• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2. Perbedaan dalam wayang kulit

Pergelaran wayang kulit tidak dapat ditinggalkan pula berkaitan dengan permasalahan perbedaan aktualisasi budaya antara Yogyakarta dan Surakarta pasca Palihan Nagari. Wayang kulit merupakan sebuah seni pertunjukan yang merupakan hiburan rakyat sekaligus juga bagi kalangan keraton. Seni pertunjukan ini dapat dikatakan sebagai hiburan semata, namun di sisi lain memiliki nuansa magis pula atau bahkan sebagai tontonan yang memberikan tuntunan, hal ini karena dalam beberapa pergelaran wayang seorang dalang (pembawa alur cerita) memainkan wayang atas permintaan dari si penanggap. Beberapa alasan yang mendasari seseorang menanggap pertunjukan wayang misalnya, pada hajat perkawinan, sunatan, kenaikan pangkat, bersih dusun (merti dusun) dan lain-lain. Tetapi ketika seorang dalang ditanggap dalam rangka upacara ruwatan bagi keluarga atau anak si penanggap, dalang berperan sebagai tokoh utama dalam upacara tersebut sehingga pertunjukan wayang menjadi upacara tersendiri

(khusus) dan lebih bernuansa magis serta lakon yang dimainkan pun hanya murwakala.23

Wayang Kulit merupakan sebuah seni pertunjukan yang hingga kini masih dapat ditemui di beberapa daerah dengan berbagai dasar menyelenggarakan pertunjukan tersebut. Terlepas dari hal itu di kalangan masyarakat mengenal adanya perbedaan gaya antara wayang kulit Surakarta/Solo dan Yogyakarta. Sebagai kesenian yang telah tua usianya memang benar bahwa dalam perkembangannya terdapat perbedaan antara pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta dan Surakarta, bahkan perbedaan juga terdapat pada pertunjukan wayang yang dimainkan dalang keraton dan dalang rakyat walaupun keduanya memiliki sifat dasar yang sama. Menurut tradisi lisan yang berkembang, perbedaan gaya pedalangan Yogyakarta dan pedalangan Surakarta dipengaruhi oleh peran dari Kyai Panjang Mas dan Nyai Panjang Mas. Dalang Surakarta mengikuti gaya dari Kyai Panjang Massedangkan dalang Yogyakarta mengikuti gaya dari Nyai panjang Mas yang merupakan istri Kyai Panjang Mas.24 Berdasarkan hal itu kemudian akan diuraikan mengenai perbedaan antara wayang kulit gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta.

Perbedaan antara gaya pedalangan Yogyakarta dan Surakarta tidak dapat dilepaskan dari eksistensi sekolah pedalangan Habirandha (Hamurwani Nganakake Biwara Mulang) atas perintah Hamengkubuwono VIII pada tahun 1925 dan Padhasuka (Pasinaonan Dhalang ing Surakarta) yang lebih dulu berdiri

23

Van Groenendael, V. M. Clara., Dalang di Balik Wayang, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987, hlm. 166

24

Ibid, hlm. 111 dan Soetarno dkk, Sejarah Pedalangan, Surakarta, ISI Surakarta dan CV. Cendrawasih, 2007, hlm. 197

pada tahun 1923 atas perintah Pakubuwono X.25 Menurut M Victoria Clara Van Groendaell perbedaan pola pengajaran pun dapat dilihat antara keduanya, bahwa rata-rata dalang Yogyakarta tidak mengikuti pendidikan di Habirandha dikarenakan lebih tertutup, senioritas diutamakan oleh karenanya kebanyakan dalang Yogyakarta tidak terlalu mengenal Purwakandha sebagai kitab hukum pedalangan, sedangkan di Surakarta dengan pola pendidikan yang lebih leluasa dan terbuka tehadap ide-ide baru mampu menarik minat para dalang rakyat untuk mengikuti pendidikan dalang di Padhasuka dan pengenalan terhadap Pustakaraja menjadi lebih luas dan mampu menyebar dengan baik.

Perbedaan gaya yang menjadi jati diri seorang dalang secara tidak langsung didasari pula oleh adanya sebuah kitab “pakem” bagi seorang dalang. Dalang Surakarta mempunyai pakem kitab hukum Pustakaraja26 (karangan Ranggawarsito 1802-1874) sedangkan dalang Yogyakarta dianggap tidak memiliki kitab hukum dalang walaupun sesungguhnya memiliki kitab Purwakandha27 bahkan beberapa dalang malah berkiblat pada Pustakaraja.28 Hal ini menurut Victoria M Clara dikarenakan terdapat kecenderungan bahwa dalang Yogyakarta mendapat kesulitan untuk dapat mengakses kitab tersebut sebagai pakem yang ada dalam kitab tersebut. Pada segi gelar pertunjukannya wayang kulit gaya Jogja dan Solo (orang biasa mengatakan) tidak memiliki perbedaan yang mendasar seperti pada panggung, gamelan / tata gamelan tersebut, blencong

25

Ibid, hlm. 93 26

Pustakaraja adalah buku kumpulan cerita rakyat, sering kali dalam bentuk jalan cerita wayang yang digubah dan disusun oleh penulisnya, sehingga menanamkan kesan adanya urutan kronologis yang dibubuhi pertanggalan khayal.

27

Purwakandha adalah tulisan tentang asal-muasal cerita wayang yang disusun atas perintah Hamengkubuwono V pada tahun 1822-1855.

28

(lampu minyak), namun berbeda pada cempala, keprak atau kepyak, kelir, dan tentu ringgit (wayang) dan lain-lain. Perbedaan di antara kedua gaya pertunjukan wayang kulit semakin berkembang sehingga disadari oleh beberapa orang bahwa perbedaan menjadi bagian dalam pertunjukan wayang kulit tersebut. Perbedaan paling menonjol dapat dilihat dari keprak atau kepyak. Dalangyang menggunakan gaya wayang kulit Surakarta biasanya memakai tiga atau lebih lempeng logam yang direnteng dan diletakkan pada kotak tempat dalang memukulkan cempala.2 9 Sedangkan keprak atau kepyak gaya Yogyakarta hanya menggunakan satu buah lempeng logam yang mengeluarkan suara nyaring berbeda dengan keprak Solo yang mengeluarkan suara lebih ramai. Sedangkan masa kini umumnya cempala yang digunakan oleh para dalangwayang kulit gaya Surakarta hanya satu, berbeda dengan dalangYogyakarta yang menggunakan dua buah cempala di tangan dan di kaki.30 Dalang Yogyakarta menggunakan cempala yang berbahan besi diletakkan di antara ibu jari dan jari tengah kaki kanan dalang yang konon awalnya memakai baut/sekrup besar. Untuk dalang Surakarta sekarang hanya menggunakan ibu jari kakinya untuk membunyikan keprak yang terbuat dari beberapa lempengan logam.31

Perbedaan pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta terdapat lagi dalam hal kelir (geber atau layar tempat lampu blencong disorotkan). Perbedaannya terletak pada ukuran kelir wayang kulit Yogyakarta yang lebih

29

Soekatno, Wayang Kulit Purwa: Klasifikasi Jenis dan Sejarah, Semarang, Aneka Ilmu Semarang, hlm. 8

30

Awalnya cempala yang dipakai di kaki kanan dhalang menggunakan bahan yang terbuat dari kayu namun yang perkembangannya sekarang kebanyakan dhalang Yogyakarta menggunakan cempala berbahan logam.

31

Bambang Murtiyoso, Sumanto dkk, Teori Pedalangan: Bunga Rampai Elemen Dasar Pakeliran, Surakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta Press, 2007, hlm. 42

kecil dibandingkan dengan ukuran kelir wayang kulit gaya Surakarta. Kelir Yogyakarta biasanya hanya memiliki panjang tidak lebih dari lebar panggung yang digunakan namun kelir Surakarta lebih besar dengan ukuran yang biasanya sesuai dengan lebar panggung. Namun dalam perkembangannya perlu dilihat pula bahwa perbedaan gaya pertunjukan wayang kulit antara dua gaya ini mulai

“samar-samar”. Menurut beberapa narasumber dalang mengatakan bahwa kemampuan ekonomi seorang dalang juga mempengaruhi ukuran kelir yang digunakan. Semakin sering seorang dalang mendapat tanggapan yang membuat keadaan ekonominya meningkat dapat pula menggunakan kelir lebih lebar. Secara tersirat hal ini memberikan pandangan bahwa dalam dunia dalang atau pertunjukan wayang kulit terdapat pula persaingan prestise antar dalang.32 Selain itu bahwa dari sekian besar dan panjang kelir yang digunakan oleh seorang dalang praktis bahwa yang digunakan oleh dalang dalam mempertunjukkan keahliannya hanya 1 – 2 meter artinya terdapat kesan menunjukkan keunggulan, kemegahan dan kemewahan pertunjukan melalui pemakaian geber yang besar. Walaupun sisa ruang pada kelir bagian kanan dan kiri diisi dengan simpingan berbagai tokoh wayang kulit.

32

Tentang persaingan atau konflik antar dhalang ditulis pula dalam “Dalang di Balik Wayang”, Victoria M Clara Van Groendaell

Gambar i. pertunjukan wayang kulit dengan kelir gaya Solo (atas) dan Jogja (bawah).

http://2.bp.blogspot.com

Perbedaan antara dua gaya pewayangan ini masih dapat dilihat pada hal busana ketika dalang mementaskan pertunjukan wayang kulit. Dalam hal berbusana tradisi yang sudah berkembang sejak lama para dalang yang berkiblat pada gaya Yogyakarta menggunakan busana khas Yogyakarta dengan blangkon mondholan, Surjanlurik atau kembang, keris dan batik dengan motif Yogyakarta. Sedangkan dalang dengan gaya Surakarta tentu akan mengenakan blangkon trepesan, beskap, keris dan batik dengan motif Surakarta / Solo. Demikian pula dengan para niyaga, yang biasanya juga mengenakan busana khas yang mengidentitaskan gaya Yogyakarta atau Surakarta, namun dapat dipahami pula ketika seorang dalang dengan gaya Yogyakarta diiring dengan gamelan gaya Surakarta. Hal ini karena dalam beberapa kesempatan kadang seorang dalang tidak memiliki kelompok atau perangkat gamelan yang diperlukan sehingga cenderung menggunakan atau meminjam “seadanya”, atau bahkan dapat pula atas permintaan si penanggap atau panitia penyelenggara. Tentunya hal tersebut menjadi keanehan bila dikaitkan dengan gaya yang dibawakan dalang dalam memainkan wayang. Sekarang mulai sulit membedakan gaya yang dibawakan seorang dalang dalam memainkan wayang hal ini karena pertunjukan wayang kulit mulai mengalir mengikuti pasar dan mungkin ada kecenderungan “asal membuat penonton senang”, sehingga kadang kala suatu pertunjukan wayang tidak lagi dapat dibedakan secara tegas mengikuti kiblat gaya Yogyakarta atau gaya Surakarta sebagai jati diri pertunjukan wayang kulitnya. Pembaharuan yang dilakukan dalang pada pewayangan sudah begitu sesuai dengan perwatakan yang bersangkutan sehingga hal ini merupakan unsur-unsur budaya yang nyata bagi

para pecinta wayang.33 Pembaharuan yang dimaksud adalah adanya upaya inovatif dari dalang dalam mementaskan pagelaran wayang kulit. Oleh karena dengan segenap perbedaan antar masing-masing gaya pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kekayaan kesenian pertunjukan wayang yang masih saja digemari.

Selain hal di atas beberapa perbedaan lain di antara wayang kulit gaya Yogyakarta dan Surakarta dapat dicermati melalui bentuk dasar dari ringgit (wayang ) yang digunakan pada masing-masing gaya. Umumnya bentuk badan ringgit Yogyakarta memiliki ukuran yang pendek dan cenderung gemuk, sedangkan ringgit Surakarta memiliki ukuran badan yang lebih tinggi dan langsing (lihat gambar v dan vi). Ciri-ciri fisik lain yang membedakan wayang kulit gaya Yogyakarta pada bagian telapak kaki wayang lebih miring “jinjit”, dan memiliki jari kaki dengan jarak yang lebih mekar atau renggang, selain memiliki badan yang bunteg ukuran tangan wayangnya lebih panjang sampai dekat dengan jari kaki dibandingkan dengan wayang gaya Surakarta.34 Namun perbedaan bentuk beberapa tokoh di antara kedua gaya ini pun dapat dilihat pada bentuk tatahan/pahatan yang berbeda pada beberapa tokoh seperti Bagong, Antareja (di Surakarta memiliki nama lain Antasena).35 Tokoh Bagong pada gaya Yogyakarta memiliki bentuk badan yang lebih besar dan gemuk berbeda dengan Bagong Surakarta sedikit lebih langsing dan tinggi seperti yang telah di kemukakan sebelumnya. Perbedaan pada bentuk tatahan antara kedua gaya wayang ini tidak

33

Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang, Dahara Prize, 1992, hlm. 43 34

Sagio dan Samsugi, Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta: Morfologi, Tatahan, Sunggingan dan Teknik Pembuatannya, Jakarta, CV. HAJI MASAGUNG, 1991, hlm. 15

35

S. Haryanto, Seni Kriya Wayang Kulit: Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 18-19, lihat pula Sagio dan Samsugi, hlm. 29

hanya berhenti pada tokoh-tokoh di atas tetapi dapat dilihat pada motif tatahan yang ada pada wayang termasuk pula adanya perbedaan bentuk atribut/aksesoris yang dikenakan pada wayang. Sebagai contoh dapat dilihat pada tatahan seritan dan tatahan blebekan pada wayang dan juga pada motif tatahan praba. (lihat gambar i, ii, iii, dan iv)

Perbedaan berikut yang masih berkaitan dengan sang dalang sebagai

“Tuhan para Wayang” adalah perihal teknik menyuarakan sebuah tokoh pada wayang kulit. Dalang harus menggunakan antawacana, yaitu mengusahakan perbedaan suara yang khas antara satu tokoh dengan tokoh yang lain dalam suatu pertunjukan wayang kulit karena merupakan suatu hal sangat penting. Hal ini karena dengan menggunakan suara yang khas bagi tokoh tertentu sekaligus menjadi identitas dari tokoh tersebut. Jadi tidak jarang juga bahwa tokoh-tokoh tertentu dikenali para penonton berdasarkan karakter suara yang digunakan oleh dalang ketika mendialogkan sebuah adegan tertentu. Penggunaan dialog suara yang khas untuk masing-masing tokoh ini pun disesuaikan pula dengan karakter dari wayang yang dimainkan berdasarkan dari ciri-ciri dari fisik tokoh tersebut. Artinya bahwa karakter suara juga mewakili dari karakter peran tokoh wayang tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta perihal karakter suara yang digunakan pada tokoh-tokoh tertentu, wayang gaya Surakarta tokoh Gareng memiliki suara yang besar, tokoh Narada gaya Surakarta memiliki suara yang besar pula, sedangkan wayang gaya

Yogyakarta untuk tokoh Gareng bersuara lebih kecil dan “cempreng”, tokoh Narada juga memiliki suara yang kecil.36

Kemudian dalam catur pedalangan atau mungkin lebih mudah dipahami sebagai cara berbahasa yang digunakan oleh dalang dalam mendialogkan adegan tertentu. Pada catur pedalangan gaya Surakarta janturan jejer pertama biasanya diawali dengan kalimat swuh rep data pitana..., lalu untuk gaya Yogyakarta pada janturan jejer pertama biasanya diawali dengan kalimat hong ilaheng..., (sesuai dengan yang diungkapkan Nardi Slamet seorang dalangrakyat) janturan jejer ini merupakan bagian pembukaan saat dalang mulai untuk membuka dan mengawali lakon yang hendak dimainkan. Perbedaan dalam hal catur pedalangan pada adegan ketika berhadapan dengan raja catur gaya Surakarta menyebutnya kanjeng sinuhun gaya Yogyakarta dalam suatu adegan untuk menyebut raja menggunakan sebutan kanjeng dewaji, pada catur pedalangan gaya Surakarta tokoh Baladewa berbahasa ngoko dengan Kresna, sedang tokoh Baladewa catur pedalangan gaya Yogyakarta menggunakan bahasa krama dengan Kresna.3 7

36

Soetarno dkk, Sejarah Pedalangan, Surakarta, ISI Surakarta dan CV. Cendrawasih, 2007, hlm. 205

37 Ibid

Gambar ii. Tatahan Blebekan gaya Yogyakarta (atas) dan gaya Surakarta (bawah)

Gambar iii. Tatahan Seritan gaya Yogyakarta (atas) dan gaya Surakarta (bawah) Sumber: S. Haryanto dalam Seni Kriya Wayang Kulit: Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan

Gambar iv. Praba dengan motif-motif gaya Yogyakarta

Gambar v. Praba dengan motif Gaya Surakarta

Pada tokoh Panakawan wayang gaya Yogyakarta terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, sedangkan punakawan wayang gaya Surakarta hanya terdiri dari Semar, Gareng, dan Petruk tanpa Bagong.38 Walaupun kini dapat ditemukan upaya saling mengadopsi antara dua gaya termasuk dalam hal panakawan ini. Beberapa puluh tahun yang lalu tokoh Bagong hanya dikenal di beberapa daerah, terutama di Yogyakarta ke barat dan di daerah Banyumas, dan beberapa tempat di Jawa Timur.39 Walaupun demikian namun masih dapat

38

Ibid, hlm. 205, lihat pula S. Haryanto, Kriya Wayang Kulit: Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan, 1991, hlm. 18-19

39

Tim Penulis SENA WANGI, Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid 1, SENAWANGI Press, Jakarta, 1999, hlm. 188-189.

dipahami bahwa perbedaan keberadaan tokoh Bagong belum dapat diuraikan secara pasti. Pendapat mengenai tidak adanya tokoh Bagong ini dapat pula ditambahi dengan adanya campur tangan Kompeni yang konon tidak suka dengan keberadaan tokoh Bagong sehingga diusulkan untuk dihilangkan pada pakeliran Surakarta. Tokoh Bagong ini adalah ciptaan pada masa raja Mataram Sunan Amangkurat II (1677 - 1703) dengan candra sengkala Mantri Sirna Sangoyang Jagad atau 1603 tahun Jawa sama dengan 1679 masehi.40 Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah perihal kapan tokoh Bagong mulai masuk kembali pada pakeliran Surakarta. Dalam hal ini memang tidak dapat pula dipastikan kapan bagong mulai muncul di pakeliran Surakarta tetapi kemungkinan munculnya Bagong pada pakeliran Surakarta seiring dengan mulai munculnya nasionalisme untuk memerangi penjajah (Kompeni). Artinya campur tangan Kompeni terhadap pakeliran Surakarta mulai dilanggar. Bila dicarikan waktu yang mendekati dengan kemunculan Bagong kemungkinan yang di miliki penulis sekitar awal abad 20 atau mungkin juga bisa yang dijadikan patokan adalah munculnya Indonesia sebagai negara kesatuan baru yang merdeka yang secara tidak langsung mengambil alih kekuasaan atas kerajaan tradisional (1945).

Perbedaan lain yang mencolok adalah mengenai tokoh Antareja yang menurut tradisi Surakarta bernama lain Antasena pada beberapa sumber dikatakan sebagai wujud Antareja saat dewasa, sedangkan menurut tradisi Yogyakarta merupakan tokoh tersendiri yang merupakan anak ketiga dari Raden Werkudara

40

dari Istri Dewi Urangayu dari Lautan Teduh.41 Munculnya tokoh Antasena pada pakeliran gaya Surakarta memang tidak dapat dipastikan kapan hanya saja mungkin dapat dilihat dari perkembangan dan pertumbuhan pakeliran wayang gaya Surakarta. Hal ini seperti yang dikemukakan Bambang Murtiyoso sebagai berikut.

Sebelum tahun 80-an, dalam konvensi pakeliran Surakarta biasanya diceritakan Bima hanya berputera dua, yaitu Antareja dan Gathutkaca. Untuk kovensi pakeliran Surakarta tokoh Antasena merupakan wujud Antareja saat masih remaja. Kovensi pakeliran Yogyakarta tokoh Bima berputera tiga orang, yaitu Antareja Gathutkaca dan Antasena.4 2

Bila dihubungkan dengan tahun-tahun berkembangnya pedalangan gaya Surakarta menjadi sedikit cerah mengenai permasalahan kapan kemunculan Antasena di pakeliran Surakarta. Permasalahan kemunculan Antasena ini sama sulitnya dengan kemunculan Bagong di pakeliran Surakarta. Selain pendapat kemunculan Antasena pada tahun 80an ditemukan pula pendapat yang berbeda yang mengatakan, ...sebelum tahun 1950an , tokoh Antasena hanya dikenal pecinta wayang di daerah Yogyakarta dan wilayah sebelah baratnya – yang dalangnya memakai Kitab Purwakandha sebagai acuannya.4 3 Bila melihat dari perkembangan pada tahun 1950-1980an dan sifat pakeliran wayang gaya Surakarta yang lebih terbuka terhadap modifikasi ataupun inovasi kemungkinan kegiatan mengadopsi gaya lain dapat dilakukan dengan lebih leluasa, hal ini tidak

41

Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, Semarang, IKIP Semarang Press, Semarang, 1992, hlm., 33-36, lihat pula Hardjowirogo, Sejarah Wayang Purwa, Jakarta, Balai Pustaka, 1982, hlm. 178, 181, dan 183. Soetarno dkk, Sejarah Pedalangan, hlm. 204. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 1, hlm. 120.

42

Bambang Murtiyoso, Sumanto dkk, Teori Pedalangan: Bunga Rampai Elemen-elemen Dasar Pakeliran, ISI Surakarta Press, Surakarta, 2007, hlm. 127

43

Tim Penulis SENA WANGI, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 2, SENA WANGI, Jakarta, 1999, hlm. 127

terlepas dari munculnya Indonesia sebagai negara merdeka yang merupakan wujud nasionalisme yang “mengganggu” agenda besar politik kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Artinya sama seperti munculnya Bagong tahun 1945 Indonesia merdeka dapat dijadikan titik kemunculan Antasena walau memang belum dapat dijelaskan lebih lanjut tentang siapa dalang atau kapan tepatnya tokoh Antasena muncul di pakeliran gaya Surakarta.

Beberapa tokoh yang memiliki perbedaan di antara kedua gaya adalah tokoh Sadewa yang di dalam pedalangan Surakarta tidak berperan sama sekali, sedangkan di Yogyakarta Sadewa memiliki peran yang penting karena banyak membantu Pandawa ketika dalam kesulitan.44 Perbedaan fungsi tokoh terhadap perannya dalam kedua pakeliran dapat dikatakan berasal dari perbedaan antar dalang, hal ini dikarenakan kemungkinan terdapat perbedaan penafsiran terhadap peran dan fungsi tokoh tertentu di dalam suatu lakon yang sedang dimainkan. Artinya perbedaan penafsiran terhadap tokoh tertentu dalam suatu lakon dapat memicu pula perbedaan pandangan mengenai karakter dari wayang tersebut secara personal. Namun tentu dalam suatu pakeliran hal-hal seperti ini merupakan bentukan dari dalang sendiri sebagai pemain wayang artinya seperti apapun ringgit dimainkan tetap “sesuai dengan kehendak” yang diinginkan oleh dalang. Namun tidak dapat pula dipungkiri peran dari kitab hukum pakem yang mengatur mengenai hal-hal lakon yang dimainkan oleh wayang walau telah pula disampaikan bahwa tidak semua dalang memahami isi kitab hukum pakem tersebut.

44

Kemudian perbedaan dapat dilihat pula dalam cara memainkan wayang, cara memainkan wayang gaya Yogyakarta memberikan nuansa hidup yang lebih kepada ringgit dengan memberikan efek-efek getar yang lebih pada saat memainkan wayang dan juga memberikan tekanan-tekanan yang tegas terhadap wayang ketika berjalan. Hal ini dilakukan dengan memberikan kesan “ patah-patah” terhadap gerakan jalan wayang. Sedangkan pada gaya Surakarta cara memainkan wayang dibuat sehalus mungkin, lebih bebas bergerak mengurangi kesan “patah-patah” yang digunakan pada gaya Yogyakarta. Ini tidak terlepas dari faktor ukuran wayang yang ada di masing-masing gaya, karena dengan bentuk figur wayang yang relatif ramping sehingga wayang gaya Surakarta lebih mudah di gerakan dibandingkan dengan wayang gaya Yogyakarta yang gemuk.45

Gambar vi. Dua tokoh Bagong gaya Surakarta

45

Ibid, hlm. 205

Gambar vii. Bagong gaya Cirebon (depan) dan gaya Yogyakarta (belakang)

Gambar viii. Tokoh Antareja Solo (kiri) dan Antareja Yogya (kanan)

Sumber: S. Haryanto dalam Seni Kriya Wayang Kulit: Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan