• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERTAHKIM DI DEPAN MASYAYIKH YORDAN

(SEBUAH KESAKSIAN-USTADZ IBNU YUNUS)

Bismilahirrahmanirrahim.

Tulisan di bawah ini ditranskrip dari kaset pertemuan Asatidzah pada tanggal 2 Januari 2004 di Jember. Pertemuan yang sangat mulia ini adalah forum untuk saling menasehati diantara du’at Salafiyyin untuk tetap berpegang teguh di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan bimbingan para ulama. Dalam pertemuan tersebut dibahas berbagai permasalahan yang berkaitan dengan fitnah yang terjadi, makar Hizbiyyin terhadap Salafiyyin serta untuk semakin memperkokoh dan mempererat barisan shaf Salafiyyin dalam menghadapi fitnah tersebut.

Transkrip ini kami khususkan pembahasan tentang kesesatan Ihya’ut Turots dan jaringannya serta bagaimana mereka (jongos-jongosnya) yang ada di Indonesia ini mempermainkan para ulama Salafiyyin terutama Masyayikh Salafiyyin dari Markas Al-Albani, Yordania seperti Syaikh Ali Hasan, Syaikh Salim Al-Hilaly dan Syaikh Musa Nasr.

Di dalam beberapa muhadharahnya, Ustadz Ibnu Yunus telah menyampaikan tentang sesatnya dan Hizbiyyahnya Jum’iyyah Ihya’ut Turots Al-Kuwaitiyah dan beberapa organisasi Hizbiyyah lainnya. Membenarkan fatwa para Masyayikh Salafiyyin seperti Syaikh Muqbil Rahimahullah dan Syaikh Rabi’ Al-Madkhali Hafidhahullah serta banyak Masyayikh lainnya tentang sesatnya Abdurrahman Abdul Khaliq. Hal ini tentunya sangat menggembirakan bagi kita semuanya sehingga dengan itu kita berharap untuk seluruh kepentingan ikhwah Salafiyyin dalam rangka kita menghindarkan bahayanya ahlul bid’ah.

Tidak ada khilaf diantara Salafiyyin bahwa JI Turots adalah jum’iyyah Hizbiyyah! Bahwa Abdul Rahman Abdul Khaliq adalah mubtadi’! Bahwasanya sururiyyah adalah fitnah yang membawa sekian banyak du’at kepada Hizbiyyah dan “afkar munharifah” dari manhajish shahih! Dan kita tidak ada khilaf dari apa yang ditulis oleh para ulama salaf, khususnya Syaikh Rabi’ bin Hadi tentang Abdurrahman Abdul Khaliq, Sayyid Qutb, Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah dan yang lainnya. Itu adalah Haq !

USTADZ IBNU YUNUS :

Tentang Jum’iyyah Ihya’ut Turots, Al-Haramain dan Hizbiyyahnya mereka adalah perkara yang disepakati. Tinggal permasalahannya adalah orang-orang yang bermuammalah dengan mereka (Muassasah Hizbiyyah ini). Pada satu sisi kita ketahui perkataan Syaikh Rabi’ dalam Mauqif Shahihah tentang bahayanya muammalah dengan mereka dan di sisi yang lain tentang amwal-amwal (harta, red) muslimin.

Perkara yang sering diangkat oleh orang-orang yang bermuammalah tersebut bahwa ada perselisihan para ulama tentang amwal-amwal muslimin, bolehnya dimanfaatkan dan sebagainya. Hanya kemudian dengan siapa amwal itu dan tasharruf (tindakan, red) siapa yang berpegang, maka disinilah kita katakan : “Tidak ada khilaf dari para ulama tentang tahdzir dari Hizbiyyah dan muammalah dengan Hizbiyyin”. Hanya kemudian (bagi) sebagian orang yang hatinya masih ada penyakit dan kekaburan, menjadikannya sebagai bentuk khilaf (perselisihan, red) diantara para ulama sehingga berpendapat : ”Saya boleh mengambil salah satu pendapat dan tidak ada (pe)ingkar(an) dalam masalah ijtihad!”. Padahal kita ketahui bahwa ijtihad ada 2 (menurut Syaikh Utsaimin): yang jelas salahnya, maka ini diingkari dan kedua masih bisa di…. dan tidak ada bentuk-bentuk tafsiq maupun tabdi’ pada jenis kedua ini.

Adapun masalah Hizbiyyah atau si fulan Hizbi maka pengingkaran kami yang dulu terhadap Ja’far Umar Thalib berkaitan dengan cukupkah dari penyimpangan tersebut untuk menghukumi seseorang, itu yang berbeda. Adapun masalah Safar Hawali dan sebagainya,

kami sudah mengetahui keadaannya ketika di Abu Abdillah Al-Makki di Pakistan, juga (keadaan) Abdurrahman Abdul Khaliq dan muammalahnya dengan ma’hadnya disana. Cuma ketika itu mungkin kami ada khilaf dan tertutup karena kejahilan kami tentang sikap Ja’far Umar Thalib dalam mengingkari kemungkaran mereka, maka kami membantah tanpa ilmu dan kemudian mengatakan bahwa yang disampaikan para Masyayikh adalah benar.

Kami katakan –di awal fitnah- bahwa sepatutnya bagi seseorang itu dalam mengingkari berusaha untuk menyandarkan kepada para ulama sehingga kita sampaikan juga kepada Syaikh Yahya Silmi -ketika itu- bahwa jika ada buku atau apa yang datang dari para Masyayikh kemudian disampaikan kepada ustadz yang lainnya untuk kemudian kita ketahui bahwa sikap dari seorang ustadz itu bukanlah dari dirinya sendiri, tetapi perkataan dari para ulama. Dalam beberapa sikap, kami mungkin tidak menyandarkan kepada fatwa Ulama. Tentang mauqif (keyakinan, red) kita dahulu terhadap Abu Nida’ dan lainnya bahwa kami mengetahui perkara tersebut, tetapi kami tidak mengetahui permasalahan secara global dan apa yang diingkari oleh Ihya’ut Turots dengan gerakan seluruhnya karena kurangnya ilmu dan tidak hati-hatinya kami dalam bermuammalah dengan mereka. Jadi itu keadaannya. Adapun menyatakan bahwa semua yang bermuammalah dengannya adalah Hizbi maka wallahu a’lam.

Yusuf Ba’isa adalah jelas (Hizbinya). Kemudian kami tidak waspada dan kami mensyukuri pengingkaran ikhwah sebelumnya dalam masalah ini, bahwa kami tidak waspada dan kami rasakan bahwa semua fitnah yang terjadi dari awal memang jadi ……di tangan Ihya’ut Turots. Yang menyebarkan selebaran Syayiji (yakni Abdur-Razzaq asy-Syaiji, konseptor Ihya’ut Turots, murid Abdurrahman Abdul Khaliq, diantaranya berisi caci-makian terhadap Syaikh Rabi’ bahwa kitab beliau “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal”, tidak lebih kecuali hanya manhajnya Ahlul Bida’!-Syaikh Al-Albani berkata tentang orang ini:”Dia adalah pendusta! - red”)) adalah dia dan semua permasalahan.

Dan kita semua yang menjadi tentara Ihya’ut Turots (dulunya, Ibnu Yunus, red). Jadi kita bisa ketahui bahwa saya tahu betul sejak di Pakistan, Sholeh Su’aidi dan yang lainnya juga tahu. Cuma kami ketika itu waktu dikritik, kami katakan apakah kritikan itu telah mengeluarkan dia dari manhaj ? Dan kami yakin kritikan itu salah sebab ternyata memang benar bahwa mereka telah menyimpang dari manhaj. Dan itu merupakan bentuk penyimpangan yang besar dalam masalah “tahyiz wal hukam” dan sebagainya. Maka kami bertaubat kepada Allah dalam masalah ini.

Jadi kami (ketika itu) tertutup mata dalam hal ini. Dan ikhwah(lah) yang paling banyak mengingatkan saya dalam masalah ini, dan setelah Allah tentunya dengan keutamaan dan rahmatNya adalah keutamaan dari Al-Akh Abu Ihsan (yakni Abu Ihsan Al Maidani, penerjemah aktif, sampai sekarang tetap menjadi salah satu corong-corong Hizbiyyun-pen) ketika kemudian dia membuat muhadharah dan menyatakan dengan lantang adanya penyimpangan dalam diri kita yaitu tasahul (bermudah-mudah/menganggap remeh).

Dan perkataan itupun diingkari oleh sebagian asatidz dari Jamilurrahman –ketika itu- dan saya melihat bahwa apa yang disampaikan Abu Ihsan itu adalah haq dan kita harus rujuk dalam segala penyimpangan kita. Dan beliaupun memiliki kritikan juga kepada yang lainnya, walaupun kita sepakat (ketika itu) mengingkari Abu Mas’ud yang menyatakan bahwa Ja’far Umar Thalib (JUT) mubtadi’ (waktu itu JUT masih istiqomah, sekarang menjadi jama’ah dzikirnya Muhammad Arifin Ilham, red), kita tidak setuju dengan sikap seperti itu, tetapi kita katakan ada sisi-sisi yang perlu dilihat dari JUT ini yang dikhawatirkan bahwa ikhwah terseret semakin jauh dan itu terjadi.

Saya tegaskan bahwa ketika di Ihya’ut Turots kami dalam keadaan tidak waspada dan kami jahil sehingga kami terseret oleh hal ini dan kamipun mungkin ada bentuk fanatik kepada Abu Nida’ sehingga tidak mau menolak perkataannya, boleh jadi dalam setiap permasalahan. Tetapi sesungguhnya Abu Nida’ (adalah) jahil, tidak tahu manhaj! Maka kami akhirnya dengan beberapa Muassasah lainnya masuk ke dalam “JABHAH HIZBIYYIN” (wilayah Hizbiyyin, red). Semoga Allah menerima taubat orang yang kembali dan semoga Allah mengembalikan orang-orang yang mau kembali. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Sempat ada pertemuan di Lawang (Malang), kami diundang waktu itu. Akhirnya saya niatnya untuk datang dan berangkat sambil mendiskusikan dengan ikhwah. Akhirnya pertama kali saya bertemu dengan Abu Yahya (Risky, red) dan Abu Yahya mengatakan begini dan begini, saya katakan begini saja. Abu Mas’ud tidak diundang, tetapi yang saya dengar jika dia datang untuk tahkim, maka dia boleh datang. Thayyib (baiklah, red), jika datang Syaikh Ali (maka) kita harus siap untuk tahkim (menjadikan Ulama’ sebagai hakim dalam memutuskan suatu perkara, red), yang salah-salah kita harus rujuk tetapi merekapun harus tahu kesalahan mereka dan harus rujuk (pula).

Akhirnya sayapun datang ke Kediri dan bertemu dengan Shalih Su’aidi, Abdullah Amin. Akhirnya kami diskusikan dan harus ketemu. Tetapi ketika mendatangkan bukti-bukti, sebagian ikhwan ketika saya sampaikan Hizbinya Ihya’ut Turots, pengaturan mereka terhadap yayasan-yayasan yang bermuammalah dengan mereka, sebagian saksinya masih ada pada mereka dan dikhawatirkan dari berubahnya sikap mereka (karena masih terikatnya mereka dengan yayasan-yayasan tersebut) maka akhirnya …..Shalih tidak siap dan mengajukan kepada Abu Mas’ud. Dan sayapun mengajak teman-teman untuk berangkat ke Abu Mas’ud dan di sana juga bertemu dengan beberapa orang yang juga mengharapkan Abu Mas’ud untuk hadir di pertemuan itu, walaupun ditahkim. Maka Abu Mas’ud setuju dan tujuan kita hanya untuk menyampaikan kepada Syaikh (tentang) apa yang kita lihat dari langkah orang-orang ini.

Kalaupun mereka merasa “isykal” (tidak jelas/ragu, red), maka kita siap tahkim dalam masalah ini dengan para Masyayikh dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Kita sampaikan pengaruh muammalah mereka dan sebagainya. Kata Abu Mas’ud :”Kalau begitu kita siap, tetapi sebelumnya harus kita sampaikan dulu kepada Syaikh tentang keadaan mereka, karena bagaimanapun mungkin Syaikh lebih kuat kepada mereka –karena hubungan mereka selama ini- disamping adanya ”di’ayah” kepada kita bahwa kita yang mengkritik akhlaq dan sebagainya. Kita siapkan makalah untuk Syaikh sehingga ketika kita bertemu dengan Syaikh, minimal keadaan kita sudah sama. Artinya bahwa Syaikh-pun tahu ada yang kita soroti dari keadaan mereka ini”.

Kita-pun membuat surat itu sebelum daurah dimulai agar –kalau bisa- pas daurah dimulai, kita siap dengan “niqash” yang diadakan oleh Syaikh atau nasehat dari Syaikh tentang mauqif mereka. Qadarallahu wa masya’a fa’ala kami menyusun dan tertunda. Kemudian kami titip seseorang untuk menyampaikan (kepada Syaikh) ternyata tidak disampaikan dengan alasan bahwa keadaan sedang panas. Kita katakan justru memasukkan surat itu supaya lebih….karena kami juga mendengar orang-orang yang tidak setuju juga membuat surat, yakni orang-orang yang bermuammalah (dengan Muassasah Hizbiyyah) ini.

Kita mengatakan: ”Mungkin kalau bisa masukkan surat kami untuk lebih kuat, jadi antum setelah itu kita siap bertemu”. Namun ternyata tidak dimasukkan, akhirnya kami datang, kemudian Syaikh Ali, kami sampaikan surat itu tentang muammalah mereka dengan Hizbiyyin dan bukti-bukti terseretnya mereka ke dalam Hizbiyyah tersebut. Tapi kemudian Syaikh minta waktu untuk membacanya dan Syaikh membaca, kemudian ada pertemuan setelah Isya’, tetapi kemudian juga ketika beberapa orang masuk Abu Mas’ud maka ternyata Syaikh hanya menyatakan bahwa untuk tahkim tidak bisa karena membutuhkan kehadiran semua saksi. Lebih baik kata Syaikh –waktu itu-: ”Kalian minta fatwa kepada kami dengan cara menuliskan semua pertanyaan yang dihadiri oleh kedua belah pihak, karena sekarang kalau ada yang mengatakan boleh kalian bermuammalah dengan ini,.. bolehkah ? “Saya akan jawab tergantung dari pertanyaan. Sekarang kalian dudukkan soal pertanyaan kepada saya, kalian tanda tangan untuk isi pertanyaan dan pelaksanaan akan jawaban dari pertanyaan tersebut”.

Maka waktu itu saya mengatakan, bahwa skupnya tidak ada gunanya karena kita tahu, sejak dahulu bahwa ini kan khilaf ulama, ini kan fatwa, orang boleh ambil fatwa yang lainnya dan sebagainya, maka kita khawatir dari sisi ini.Tapi Abu Mas’ud mengatakan tidak apa-apa, yang paling lemah-pun kita ambil dalam rangka menegakkan hujjah dan nasehat.

Kemudian diambillah perbuatan tersebut, (pertanyaan) ditulis dengan beberapa orang. Kita pulang, yang lainnya tinggal untuk menulis pertanyaan itu. Akhirnya mereka menolak dan kami sampaikan kepada Syaikh. Dan Syaikh menyampaikan nasehat kepada kami dan mungkin hasil dari surat itu ada bekasnya pada Syaikh ketika terjadi soal jawab dalam pertanyaan di akhir daurah (saya bawakan CD-nya). Itu akhir kejadiannya.

….diantara bentuk-bentuk terseretnya (kepada Hizbiyyin) sebenarnya ini telah kita sampaikan kepada Syaikh Ali, bukti-bukti itu sudah jelas dan tidak ada yang menghalangi kami untuk menyampaikan bukti-bukti tersebut kecuali bahwa saya menginginkan kehadiran ikhwah lainnya. Adapun bahwa poin-poin yang kami sebutkan itu mereka akan mengingkari juga, pihak sana akan mengingkari khususnya dalam masalah saksi-saksi, mungkin. Tetapi beberapa mauqif (mereka) saya hadiri sendiri seperti ketika diusirnya -dikeluarkannya - Abu Mas’ud dari AL-SOFWA dan tekanan AL-SOFWA, tepatnya untuk mengeluarkan Abu Mas’ud dari AL-FURQON (Ma’had Al Furqan, Gresik, red).

Saya baca sendiri suratnya dan saya pas silaturrahmi ke Abu Mas’ud dan saya baca. Akhirnya saya pulang ke Jogja (masih di Jogja waktu itu), saya ketemu Abu Nida’ (pimpinan majalah FATAWA, peny), Ahmas Faiz (pimpinan majalah ASSUNNAH - peny) dan saya sampaikan masalah (seperti ini) AL-FURQON, seharusnya ustadz-ustadz yang lain menegur perbuatan AL-SOFWA karena Abu Mas’ud yang saya lihat dakwahnya seperti ini-seperti ini dan adapun kalau dia mau diatur dan sebagainya menunjukkan bahwa muammalah kita dengan Hizbiyyin mulai mereka gunakan untuk mengatur kita.

Jadi kita minta –waktu itu- ustadz-ustadz ini untuk bersikap dan menyikapi AL-SOFWA, tapi qadarullahu wa masya’a fa’ala mereka tidak berbuat ! Bahkan setelah itu saya ketemu dengan Yazid Jawaz (Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, terlibat langsung dalam penerjemahan Tafsir Ibnu Katsir yang diterbitkan Pustaka Imam Syafi’i, bersama tokoh IM, Al Haramain, Hidayat Nur Wahid, bersama tokoh Takfiri-Irsyadi Farid Achmad Okbah, red) di Bogor -ketika itu- dia mengingkari dan berkata:”Ibnu Yunus, sekarang antum telah berubah, terpengaruh oleh orang-orang Yaman. Hati-hati dengan Abu Mas’ud, dia akan jadi Ja’far kedua”.

Saya katakan bahwa muhadharah Abu Mas’ud adalah haq, adapun perkara lain dalam hal lafal boleh jadi seperti itu tabiat seseorang. Tetapi yang ada pada dirinya al-haq, saya setuju dan menyatakan bahwa kitapun-saya mengingkari perbuatan mereka. Dan apa yang tampak dari muammalah kita dengan Hizbiyyin sudah jelas “dhararnya”. Kemudian kita disibukkan dengan urusan mereka, memakmurkan “masyruk” mereka, sementara kita lalai dari dakwah dan justru dengan hubungan itu kita telah memecah belah Salafiyyin!25

Itu yang ana sampaikan dan waktu itu ada Abdurrahman At-Tamimi (Ma’had Ali Al Irsyad/Ma’had As Sunnah, Surabaya) dan Yazid di Bogor. Dan saya sampaikan bahwa masalahnya sekarang kita sudah diatur oleh mereka dan (kita) segera menentukan sikap. Tetapi qadarallahu wa masya’a fa’ala tidak ada (sikap) sampai akhirnya mereka terseret. Waktu itu saya sebutkan (kepada Yazid cs) “dharar” muammalah itu, karena waktu itu ada undangan daurah oleh AL-HARAMAIN (akhirnya dikaitkan oleh pemerintah Saudi dengan jaringannya Usamah Bin Laden Al-Khariji-alhamdulillah) yang mendatangkan Salim Dausary. Maka saya datang waktu itu, kemudian karena ada perselisihan dengan Abu Nida’, karena saya mendukung Abu Yahya dalam kritikannya terhadap IHYA’UT TUROTS itu sendiri maka saya disidang waktu itu.

Nggak tahu di sidang atau apa, saya dipanggil dan beberapa ustadz lainnya ada disitu, maka saya sampaikan masalah ini bahwa mauqif kita dan muammalah mereka sudah berbahaya. Mereka sudah mengatur, kemudian kita hanya menyibukkan diri dengan memakmurkan proyek mereka, setelah itu mereka mengatakan bahwa kami sudah bantu Salafiyyin di Indonesia.

25 Wahai Firanda, inilah pengakuan jujur dari Ustadz Ibnu Yunus dan tentu engkau mengakui bahwa beliau –sebelum rujuk- adalah pendahulumu dalam Jabhah Hizbiyyin ini!! Alangkah teganya bahwa dirimu hendak menipu umat dengan pernyataanmu:”Selanjutnya kita balik pernyataan kalian. Keadaan kalian yang melakukan tahdzir dan hajr tanpa mengikuti aturan yang benar itulah yang menimbulkan perpecahan di kalangan Salafiyyun” (Lerai…, hal.247)

Padahal kita…..dan kritikan para Masyayikh di Yaman maupun yang lainnya. Kalau Yazid, dia kritik Abu Nida’, Aunur Rafiq awalnya juga tidak setuju dengan Abu Nida’ dari sisi muammalahnya (yakni) tidak jelas teman-temannya seperti orang-orang Dewan Dakwah26

(Dewan Dakwah Islam Indonesia, tempat bercokol bermacam-macam Hizbi campur-baur disana, ada IM, ada Aris Munandar ketua komite penganggulangan krisis KOMPAK DDII Jateng, yang masuk daftar teroris Internasional versi Amerika karena bergabung dengan Jama’ah Islamiyah, NII, dll; Allahul Musta’an, pada rangkaian acara Daurah Masyayikh yang ke-5, ternyata Markas DDII juga menjadi salah satu tempat acaranya-red) dikritik juga. Dari sisi AT-TUROTSnya kita lihat bahwa Yazid sendiri ikut dalam mengisi daurah du’at IHYA’UT TUROTS !! Bahkan waktu itu masih duduk bersama Mudzakir Arif (Ikhwani- Jakarta) yang juga mengisi !! Yang ini juga kita ingkari.

Cuma yang saya dengar ketika saya sampaikan kepada……Jamilurrahman bahwa bukti kita muammalah seperti begini, kita shufuf terhadap apa yang hadir dengan kita dari Hizbiyyin- maka dia katakan :“Itu dulu, sekarang Mudzakir tidak mengisi lagi”. Tapi sebenarnya “dharar” muammalah ini tidak bisa diingkari, kalaupun ada (yang mengingkari maka) itu adalah bentuk “taashub” dan naudzubillah minal Hizbiyyah !

UST. LUQMAN BA’ABDUH :

Mengenai sikap kita kepada TUROTSI seperti Ahmaz Faiz, majalah ASSUNNAH, orang- orang yang bermuammalah terhadap IHYA’UT TUROTS semacam Yazid dan yang lainnya.. UST. IBNU YUNUS :

Daurah HARAMAIN semuanya datang (dari berbagai fikrah) dari WAHDAH (IKHWANUL MUSLIMIN) dan itu kesalahan kita (yakni) ikut dalam daurah-daurah Hizbiyyin dan kita mengakui itu. Saya hadir waktu itu diundang, ada pengingkaran dari kita, tetapi kehadiran kami memang suatu kesalahan. Dan ternyata memang waktu itu karena yang datang Salim Dausary itu, saya tahu bukunya kitab…., kemudian dia mengatakan…muri jihadal ashar…. Kita tanya siapa yang dimaksud itu ? Apakah Syaikh Albani? Bukan (jawabnya), dia sebut Syaikh Ali dan sebagainya. Ini bahaya kalau begitu. Akhirnya terjadi debat disitu, kemudian dikeluarkan fatwa dari lajnah Daimah dsb. ‘Ala kulli hal, kita sudah melihat tahqiq dengan pertemuan itu dan disitu kita hadir, saya, Abdurrahman Tamimi juga hadir. Ada pengingkaran dari Abdurrahman Tamimi, tetapi ya itulah, karena mereka (HARAMAIN) yang pegang atau kuasai daurahnya.

Pelaksana (daurah) saya tidak tahu, yang jelas HARAMAIN, Muhammad Ikhwan, semua orang WAHDAH, hatta Yani dsb, sampai saya satu kamar dengan si Taufan, Jefri, akhirnya ada “ta’aruf”, terus akhirnya “nembak” dia-setelah itu nggak salam sama saya. ‘Ala kulli hal bahwa kita hadir. Di ruang makan kami kumpul, bicara bahwa daurah ini berbahaya karena masalah begini-begini.

Thayyib, tahun depan kita tidak hadir. Yang saya sampaikan bahwa ini kesepakatan tetapi diingkari oleh yang hadir di majelis itu, bahkan (mereka) katakan itu perkataan Ibnu Yunus saja. Tapi setahu saya bahwa kita –waktu itu- sepakat tentang adanya tahqiq dari “daurah ini untuk menyatukan du’at Salafiyyin dengan Hizbiyyin”, ada makna-makna yang diinginkan yang tampak dalam muhadharah mereka.

Waktu itu Ust. Faiz juga mengatakan bahwa ini bahaya, mereka sepakat sebenarnya. Cuma ada beberapa orang, Ahmad Rafi’i dan beberapa lainnya juga mendhahirkan bahwa dia tidak setuju tetapi -wallahu a’lam- akhirnya berita pertemuan kami sampai kepada Syaikh yang mengisi itu/Salim Dausary……Dia masuk ke kelas, sambil menangis dia ceritakan bahwa niat kami ini bagus dll. Kami tidak tahu siapa yang membocorkan, yang jelas bahwa kita kumpul di majelis ruang makan ketika itu membicarakan dan setahu kami tidak ada orang-orang WAHDAH.

Kita soroti daurah ini dan sebagainya kemudian kita katakan tidak boleh datang lagi dan ini merupakan pengaruh dari muammalah. Tidak boleh lagi ikut dalam acara-acara seperti ini 26 Bagaimana dengan Yazid ya Ustadz?! Bukankah dia lebih parah dalam permasalahan muammalah dengan DDII?! Pengisi tetap di sana!!

karena HARAMAIN punya…..dan saya sudah bilang sebelumnya:”hati-hati kalau ada usaha penyatuan, membuat lembaga dakwah, lembaga du’at”. Itu akhir dari daurah tersebut.

Dan (daurah) berikutnya saya tidak datang. Saya dengar berita bahwa yang lainnya datang. Saya tanya : ”Kenapa mereka datang? Mereka tidak dengar ucapan syaikh-syaikh tersebut kepada para Masyayikh Salafiyyin?” mereka katakan:”kami datang kan hanya untuk melaporkan-menyampaikan, ada bagusnya kami datang untuk melaporkan bahwa WAHDAH itu begini dan begini”. Katanya ust. Aunur Rafiq melaporkan tentang WAHDAH. Saya katakan bahwa itu adalah kesalahan karena melaporkan kepada gembongnya! WAHDAH dilaporkan kepada HARAMAIN, HARAMAIN-nya Salim Dausary teman dekatnya. Jadi tidak ada gunanya. Kehadirannya sudah jelas kesalahan! Lalu apa jawaban syaikh? “dia cuma manggut-manggut, karena memang (WAHDAH) temannya! Temannya sendiri dilaporkan ! Allahul musta’an. Ini (daurah) yang kedua. Sempat lagi yang ketiga, saya tidak tahu siapa yang hadir.

Ini yang bahaya, bahwa sebagian mereka ketika bermuammalah dengan Hizbiyyin

Garis besar

Dokumen terkait