• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia

BAB II WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG

3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia

Tradisi mengkonsumsi pinang-sirih di Kepulauan Nusantara terbaca dalam pada relief Candi Sukuh11 yang dibangun sekitar tahun 1359 Saka (1437 Masehi), dengan jelas ditampilkan banyak pohon pinang sebagai latar belakang bangunan rumah-rumah, dan latar peristiwa pertemuan-pertemuan penting dan memiliki makna dalam keseharian hidup di masa itu. Secara khusus pada relief tersebut digambarkan tegak berdirinya pohon pinang yang mengayomi pertemuan sepasang mempelai (Sadewa dan Ni Padapa) yang pada akhirnya menjadi pasangan suami istri. Pohon pinang dihubungkan dengan peristiwa perkawinan antara kedua anak Bagawan Tambapetra dengan Sadewa (Sudamala) yang telah berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan tersebut.

Dari Kidung Sudamala ZANG (bagian) IV pada ayatnya yang ke 19-21 diceriterakan;

(19) Bagawan alon ujarre, lah nini hanakingwang, haturakena kang sdah mengko, kalih siro pada hanembah 11

Berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.

ring sang sudamala mangke.(20)Lah ngaturri sdah mangke, raden soka padap, semwerang nher hanapa mangko, hulih bagya punika sedah, katurring sira rahaden. (21) Raden sudamala linge, sawyanagapi sdah, lah hasuruda nini sunmangko, ring panembahanira tuwan, hisun hatarima manke. (22) Tambapetra lon ujarre, wus katanggapan sdah, lah ta lungguha ninyanakingngong, ring sandingngira rakanira, kalih halungguha raden.12

Gambar 5.Relief pada Candi Sukuh yang mengekspresikan pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan

Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra. Pohon yang dilukis pada adegan ini adalah pohon pinang.13

Yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut;

(19) Begawan Tambapetra manis kata-katanya: “Anak-

anakku, persembahkanlah sirih itu kepada kakandamu.”

12

Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 45.

13

Sumber: www.kompasiana.com/ www.teguhhariawan/ leitmotiv-panduan-membaca-relief- 552b20f5f17e610f74d623bf

Maka mempersembahkan sirihlah kedua gadis itu kepada Raden Sudamala. (20) Pada waktu ni Soka dan ni Padapa mempersembahkan itu tampak agak malu mengeluarkan kata-katanya: “Selamat datang Pangeran, hamba

persembahkan sirih kepada Tuan.” (21) Raden Sudamala berkata, sambil menerima sirih: “Nah, sudah kuterimalah sirih persembahan, silahkan mundur!” (22) Tambapetra berkata manis: “Kini sirih telah diterima. Nah pergi duduk

di samping kakandamu, di situ berjajar dengan Rahaden

Sadewa!”14

Memang tidak disinggung berkaitan dengan kata buah pinang, namun muncul katasedah(sirih)–dalam relief tersebut terlihat jelas tegak berdiri 3 buah pohon pinang, dan bukannya pohon sirih – yang digunakan sebagai

piranti (alat) untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Sudamala atas disembuhkannya Begawan Tambapetra. Ketulusan menghormati, menerima kehadiran, dan terima kasih kepada Sudamala yang dilakukan dengan cara mempersembahkan sedah (sirih) menjadi simbol dan memiliki makna kekeluargaan, persahabatan dan bahkan terima kasih itu diwujudkan dengan satu ikatan perkawinan15antara kedua anak Tambapetra dengan Sudamala.

14

Ibid.hlm.90. 15

Cerita di atas segaris dengan penyajian kakes(dalam sebuah piring yang berisi pinang, sirih, dan kapur) dalam adat budaya meminang bagi masyarakat Suku Biak di Papua. Ketika pihak laki-laki berkenan menikmati sajian kakes yang dibawa oleh pihak perempuan, berarti “sebagai tanda diterima dan tanda jadi” untuk melangsungkan pada jenjang perkawinan.

Peristiwa pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra di bawah pohon pinang, dapat dikaitkan dengan tahap persiapan menuju perkawinan,16 sebagaimana istilah meminang yang digunakan dalam masyarakat Nusantara.

Menurut Roy E. Jordaan dan Anke Niehof dalam artikel Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia,17 menjadi salah satu sumber dalam mendeskripsikan budaya konsumsi pinang dan pemaknaanya. Jurnal antropologis ini mengangkat beberapa kebiasaan penggunaan sirih dan pinang dalam keseharian masyarakat di Madura, Sulawesi, Sumba, Maluku dan beberapa wilayah Timur Nusantara lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Malaysia, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kebiasaan mengkonsumsi pinang dengan menjamu daun sirih dan bahan-bahan lain merupakan bagian utama sebagai tahap pembuka sebelum melakukan musyawarah, maka hingga kini mengkonsumsi pinang tetap menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Melayu: “… it is customary in Malay society that a serving of sirih leaves and other betel-chewing ingredients precedes any kind of deliberation, at it suggests the ideas of understanding and agreement (Panuti 1983:231)”18 dan

16

Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 158.

17

Ibid. hlm.168. 18

tradisi tersebut hingga kini masih banyak ditemukan di wilayah Kepulauan Nusantara (Indonesia).

Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Belanda (abad 16) di kepulauan nusantara, mereka telah mengapresiasi dan menyadari peran dan manfaat tradisi mengkonsumsi pinang yang mampu membangkitkan dinamika keseharian hidup masyarakat koloninya:

“Offering your guests the ingredients to make themselves a betel quid still belongs to the rules of hospitality in many rural areas in Indonesia. The Portuguese and the Dutch who came to the archipelago in the 16th century quickly perceived the great social importance of sirih chewing. As Rumphius observed in 1741, it was necessary for those who daily mixed with the native rulers to adopt the custom (Veenendaal 1985:88-82).”19

Rumphius melaporkan bahwa orang-orang yang kesehariannya berelasi dengan petinggi wilayah setempat dianjurkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan budayanya, termasuk tradisi konsumsi pinang tersebut.20 Penyesuaian terhadap tradisi setempat bertujuan untuk mempermudah pendekatan dengan masyarakat setempat, dengan harapan maksud dan pesan-pesan komunikasinya tersampaikan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Sirih pinang menjadi sangat berperan dalam upaya menjalin hubungan kekerabatan

19

Ibid hlm.168. 20

“…sirih pinang also serves to mark specific kinship relationship …”21, yang sekaligus dapat menjadi medium untuk tujuan-tujuan tertentu.

Roy E Jordan dan Anke Niehof mengurai tentang materi sirih pinang dan pelengkapnya menjadi sarana budaya yang memiliki makna serta nilai–

nilai dalam kultur masyarakat Indonesia: “… how sirih pinang and its accecories are used to underscore basic cultural notions and important social distinctions throughout Indonesia. Our perspective will be that of sirih pinang as a symbolic construct or a vehicle of meaning.”22 Sirih dan pinang dalam budaya Nusantara mendapat apresiasi dan posisi bermakna dan berharga, karena bukan hanya sebagai materi untuk dikonsumsi tetapi juga mengandung filosofi, makna dan nilai-nilai budaya yang menjadi norma dasar untuk menata kehidupan masyarakat dalam kesehariannya.

Gambar 6. Serangkaian bahan-bahan konsumsi pinang, yang selalu dipersiapkan dalam

pertemuan-pertemuan ritual adat siklus kehidupan masyarakat di sebagian besar wilayah Nusantara.23

21 Ibid. hlm.173. 22 Ibid. hlm.169 23 Sumber:https://www.google.com/search?q=gambir+sirih+pinang. (6 Nopember 2015).

Imaji menyeramkan sekaligus menakutkan berkaitan dengan pinang juga diungkapkan oleh Roy E Jordan dan Anke Niehof;

In Couperus’s novel ‘De stille kracht’ (The silent force), for example, supposedly evil supernatural powers mysteriusly stain their victim with red phlegm while she taking a bath. In less dramatic sources, however, sirih spittle is cited for its healing powers, or it is used to smear upon ritual objects and offerings. The terrifying effect that sirih spittle has on the Dutch characters in Couperus’s novel could well be a

projection of the colonials’fear of Eastern magic.24

Rodolf Mrazek dalam buku Outward Appearances. Trend, Identitas, Kepentingan menuliskan bahwa ada banyak bagian dalam novel De stille kracht, “Kekuatan Yang Tersembunyi” (1900) karya Hindia Couperus yang memberi sugesti menakutkan. Tradisi konsumsi pinang memberi effect baca

dengan hadirnya kekuatan misterius dan supranatural jahat dari ludah merah

sirih pinang. Ludah merah pinang mampu memberi sugesti menakutkan, yang diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Dapat dipahami bahwa ada indikasi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi kepada kolonial Belanda dengan menggunakan kekuatan tersembunyi yang dipahami sebagai a projection of the colonials’ fear of Eastern magic yang membuat perasaan takut bagi kolonial Belanda.

24

Keterkaitan pemaknaan cerita yang ditulis Roy E Jordan dan Anke Niehof dalam Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia; to make a marriage proposal is popularly called meminang (a verb form derived from pinang) in Indonesian.25 Kata pinang sebagai kata benda dan meninang

sebagai kata kerja, memberi arah adanya kesepahaman makna dari obyek material yang dibawa ke dalam suatu aktifitas yang membangkitkan dinamika siklus kehidupan manusia (perkawinan).

Demikian pula dalam tradisi maupun keseharian masyarakat Numfor (Biak), masyarakat Windesi serta Wamesa (Teluk Wondama) yang ada di Manokwari Papua Barat, di dalam moment acara-acara yang berkaitan dengan adat budayanya akan selalu ada jamuan sirih pinang. Pinang menjadi satu simbol yang mempunyai makna dalam kehidupan sosial-kultur, sebab dengan menyajikan kakes (berupa sirih, pinang dan kapur)26 akan miliki dampak sosial serta makna persaudaraan pada diri setiap hadirin dalam kebersamaanya. Kakes diperuntukkan bagi setiap hadirin yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat untuk merencanakan suatu pekerjaan atau meyelesaikan masalah bersama yang berkaitan dengan sosialita kemasyarakatan; misalnya membangun rumah, penyelesaian suatu masalah

25

Ibid. hlm.169. 26

Bahasa Biak Papua, sebagai sarana, yang berupa penyajian sirih, pinang, kapur bagi para hadirin yang ada dalam acara musyawarah adat, merencanakan suatu pekerjaan, atau pun perhelatan yang menyangkut sisi sosial kemasyarakatan.

(perkara), mempersiapkan pesta perkawinan (meminang) atau pun siklus peristiwa kehidupan bersama lainnya.

Pinang sirih menjadi sarana pembangkit semangat (spirit) etos kehidupan yang telah membudaya dengan beragam fungsi; misalnya untuk pemeliharaan dan kesehatan gigi, kakes (makanan kecil), Wor

K’bor27(inisiasi), Yakyaker (antar mas kawin), Kinsor (magic) dan juga bahan kontak komunikasi.28

Mencermati Kidung Sudama serta beberapa adat budaya dalam masyarakat Nusantara di atas, perlu dipahami dan menjadi asumsi dasar bahwa meskipun sirih dan pinang yang dikonsumsi namun tetap saja akan disebutsirih pinang. Dua kata tersebut membentuk konsep yang tidak hanya menunjukkan materi sirih dan pinangnya, akan tetapi menjadi makna simbolis untuk falsafah dan nilai-nilai kehidupan; seperti bersamaan, kekeluargaan, serta wujud penghargaan terhadap subyek-subyek lain yang berkaitan dalam keseharian masyarakat penggunanya.

27

Upacara inisiasi bagi para pemuda yang telah lulus (berhasil) dari rumah bujang (rumsram) yang dilakukan selama berminggu-minggu dengan tarian, nyanyian, dan juga minum saguer (swansrai). 28

Diolah dari karya akademik James J. J. Carel Siahainenia. 2000.Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. hlm.2.