• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

2) Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik

Meminjam istilah ruang publik yang dipakai Jurgen Habermas, kegiatan (kultur) mengkonsumsi pinang merupakan perepresentasian /perwakilan publik (representative offentlichkeit) yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat di Papua. Melalui kebiasaan tersebut akan membuka cara orang berpikir, lebih gampang membahasakan isi pikiran seseorang sehingga dapat berpanjang lebar (nerocos) berbicara dari hal-hal

yang serius sampai dengan cerita ringan dan lucu. Mengkonsumsi pinang menjadi sebuah perepresentasian kelompok masyarakat kategori kultur yang berada dalam suatu wilayah ruang publik.

Maka sentiment ketidaksenangan serta kebijakan publik yang melarang mengkonsumsi pinang pada sembarang tempat menjadi sebuah pembatasan terhadap sebuah kultur warga budaya, berakibat pada tidak leluasanya para penginang untuk kumpul-kumpul bareng (ngobrol) seraya berefleksi dan membagi pengalaman kehidupan individu mau pun sosialnya. Penginang terbatasi dan terdesak oleh dominasi publik yang mengatasnamakan upaya- upaya untuk mewujudnyatakan kota modern yang bersih, rapi dan elegant. Walaupun upaya tersebut selalu mendapatkan perlawanan dan ketidakpedulian dari masyarakat pengkonsumsi pinang yang tetap saja tidak menghiraukan kebijakan publik yang berupa larangan membuang limbah dan ludah pinang di beberapa ‘tempat modern’ yang ada plat-plat peringatan dimaksud.

Stigmatisasi jorok, tidak bernilai, terbelakang, tidak modern, dan berbagai penilaian negatif, merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap realitas publik dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Berhamburnya ludah pinang di berbagai tempat; pada tembok-tembok rumah, toko, perkantoran, bandara, sekolah, jalan raya serta tempat-tempat publik lainnya semakin meyakinkan meyakinkan stigmatisasi yang diberikan sebagai suatu

kebiasaan yang dinilai tidak sesuai denganidealismmodernitas dan tuntutan sebuah ruang publik yang berkelanjutan.

Sikap kontra opini terhadap fenomena mengkonsumsi pinang terungkap dari sebagian masyarakat pendatang serta orang-orang yang telah mempunyai konsep modern tentang sebuah kota, mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut merupakan kebiasaan yang berdampak buruk, budaya terbelakang, jorok dan tidak elegant untuk sebuah kota di jaman modern dewasa ini.

Penilaian ini semakin diyakinkan dengan banyaknya tanda larangan mengkonsumsi pinang yang dibuat oleh pihak pemerintah melalui kebijakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) atau pun unit-unit kerja, sebagai perpanjanganideological state apparatus(ISA), pemerintah.

Tuntutan-tuntutan masyarakat publik yang dipengaruhi oleh konsep- konsep modernitas memunculkan penilaian negatif tentang masyarakat Papua yang masih terbelakang, terasing, dan tertinggal jika dibanding dengan wilayah Indonesia lainnya. Penilaian-penilaian dan stigmatisasi tentang keadaan masyarakat Papua yang “seperti itu”, akan laku dijadikan alasan untuk mengeksploitasi proyek-proyek struktur dan infrastruktur. Tuntutan-tuntutan keadaan tersebut diproyeksikan dalam berbagai rencana program pembangunan yang bersinergis dengan otoritas-otoritas konglomerasi dari luar Papua yang kurang (tidak) paham dengan realitas kultur masyarakat Papua secara komprehensif.

Pertemuan ragam cara pandang, kepentingan, serta penilaian terhadap kultur lokal budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari atau pun masyarakat Papua pada umumnya, menumbuhkan “embrio pertarungan” pada ruang publik.

Perbedaan konsep dan persepsi tentang sebuah ruang publik di antara

ideological state apparatus (ISA) yang sarat ide-ide modernitas dengan warga masyarakat budaya mengkonsumsi pinang, menimbulkan sebuah permasalahan pragmatis ideologis dalam keseharian hidup masyarakat. Produk regulasi sebagai kebijakan otoritas publik yang hanya menitikberatkan penyeragaman (uniformitas) dan tanpa mampu mengakomodir kepentingan kultur masyarakat, membuktikan adanyaketidak berpihakan dalam obyektivitas kebijakan publik. Oleh karenanya, keadaan yang diakibatkan oleh kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi dari rezim penentu dan pemegang otoritas kekuasaan publik tersebut, direspons oleh masyarakat kultur dengan beragam bentuk perlawanan.

Bentuk-bentuk ekspresi perlawanan pada ruang publik terwujud dalam perilaku-perilaku yang biasa-biasa saja hingga luar biasa; seperti meludahkan pinang di sembarang tempat, mencoret-coret tembok atau jalan raya (vandalistic), tindak pidana (criminal) umum, tindakan anarkis, sampai dengan demonstrasi-demonstrasi di lapangan yang selalu ada yang membawa serta menikmati pinang dengan kapur sirihnya.

Perlawanan-perlawanan dalam ruang publik tersebut juga merupakan taktik untuk memperoleh kembali ruang assosiasi bebasnya, sehingga ‘masyarakat pengkonsumsi pinang’ bisa merasakan ruang publik ‘kampung’nya sebagai forum bersama, ruang demokrasi tempat orang merefleksikan dan mengolah pengalaman hidup mereka kembali.

Dari catatan Giard dalam kaitannya dengan ruang publik, Certeau mengisyaratkan adanya sebuah kondisi ruang yang tepat untuk dapat digunakan oleh masyarakat publik untuk melakukan aktivitas-aktivitas publiknya:

“… that places in cities be set aside for speech making, that festivalsof orality and writing be created, that questions be opened to competition(for the production of texts or cassette recordings), that the circulation of recordings as a means of social exchange be developed, and so on. Similarly, the collection and archiving of oral patrimony should be stimulated, by associating with it what pertains to gestures and techniques of the body. (CS: 139 with Giard).”30

Dalam konteks Indonesia, idealisme de Certeau tersebut terbahasakan pula oleh seorang Remy Riverno. Kepeduliannya terhadap dibutuhkannya suatu ruang publik bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, mengajak para punggawa pemerintah-pemerintah di wilayah Nusantara untuk mencontoh yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil untuk Kota Bandung dan Tri

30

Rismaharini untuk Kota Surabaya, Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. Ia menandaskan perlunya ruang publik untuk kepentingan bersama sebagai upaya untuk membangkitkan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat secara berkelanjutan:

“Berbagai sumber daya hanya dapat terwujud apabila antar manusia ada hubungan emosional dan merasa punya kepentingan bersama. Semua itu hanya dapat terjalin ketika kita sering bercengkrama di ruang publik. Penyediaan ruang publik yang memadai secara kuantitas dan kualitas akan mampu menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu tempat orang bekerjasama untuk membuat sesuatu demi kepentingan bersama yang lebih berkelanjutan”.31

Hal ini tentunya menjadi begitu berbeda dengan proyek-proyek infrastruktur publik yang dihadirkan dari sebuah kebijakan aparatus pemerintah yang berkorporasi dengan konglomerasi (seperti pasar, taman- taman kota, tempat parkir, perkantoran, ruang tunggu terminal Bandar Udara atau pun Pelabuhan Laut) yang lebih bermuatan politik ekonomi (mementingkan profit), namun tak mampu (belum) mengakomodir tuntutan kebutuhan ruang publik bagi masyarakat kultural setempat.

Dari keberbedaan cara pandang di antara pihak-pihak yang mengidealkan modernitas dengan realitas warga masyarakat kultur

31

www.kompasiana.com (30 Sept 2015).Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. (29 Nop 2015).

pengkonsumsi pinang, terindikasi adanya resistensi yang diakibatkan oleh asumsi-asumsi kontra produksi. Menjadi produktif ketika subyek-subyek yang terlibat mampu memanfaatkan kesempatan sehingga terjadi relasi

simbiosis mutualisme, dimana satu sama lain saling mendapatkan keuntungan dan kemanfaatan. Begitu pula akan menjadi kontra produksi ketika aktivitas-aktivitas masyarakat tersebut dibaca sebagai relasisimbiosis parasitisme, dimana satu dengan lain tidak saling mendukung dan justru saling mengganggu.

Masyarakat yang mempunyai konsep idealis tentang sebuah kota sebagai ruang publikmodern akan merasa terganggu melihat kota dengan hamburan sampah (limbah) pinang. Ketidakberpihakan subyek-subyek pada situasi ini akan menstigmatisasi sebagai kebiasaan yang mengganggu ketertiban umum, mempengaruhi tingkat keberuntungan dan kemanfaatan bagi mereka. Kultur setempat dianggap tidak menguntungkan untuk upaya menciptakan atmosfer kota yang bisa mendatangkan keuntungan finansial atau pun meraih ambisi penghargaan yang bergengsi, semisaladipura.

Dari uraian di atas memberi alasan bahwa di balik adanya pengingkaran terhadap keadaan sekitar kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat di sekitaran Kota Manokwari, terdapat kekuatan (power) di luar rezim penentu (otoritas dominan) yang justru berpotensi dan mampu berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuatan membentuk ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek hadir mentransplantasi, membawa pergi retoris

dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan arus urbanisme hadir

wandering of the semanticsyang terproduksi oleh massa.

Pengenyampingan yang terungkap melalui opini, wacana, serta

stigmatisasi terhadap kultur konsumsi pinang masyarakat setempat masuk dalam ranah operasional kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan publik dan hasil-hasil proyek infrastruktur pada ruang publik, menjadi tidak terlalu memiliki nilai guna

bagi kepentingan dan kehidupan publik.