• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

1. Blusukan di Kota Manokwari

“Blusukan” bersama sebuah “Idealisme” Kota Manokwari adalah mengenang “tempo itu”. Mengamati sekitaran Pelabuhan Laut Jalan Siliwangi, menyusur ke Jalan Merdeka, Jalan Bandung, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Yos Sudarso, Jalan Pegunungan Salju, Jalan Trikora Wosi, jalan ke arah Bandara

1

Memakai istilah Gunawan Mohamad yang menyebut sebagai “pasar” tempat mengolah pengalaman hidup. Sumber : St. Sunardi. 2003.Opera Tanpa Kata. hlm. 3.

Rendani hingga Jalan Esau Sesa yang berdiri megah Hotel Neu Aston Manokwari. Di sekitar perjalanan tersebut dapat ditemukan tempat-tempat makan yang saat itu cukup bergensi; seperti Warung Makan Solo, Bakso Malang, Hawai Resto, Rumah Makan Sukasari yang kesemuanya banyak dikunjungi oleh para pejabat, pengusaha (boss-boss), pegawai negeri dan kantoran, serta belasanbartempat orang duduk-duduk bersantai dan berdendang diiringi dengan segala macam musik sambil menikmati rokok, soft drink mau pun minuman beralkohol.

Pengamatan dan penelitian dimulai dari perempatan jalan pertemuan antara Jalan Palapa dan Jalan Ekonomi Reremi menuju Jembatan Sahara Manokwari. Di sekitar jalan tersebut telah bisa ditemukan sosok perempuan penjual pinang dan bensin pada lapak jualannya. Tampah sosok penjual pinang tersebut menyajikan (sesekali menata) tumpuk demi tumpuk pinang buah segar, pinang kering (gebe), bunga sirih, serta kapur di atas lapak pada pondok jualannya.

Dengan alasan sebagai tonggak sejarah penginjilan (evangelisasi) di Papua, yang ditandai dengan gigihnya semangat perjuangan sebagian masyarakat Nasrani Manokwari untuk memproklamirkan identitas Manokwari sebagai Kota Injil, sekaligus pelarangan beredarnya minuman keras pada era kepemimpinan Bupati Drs. Dominggus Mandacan2, tempat-tempat bersantai di atas harus menurunkan papan namanya satu persatu. Namun hal itu bukan

2

berarti tidak adanya lagi orang beribut karena mabuk di jalanan, pun tidak berarti bersihnya minuman keras beredar, sebab hingga saat ini masih banyak beredar minuman keras dalam berbagai jenis; seperti Cap Tikus (CT)3, yang bermerek,4mau punMilo5hingga kampung pedalaman.

Pada hari-hari selanjutnya penulis sebagai pengamat dan penelitiblusukan

tak terarah, dimana saja menemui penjual pinang, penginang, masyarakat Papua,

amber (pendatang dari luar Papua), serta orang-orang yang penulis anggap bersangkut paut dalampragmatismesekitar dunia pinang.

Gambar 10. Sebuah lapakjualan pinangdi Jalan Sujarwo Condronegoro – Manokwari Barat.6

3

Minuman yang didatangkan dari Sulawesi Utara (Manado), terbuat melalui proses penyulingan dari buah pohonenau/aren.

4

Bir,Whisky, Jenever, Tiquela, Topi Miring, dan sejenisnya. 5

Istilah untuk penyebutan minuman beralkohol, buatan masyarakat lokal di sekitar Manokwari, dan atau Papua pada umumnya. Bahannya juga berasal dari buah pohonenau/aren.

6

Selayaknya para penjual umumnya, tampak mereka berusaha mengurai senyum dengan wajah ceria sambil sesekali menata jualannya, berharap datangnya pembeli yang lebih banyak. Dengan penuh kesabaran sambil ngobrol tanpa ujung pangkal dengan beragam topik, sambil mengkonsumsi pinang

mereka bersama teman/keluarga/pembeli mengisi waktu dengan bercengkerama menanti kedatangan pembeli.

Sambil menapaki jalan, penulis memperhatikan dan mencoba menelaah dengan seksama bentuk dan wujud bangunan lapak-lapak penjualan pinang, perilaku penjual dalam menanggap pembeli maupun orang yang lewat di depannya, sarana pendukung jualan, perilaku membuang ludah pinang, serta respons orang yang melihatnya, warna-warni (atap, dinding, model) pondoknya, lingkungan tempat berjualan, serta wajah hotel, ruko, swalayan, café, resto, rumah makan yang di lingkupi lapak-lapak jual pinang dan penginangnya.

Dari catatan lapangan selama 8 (delapan) hari pertama masa penelitian terhitung 1.554 lapak jualan pinang7 di Kota Manokwari dan sekitarnya8; terbentang dari Bandar Udara Rendani – Transito Wosi –Sowi – Maripi, dari Transito Wosi – Jalan Pahlawan – Sanggeng – Yapis – Arkuki – sekitar Jembatan Sahara – Kampung Bouw, dari perempatan Makalow (arah Jalan

7

Dengan modal belanja sekitar Rp. 50.000,00. s.d. Rp. 250.000,00./lapak (rata-rata Rp.150.000,00./lapak)

8

Pada 3 wilayah distrik; Manokwari Barat, Manokwari Timur, dan Manokwari Selatan. Angka ini berbeda dengan data yang diperoleh dari Dinas Perindustian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari tertanggal 31 Agustus 2015,berjumlah 723 penjual Pinang.

Gunung Salju) – Manggoapi – Tugu Amban – sesepanjang jalan depan Universitas Negeri Papua (UNIPA) – Amban Pantai – Susweni, dan dari perempatan Makalow–Pertokoan Kota–Pelabuhan Laut–Kampung Ambon– Pasir Putih hingga Arowi.

Asumsi titik awal perjalanan penelitian dari sekitar Pasar Sanggeng,9 penulis berjalan menuju beberapa tempat yang berjarak relatif jauh (sekitaran kota), untuk memperoleh data lapangan yang dilakukan pada rentang wilayah Rendani (5,7 km.), Arfai (14 km.), Maripi (16 km.), Amban (7 km.), Amban Pantai (9 km.), Pantai Pasir Putih (7 km.), Susweni (10 km.), dan Arowi (9,9 km.) dengan fasilitas berupa sebuah sepeda motor10 menuju area yang jarang rumah penghuni, penggalan hutan lebat. Sedangkan untuk dalam kota penulis cukup dengan berjalan kaki (blusukan).

Seorang tokoh masyarakat asli Sidey Pantai Manokwari, Agustinus Moktis (55) dan Pater Anton Tromp (69),11 seorang misionaris Augustinian di Tanah Papua menjelaskan bahwa budaya ini dibawa ke kawasan Teluk Doreri dan daratan Manokwari12 oleh saudara-saudara dari suku Biak13. Mereka selalu

9

Pasar sentral di Kota Manokwari. 10

Honda Astrea Grand Nomor Polisi DS 3423 DC, diparkir (atau dititipkan) di sekitar wilayah tersebut, kemudian berjalan kaki untuk bisa melihat suasana, kejadian, keseharian situasi sosial, budaya, ekonomi dari warga masyarakat Kota Manokwari; serta menemui responden, dan ngobrolbersama mereka untuk mendapatkan informasi/data sekitar budaya konsumsi pinang.

11

Misionaris Augustinian dari Belanda yang sekaligus pemerhati masyarakat sosial Papua, yang sudah berkarya puluhan tahun di Tanah Papua.

12

Manokwari berasal dari Bahasa Biak:mnukwaryang berarti kampung tua. 13

Suatu suku etnis di bagian utara Pulau Papua yang termasuk handal dalam menggunakan perahu untuk menjelajahi wilayah-wilayah pantai serta pedalaman di Wilayah Papua dan sekitarnya.

membawa dan mengkonsumsi buah pinang kemana saja pergi dan lambat laun kebiasaan ini diikuti oleh warga masyarakat di sekitar pantai dan dataran Pegunungan Arfak Manokwari.