• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya sebagai upaya menyebarkan pengaruh/rivalitas

BAB III FAKTOR PENDORONG PERBEDAAN AKTUALISASI

C. Budaya sebagai upaya menyebarkan pengaruh/rivalitas

Sebuah kerajaan baru muncul menjadi saingan dari Surakarta, Yogyakarta di bawah pimpinan Mangkubumi menjadi satu kekuatan politis dan kebudayaan yang berpengaruh di Jawa (Jawa Tengah khususnya). Bagaimana tidak setelah Palihan Nagari pengaruh masing-masing mulai ditebarkan atau mungkin menebar dengan sendirinya di berbagai daerah kekuasaannya masing-masing. Dua tradisi tari Jawa klasik terpenting terdapat di dua daerah terpisah namun berdekatan, yaitu daerah Jawa Tengah bagian timur yang dipengaruhi oleh keraton Surakarta dan daerah Jawa Tengah bagian barat yang dipengaruhi oleh keraton Yogyakarta.25

Pasca Palihan Nagari yang diterangkan dalam perjanjian Giyanti Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Pakubuwono III mendapatkan daerah kekuasaan yang berpencar-pencar sehingga dalam satu wilayah dapat terkepung oleh wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh rivalnya. Dari sudut pandang keberadaan dan campur tangan Kompeni dalam urusan kerajaan di Jawa dimaksudkan pemecahan dan pembagian wilayah yang dipencar-pencar tidak teratur ini merupakan startegi untuk tetap menjaga kekuatan masing-masing pihak

25

agar tidak balik menyerang kompeni. Namun pada sudut pandang yang berbeda dapat diterjemahkan demikian, bahwa keadaan wilayah yang tidak teratur dan saling batas-membatasi ini memungkinkan usaha bagi Sultan maupun Sunan untuk menebarkan pengaruh dan kekuasaannya pada daerah saudaranya. Pengaruh dan mempengaruhi terlihat dalam wujud sekarang, bahwa tari gaya Jogja mempengaruhi gaya tari di daerah sebelah barat Jawa Tengah dan sebaliknya gaya Surakarta mempengaruhi gaya tari di daerah Jawa Tengah bagian timur. Padahal Sunan memiliki daerah kekuasaan di daerah barat Jawa tengah begitu juga sebaliknya. Kompeni sangat memahami betul nilai penting dari Jawa. Produksinya yang melimpah menjadi kebutuhan utama bagi dunia, koloni harus ini mampu untuk membawa sebanyak, atau bahkan lebih, kekayaan ke dalam koper-koper Kompeni dari pada kepulauan rempah-rempah.26

Pembedaan aktualisasi budaya antara Yogyakarta dan Surakarta dibutuhkan oleh masing-masing kerajaan dalam rangka mempersatukan rakyatnya yang terpecah-pecah secara geografis. Hal ini tentunya disadari oleh kedua pihak, oleh karenanya dapat dilihat dari penyebaran seni tari di daerah kekuasaannya. Seperti dalam kesenian wayang wong, Surakarta memang tidak mengembangkan penulisan antawacana bagi pergelaran wayang wong seperti Yogyakarta, namun ini memungkinkan penyebaran seni wayang wong Surakarta pada daerah kekuasaannya melalui komunitas tari komersil lebih leluasa. Dengan adanya identitas budaya yang jelas melalui seni tari saja setidaknya suatu daerah telah

26

Stockdale, John Joseph, Eksotisme Jawa; Ragam Keidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa, Progresif Book, Yogyakarta, 2010, hlm. 191 Terjemahan dari buku Island Of Java dengan pengarang yang sama. Keterlihatan maksud Kompeni dan pandangan kompeni terhadap tanah Jawa menjadi jelas dalam buku ini.

jelas tunduk pada pihak yang mana. Hal ini penting bagi masing-masing kerajaan agar daerah kekuasaan dan rakyatnya tidak terjebak pada pihak yang salah. Selain itu sering diadakan suatu pergelaran wayang wong yang mengumpulkan banyak penonton dari berbagai kalangan ada sekitar 23.000 sampai 36.000 orang yang datang untuk menyaksikan pertunjukan wayang wong,27 artinya pergelaran ini mampu sebagai media mempersatukan rakyat. Selain itu pada beksan lawung atau tarian keprajuritan Yogyakarta hendak memperlihatkan kekuatan militernya yang banyak dan kuat serta didukung pula oleh prajurit dari Madura. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa ini merupakan usaha untuk merebut dan mempertahankan loyalitas orang-orang Madura dan wilayah lain agar tetap menjunjung Sultan sebagai “ratu gung binathara”.

Perlu melihat pula rivalitas yang terjadi di antara kerajaan Yogyakarta dan Surakarta dari hubungan antara dalang wayang kulit dengan keraton. Keraton adalah pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan oleh karenanya kiblat kebudayaan mencerminkan pula kiblat pemerintahannya. Keraton merupakan pusat yang menjadi kiblat bagi para kawula di daerah kekuasaannya mencari kepemimpinan spiritual dan moril.28 Sedangkan pada masa-masa setelah perpecahan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta rasa kebutuhan terhadap sosok pemimpin bagi rakyat sangat besar mengingat tidak mudah mengubah mainset rakyat bahwa telah ada perbedaan kepemimpinan terjadi.

Dalang dalam pertunjukan atau pergelaran wayang kulit memainkan perannya bukan saja hanya sebagai “Tuhan dari wayangnya” namun juga bertugas

27

Soedarsono, Wayang wong: Drama Tari Tradisional Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, op.cit, hlm. 167

28

memberikan ajaran yang mampu menuntun dan mengarahkan padangan rakyat kepada situasi yang ada. Di sinilah letak penting dalang dalam hubungannya dengan keraton, bahwa pembentukan gaya pedalangan Yogyakarta dan Surakarta berkaitan pula dengan agenda politik kerajaan masing-masing. Gaya pedalangan yang berkembang berkaitan dengan pendirian sekolah dalang Padhasuka Surakarta atas perintah PB X pada tahun 1923 dan tidak lama menyusul Habirandha atas perintah HB VIII pada tahun 1925.29 Terlebih lagi keadaan kekuasaan wilayah administratif seperti yang telah ada sekarang ditetapkan pada tahun 183030 sehingga membentuk jati diri dan kepribadian sekaligus bersaing menunjukkan keunggulan menjadi prioritas politik. Dapat dipahami bahwa dalang yang membawakan gaya pedalangan sesuai dengan kiblatnya ini mampu untuk meresapkan nilai-nilai yang penting sesuai dengan agenda politik yang ada. Akhirnya dalam membentuk suatu konsep pandangan rakyat terhadap kepemimpinan keraton menjadi tanggung jawab besar bagi dalang. Persaingan antara gaya pedalangan Yogyakarta dan Surakarta ini kemudian dapat dilihat pula pada pakem yang berbeda. Dikembangkannya kitab hukum pedalangan yang berisi cerita-cerita pewayangan telah membuktikannya. Di Surakarta dikembangkan Pustakaraja sedang di Yogyakarta menggunakan Purwakandha. Walau memiliki dua kitab hukum yang berbeda Surakarta dan Yogyakarta tetap mengambil pokok cerita dari karya sastra Mahabrata dan Ramayana namun dapat dipahami pula bahwa pengembangan kitab hukum pedalangan ini adalah bagian dari usaha membentuk gaya pedalangan masing masing pihak.

29

Soetarno dkk, op.cit, hlm. 199 30

Perjanjian terpenting setelah Perjanjian Giyanti, menurut Rouffer ialah perjanjian 27 September 1830. Van Groendaell, M. Victoria C., Dalang di Balik Wayang

Masih berkaitan dengan kesenian yaitu tentang musik atau lebih dikenal dengan gamelan, bahwa penyebaran gamelan Surakarta dan Yogyakarta hingga kini pun terlihat sebagai efek dari rivalitas dan usaha pengaruh-mempengaruhi antara keduanya. Kadang terdapat rombongan seniman wayang atau kethoprak yang menggunakan tehnik dan perangkat gamelan yang bercirikan Surakarta di Yogyakarta dan bahkan sebaliknya. Hal ini oleh banyak orang tidak dapat dibedakan dengan teliti karena sebenarnya perbedaan gamelan antara keduanya tipis dan kebanyakan orang sekarang sudah tidak begitu memperhatikan perbedaan tersebut.

Kembali pada hal tari bahwa kadang Surakarta lebih memberikan keleluasaan pada penyelenggaraan dan penyebaran tari keluar tembok keraton. Pergelaran tari Surakarta terlihat lebih mudah tersebar dibandingkan dengan tari Yogyakarta. Artinya pergelaran-pergelaran tersebut juga dalam rangka mencari simpati rakyat dengan mengandalkan sentimen-sentimen seni yang diminati oleh rakyat. Usaha untuk membangun komunikasi dan mengikat rakyat di daerah dilakukan pula melalui usaha penanaman atau pemeliharaan adat. Adat perkawinan mulai disebarkan di kalangan rakyat. Suatu prosesi adat yang sebelumnya hanya terbatas untuk kalangan kerajaan mulai dapat dilakukan di desa-desa.

Adat perkawinan disebarluaskan di kalangan rakyat dalam upaya mengidentitaskan rakyat di daerah sehingga adat ini bukan lagi hanya milik keraton tapi milik rakyat. Hingga pada saat ini banyak keanehan yang entah disengaja atau tidak warga Daerah Istimewa Yogyakarta menikah dengan

menggunakan adat tradisi Surakarta lengkap dengan paes dan prosesi-prosesinya. Dan kadang orang-orang luar daerah DIY menggunakan adat perkawinan Yogyakarta. Ini membuktikan bahwa rivalitas yang terjadi antara Yogyakarta dan Surakarta pasca Palihan Nagari masih dapat dilihat efeknya pada masa kini. Dengan rasa memiliki adat kerajaan diharapkan pula rakyat semakin memiliki dan mampu mempertahankan loyalitas serta keanggotaannya pada satu pihak. Sejauh ini yang terjadi adalah kedua gaya khas kerajaan tersebut masih terlihat di daerah barat dan timur Jawa Tengah. Persaingan juga menjadi sebuah kegiatan terselubung yang dilakukan kedua pihak. Budaya Surakarta dengan budaya Yogyakarta bersaing keras dan tidak jarang menciptakan perselisihan.31

Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya persaingan yang terjadi dalam hal budaya antara Yogyakarta dan Surakarta dalam rangka membentuk jati diri, maupun dalam rangka kegiatan legitimasi politis. Rivalitas budaya yang terjadi tentunya akan memberikan efek terhadap segala bidang terlebih karena kebudayaan merupakan manusia itu sendiri. Persaingan yang terjadi bukan hanya sekedar usaha untuk merebut simpati tetapi juga bermakna prestise artinya masing-masing pihak tidak ingin diungguli oleh rivalnya. Rivalitas yang begitu hebat ini memberikan efek terhadap adanya sentimen fanatisme yang kemudian berkembang seperti contoh yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Namun sekali lagi persaingan antara dua kerajaan ini terhalang atau bahkan “selesai”

(dalam konteks negara) oleh munculnya nasionalisme Indonesia. Indonesia tampil sebagai negara lebih besar yang menghapuskan keberadaan kekuasaan kenegaraan

31

kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Walaupun kemudian massing-masing pihak mendapatkan hak kekuasaan di dalam konteks kenegaraan Indonesia persaingan antar keduanya tetap berlanngsung hanya saja tidak sesengit pada saat awal membentuk memperkokoh jati diri, legitimasi dan prestise masing-masing kerajaan.

Upaya menebarkan pengaruh di antara pihak-pihak Surakarta maupun Yogyakarta dilakukan pula dalam strategi yang lain. Dengan berlalunya tahun-tahun yang penuh peperangan, tiga kerajaan (Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran) ini kini menyibukkan diri mereka, baik atau buruk, dengan intrik yang berbelit-belit dan politik diplomasi perkawinan yang terdomestikasi.32 Penggunaan adat budaya Jawa dalam rangka kegiatan politis kekuasaan yang menjadi alasan utama. Sebuah karya menceritakan tentang hal-hal berkenaan perkawinan-perkawinan di antara darah Mataram tersebut. Judul karya itu

“Sejarah Pertalian” (Babad Prayut, dari Brayut, menalikan bersama dalam satu simpul, menggendong dua anak dalam satu selendang), menjelaskan tema dominan naskah itu: ikatan-ikatan perkawinan. Bahkan, benang teoritis yang mengikat sebagian besar naskah ini (Babad Prayut) adalah asumsi bahwa akses kepada kekuasaan dalam 1760-an membutuhkan suatu strategi aliansi yang khas, memberikan putra pengganti kepada Pakubuwono III.33 Demikian yang dilakukan oleh Mangkunegara dengan menikahkan putranya dengan putri Pakubuwono. Seperti Mangkunagara I, Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta juga mencari seorang putri dari Keraton Surakarta untuk putra mahkotanya dan dengan

32

Pemberton, John, JAWA: On The Subject Of Java, Cornell University Press, Ithaca, 1994, hlm. 55

33

demikian membentuk ikatan dengan Pakubuwono III.34 Hal tersebut dilakukan mungkin dengan tujuan berusaha menebarkan pengaruh Sultan di Surakarta. Terbukti pula dengan melihat bahwa di Surakarta, di Istana Mangkunegaran tradisi tari dan karawitan Yogyakarta dimainkan di samping komposisi-komposisi Surakarta yang lazim, sementara itu di istana Pakualaman Yogyakarta komposisi-komposisi tradisi Surakarta dipergelarkan.35 Ini membuktikan bahwa perkawinan politik yang dilakukan membawa tradisi budaya dari pihak keraton lain karena kebiasaan putri-putri raja memboyong juga para seniman dari keraton mereka.

Perkawinan sebagai ikatan hubungan antara pria dan wanita mencerminkan kelangsungan kehidupan. Mungkin yang diinginkan dari upaya perkawinan politik yang dilakukan bukan hasil langsung yang ingin diperoleh dari

“strategi” ini. Sasarannya kemungkinan dalam jangka panjang agar memperoleh kekuasaan bekas Mataram yang telah dipecah-pecah tersebut. Artinya cukup membutuhkan waktu yang lama demi meraih cita-cita. Namun melihat perkawinan ini dari sudut pandang politis, bahwa perkawinan ini pun memungkinkan pula kemurnian dalam rangka mempererat dan saling mendekatkan kembali hubungan yang pernah begitu dekat.