• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika budaya konsumsi pinang dalam pembentukan ruang public kota Manokwari.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika budaya konsumsi pinang dalam pembentukan ruang public kota Manokwari."

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang

Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

Dinamika budaya konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari Propinsi Papua Barat dihayati seiring dalam arus globalisasi yang bermuatan ragam konsep pola pikir, ideologi, dan wacana.Modernitas menjadi simpulan pola pikir dan gaya hidup, sehingga kultur mengkonsumsi pinang yang bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu mendapat stigma kolot, jorok, serta tidak layak dalam perkembangan dunia dewasa ini.

Mengkonsumsi pinang yang mengandung nilai serta makna persaudaraan telah menjadi sebuah identitas dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Papua. Dalam kebersamaan, kultur ini memberi peluang besar untuk membangun ragam wacana sosial, ekonomi, mau pun politik, sehingga dapat mempengaruhi eskalasi aktivitas keseharian masyarakat setempat yang sarat dengan problematika kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara.

Dengan stigma negatif dan kontra produktif yang melekat pada kultur ini serta seiring dengan tuntutan nilai-nilai modernitas yang ada di sisi lain budaya konsumsi pinang ternyata mampu menjadi media komunikasi antar individu mau pun kelompok masyarakat yang bersifat heterogen. Posisinya sebagai media komunikasi tersebut dalam pemikiran Homi K. Bhabha menjadi sebuah ‘ruang pembicaraan ketiga’ bagi subyek-subyek kontestan dengan berbagai latar belakang; seperti halnya suku bangsa dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat sosial. Dalam ruang tersebut tidak ada lagi klaim tentang ‘ini ruang kami’ atau ‘itu ruang mereka’, melainkan menjadi ‘ini adalah ruang kita bersama’.

Dalam pemikiran Michel de Certeau, masing-masing kontestan dengan beragam latar belaknag tersebut akan menerapkan strategi dan taktik guna memperoleh otoritas hegemoni. Karena secara kontinuitas akan terjadi perubahan struktur dan kondisi sosial kemasyarakatan, maka dalam kenyataannya tidak semua kontestan dapat mengklaim sebuah keberhasilan mutlak sebagai pemegang otoritas sosial. Dalam dinamika masyarakat terjadi proses interaksi sosial, terbangun wacana, subyektivikasi, serta karakterisasi pada masing-masing subyek, Mereka semua berkesempatan sama dalam berpartisipasi dengan konsensusnya untuk membentuk ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

(2)

ABSTRACT

The Dynamics of Areca Nuts Consumption Custom in the Public Spaces Forming Process of Manokwari City

The areca nuts (Areca catechu) consumption custom among Papuans in Manokwari City, West Papua Province, has been internalized in their daily life likewise the unstoppable globalization wave with its various mindset, ideologies, and discourses.Modernitybecame end-node of “brand-new” mindsets and lifestyles, so the

areca nuts consumption custom that has grown for ages will be stigmatized as old fashioned style, disgusting, considered as eyesore, and inappropriate in this current age.

However, this custom which promotes brotherhood values has become an identity and being a part of local wisdom for Papuans as well. It has given great opportunities to various social, economical, and even political discourse constructions that able to affect the daily life condition of locals that have been burdened by certain cultural and political problems.

Despite the negative and contra-productive stigma that had been embedded to the areca nuts consumption custom alongside the demands required by modernity values, it turns out to be an effective media of communication among the Papuans and within their heterogenic communities as well. As media of communication, according to Homi K. Bhabha, this custom can be seen as“the third space of enunciation” for all of its contestants with many backgrounds; like various ethnical and cultural groups within the society. In that space, there are no such claims like“this is our space”or“that is their space”, but“this is a space for us all”.

As Michael de Certeau has stated, each contestant with all of their own backgrounds would then apply a set of strategies and tactics to obtain an authorized hegemony. In the long run, the structure and condition of the society will be changeable, hence not all the contestants is able to claim absolute success as social authority holder. Within a growing and fluctuating community, there are social interactions, discourse constructions, and also each subject characterization. They all have equal opportunity to participate–by consensus–in creating the public spaces of Manokwari City, West Papua Province.

(3)

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

Tesis

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

AGUSTINUS RIWI NUGROHO

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

buat

o bapak sudiyono (†)& ibutri lestari

o adikawan sudamar (†)& rini sarasawati

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang

bernama Agustinus Riwi Nugroho (NIM: 136322003) menyatakan bahwa Tesis

berjudul DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM

PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI, merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.

Di dalam Tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian,

peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam Tesis ini saya

pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku,

sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 27 Juli 2016.

Yang membuat pernyataan,

(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu

Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Agustinus Riwi Nugroho

Nomor Mahasiswa : 136322003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak

untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam

bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberi royalty kepada saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal: 27 Juli 2016.

Yang menyatakan,

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga saya hunjukkan kepada Allah, karena

dengan kehendak dan berkatNya yang berkelimpahan telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana

Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.

Kepada Romo Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. saya menghaturkan banyak terima

kasih, karena dengan kesabarannya telah bermurah hati mencermati,

membimbing, mendorong, mengarahkan, dan dengan sentilannya dapat

menanggap kegelisahan, keprihatinan, serta harapan berkaitan dengan situasi

budaya mengkonsumsi pinang, ruang publik, dan modernitas di Papua pada

umumnya, sehingga memacu terselesaikannya karya akademik berjudul

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota

Manokwariini.

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Direktur Program

Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, dan

kepada para dosen yang telah menuntun studi saya di bawah pohon “Beringin

Soekarno” tercinta. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Religi dan Budaya,

Romo Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang selalu mengingatkan dan menanyakan

kemajuan penulisan karya akademik, memberikan berbagai kemudahan serta

fasilitas beasiswa studi dan penelitian, disampaikan salam hormat dan matur

nuwun sanget.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada Bapak Dr.

St. Sunardi dan Mbak Dr. Katrin Bandel yang telah bersedia membaca ulang

penulisan karya ini. Terima kasihku untuk Mbak Desy yang baik hati, dengan

ringan langkah telah setia menyampaikan info-info akademis mau pun

mengingatkan pengumpulan tugas demi kelancaran proses studi kami. Bersama

aliansi bonobo 2013dan Kejar Jangkrik yang selalu memberi semangat, suwun

(10)

Kepada Bupati Manokwari, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala

Dinas Pendidikan Kabupaten Manokwari, serta Kepala SMA Negeri 1

Manokwari Bapak Drs. Lucas Wenno, atas kesempatan studi yang telah

diberikan, saya menghaturkan terima kasih.

Atas dukungan dan pencerahannya, kepada Pater Paul Tan dan Prof. Charlie

D. Heatubun disampaikan banyak terima kasih. Buat dik Rini, dik Ri, kangmas

Aris dan mbakyu Tutikmatur nuwun untuk perhatian dan kasih sayangnya yang

selalu membangkitkan semangat saya.

Terima kasih tak terhingga buat keluarga, kawan, sahabat dan semua pihak

yang telah membantu untuk terselesaikannya karya akademik ini.

Berkah Dalem selalu.

Jogja, 27 Juli 2016.

(11)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN BERITA ACARA UJIAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

LAMPIRAN PETA KOTA MANOKWARI ... xiii

LAMPIRAN TABEL PENJUAL PINANG KOTA MANOKWARI ... xiv

ABSTRAKSI ... xv

ABSTRACTION ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Tema Penelitian ... 7

3. Rumusan Masalah ... 7

4. Tujuan Penelitian ... 8

5. Manfaat Penelitian ... 9

6. Kajian Pustaka ... 11

7. Kajian Teori ... 17

8. Metode Penelitian ... 23

(12)

BAB II WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG ... 34

1. Budaya Konsumsi Pinang ... 34

1) Buah Pinang ... 34

2) Manfaat Mengkonsumsi Pinang ... 38

3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia ... 39

4) Budaya Konsumsi Pinang di Papua ... 48

5) Wacana Mengkonsumsi Pinang dalam Masyarakat di Papua ... 50

2. Ruang Publik Kota Manokwari Propinsi Papua Barat ... 51

1) Sejarah Kota Manokwari ... 51

2) Ruang Publik Kota Manokwari ... 52

3) Perkembangan Kota Manokwari ... 55

3. Wacana Modernitas Sebuah Ruang Publik Kota... 58

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM IDEALISME MODERNITAS RUANG PUBLIK ... 62

1. Blusukandi Kota Manokwari ... 63

2. Konstelasi Budaya Konsumsi Pinang dengan Ruang Publik ... 68

1) Kebijakan Aparat Pemerintah ... 68

2) Kapital Modal ... 71

a. Nilai Ekonomis Komoditi Pinang ... 72

b. Budidaya Tanaman Pinang ... 76

c. MenejerialMama-Mama Penjual Pinang ... 78

3) Masyarakat Sipil (Civil Society) ... 83

4) Media Massa ... 87

(13)

BAB IV DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI ... 106

1. Sepanjang Jalan Membaca Retorika ... 107

2. Budaya Konsumsi Pinang di Kota Manokwari ... 109

1) Pasar Pinang sebagai Forum Publik ... 111

2) Budaya Konsumsi Pinang dalam Ruang Publik Tandingan ... 113

3) Mobilitas Migran dan Okultisme Publik ... 115

4) Budaya Konsumsi Pinang sebagaiTempat Pengucapan Ketiga ... 123

3. Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik ... 128

1) Strategivis-à-visTaktik ... 129

2) Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik ... 132

3) Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik ... 139

4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik Berkelanjutan ... 144

BAB V PENUTUP ... 154

Kesimpulan ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 160

DAFTAR NARASUMBER ... 164

(14)

Gambar 1.Papan larangan merokok dan makan menginang pada Lingkungan

Sekolah ... 4

Gambar 2.Ember tempat membuang ludah pinang diPastingSanggeng ... 5

Gambar 3.Tanaman pohon pinang di kebun masyarakat ... 35

Gambar 4.Rangkaian buah Pinang siap panen ... 36

Gambar 5.Relief pada Candi Sukuh, tergambar pohon pinang . ... 40

Gambar 6.Sajian bahan konsumsi pinang dalam pertemuan / ritual adat ... 44

Gambar 7.Pinang kering (gebe) merambah pasar tradisional di Manokwari. ... 48

Gambar 8.Peta geografi Propinsi Papua Barat ... 53

Gambar 9.Lingkup penelitian, dalam 3 distrik; Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur ... 53

Gambar 10.Jualan pinang di Jalan Sujarwo Condronegoro SH ... 65

Gambar 11.Pengecer pinang di Jalan Siliwangi, Pelabuhan Manokwari ... 69

Gambar 12.Kepedulian ASPAP terhadapmama–mama penjual pinang ... 70

Gambar 13Lapak jual Pinang “atap biru”... 71

Gambar 14.Pinang kering (gebe) di pasar tradisional ... 73

Gambar 15.Tanaman pohon pinang di Kampung Maripi... 76

Gambar16.Mama Mama penjual Pinang buah di pelataran pasar Sanggeng Manokwari ... 81

Gambar17.VCDmopberedar di pasaran seantero Papua... 92

Gambar18.Ngobrol bersama diselingi denganmop-mop ... 93

Gambar19.ObrolanWarung Pinangmenjadi Acara Unggulan di RRI Manokwari .. 99

Gambar20.Bangunan-bangunan menjadi sasaran buangan ludah merah saat mengkonsumsi pinang ... 101

Gambar21.Hadi Departement StoredanSwiss-Belhoteldi Manokwari ... 104

(15)
(16)
(17)

ABSTRAK

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang

Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

Dinamika budaya konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari Propinsi Papua Barat dihayati seiring dalam arus globalisasi yang bermuatan ragam konsep pola pikir, ideologi, dan wacana.Modernitas menjadi simpulan pola pikir dan gaya hidup, sehingga kultur mengkonsumsi pinang yang bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu mendapat stigma kolot, jorok, serta tidak layak dalam perkembangan dunia dewasa ini.

Mengkonsumsi pinang yang mengandung nilai serta makna persaudaraan telah menjadi sebuah identitas dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Papua. Dalam kebersamaan, kultur ini memberi peluang besar untuk membangun ragam wacana sosial, ekonomi, mau pun politik, sehingga dapat mempengaruhi eskalasi aktivitas keseharian masyarakat setempat yang sarat dengan problematika kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara.

Dengan stigma negatif dan kontra produktif yang melekat pada kultur ini serta seiring dengan tuntutan nilai-nilai modernitas yang ada di sisi lain budaya konsumsi pinang ternyata mampu menjadi media komunikasi antar individu mau pun kelompok masyarakat yang bersifat heterogen. Posisinya sebagai media komunikasi tersebut dalam pemikiran Homi K. Bhabha menjadi sebuah ‘ruang pembicaraan ketiga’ bagi subyek-subyek kontestan dengan berbagai latar belakang; seperti halnya suku bangsa dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat sosial. Dalam ruang tersebut tidak ada lagi klaim tentang ‘ini ruang kami’ atau ‘itu ruang mereka’, melainkan menjadi ‘ini adalah ruang kita bersama’.

Dalam pemikiran Michel de Certeau, masing-masing kontestan dengan beragam latar belaknag tersebut akan menerapkan strategi dan taktik guna memperoleh otoritas hegemoni. Karena secara kontinuitas akan terjadi perubahan struktur dan kondisi sosial kemasyarakatan, maka dalam kenyataannya tidak semua kontestan dapat mengklaim sebuah keberhasilan mutlak sebagai pemegang otoritas sosial. Dalam dinamika masyarakat terjadi proses interaksi sosial, terbangun wacana, subyektivikasi, serta karakterisasi pada masing-masing subyek, Mereka semua berkesempatan sama dalam berpartisipasi dengan konsensusnya untuk membentuk ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

(18)

ABSTRACT

The Dynamics of Areca Nuts Consumption Custom in the Public Spaces Forming Process of Manokwari City

The areca nuts (Areca catechu) consumption custom among Papuans in Manokwari City, West Papua Province, has been internalized in their daily life likewise the unstoppable globalization wave with its various mindset, ideologies, and discourses.Modernitybecame end-node of “brand-new” mindsets and lifestyles, so the

areca nuts consumption custom that has grown for ages will be stigmatized as old fashioned style, disgusting, considered as eyesore, and inappropriate in this current age.

However, this custom which promotes brotherhood values has become an identity and being a part of local wisdom for Papuans as well. It has given great opportunities to various social, economical, and even political discourse constructions that able to affect the daily life condition of locals that have been burdened by certain cultural and political problems.

Despite the negative and contra-productive stigma that had been embedded to the areca nuts consumption custom alongside the demands required by modernity values, it turns out to be an effective media of communication among the Papuans and within their heterogenic communities as well. As media of communication, according to Homi K. Bhabha, this custom can be seen as“the third space of enunciation” for all of its contestants with many backgrounds; like various ethnical and cultural groups within the society. In that space, there are no such claims like“this is our space”or“that is their space”, but“this is a space for us all”.

As Michael de Certeau has stated, each contestant with all of their own backgrounds would then apply a set of strategies and tactics to obtain an authorized hegemony. In the long run, the structure and condition of the society will be changeable, hence not all the contestants is able to claim absolute success as social authority holder. Within a growing and fluctuating community, there are social interactions, discourse constructions, and also each subject characterization. They all have equal opportunity to participate–by consensus–in creating the public spaces of Manokwari City, West Papua Province.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tradisi mengkonsumsi pinang bagi masyarakat Papua telah dilakukan

secara turun temurun dan merupakan kebiasaan dalam keseharian hidup dari

generasi ke generasi hingga dewasa ini. Aktivitas keseharian yang memiliki

nilai-nilai budaya dalam masyarakat setempat ini mendapat perhatian sekaligus

mengandung permasalahan yang mempengaruhi aktivitas keseharian

masyarakat publik. Kebiasaan mengkonsumsi pinang oleh sebagian masyarakat

publik modern dianggap sebagai kebiasaan yang jorok dan kontra produktif

dengan arus global. Banyak plakat pada ruang publik seperti di pusat

perbelanjaan, rumah sakit, hotel, supermarket, gedung perkantoran, pasar, dan

tempat publik lainnya bertuliskan: “Dilarang Makan Pinang di Area Ini!”

namun kebiasan ini tetap hadir tanpa terakomodir permasalahannya.

Salah satu ruang publik di Papua adalah Manokwari. Kota yang

merupakan Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Propinsi Papua Barat ini dalam

satu dasawarsa terakhir ini mengalami perubahan struktur dan pembangunan

infrastruktur dengan pesat. Upaya peningkatan dan pengangkatan sumber daya

(20)

ipoleksosbud yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan dan mutu

kehidupan masyarakat yang sekaligus memicu permasalahan kehidupan publik.

Komposisi penduduk Kota Manokwari1yang terdiri atas masyarakat Asli

Manokwari dari suku Sough, Karon, Hatam, Meyah dan Wamesa, ditambah

dari migrasi neto2 warga Papua pendatang (Serui, Biak Numfor, Waropen dan

Wondama) serta dari luar pulau Papua; seperti Bali, Jawa, Maluku, Sulawesi,

Sumatra, Ternate, Timor, serta pulau-pulau lainnya. Kondisi multikultur ini

tersebut berpotensi mempengaruhi dinamika aktivitas masyarakat dalam proses

pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

Dalam sejarahnya pada tanggal 8 Nopember 1898 Manokwari menjadi

Pusat Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengawasi wilayah Irian Jaya

Bagian Utara, oleh karenanya sejak masa pemerintahan kolonial terjadi

mobilisasi penduduk serta transformasi beragam budaya pada ruang-ruang

publik yang secara berangsur mempengaruhi aktivitas masyarakat setempat.

Dinamika budaya3 konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota

Manokwari dewasa ini berjalan seiring dengan arus globalisasi yang membawa

ragam; ideologi, konsep berpikir, gaya hidup, wacana, serta teknologi yang

mengharuskan hadir dalam berbagai praktek dialektika negosiasi-negosiasi

dalam forum ruang publik yang mencairkan (liquidity) atmosfer keseharian

1

Pada 3 wilayah distrik: Manokwari Barat, Manokwari Selatan, dan Manokwari Timur. 2

Perubahan penduduk karena perpindahan dan kedatangan penduduk ke suatu daerah (KBBI: 954). 3

(21)

hidup warga masyarakat di Kota Manokwari. Ruang publik bukan lagi bersifat

homogeneous akan tetapi berkembang dalam heterogeneous yang kompleks

dengan berbagai aspek kehidupan.

Pemanfaatan ruang-ruang geometris Kota Manokwari oleh warga

masyarakat pada umumnya menandai adanya suatu proses pembentukan ruang

publik dengan identitas dan karakternya yang terjadi seiring dengan dinamika

pengoperasian strategi dan taktik dari seluruh elemen masyarakat. Praktek

kreatifitas dalam dialektika negosiasi dilakukan untuk menguasai (dominasi

dan hegemoni) ruang publik sesuai imaji serta wacana masing-masing. Situasi

ini dapat dipahami dengan menggunakan pemikiran Miller4:

“We are in a crisis of belonging, a population crisis, of who, what, when, and where. More and more people feel as though they do not belong. More and more people are seeking to belong, and more and more people are not counted as belonging. Cultural Citizenship is concerned with the way this crisis is bothregistered and held …”

Melalui proses dialektika-dialektika dalam ruang publik tandingan (the

counter public sphere) dalam arus globlaisasi yang bebas dan dinamis yang

menawarkan ragam harapan dan keprihatinan publik akan terjadi proses

pembentukan sebuah ruang publik baru, hingga mengubah serta membentuk

sebuah identitas subyek kewargaan budaya yang baru pula.

4

(22)

Dalam kajian ini penulis lebih fokus pada fenomena budaya konsumsi

pinang warga masyarakat di Kota Manokwari Papua Barat. Ketertarikan ini

berawal dari peristiwa pengoprasian strategi pada tindakan manipulatif dalam

bentuk represif dan penyeragaman dari relasi kekuasaan dengan kehendak dan

kekuasaannya terhadap subjek-subyek masyarakat (seperti pedagang,

komunitas budaya, lembaga masyarakat), sehingga membatasi aktivitas dan

kreasi warga dalam keseharian hidup masyarakat di Papua.

Gambar.1.Larangan makan pinang pada lingkungan sekolah.5

Di dalam ruang publik Kota Manokwari, hampir setiap waktu terlihat

pemandangan orang atau sekelompok orang sedang menikmati buah pinang. Di

tepian jalan, di pojok ruangan perkantoran, rumah sakit, pasar, pos-pos ronda

atau pun di dalam kendaraan-kendaraan umum, di jalan-jalan raya, terutama

5

(23)

pada tikungan-tikungan dengan mudah terlihat berhamburan tilas-tilas aktivitas

mengkonsumsi pinang berupa ludahan pinang.

Gambar 2.Sebuah ember tempat membuang ludah pinang diPastingSanggeng Manokwari.6

Dari anak-anak sampai dengan orang tua, pelajar, mahasiswa,

pemuka/tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sampai para pejabat di

Papua, meyakini beragam manfaat dari mengkonsumsi pinang bagi kehidupan

sosial, budaya maupun ketubuhan.

Mengkonsumsi pinang menjadi identitas bermakna dalam relasi

kebersamaan. Proses komunikasi dalam relasi tersebut memungkinkan

terbangun beragam wacana yang terlahir dari pengalaman, pemikiran, gagasan

dan ide individu maupun kelompok, yang memberi ruang terjadinya dinamika

6

(24)

kontestasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam pusaran ruang

publik kehidupan masyarakat Manokwari

Fenomena sosial budaya tersebut memasuki wilayah kontestasi politik

dan ekonomi pasar yang memungkinkan terbangunnya ketegangan sosial

maupun individual, membangkitkan resistensi dan sekaligus negosiasi dalam

kehidupan publik. Aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, kebijakan

pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup (life style)

mempersepsi kota dengan berbagai bentuk dan praktek kekuatan struktural.

Ruang Kota menjadi arena untuk memperjuangkan asosiasi bebas: “Ethics,

pleasure and invention these are the values that underwrite a practice that

tries to open up a space for ‘free association’.”7yang menjadi terkekang oleh

karena adanya kontestasi pasar dan kekuasaan, dimana dialektika dan negosiasi

menjadi representasi masing-masing kontestan dalam upaya mencapai

nilai-nilai etika, kesenangan/pemuasan dan penemuan dalam bidang sosial, ekonomi,

budaya dan kekuasaan politik.

Represi dan perlawanan menjadi indikator adanya pelanggaran etika

sosial yang mengusik kemapanan identitas masyarakat yang berpotensi

memunculkan perlawanan (resistensi) dari masyarakat budaya untuk

mempertahankan identitas budayanya sebagai filosofi yang bermakna dalam

kehidupan sehari-hari (everyday life) dalam masyarakat sosial dan budaya.

7

(25)

Kota Manokwari sebagai ruang publik menjadi arena kontestasi forum

subyek-subyek dengan ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh

pertarungan strategi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang

berhadapan dengan taktik dari masyarakat mau pun individu dengan kultur

masing-masing. Makna-makna yang terkandung dalam tradisi kehidupan

sehari-hari masyarakat di Papua terkikis oleh klaim modernitas yang diwakili

oleh aparat pemerintah, kapitalis, media, gaya hidup masyarakat serta

regulasi-regulasi yang diterapkan untuk kehidupan publik.

2. Tema Penelitian

Budaya konsumsi pinang menjadi sebuah ruang dialektika yang mampu

menggerakkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam

pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

3. Rumusan Masalah

Mencermati permasalahan di atas, tertengarai adanya krisis dan ancaman

terhadap warga budaya konsumen pinang. Mobilitas ekonomi, sosial, religi,

budaya serta politik dengan beragam agenda memasuki ruang publik yang

membaur dalam kehidupan masyarakat Kota Manokwari, selanjutnya secara

(26)

ruang publik tempat seluruh warga masyarakat Kota Manokwari beraktivitas

dalam kehidupannya sehari-hari.

Memahami budaya konsumsi pinang yang berhadapan dengan arus

modernitas, sehingga masuk dalam ranah kontestasi dengan ragam gaya hidup,

mobilitas penduduk, komoditas ekonomi, regulasi dan kebijakan-kebijakan

publik di Kota Manokwari, memunculkan beberapa pertanyaan akademik serta

publik yang hendak dipahami dan dijawabi melalui kajian budaya ini:

1) Wacana dan kebijakan publik seperti apakah yang muncul dari budaya

konsumsi Pinang di Manokwari?

2) Bagaimanakah pendapat masyarakat terhadap budaya konsumsi pinang di

Kota Manokwari?

3) Bagaimanakah aktivitas mengkonsumsi pinang mampu berperan dalam

pembentukan ruang publik kota Manokwari?

4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai melalui kajian budaya tentang Dinamika

Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

ini adalah;

1) Mendeskripsikan wujud dan berkembangnya budaya konsumsi Pinang

(27)

2) Menganalisa wacana serta imaji tentang budaya konsumsi Pinang yang

terbangun dalam masyarakat publik Kota Manokwari.

3) Menggunakan konsep pemikiran Michel de Certeau tentang strategi dan

taktik pada ruang publik tandingan untuk dapat mengartikulasikan

dinamika budaya konsumsi pinang yang turut serta menjadi faktor dalam

pembentukan realitas ruang publik kota Manokwari di Propinsi Papua

Barat.

5. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah fenomena sosial dan budaya, mengkonsumsi pinang

dalam masyarakat Papua dihayati dalam dinamika heterogeneous budaya.

Dinamika budaya ini membangkitkan keingitahuan mengenai hal-hal yang

terjadi di dalamnya. Fenomena ini menarik untuk diamati dan dikaji yang

diharapkan ada upaya-upaya analisis lanjutan, pencerahan terhadap intuisi,

ide-ide baru, konsep-konsep tentang ruang publik yang baru, informasi dan

perspektif yang baru, serta kebijakan publik yang lebih akomodatif terhadap

obyek budaya masyarakat Papua dimaksud.

Melalui Kajian Budaya (cultural studies) ini diharapkan dapat

mengartikulasikan dinamika budaya mengkonsumsi pinang yang berkonstelasi

dengan aparatus pemerintah, kapital modal, masyarakat sipil, dan media massa

(28)

menggerakkan eskalasi sosial, ekonomi, budaya dan politik, sehingga berperan

dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

Oleh karenanya kajian budaya yang menitik beratkan perhatian pada

usaha pemahaman sekaligus mencari peluang pemanfaatan ruang publik Kota

Manokwari ini diharapkan dapat:

1) Mendorong pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, bagi

warga masyarakat heterogeneous budaya, agar dapat mengedepankan

kebijakan budaya (cultural policy) yang dapat mengakomodir kebutuhan

indigeneousbudaya masyarakat setempat.

2) Membuka wacana pengetahuan (gnostic) akan adanya wandering of the

semantics sebagai serangkaian pesan bermakna yang berhamburan dalam

kesengkarutan perjalanan (trajectory) keseharian hidup masyarakat,

sehingga mampu menjadikan subyek-subyek visioner yang dapat

berpartisipasi sebagai creatoris ruang tak terbatas untuk mengakomodir

bagi asosiasi bebas warga masyarakat.

3) Memberi kontribusi dalam perdebatan akademik tentang konsep strategi

dan taktik yang ada dalam kontestasi kehidupan (pragmatis), yang

sekaligus menjadi dasar untuk mengapresiasi dan penyusunan strategi

kebijakan selanjutnya atas kegagalan maupun keberhasilan pembentukan

(29)

6. Kajian Pustaka

Dewasa ini ruang publik semakin menjadi perhatian dari dunia

internasional, pemerintahan negara-negara, pemerintah daerah, hingga unit-unit

wilayah yang dekat dengan lapisan masyarakat yang sekaligus menjadi

kebutuhan bagi masyarakat publik. Masyarakat membutuhkan ruang publik

sebagai tempat beraktivitas, mengekspresikan diri, bekerja untuk mencari

nafkah, rekreasi atau pun menjalin relasi sosial dengan sesamanya.

Dalam sebuah tulisan yang bertopik Hidden-Order dan Hidden-Power

pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung Bandung,

RR. Dhian Damajani8 memberikan simpulan penelitiannya di tahun 2007,

bahwa:

“Konfigurasi ruang secara alamiah akan berubah sesuai situasi dan kondisi yang ada. Ruang fisik tidak menjadi batasan untuk tetap dapat melakukan aktivitas. Dengan kata

lain, ruang fisik dapat “berubah bentuk” sesuai dengan konteksnya. “Peristiwa” yang dikonstruksi oleh para aktor

mempunyai posisi yang lebih utama dibandingkan dengan wujud spasialnya.”9

Studi kasus pada Lapangan Cikapundung Bandung di atas memberikan

pemikiran adanya kemungkinan proses perubahan bentuk dari ruang publik

8

Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

9

(30)

Kota Manokwari yang dikarenakan oleh kebiasaan, tradisi, adat istiadat atau

pun sebagai budaya mengkonsumsi pinang, karena eksistensinya akan mampu

turut serta dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari. Karena

berdasarkan kenyataan lapangan di atas yang walau pun tidak sejalan dengan

konsep modernitas dengan suatu imaji kota bersih, rapi dan teratur; masyarakat

konsumen pinang di sekitar Kota Manokwari pun dapat menjadi aktor yang

dapat mengkonstruksi konfigurasi ruang publik Kota Manokwari yang baru.

Cara berpikir tersebut membantu untuk menjelaskankan adanya suatu

dinamika budaya konsumsi pinang yang selama ini dipandang menjadi biang

berbagai permasalahan sosio-kultural di sekitar ruang publik Kota Manokwari,

yang berkaitan dengan kompleksitas persoalan-persoalan latar belakang

masyarakat, arus global, serta mobilisasi penduduk yang secara evolusi turut

serta dalam proses pembentukan kota sebagai ruang publik berkelanjutan.

Imaji ruang publik Kota Manokwari dalam hal ini tidak bisa terlepas

dengan potret keseharian perjuangan mama-mama Papua yang berjualan

pinang atau pun yang dengan berjejer menggelar karung-karung plastik untuk

meletakkan barang-barang dagangan yang berupa hasil kebun di sepanjang

pinggiran jalan mau pun teras pasar. Sedangkan para pedagang ‘pendatang

berjualan dengan menempati kios/los yang lebih mapan. Keadaan yang

(31)

Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran

Daerah di Tanah Papuaoleh I Ngurah Suryawan:

“…mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan Wosi di Kota Manokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut. … ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil dari pemekaran daerah menjadi arena baru perebutan kekuasaan ekonomi politik yang dimainkan oleh para elit-elit lokal

dengan mengatasnamakan “rakyatnya” masing-masing, pemerintah Indonesia, para pendatang yang mengadu nasibnya di Tanah Papua, dan jejaring investasi global dalam

berbagai bentuk dan “wajah-wajahnya” yang saling menipu

untuk memanfaatkan peluang, keuntungan, dan

kekuasaannya.”10

Di tengah ekspansi kolonialisasi, pasar global, kapitalisasi dan birokrasi

pemerintah yang berkuasa, budaya mengkonsumsi pinang tetap eksisten dalam

proses interaksi dan komunikasi yang mampu membangun opini dan wacana

publik. M. Sastrapratedja, Guru besar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Jakarta memotret kembali ‘public sphere’ Kota Paris dan London dalam

rentang waktu akhir abad 17 dan awal abad 18 yang sedang terjadi kembali

pada lingkungan masyarakat kita pada saat sekarang: “… ruang publik itu

mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, berkumpul bersama

sebagai orang yang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil, berbeda

10

I Ngurah Suryawan. 2013. KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1. Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua.

(32)

dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu membentuk opini

publik melalui debat rasional.”11

Pemikiran di atas meyakinkan anggapan dasar penulis tentang dinamika

budaya mengkonsumsi pinang, di mana komunitas warga masyarakat

berkumpul dan berkomunikasi (share) sebagai orang yang sepengalaman dalam

kehidupan, sehingga melahirkan harapan, pandangan, pendapat, ide-ide dan

penilaian yang melalui aktivitas keseharian dalam semua bentuk relasi dengan

yang lain (the other) untuk mewujudnyatakan idealism sebuah kota sebagai

ruang publik bersama.

Menggunakan pemikiran Mudji Sutrisno dalam tulisannya bertajukKrisis

Ruang Publik Kultural, potret ruang publik yang dinarasikan oleh Suryawan di

atas dapat menghantar kepada pemikiran untuk mempertanyakan hadirnya

fenomena modernitas, dalam arti rasionalitas ekonomi modern akan menggusur

dan menggantikan konsep serta sistem ekonomi tradisional suatu masyarakat.

Mudji Sutrisno menyorot:

“… soal penghayatan ruang bersama yang bergeser dari makna kultural menjadi ekonomis serta apa yang berebut dan siapa yang memperebutkan ruang bersama itu; kekuatan-kekuatan manakah sehingga para pemilik awal yang semula aktif kini menjadi penonton pasif ?…Atau lebih tandas lagi, kini penonton-penonton itu sudah dijadikan obyek konsumsi

11

(33)

atau sekedar konsumen karena ruang bersama di dominasi oleh pemodal?”12

Pada giliran selanjutnya, muncul regulasi-regulasi yang merupakan

bahasa kebijakan, menuntut penyeragaman budaya pada ruang publik kota

justru memperjelas hadirnya sikap diskriminatif dalam memberikan penilaian,

stigma, dan justification terhadap indigenous budaya mengkonsumsi pinang

dalam masyarakat Papua di Manokwari.

Sikap dan kebijakan publik yang mengintervensi praktek budaya lokal –

mengkonsumsi pinang – telah mengekang dan mempersempit ruang gerak

asosiasi bebas warga konsumen buah pinang, sehingga mengancam

keberlangsungan kultur dalam relasinya dengan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat di Papua. Hal ini merupakan indikasi adanya persoalan kehidupan

budaya yang diakibatkan dari kontestasi hegemoni dalam mobilitas sosial,

ekonomi, budaya serta politik pada forum publik.

Kesenjangan ekonomi, sosial politik dan budaya warga Papua telah

menjadi bahan perbincangan serius; kesenjangan antara warga asli dan

pendatang menjadi sebuah potret Papua yang memprihatinkan. Tim Jurnalis

12

(34)

Kompas13 melalui ekspedisi lapangan pada tahun 2007 memberikan

laporannya:

“… perekonomian rakyat Papua bisa dikatakan jalan di

tempat. Di berbagai wilayah, mulai dari Teluk Bintuni hingga Merauke, memang terlihat ada kemajuan pembangunan fisik. Namun yang lebih berperan dalam pembangunan dan menikmati kemajuan itu adalah para pendatang, terutama mereka yang berasal dari Buton, Bugis, dan Makassar (Sulawesi), yang lebih dikenal dengan istilah BBM. Orang asli Papua, terutama mama-mama, pada umumnya hanya mampu berdagang seadanya, seperti menjual pinang-sirih, sayuran, dan ikan di sekitar pertokoan yang dimiliki

pendatang.”

Otoritas kampung sebagai ruang sosial tak terbatas telah mengalami

pergeseran yang diakibatkan oleh adanya dominasi (hegemonisasi) kekuatan

baru (modernitas). Suatu proses pergerseran otoritas sosial: “… the old regime

no longer had the authority it had once commanded: consequently it could no

longer hold fast against further changes.” (Buchanan. 2000:2) yang muncul

dengan suatu perubahan otoritas kota sebagai ruang sosial terbatas, sehingga

melahirkan suatu kampung dalam kota yang mempersempit ruang gerak

praktek kultur masyarakat setempat.

Kampung dalam kota merujuk pada suatu habitat kehidupan sosial yang

khas, tempat membentuk pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan

yang ada di dalamnya. Habitat ini terbangun karena adanya mobilitas kaum

13

(35)

migran, yakni para pendatang yang mempersepsi dirinya sebagai pelaku-pelaku

ekonomi pasar atau pun pegawai (abdi) keprajaan pada suatu ruang publik

yang telah berdomisili masyarakat setempat dengan kultur kesehariannya.

Keadaan ini menyuburkan dinamika kontestasi dalam ruang publik dengan

ketidakteraturan dan ketegangan.

Wacana-wacana kritis di atas menjadi alasan-alasan diperlukannya

memperhatikan serta memberi tempat (akomodasi) bagi upaya-upaya

pelestarian indigeneous budaya masyarakat yang merupakan bagian dari

kearifan lokal dalam masyarakat Papua yang mengandung nilai dan makna

dalam keseharian hidup mereka. Maka melalui kajian ini diharapkan akan

dapat membantu mengartikulasikan sisi dinamika budaya mengkonsumsi

pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

7. Kajian Teori

Untuk mengkaji topik di atas penulis mempergunakan konsep-konsep

pemikiran (teori) kajian budaya dari Michel de Certeau (1984) yang berjudul

The Practice of Everyday Life, sebuah karya akademik yang

mengkombinasikan dengan praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan

dengan dinamika budaya mengkonsumsi pinang pada proses pembentukan

(36)

dibangun oleh Certeau mengenai strategi-strategi kekuasaan dan taktik-taktik

perlawanan yang terjadi dalam ruang publik tandingan.

Pembentukan ruang publik kota selalu menghadirkan opini, wacana serta

regulasi dari pemangku otoritas wilayah (rezim penentu) yang mempunyai

otoritas dominan dalam keseharian hidup masyarakat setempat. Kebijakan

publik yang terwujud dalam regulasi serta komitmen bersama, keduanya

terangkai dalam sistem administrasi publik:

“Administration is combined with a process of elimination in this place organized by "speculative" and classificatory operations. On the one hand, there is a differentiation and redistribution of the parts and functions of the city, as a result of inversions, displacements, accumulations, etc.; on the other there is a rejection of everything that is not capable of being dealt with in this way and so constitutes the "waste products" of a functionalist administration (abnormality, deviance, illness, death, etc.). To be sure, progress allows an increasing number of these waste products to be reintroduced into administrative circuits and transforms even deficiencies (in health, security, etc.) into ways of making the networks of order denser.”14

Reimagine dalam pemikiran Michel de Certeau untuk proses

pembentukan sebuah ruang publik kota sarat dengan dinamika: “They move

even the rigid and contrived territories of the medico-pedagogical institute in

which retarded children find a place to play and dance their "spatial stories.

These "trees of gestures" are in movement everywhere. Their forests walk

14

(37)

through the streets. They transform the scene, but they cannot be fixed in a

certain place by images.”(Certeau.1984:102). Subyek-subyek hadir

mentransplantasi, membawa pergi retoris dan menggusur analitis, sehingga

dalam kaitan dengan urbanisme hadir wandering of the semantics yang

terproduksi oleh massa. Hal tersebut membuat beberapa bagian dari ruang

publik menjadi hilang, distorsi, terpecah-belah, serta mengalihkan keteraturan

gerak menjadi kesengkarutan. Keadaan tersebut justru memberi keuntungan

kepada pihak yang mampu memainkan strategi dan taktik untuk menguasai

keadaan ruang publik dalam rangka pencapaian suatu tujuan.

Proses pergeseran (penyingkiran) pada ruang publik selalu dalam

klasifikasi gerak sosial masyarakat yang bersifat spekulatif. Pembedaan dan

pembagian-pembagian fungsi kota yang diakibatkan oleh pembalikan,

perpindahan, dan akumulasi pergeseran-pergeseran akan mengusik eksistensi

kultur suatu masyarakat yang telah mapan. Proses ini menjadi suatu resistensi

yang disebabkan oleh pertemuan tindakan penekanan (represi) dan perlawanan

terkait dengan eksistensi budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian

masyarakat. Suatu proses yang memicu ketidak-nyamanan situasi sosial yang

disebabkan oleh pelanggaran etika sosial.

Dengan modus penyeragaman budaya untuk sebuah gaya hidup

keseharian dengan konsep-konsep modernitas oleh subyek dominan terhadap

(38)

ditandai dengan regulasi dan wacana, maka akan terbentuk imaji ruang publik

sebagaimana diinginkannya. Proses perjalanan situasi sejarah ini menurut

Benedict Anderson merupakan “alur pertumbuhan yang mungkin dapat

dinamai ‘sejarah komparatif’ yang pada gilirannya menuntun orang ke arah

konsepsi yang sampai saat itu belum pernah didengar orang, ‘kemodernan’

yang diperlawanakan dengan ‘zaman kuno’ (antiquity), niscaya tak

menguntungkan bagi yang disebut belakangan tadi.”15

Sebagaimana situasi sengkarut sebuah ruang publik kota yang

digambarkan oleh Michel de Certeau: "The city," like a proper name, thus

provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite

number of stable, isolatable, and interconnected properties.”

(Certeau.1984:94). Demikian pula dalam realitasnya di Kota Manokwari semua

predikat dan fungsi yang beragam dapat berasosiasi atau pun justru

memisahkan diri, sehingga kota sebagai ruang publik bersama menyajikan

berbagai peristiwa dengan ketidakstabilan, diisolasi, properti yang

masing-masing saling berhubungan serta memiliki beragam makna.

Maka kota menjadi sebuah ruangpengucapan ketiga: “The intervention of

The Third Space of enunciation, which makes the structure of meaning and

reference an ambivalent process, destroys this mirror of representation in

which cultural knowledge is customarily revealed as an integrated, open,

15

(39)

expanding code.”(Bhabha. 1994:54), sehingga ruang publik Kota Manokwari

realitasnya menjadi sebuah tempat pertandingan (the counter public sphere)di

antara otoritas-otoritas subyek peserta kontestasi. Ruang publik kota menjadi

arena dengan ketegangan yang disebabkan adanya dinamika negosiasi dan

perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Beragam bentuk dan praktek

kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga

masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan,

ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat, berlomba mempersepsi

kota sebagai ruang sosial tak terbatas

Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik

tandingan (the counter public sphere)tidak berhenti dengan penerapan strategi

dan taktik, menurut Certeau dalam prosesnya sangat mungkin terjadi

penjungkirbalikan posisi kontestan sebagai pemegang dominasi:

“By contrast with a strategy (whose successive shapes introduce a certain play into this formal schema and whose link with a particular historical configuration of rationality should also be clarified), a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus. No delimitation of an exteriority, then, provides it with the condition necessary for autonomy. The space of a tactic is the space of the other.”16

Oleh karenanya pemakai strategi sangat mungkin harus menerima

kekalahan dan harus berganti menerapkan taktik.

16

(40)

Strategi bermain dalam struktur resmi yang dilatarbelakangi rasionalisasi

sejarah yang dapat diklarifikasi, sebaliknya taktik terlahir ditentukan oleh locus

ruang lain yang berada di bawah otoritas pemakai strategi. Taktik bermain pada

arena organisasi (management) kekuatan asing yang dominan.In short, a tactic

is an art of the weak.17 Karena taktik terlahir sangat ditentukan oleh ketiadaan

kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat18

kekuasaan.

Pembentukan sebuah ruang publik selalu terjadi dalam suatu proses

interaksi sosial, dimana subyek-subyek saling membagi pengetahuan sehingga

membentuk suatu karakter yang akan melahirkan idea dan pengetahuan tentang

dunia sosial dengan ragam wujud, suasana, jenis serta ukuran ruang publik

sebagairuangan tak terbatas. Dalam hal tersebut, Certeau menguraikan konsep

pemikirannya:

“It would be legitimate to define the power of knowledge by this ability to transform the uncertainties of history into readable spaces. But it would be more correct to recognize in these "strategies" a specific type of knowledge, one sustained and determined by the power to provide oneself with one's

own place. … It makes this knowledge possible and at the

same time determines its characteristics. It produces itself in and through this knowledge.”19

17

Ibid.hal. 37. 18

Postulat adalah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma.

19

(41)

Tentang terbentuknya suatu ruang publik kota, pada bukuThe Practice of

Everyday Life dalam sub judul Walking in The City, Certeau memberikan

konsep pemikirannya dalam 3 (tiga) prasyarat operasional untuk terbentuknya

sebuah kota yang ideal sebagai ruang publik; (1) Produksi ruang dengan cara

mengorganisasi secara kompromis dalam pengelolaan fisik, mental dan situasi

politik; (2) Sinkronisasi sistem dengan suatu keberanian untuk keluar dari

kebiasaan dalam mengelola dan memanfaatakan peluang dari potensi resistensi;

pembatasan taktik, penyimpangan dan reproduksi kekeruhan sejarah; 3)

Menciptakan subjek universal yang anonim dalam sebuah kota, yang berupa

atribut-atribut serta model politik.20

8. Metode Penelitian

Pengkajian budaya yang mengambil topik Dinamika Budaya Konsumsi

Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari dilakukan pada

lingkup kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Manokwari, secara lebih

khusus membatasi pada kebiasaan (tradisi) mengkonsumsi pinang yang telah

membudaya dalam keseharian masyarakat Papua.

Budaya mengkonsumsi pinang tetap bertumbuh kembang dalam arus

modernitas yang telah memasuki keseharian hidup daam masyarakat

20

(42)

Manokwari. Menurut Saukho dalam bukunya yang berjudul Doing Research

in Cultural Studies, pertumbuhan suatu sebuah tradisi/budaya masyarakat yang

berkembang dalam era globalisasi digambarkan pada posisi: “… between two

currents in empirical research in cultural studies that were interested in either

the microcosmos of individual experience or the macrocosmos of global,

economic powerstructures (Saukko,1998).”21 Dalam perkembangan budaya

tersebut akan menghadirkan berbagai pengalaman individu mau pun komunitas

masyarakat setempat, masyarakat migran, atau masyarakat urban yang ada di

Kota Manokwari Papua Barat.

Untuk memperoleh data dan informasi lapangan dalam rangka penelitian

dan pengkajian budaya mengkonsumsi pinang, penulis menggunakan teknik

pendekatan dengan metodologi yang didasarkan dari pemikiran-pemikiran

Michel de Certeau dalam bukunya The Practice of Everyday Lifepada bagian

VII (Walking in the City). Dengan metodologi ini bertujuan untuk

mengartikulasikan wandering of the semantics22 (Certeau 1994:102);

menemukan serta membaca strategies dan tactics yang dipergunakan oleh

subyek-subyek pada lintasan yang tak teratur pada ruang publik masyarakat

urban; untuk melakukan penyelidikan (eksplorasi) dan penggarapan (elaborasi)

dari pengalaman-pengalaman hidup masyarakat dalam proses pembentukan

21

Paula Saukko. 2003. Doing Research in Cultural Studies. An Introduction to Classical and New Methodological Approaches.London. Thousand Oaks. New Delhi : SAGE Publications, hal. 5-6. 22

(43)

Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Dengan metode ini

pejalan kaki/walker(peneliti: saya) bermaksud menemukan makna serta pesan

yang simpang siur dari ruang publik (territorial) Kota Manokwari tempat

warga masyarakat budaya konsumsi pinang masih hadir dengan eksistensinya.

Metodologi tersebut mendapatkan sebuah apresiasi dari Highmore: “I

want to show how the methodology of de Certeau is always also social.

Explicating his work of cultural policy is a way of making vivid something that

is already there in the historiography, in the contemporary ethnology.”23

Metodologi Walking in the City terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani;

tentang sosok heroik Icorus yang dipandang sebagai tokoh simbol yang

memiliki keberanian dalam mengeksplorasi hal-hal yang baru, manusia dewa

(bersayap) tukang intip yang dalam posisi terbangnya mampu mengamati

obyek sesuai dengan tujuannya. Melalui metodologi Walking in the City,

walker menjadi pengamat sekaligus peneliti dengan menggunakan teknik/cara

untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang publik secara lebih

detail dan menyeluruh–bahkan tanpa harus memilih pada suatu obyek dengan

klasifikasi tertentu – pada yang tak teratur, kotor, tidak normatif atau pun

perihal yang tidak pernah dianggap umum dan wajar oleh penilaian publik

sekalipun. Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung

pangkal dari topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar,

23

(44)

mengiyakan, sambil memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan

(trajectory) dalam kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar,

tercium dan terasakan sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup

warga masyarakat Manokwari, penulis berkesempatan mendapatkan informasi

dan pesan-pesan bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini.

Voyeurisme24 icorian menjadi sebuah karakter yang memiliki dorongan

tidak terbatas, dengan secara diam-diam mengintip, mengamati dan

memperhatikan secara seksama untuk memperoleh masukan berupa informasi

dan data dari peristiwa-peristiwa pada ruang publik yang diamati, sehingga

mendapatkan pemenuhan rasa puas atas kebutuhan dan keinginannya.

Demikian pula dengan berjalan kaki (blusukan), akan menjadi subyek

yang berkemungkinan menyerap beragam pesan dari kejadian-kejadian di

sepanjang dan selebar (ruang) kota. Menurut Certeau, Walker dapat mendekat

atau pun menjauh dari apa yang ada dan terjadi, bahkan dapat terlibat langsung

atau pun hanya mengamati dari kejauhan seperti dewa:

“An Icarus flying above these waters, he can ignore the

devices of Daedalus in mobile and endless labyrinths far

below. His elevation transfigures him into a voyeur. It puts

him at a distance. It transforms the bewitching world by

24

(45)

which one was "possessed" into a text that lies before one's

eyes. It allows one to read it, to be a solar Eye, looking down

like a god. The exaltation of a scopic and gnostic drive: the

fiction of knowledge is related to this lust to be a viewpoint

and nothing more.”25

Pejalan kaki dapat menempatkan diri dalam berbagai posisi yang

memungkinkan untuk mendapatkan pengelihatan (visi) dan pesan-pesan yang

terkandung di dalamnya. Pesan-pesan tersebut akan bertransformasi dalam diri

sehingga menjadikannya sebagai seorang visioner.On the 110th floor, a poster,

sphinx-like, addresses an enigmatic message to the pedestrian who is for an

instant transformed into a visionary: It's hard to be down when you're up.

(Certeau.1984:92)26.

Untuk mendapatkan informasi dan data yang sahih penulis hadir dan

masuk dalam dinamika kehidupan warga masyarakat Numfor, Wondama serta

warga asli Papua lainnya yang pada umumnya memiliki kebiasaan

mengkonsumsi pinang buah mau pun pinang kering (gebe) di sekitar Kota

Manokwari Papua Barat. Kebiasaan yang telah membudaya ini merupakan

identitas simbolik yang memiliki makna dan kekuatan persaudaraan di antara

mereka.

25

Ibid. hal. 92. 26

(46)

Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung pangkal dari

topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar, mengiyakan, sambil

memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan (trajectory) dalam

kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar, tercium dan terasakan

sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup warga masyarakat

Manokwar, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dan pesan-pesan

bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini.

Posisi peneliti menjadi pengamat (observator), pelaku yang terlibat dalam

obrolan bersamamama-mama penjual pinang serentak mendapatkan informasi,

pengetahuan, makna, serta pesan-pesan yang terkandung dalam ragam

peristiwa, yang kemudian mewacanakannya27 melalui proses pencarian relasi

kasualitas dari realita-realita yang ada. Dengan cara demikian, walkermenjadi

penonton dan pemerhati yang berkesempatan menyesuaikan dengan posisi

dekat atau pun jauh dengan subyek serta obyek yang diamatinya dalam jarak

seperlunya. Proses ini menjadi teknik mendapatkan visi dan pesan untuk

dijadikan bahan kajian dan penyusunan karya tulis ini.

Informasi dan data lapangan selanjutnya dipertajam dengan hasil

dokumentasi visual dan wawancara lapangan terhadap berbagai pihak yang

sependapat, berselisih, dan bahkan dengan pihak yang selalu berbeda dalam

cara pandang maupun pun orientasi kemanfaatan dari kebiasaan mengkonsumsi

27

(47)

buah pinang. Perihal tersebut terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat

yang berkonstelasi dalam ranah operasional komoditas ekonomi perdagangan

pinang padalocusruang publik Kota Manokwari.

Dengan segala keterbatasan, pejalan kaki tidak akan mampu secara penuh

(totality) terlibat aktif dengan yang ditemuinya, namun yang bersangkutan

mempunyai kesempatan menjadi seorang vision atau puncreator untuk situasi

yang diidealkan pada masa selanjutnya.

Karakter tersebut menjadi acuan dasar melakukan penelitian guna

mendapatkan data-data lapangan untuk diklarifikasi dan analisa, sehingga

menjadi sebuah pesan bermakna. Pesan bermakna tersebut menjadi dasar

pembuatan sebuah teks cultural policy yang akan digunakan dalam

membangun dan mengubah (menyihir) suatu ruang publik menjadi sebuah kota

impian:“he ended by hoping for a ’nouveau monde' de l'Esprit".28

Upaya mendapatkan data dan informasi lapangan dalam penelitian kajian

budaya ini dengan teknik wawancara, pemotretan visual, serta studi

kepustakaan dengan pendekatan sebagai berikut;

1) Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan ini menurut Moleong dalam buku Metodologi Penelitian

Kualitatif merupakan tradisi penelitian kualitatif yang “ berusaha

28

(48)

memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang

biasa dalam situasi tertentu. … Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis

ialah aspek subyektif dari pelaku orang.”29 Tradisi mengkonsumsi pinang

dalam masyarakat tradisional Papua merupakan fenomena sosial-budaya

yang sarat dengan makna dalam keseharian hidup masyarakat setempat.

2) Pendekatan Etnografis

Pendekatan ini merupakan sebuah teknik peneliti dan pengamat dalam

mempelajari kehidupan sosial dan budaya suatu masyarakat, yakni budaya

mengkonsumsi pinang yang memiliki keterkaitan (konstelasi) dengan

subyek-subyek yang ada pada ruang publik Kota Manokwari.

Berkaitan dengan topik penelitian tentang dinamika budaya konsumsi

pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari, maka

informasi dan data didapatkan pada:

1) Kelompok, lokasi dan responden/informan penelitian;

a. Dewan Adat Masyarakat Manokwari

b. Masyarakat publik Kota Manokwari.

c. Penjual pinang di Kota Manokwari

d. Masyarakat konsumen pinang di Kota Manokwari30.

e. Pemerhati masyarakat Papua

29

Lexy J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 9. 30

(49)

2) Penelitian Kepustakaan;

a. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

b. Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Manokwari

c. Artikel dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian

3) Sumber-sumber data yang bersifat sekunder didapatkan dari;

a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

Manokwari

b. Dinas Perdagangan dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Kabupaten Manokwari

c. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manokwari

d. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari

e. Stasiun Regional RRI Manokwari.

f. Distributor dan pelaku bisnis perdagangan rokok

g. Website yang berkaitan dengan topik penelitian dan pengkajian.

9. Sistimatika Penulisan

Hasil kajian melalui penelitian lapangan ini disusun dalam 5 (lima) bab.

Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tema penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka,

(50)

Pada bab II akan mengurai tentang konteks wacana budaya konsumsi

pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab pertama

dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan Nusantara

(Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik Kota

Manokwari sebagai locuskajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub ketiga

membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut

pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota

Manokwari.

Dalam bab III akan dipaparkan perolehan data dan informasi dari

lapangan penelitian; konstelasi budaya konsumsi pinang dengan ruang publik,

imaji tentang konsumsi pinang dalam masyarakat asli dan pendatang di Papua,

keberbedaan idealisme dan citra kota modern yang melahirkan kontestasi,

konflik, kebijakan publik, serta dialektika negosiasi pada ruang publik Kota

Manokwari.

Pada bab IV akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan

dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang

dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi

dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena budaya konsumsi

pinang dalam masyarakat di Kota Manokwari dalam rentang tahun 2010 hingga

(51)

enunciation)31 sebagaimana digagas oleh Homi K. Bhabha yang menjadi unsur

pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Pada bab ini juga berisikan tentang pokok-pokok pemikiran Certeau

dalamThe Practice of Everyday Life(1984) tentang dinamika negosiasi strategi

dan taktik untuk mewujudkan kemapanan dan ranah operasional sebuah kota

menjadi dasar analisa serta penjabarannya. Apresiasi dan pemikiran Ian

Buchanan (2000):Michel de Certeau Cultural Theorist; Ben Highmore (2006):

Michel de Certeau Analysing Cultureserta tulisan pemikir akademik lainya.

Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh hasil kajian budaya ini.

31

(52)

BAB II

WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG

Pada bab kedua ini akan mengurai tentang konteks wacana budaya

konsumsi pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab

pertama dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan

Nusantara (Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik

Kota Manokwari sebagai locus kajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub

ketiga membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut

pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota

Manokwari.

1. Budaya Konsumsi Pinang 1) Buah Pinang1

Tumbuhan pinang tersebar dan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat

di kawasan Asia. Dalam Jurnal Phytotaxa, Prof. Charlie D. Heatubun2

mengurai persebaran beragam spesies tumbuhan pinang di Kepulauan New

Guinea (Papua) dan Salomon yang berasal dari India dan China bagian

Selatan melaui Malaysia: “The palm genus Areca Linnaeus (1753: 1189) is

distributed from India and South China through Malesia to New Guinea and

1

Latin:areca catechu; Inggris:betel palm / betel nut tree.

2

(53)

the Solomon Islands (Dransfield 1984, Dransfield et al. 2008), and contains

approximately 50 species (Henderson 2009).”3 Pinang merupakan sepecies

palma yang tumbuh di wilayah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur. Di

berbagai wilayah Nusantara tanaman ini mempunyai beragam nama; Aceh:

pineung, Batak Toba:pining, Sunda dan Jawa:jambe, Madura:penang, serta

masih ada sebutan lain untuk daerah yang berbeda.

Masa produktif tumbuhan ini setelah berumur 4 – 6 tahun, dan puncak

produksi dicapai pada umur 10 – 15 tahun hingga usia 20 tahun. Buahnya

dikatakan masak saat berubah dari warna hijau menjadi jingga atau merah.

Gambar 3. Tanaman pohon Pinang Keluarga Lazarus Fanghoy

di Kampung Bouw Distrik Manokwari Barat.4

Tanaman dari keluarga (family) arecaceae ini berpotensi sebagai

tanaman obat dan beragam manfaat dalam keseharian hidup masyararakat

3

Artikel pada Jurnal Phytotaxa 28. Published: 14 Sep. 2011. Magnolia Press. hlm.6. 4

(54)

penggunanya. Tumbuh pada segala jenis tanah, namun lebih cocok pada

tanah yang banyak mengandung unsur hara yang tidak berbatu dan berkapur,

pada ketinggiannya tanah antara 0–1.400 meter di atas permukaan laut (dpl),

namun sangat ideal pada kisaran 0 – 700 meter dpl. Pertumbuhannya

memerlukan cukup sinar matahari, tanpa genangan air, dan dengan suhu

antara 200C–300C. Maka tanaman ini lebih banyak terdapat di daerah pesisir

pantai dari pada di pegunungan.

Gambar 4. Rangkaian buah Pinang yang siap dipanen.5

5

Gambar

Gambar 2. Sebuah ember tempat membuang ludah pinang di PastingSanggeng Manokwari.6
Gambar 3. Tanaman pohon Pinang KeluargaLazarus Fanghoy
Gambar 4. Rangkaian buah Pinang yang siap dipanen.5
Gambar 5. Relief pada Candi Sukuhyang mengekspresikanpertemuan Sadewa alias Sudamala dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan fenomena yang terjadi pada kawasan ini mempertanyakan beberapa pertanyaan yaitu, apa kriteria ruang publik dalam meningkatkan interaksi

Masyarakat Melayu Sumatera Utara juga menghadapi tantangan dari budaya asli generasi muda etnis lain yang lebih konsisten dalam melestarikan adat mereka.. Sebagai upaya perubahan,