• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR PENDORONG PERBEDAAN AKTUALISASI

A. Budaya sebagai legitimasi kekuasaan

Perpecahan Mataram merupakan awal dari perbedaan kebudayaan di antara Yogyakarta dan Surakarta. Titik awal yang membuat keduanya berusaha membedakan dirinya masing-masing. Perjalanan sejarah setiap kerajaan berbeda-beda tetapi terdapat satu pola sama yang tidak akan pernah hilang dan tetap pada jalurnya. Pada permasalahan Surakarta dan Yogyakarta ini masing-masing pihak memerlukan pengakuan dan penerimaan dari rakyat. Karena itu untuk dapat diterima rakyat, para raja dari kerajaan ini terus berusaha memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih.2

Walaupun seorang raja di Jawa diakui berkuasa apabila tunduk dan taat terhadap pemerintah Belanda namun legitimasi kebudayaan sebagai usaha menanamkan kekuasaan sebagai raja baru merupakan hal penting. Legitimasi budaya yang dimaksud di sini adalah adanya usaha menciptakan perbedaan aktualisasi budaya untuk memperkokoh kekuasaan seorang raja. Ini dilakukan baik oleh Sultan maupun Sunan. Legitimasi budaya terlihat pada adanya perbedaan beberapa aktualisasi budaya pada masing-masing pihak, misalnya dalam bidang seni tari pada tari Bedhaya Sanga. Di Surakarta sudah dikenal adanya Bedhaya Ketawang yang merupakan tarian keramat yang menceritakan hubungan sakral antara raja Mataram dengan penguasa Laut Kidul. Sebagai tarian keramat Bedhaya Ketawang memperlihatkan adanya usaha mengokohkan kedudukan raja dengan menggunakan kekuatan dari mitos penguasa Laut Kidul.

2

G. Moedjanto, Konsep kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm. 26

Tarian sejenis juga dimiliki oleh Yogyakarta yakni tari Bedhaya Semang yang juga memiliki makna cerita sama dengan Bedhaya Ketawang tetapi diklaim bahwa Bedhaya Semang lebih tua umurnya dilihat dari kelengkapan gamelan yang dipakai untuk mengiringinya. Legitimasi kekuasaan Mataram dipakai pula oleh Sultan dengan berusaha menghadirkan kembali adanya hubungan sakral antara raja dengan penguasa Laut Kidul, artinya Sultan yang merupakan keturunan Mataram ini berusaha membuat image bahwa ia orang yang tepat untuk menjadi raja karena mewarisi hubungan sakral tersebut. Usaha legitimasi ini sesuai pula dengan makna filosofi tari Bedhaya Sanga yang melambangkan 9 lubang pada tubuh manusia dan 9 pintu masuk utama keraton. Selain dengan tari Bedhaya Sanga Sultan juga memperkokoh hubungan mistisnya dengan Ratu Kidul dengan upacara Labuhan.

Penyelenggaraan pergelaran Bedhaya Sanga yang ritual di istana bisa diartikan sebagai upaya untuk mereaktualisasi harmoni antara mikrokosmos dan makrokosmos.3 Harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos merupakan usaha yang menunjukkan bahwa Sultan juga menghendaki adanya keseimbangan dalam kerajaan barunya. Hal tersebut sebagai bagian agar ia dapat diakui sebagai raja yang sesuai dengan konsepsi kerajaan “ratu binathara atau raja yang didewakan” yang menempatkan raja sebagai pemilik kerajaan dan segala isinya.4 Tari bedhaya ini dimainkan oleh perempuan. Perempuan menjadi obyek yang dipandang mewakili raja karena memiliki sifat yang lemah lembut, pemurah dan bijaksana (gambaran perempuan). Namun dalam suatu kesempatan Bedhaya

3

Soedarsono, Wayang Wong: Tari Tradisional Ritual Kenegaraan di Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 146

4

Semang dimainkan oleh penari laki-laki dengan alasan agar tidak dipersulit oleh masalah kondisi badan yang bersih yang kadang tidak dimiliki wanita (haid).

Masih pada bidang seni tari, legitimasi juga berusaha dilakukan Sultan dengan dilestarikannya pula tari-tari klasik yang dimainkan oleh perempuan, sama seperti di Mataram dahulu misalnya dengan mengembangkan tari-tari bedhaya dan srimpi. Tari Srimpi Yogyakarta sering menggambarkan tema peperangan dengan mengangkat tokoh pahlawan sedangkan di Surakarta tidak. Artinya melalui tari-tari bertema perang dengan pahlawan-pahlawan di dalamnya ada usaha mengokohkan kepercayaan rakyat bahwa Mangkubumi adalah pahlawan tersebut. Bahkan dalam tarian yang dimainkan oleh laki-laki terlihat pula adanya usaha legitimasi melalui aktualisasi budaya. Diciptakannya beksan Trunajaya yang merupakan semacam tari latihan perang prajurit Trunajaya yang di dalamnya terdiri dari berbagai prajurit yang berasal dari berbagai daerah. Beksan Trunajaya yang dibagi dalam tiga komposisi beksan lawung ageng, beksan lawung alit, dan beksan sekar Madura, yang perlu disoroti adalah adanya beksan menggunakan kata Madura pada komposisi beksan tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa orang Madura banyak yang bergabung dengan Sultan melawan Sunan, artinya bahwa penggunaan kata ini lebih bertujuan untuk memberikan apresiasi dan sebagai upaya mempertahankan prajurit Madura sebagai kekuatan yang dimiliki Sultan. Penghargaan terhadap prajurit Madura ini sekaligus untuk tetap menjaga keyakinan orang Madura bahwa mereka adalah bagian dari Yogyakarta. Ini usaha mempersatukan wilayah kekuasaan. Selain itu Beksan Trunajaya yang merupakan tari latihan bela diri ini seakan ingin menunjukkan kekuatan dari pleton

Trunajaya, sehingga membuat lawan berpikir ulang untuk menyerang karena ada kekuatan besar pada prajurit Yogyakarta.

Karena Bedhaya Ketawang merupakan tari pusaka keraton Surakarta, maka dari itu HB I merasa harus berupaya untuk menciptakan genre tari yang lain, yaitu Wayang Wong yang dapat memperkokoh legitimasinya sebagai raja Mataram yang sah. Yogyakarta mengakomodasi wayang wong sebagai seni drama tari yang keramat karena merupakan gubahan Mangkubumi tetapi tidak dengan Surakarta. Hal ini terbilang cerdik melihat bahwa pesona wayang wong di kalangan kerajaan maupun rakyat sangat populer, sehingga rakyat menjadi tertarik dan dapat dipersatukan melalui sifat keramat yang dimiliki wayang wong tersebut. Dengan diciptakannya Wayang Wong gaya Yogyakarta oleh HB I berarti bahwa Sultan HB I telah menghidupkan kembali hubungan antara Yogyakarta dan Majapahit, dan juga menegaskan tuntutannya sebagai pewaris yang sah dari raja legendaris tanah Jawa yaitu Wisnu.5 Dengan mengangkat kembali Wayang Wong menjadi drama tari keramat di Yogyakarta Sultan menginginkan bahwa rakyat tidak memiliki keraguan atas kekuasaannya sebagai raja baru keturunan Mataram. Selain pada pergelaran wayang wong dapat pula ditemui usaha membentuk identitas dan melegitimasikan kekuasaan raja melalui seni budaya lain yakni, wayang kulit. Wayang kulit merupakan seni pertunjukan yang memiliki sifat cukup magis sekaligus juga sebagai pertunjukan semata. Dalam kaitannya dengan legitimasi budaya adalah bahwa pengembangan gaya pertunjukan wayang kulit antara Yogyakarta dan Surakarta merupakan usaha untuk tetap mengadopsi seni

5

pertunjukan dan tradisi rakyat sebagai bagian dari budaya masing-masing pihak. Hal ini menjadi penting karena penyebaran pertunjukan wayang kulit dapat ditemukan di berbagai daerah pelosok desa. Artinya seni pertunjukan dan tradisi wayang kulit ini dekat dengan kehidupan kawula (rakyat) di desa-desa. Seni pertunjukan wayang kulit menjadi penting dalam hubungannya dengan penyebaran tradisi keraton baik Yogyakarta maupun Surakarta.

Bentuk legitimasi pada wayang kulit terlihat dari adanya perbedaan dalam hal tokoh panakawan. Pada wayang kulit Yogyakarta memiliki tokoh Panakawan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong hal ini mengadopsi wayang kulit yang telah berkembang sebelumnya di kerajaan Mataram. Sedangkan tokoh Panakawan wayang kulit gaya Surakarta hanya terdiri dari Semar, Petruk dan Gareng tanpa Bagong, tokoh Bagong dihilangkan konon karena para orang-orang Kompeni tidak menyukai tokoh Bagong tersebut dan minta untuk dihilangkan pada gaya wayang kulit Surakarta. Corak khas yang dianut oleh dalang dari Surakarta dan Yogyakarta sejak kerajaan terbagi mendapat dorongan dari raja masing-masing.6 Dalam rangka membangun gaya wayang kulit yang sesuai kedua pihak mendirikan sekolah dalang Pandhasuka Surakarta dan Habirandha Yogyakarta. Pendirian sekolah dalang ini bertujuan membuat standar baku tradisi pedalangan yang ada.7 Mungkin dapat pula kemudian dikatakan awal mula mengerucutnya perbedaan gaya pedalangan antara Yogyakarta dan Surakarta dimulia dari sekolah dalang ini.

6

Van Groendaell, M. Victoria C, Dalang di Balik Wayang, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1987, hlm. 116 terjemahan dari The Dalang Behind The Wayang: The Role of The Surakarta and The Yogyakarta Dalang in Indonesia.

7

Perihal dalang perlu pula di cermati bahwa kedekatan dalang dengan tradisi keraton memungkinkan pula semakin mengenal pakem-pakem yang menjadi ciri dari masing-masing gaya. Dilihat dari sudut pandang keraton sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan kedekatan dalang rakyat dan keraton merupakan sebuah titik tanda di mana terdapat usaha untuk membentuk suatu gaya yang menjadi ciri pertunjukan wayang kulit masing-masing pihak. Suatu gaya yang diikuti oleh dalang ketika mendalang adalah bentuk dari eksistensi keraton di tempat di mana pergelaran wayang kulit tersebut dilaksanakan. Artinya dengan menggunakan salah satu gaya pedalangan wayang kulit ini secara tidak langsung sang dalang juga berusaha untuk menghadirkan eksistensi keraton sebagai pusat kebudayaan. Tentunya gaya pedalangan ini mampu membentuk persepsi penonton agar bersedia mengakui keberadaan keraton sebagai pusat yang menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Berikut mengenai busana yang dipakai oleh raja juga mencerminkan adanya upaya legitimasi dalam bentuk akulturasi budaya dengan Barat. Ini terlihat pada busana raja yang memakai unsur Barat berupa topi, pedang, dan baju-baju bermodel Barat dan khas Jawa. Ini berkaitan dengan keberadaan Kompeni di Jawa sebagai pemegang kekuasaan tanah Jawa. Kebutuhan akan dukungan sosial yang memperkokoh legitimasi bangsawan, menjadikan perpaduan dua budaya itu sebagai stabilisator kekuasaan untuk mempertegas kekuasaannya.8 Namun di samping itu yang tidak kalah penting adalah bahwa perihal tata busana di antara Yogyakarta dan Surakarta semakin mengalami perkembangan yang menegaskan

8

Mari S Condronegoro, Busana Adat Yogyakarta 1877-1937: Makna dan Fungsinya dalam berbagai upacara, Yayasan Pustaka Nusatama, Jakarta, 1995, hlm. 36

perbedaan di antara keduanya. Dari penutup kepala yang disebut blangkon, Yogyakarta dalam perkembangannya tetap menampilkan blangkon dengan mondholan yang memperkuat kesan bahwa mengakomodasi tata cara berbusana pada zaman penguasa Mataram sebelumnya. Sedangkan pada baju pun demikian bahwa Yogyakarta tetap mempertahankan model baju Surjan Lurik dan Surjan Kembang yang merupakan warisan leluhur pula. Beskap yang sekarang dianggap sebagai baju khas Surakarta mencerminkan akulturasi dan kedekatan Sunan dan Kompeni. Walau demikian namun dalam busana kerajaan bagi raja Yogyakarta juga mengalami akulturasi dengan busana model Eropa.

Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik terdapat tiga kelompok cara legitimasi yaitu, simbolis, prosedural, dan materil. Legitimasi simbolis adalah memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi dan kepercayaan, dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-simbol.9 Berkaitan dengan permasalahan Yogyakarta, cara simbolis yang dijalani Sultan dalam rangka mengesahkan kekuasaannya berikutnya adalah dengan menghadirkan kembali keris dengan gaya Mataram Senopaten dan Mataram Sultan Agung. Sedangkan Surakarta mengikuti gaya keris buatan empu Brojoguno dari Madura-Singosari.10 Pada zaman dulu keris merupakan benda pusaka yang juga memiliki kekuatan dengan makna kharisma dan legitimasi. Pusaka adalah harta benda peninggalan orang yang telah meninggal; warisan, barang yang diturunkan dari nenek monyang.11 Kadang-kadang karena

9

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta, 1992, hlm. 96 10

http://harizant.multiply.com/ 11

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, hlm. 910

benda pusaka ini juga status sosial ( = pangkat) seseorang akan naik dan bertambah kuat, karena benda pusaka ini pula wibawa orang akan bertambah.12 Perbedaan antara Keris Yogyakarta dan Surakarta ini mencerminkan usaha dari kedua belah pihak untuk mengangkat kembali nilai-nilai budaya pusaka leluhur. Walaupun dalam perkembangannya senjata prajurit kerajaan ditambah pula dengan senjata api namun keris tetap menjadi ukuran kekuatan dan senjata yang diandalkan selain nilai seni yang tingginya. Begitu pula dengan pemakaian perangkat gamelan untuk upacara ageng misalnya Grebeg dan Sekaten, Yogyakarta memiliki gamelan Kangjeng Kyai Guntur Madu sedangkan Kangjeng Nyai Guntur Madu ada di Surakarta. Sedikit lepas dari adanya perbedaan dalam karawitan maupun gamelan yang ada di Yogyakarta dan Surakarta, keduanya membawa beberapa perangkat gamelan yang berbeda nama dan fungsi dalam upaya untuk tetap menegaskan kekuasaannya. Perangkat gamelan tersebut juga mempunyai sifat sakral sehingga dapat dimasukkan dalam kategori pusaka kerajaan. Oleh karenanya masing-masing pihak berusaha mengembangkan dan tetap menghidupkan seni karawitan dan gamelan, selain sebagai media tambahan yang memegang peranan penting dalam suatu ritual tradisi kerajaan.

Selain sebagai bentuk penguatan keberadaan status sosial perlunya pusaka dan berbagai ritual tertentu merupakan upaya yang wajar dilakukan seseorang untuk mendapatkan kepercayaan. Oleh karenanya raja memerlukan sekian banyak ragamnya atribut, upacara dan kelengkapan benda kongkrit dan rohaniah untuk mengkukuhkan kepercayaan orang banyak terhadap kesucian dan

12

R.A Maharkesti, dkk., Upacara tradisional siraman pusaka Keraton Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, 1989, hlm. 43

keluarbiasaannya itu.13 Hal tersebut yang kemudian dilakukan oleh Sultan Yogyakarta yang telah secara resmi menjadi raja di Yogyakarta. Ia kemudian melakukan berbagai ritual dan tradisi Jawa Mataram yang biasa dilakukan pada saat masih berada di keraton Surakarta. Dengan mengembangkan kebudayaan yang telah ada sebagai warisan nenek moyang artinya sang keturunan dapat dikatakan telah meneruskan kehendak nenek moyang dan berhak untuk memimpin karena telah mendapatkan restu dari pendahulunya. Ini semakin meneguhkan eksistensi kekuasaan yang telah ditegaskan sebelumnya pada Perjanjian Giyanti yang disepakati dua pihak tersebut.