• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

3) Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik

Undang Undang No. 45 Tahun 1999, yang disusul dengan PP No 24 Tahun 2007 memantapkan status Propinsi Irian Jaya Barat (Papua Parat) dengan Ibu Kota di Manokwari. Proses pembangunan sumber daya manusia serta eksploitasi sumber daya alamnya merubah pemahaman, pengertian, pemanfaatan, dan pemaknaan ruang publik.32 Laju perubahan struktur dan infrastruktur semakin pesat.

Dapat dipastikan bahwa infrastruktur tersebut sangat berguna bagi masyarakat pada umumnya, namun belum tentu menjadi bermakna, tepat 32

Sebagai landasan dan referensi penulis mempergunakan 3 jenis pemahaman tentang ruang publik:

Offentlichkeit(bhs Jerman) menurut Jurgen Habermas yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Thomas Burger; 1) politischeOffentlichkeit(ruang publik politik/politis), 2) literarischeOffentlichkeit

(ruang publik dunia sastra/literer),dan 3) representativeOffentlichkeit(perepresentasian/perwakilan publik).Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Yudi Santoso. 2007.Ruang Publik. Sebuah kajian Tentang Masyarakat Borjuis.Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal. xi.

guna, tepat situasi dan terlebih karena tidak mampu memberi tempat (mengakomodir) kebutuhan bagi kehidupan kultur masyarakat setempat; maka ruang publik di dalam realitasnya terdapat warga yang berasosiasi (korporasi dan kooperasi) atau justru memisah-misahkan diri (terpecah belah), sehingga kota sebagai ruang publik akan menyajikan berbagai peristiwa atas dasar ketidakstabilan, diisolasi, atau keterkaitan properti yang memiliki harga dan makna menurut cara berpikirnya masing-masing. Artinya bahwa masyarakat pengkonsumsi pinang sebagai bagian dari kehidupan publik yang tak terpisahkan ternyata masih perlu diakomodir eksistensi kulturnya, diperhatikan dan diberi tempat untuk asosiasi bebasnya.

“"The city,"like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number of stable, isolatable, and interconnected properties.”(Certeau.1984:94).33 Maka kota sebagai ruang publik tanding menjadi dalam situasi tegang yang disebabkan oleh adanya beragam dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek.

Mereka berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas

dengan beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat. Namun hal ini justru memberi batas-batas yang

33

mempersepit ruang gerak asosiasi bebas yang dimiliki masing-masing subyek terdampak.

Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan (the counter public sphere), tidak berhenti dengan strategi dan taktik masing-masing pihak dengan keberhasilan (kemenangan) yang telah dicapai. Mencapai keberhasilan lebih mudah dari pada mempertahankan hasil yang telah dicapai, karena dalam proses selanjutnya sangat mungkin terjadi alih posisi (penjungkirbalikan) kontestan pemegang dominasi (rezim penentu). Pemakai strategi sebagai penguasa otoritas sangat mungkin harus

“terbalik posisi”nya dan mendapatkan kekalahan sehingga (mungkin) harus berganti menerapkan taktik.

Mobilitas sosial dan aktivitas keseharian masyarakat menjadi salah satu saluran dan arena kontestasi strategi dan taktik dalam memperjuangkan keinginan ego dan idealisme modernitas. Beragam bentuk relasi, motivasi dan tujuan yang ada dalam diri warga masyarakat yang terlibat dalam proses perkembangan dan pembentukan ruang publik, akan mengakibatkan munculnya ragam permasalahan sosial dalam kehidupan pribadi dan sosial warga masyarakat. Pemerintah bersama badan usaha, konglomerasi pribadi, kelompok, atau pun jaringan global lainnya dengan bermacam-macam desain (by design) menjalin relasi konspiratif untuk memanfaatkan investasi

modalnya beriringan dengan program-program pembangunan dalam rangka kepentingan publik, sekaligus tujuan ekonomis (profit).

Aktivitas mengkonsumsi pinang adalah bagian dari aktivitas warga kultur masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya, namun karena berkonstelasi dengan aktivitas keseharian masyarakat pendatang (imigran) pada ruang publik Kota Manokwari, maka tidak dapat lepas dengan beragam penilaian-penilaian (stigmatisasi) dari liyan (the other) yang hadir di sekitar kebiasaan tersebut.

Perilaku keseharian mengkonsumsi pinang sebagai suatu aktivitas dalam kategori kultur, yang sekaligus telah lekat – tak terpisahkan dalam keseharian hidup warga masyarakat di Papua pada umumnya, mampu menggerakkan dinamika konstelasi dalam ruang publik dan mewujud dalam gerakan yang bersifatfrontalserta merepresif sisi psikososial masyarakat.

Tindakan-tindakan kelompok masyarakat yang bersifat frontal; seperti unjuk rasa, pemalangan, pemalakan, mengabaikan ketertiban umum, demonstrasi, dan ketidakpedulian terhadap regulasi-regulasi serta nilai-nilai etika sosial dalam kehidupan bersama; aktivitas masyarakat yang destruktif

danvandalistismenjadi sebuah kekuatan seimbang (balance) antara strategi dan taktik dalam masyarakat.

Kebiasaan mengkonsumsi pinang yang sekaligus menjadi ruang berbicara ketiga (kedai-kedai kopi ala Papua) dalam masyarakat di Kota Manokwari adalah merupakan praktek kultur masyarakat yang dipandang

asingatau puneksotisbagi paramigran(pendatang) yang belum memahami fungsi dan maknanya dengan benar. Oleh karena itu sudah seharusnya dapat diakomodir dalam ruang publik kota. Aktivitas kultur warga tersebut merupakan bentuk operasi khusus yang mampu memberi pengalaman mistis ruang dari "another spatiality”, dan justru bukan dinilai sebagai sebuah karakteristik yang buram dan gelap dalam mobilitas suatu kota.

Semakin banyak orang mengkonsumsi pinang dengan tebaran limbah pinang sebagai pemandangan kota adalah merupakan bukti bahwa strategi dari otoritas dominan sebagai rezim penentu tidak selalu ‘menentukan’34 keadaan ruang publikte. Certeau menegaskan: “By contrast with a strategy

(whose successive shapes introduce a certain play into this formal … a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus.. The space of a tactic is the space of the other.”35 Akan tetapi sebaliknya

34

Bdk. Sebuah penelitian tentang permasalahan ruang publik Lapangan Cikapundung Bandung Jawa Barat yang dilakukan oleh RR. Dhian Damajani berkesimpulan bahwa; di balik tampilan fisik yang tak beraturan dan tak terkontrol, keseharian para pedagang di ruang publik ternyata berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuasaan dalam mengatur berbagai aspek guna menjamin kesinambungan/keberlanjutannya. Namun pada sisi lain kondisi tersebut menunjukkan lemahnya peran State (Negara) dalam mengelola sistem-sistem perkotaan, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Akibatnya, peran tersebut “diisi” oleh “lembaga-lembaga” non formal. (Sumber: Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB).Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung. J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3, 2007. Hal. 345.)

35

taktik yang terlahir ditentukan oleh lokus ruang lain (asing) dan berada di bawah otoritas pemakai strategi, tetap mempunyai kekuatan yang mempengaruhi pembentukan wujud, karakter, serta identitas ruang publik. Memang taktik bermain pada arena organisasi (management) kekuatan asing yang dominan, taktik terlahir ditentukan dalam ketiadaan (tanpa) kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat36 kekuasaan; “In short, a tactic is an art of the weak.”(Certeau:1984:36-37). Namun demikian taktik tetap memiliki kekuatan (tersimpan) serta berkesempatan menang dan isa berganti menerapkan strategi, sehingga bisa menjungkirbalikkan posisi otoritas dominan yang berkuasa.