beskap, seni karawitan, keris dan lain-lain. Wayang kulit Surakarta yang ditampilkan dengan segala bentuk perlengkapan yang gebyar-gebyar mulai dari hiasan hingga pada gending yang dimainkan memberikan kesan kemewahan, ramai dan lebih berani mengikuti arus perkembangan zaman. Demikian pula pada keris, yang dapat dilihat adalah bahwa keris Surakarta umumnya mampu mencerminkan kebesaran dan kemewahan dilihat dari motif yang ada pada keris tersebut. Pembentukan jati diri Surakarta memberikan kesan kebesaran, mewah dan menunjukkan kealusan pada setiap aktualisasi budaya yang ada. Hal tersebut semakin memperjelas perbedaannya dengan Yogyakarta yang berusaha membentuk jati diri yang serba tegas, gagah, dan sederhana.

Perbedaan aktualisasi budaya di antara Yogyakarta dan Surakarta pada akhirnya tertanam dalam identitas kewilayahan sekarang, hingga muncul perumpaan bagi orang yang klemar-klemer (halus, pelan dan tidak tegas) layaknya putri Solo yang dianggap demikian pula. Bukankah ini akibat dari upaya untuk membentuk jati diri di antara Yogyakarta dan Surakarta. Tidak mudah memang kemudian membuktikan benar atau tidaknya perumpamaan tentang sikap tersebut, tapi begitulah yang kemudian menjadi pandangan orang-orang. Usaha masing-masing kerajaan untuk saling meng”khas”kan diri membuat muncul berbagai pandangan antara satu pihak dengan pihak lain. Kemudian tidak menutup kemungkinan pula bahwa di Surakarta juga muncul berbagai pandangan mengenai wong Jogja. Bukti telah mengakarnya identitas kewilayahan dalam

konteks kerajaan Yogyakarta dan Surakarta ini dapat pula kita temukan pada aktualisasi budaya seperti perbedaan penggunaan warna bendera tanda kematian di Yogyakarta banyak menggunakan warna putih sedang di Surakarta menggunakan warna merah atau kuning, atau bahkan perbedaan selera dalam masakan pun mungkin adalah efek dari adanya usaha pembedaan aktualisasi budaya ini karena tidak dipungkiri bahwa upaya pembedaan ini merupakan hal yang sangat penting dan dilakukan secara besar-besaran. Artinya bahwa pembedaan dilakukan dengan menegaskan dan membuat garis jelas hingga pada aspek tingkah laku adat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat serta dalam skala yang luas.

Keberhasilan pembentukan jati diri melalui pembuatan standar gaya tradisi antar dua pihak mungkin dapat dilihat dari efek perbedaan aktualisasi budaya. Pada wayang kulit terjadi sebuah fanatisme pada penonton sebagai penikmat hiburan perihal gaya yang dibawakan oleh dalang dalam mempergelarkan wayang kulit. Menurut Ki Catur “Benyek” Kuncoro pernah suatu ketika mendalang di daerah Tawangmangu mendapati cercaan dari penonton dan sinoman perihal cara mendialogkan tokoh atau pada bagian suluk. Fanatisme ini dapat dipahami muncul berkaitan dengan perkembangan dari pakem pedalangan yang biasa penonton lihat atau alami. Artinya ketika mendapati suatu pegelaran yang berbeda dengan yang biasa dilihat muncul suatu persepsi yang secara tidak langsung menolak gaya yang sedang dimainkan. Fanatisme yang berkembang ini tidak hanya sampai di situ tetapi muncul pula saling ejek dengan adanya ungkapan

kepingan logam yang banyak sehingga mengeluarkan suara yang ramai crek...crek...crek. Sedangkan “keprak Yogyakarta seperti “bakul bakso” karena hanya menggunakan satu keping logam sehingga berbunyi thing...thing...thing. Ungkapan ini seakan telah mencerminkan bahwa efek dari usaha pembedaan aktualisasi budaya antara Yogyakarta dan Surakarta telah membangun fanatisme yang tertanam dalam dalam masyarakat.

Gambar xxii. Bendera kematian Solo dan sekitarnya warna merah atau kuning dan bendera kematian Jogja warna putih

Upaya mengidentitaskan diri dalam hal seni pertunjukan wayang kulit pernah mengalami hambatan atau mungkin kegagalan. Hal ini dilihat dari munculnya tokoh Bagong dan Antasena dalam pakeliran wayang gaya Surakarta. Beberapa puluh tahun diperkirakan awal abad 20 yang lalu tokoh Bagong hanya dikenal di beberapa daerah, terutama di Yogyakarta ke barat dan di daerah

http://kupotret.in

Banyumas, dan beberapa tempat di Jawa Timur, namun kemudian muncul pada pakeliran gaya Surakarta.23 Demikian pula dengan tokoh Antasena yang diperkirakan sekitar tahun 1950an mulai dipakai di pakeliran gaya Surakarta yang sebelumnya tidak ada. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut maka dapat diterjemahkan bahwa akibat nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia terjadi kegiatan saling adopsi tokoh-tokoh wayang kulit. Ini membuat upaya membentuk gaya pakeliran wayang kulit yang mencerminkan identitas nasional kerajaan mengalami kegagalan.

Dari sisi politis berdasarkan perjanjian Giyanti pembentukan pribadi/jati diri masing-masing pihak ini dapat dipahami melihat kondisi wilayah yang dimiliki Sultan maupun Sunan berdasarkan perjanjian Giyanti yang memang sangat tidak teratur dan berpencar-pencar. Keadaan yang demikian memaksa kedua belah pihak untuk tetap dapat menjaga daerah kekuasaannya. Hal ini memungkinkan rakyat yang berada dalam suatu wilayah yang sama dengan aktualisasi budaya yang berbeda mengalami konflik. Karena kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik dalam masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain.24

Membentuk jati diri sebuah kelompok merupakan tuntutan utama agar dapat dianggap sebagai kelompok yang asli atau mempunyai visi dan misi berbeda dengan kelompok lainnya. Demikian Sultan dan Sunan berusaha mengembangkan aktualisasi budaya yang berbeda di antara mereka, agar memang

23

Tim Penulis SENA WANGI, Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid 2, SENAWANGI Press, Jakarta, 1999, hlm. 188-189.

24

mereka bukan lagi dilihat sebagai satu kesatuan. Sultan terlihat berusaha membangkitkan, menghidupkan, dan memberi tempat bagi keberadaan aktualisasi budaya leluhur agar dianggap sebagai Mataram yang asli. Berbeda dengan Sunan yang terlalu dekat dengan Kompeni sehingga kehilangan ke-Mataram-annya.