• Tidak ada hasil yang ditemukan

Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik

Menurut Certeau, sebuah kota adalah merupakan relief monumental dari

paroxysmal places yang terbentuk melalui pertarungan-pertarungan yang keras (hebat): “A city composed of paroxysmal places in monumental reliefs”(Certeau.1984:91). Membangun sebuah kota selalu melalui proses membentuk, dengan dinamika tekanan dan tantangan karena beragam keberbedaan konsep serta operasionalitas yang terjadi padageometris suatu ruang publik.

36

Postulat: asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma.

Dari catatan kasus-kasus yang sampai ke pengadilan pada 5 tahun terakhir ini; korupsi, penganiayaan, dan pencurian yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan sosial masyarakat menjadi tantangan dan bagian terkait dalam proses membangun ruang publik kota yang baru dan lebih mapan, sebuah kota harapan dengan semangat (roh) yang baru; “he ended by hoping for a ’nouveau monde' de l'Esprit",37 sebagaimana idealisme de Certeau untuk sebuah kota di masa yang akan datang.

Giard sebagai seorang yang dekat38 dengan Michel de Certeau menjelaskan tentang perhatian Certeau terhadap kemungkinan adanya ruang- ruang lain yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh publik, namun kemudian diperhitungkan sebagai ruang yang terbatas. Certeau mempunyai idealisme untuk hadir dan dibangunnya kota sebagai ruang publik yang komunikatif, dimana liyan (other) dan heterogenitas publik dapat diakomodir, sehingga dapat bertumbuh-kembangnya festival mendongeng dan karya tulis, kompetisi perdebatan yang diarsipkan, pendistribusian dokumen-dokumen sebagai sarana pengembangan komunikasi masyarakat, pengumpulan dan pengarsipan tradisi lisan, serta berkaitan dengan tari-tarian dan pengembangan seni gerak tubuh, sebagaimana Certeau pikirkan.

37

Peter Burke. 2002.The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Journal of Social and Political Theory, No. 100, History, Justice and Modernization. Hal.30.

38

Dalam sudut pandangnya sebagai seorang sosialog, Michel de Certeau sangat memperhatikan dan peduli terhadap posisi migran yang selalu akan menjadi bagian dari dinamika warga setempat. Ia mengajak untuk selalu mau berpikiran positif (positif thinking) dan bersikap terbuka terhadap kehadirannya. Menurut Highmore dalam kaitan dengan masyarakat 'imigran', Certeau berpendapat bahwa mereka merupakan agen istimewa dalam kehidupan budaya: “menerima kehadiran imigran sebenarnya merupakan sikap terbuka dalam membentuk ruang bebas, sehingga mereka dapat mengungkapkan serta menghayati budaya mereka untuk dapat ditampilkan atau pun sebagai pengetahuan yang bisa ditawarkan kepada

orang lain.”(bdk. Highmore. 2006:168)39 Namun demikian, kehadiranliyan

dalam relasinya dengan masayarakat setempat merupakan proses kehidupan sosial yang tentunya akan mempunyai beragam konsekuensi.

Proses tersebut tidak bisa dihindari secara mutlak, sehingga mau atau

tidak mau akan tetap bersama dalam ragam perbedaan. Dalam posisi masing-masing akan menjadi unsur penting dalam membentuk ruang publik Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Karena keduanya memiliki potensi yang perlu diperhatikan dan diakomodir pada setiap proses pengambilan kebijakan dan keputusan dari sebuah regulasi pada tataran struktur dan otoritas pengambil kebijakan atau pun rezim penentu.

39

Ruang publik menjadi perhatian penting bagi pihak otoritas pengambil kebijakan dalam kaitannya dengan perencanaan struktur dan bentuk kota; karena dalam setiap wilayah, negara, atau kota akan selalu dibutuhkan ruang publik dengan bentuk dan karakter berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan kultur warga masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan bentuk dan karakter suatu ruang publik agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan warga masyarakatnya, atas namaetika

Michel de Certeau yang begitu peduli (consent) terhadap keadaan ruang publik, merasa bertanggung jawab kepada orang lain untuk mengartikulasikan beragam tuntutan etis masyarakat ke dalam suatu teks opini atau pun wacana agar dapat lebih jelas untuk dibaca (dimengerti dan

dipahami) guna membantu perencanaan pembentukan sebuah kota sebagai ruang publik berkelanjutan.

Dalam konteks pembentukan ruang publik Kota Manokwari, dengan pengartikulasikan berdasarkan konsep pemikiran dan perspeksi de Certeau sebagaimana diuraikan dalam bukuThe Practice of Everyday Life sub judul

Walking in The City,40 maka dapat diinterpretasikan melalui 3 (tiga) tingkatan operasional;

Pada tingkatan pertama adalah memproduksi ruang dengan mengorganisasi kondisi fisik, mental serta politik secara kompromis: 40

“…rational organization must thus repress all the physical, mental and political pollutions that would compromise it.”41 Dengan pengertian rezim penentu (aparatus pemerintah) menerapkan manajement strategi pendekatan sekaligus menginvetaris permasalahan-permasalahan fisik (struktur dan

infrastrukturpublik), mental (segenap warga masyarakat: apparatus negara

dan civil society), serta permasalahan politik yang dominan dalam keseharian masyarakat; seperti kesenjangan ekonomi dan tuntutan atas kemerdekaan bangsa Papua yang sering terjadi di Kota Manokwari.

Dalam kenyataan lapangan, permasalahan-permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi di antara para warga masyarakat asli Papua mau pun para pendatang, komunitas-komunitas warga atau pun para aparat pemerintah, selalu dibayangi perasaanokultisme dalam suasana politik yang tidak selalu kondusif. Padahal keberhasilan dalam mengelola konflik dan mengurai secara transparan akan okultisme akan menjadi terminal pemberangkatan selanjutnya menuju sebuah Kota Manokwari sebagai ruang publik baru yang berkelanjutan.

Akan tetapi dibangun dan dibukanya kantor-kantor baru tempat struktur pemerintahan bekerja serta infrastruktur yang diperuntukkan bagi publik belum juga mampu mengakomodir the physical, mental and political pollutionssebagai bagian dari tuntutan dasar membangun sebuah kota.

41

Padatingkatan kedua adalah keberanian untuk keluar dari kebiasaan dan melakukan sinkronisasi sistem dengan mensatubahasakan (univocality) strategi untuk mengelola potensi resistensi, mempersempit gerak taktik, meminimalisir penyimpangan serta upaya mereproduksi kekeruhan sejarah.

Kebijakan pelarangan mengkonsumsi pinang pada ruang publik bukan upaya melakukan sinkronisasi sistem, namun merupakan upaya penyeragaman (uniformitas) untuk mengejawantahkan konsep-konsep dan nilai-nilai modernitas dalam rangka membangun kota sebagai ruang publik bersama. Pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, tindak criminal dalam masyarakat menjadi batu sandungan sekaligus sebuah kegagalan strategi dalam upaya mensatubahasakan (univocality) keragaman ideologi masyarakat pada suatu ruang publik, sehingga menimbulkan penolakan atau perlawanan secara terbuka mau pun tertutup, bertumbuhkembangnya taktik, sekaligus tereproduksi kekeruhan sejarah (sosial) Papua.

Ranah tingkatan kedua “… offered by traditions; univocal scientific strategies, made possible by the flattening out of all the data in a plane projection, must replace the tactics of users who take advantage of "opportunities" and who, through these trap-events, these lapses in visibility, reproduce the opacities of history …”42 sebagai operasional strategi yang saling berhadapan–vis-à-vis–seimbang dengan taktik sebagian masyarakat

42

sipil (civil society), sehingga mementahkan dan melunturkan tatanan, kebijakan, dan kewibawaan yang dibuat dan dibangun oleh dominasi kekuasaan; misalnya otoritas pemerintah, legislatif, atau pun sekuritas publik yang ada.

Pada tingkatan ketiga (terakhir) adalah menciptakan subjek universal

dananonimpada sebuah kota yang berupa atribut model politik.

Sejarah panjang selama 117 tahun pada tahun 2016 ini memungkinkan tereproduksinya kekeruhan sejarah (sosial) Papua. Manokwari selain dikenal sebagai Kota Injil, juga sebagai tempat lahirnya Organisasi Pemberontak Papua Merdeka (1965), namun kejelasan (terang benderang) narasi kesejarahan bangsa Papua hingga sampai saat ini masih banyak simpang siur dan keruh. Menurut Suryawan:

“…betapa keringnya uraian perjuangan ‘pahlawan nasional’

dari Tanah Papua dalam buku-buku pelajaran sejarah (Aditjondro, 2000). Untuk pahlawan yang “pro Indonesia” saja sejarah “resmi” Indonesia seakan enggan memberikan

ruang. Bahkan, ruang sejarah terhadap gerakan perlawanan terhadap nasionalisme Indonesia sangat tertutup.”43

43

Kekeruhan sejarah di atas menjadi senjata ampuh yang direproduksi untuk alasan strategi keamanan dan pengobaran semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua. Pihak-pihak yang berkompenten ‘sering’ mereproduksi kekeruhan sejarah tersebut untuk menyatakan “status keadaan Papua”. Topik Dialog Jakarta - Papua selalu menjadi diskusi dan perdebatan yang tak kunjung selesai dari waktu ke waktu. Oleh karenanya tidak mengherankan jika tidak kurang dari 2 sampai 3 kali dalam setiap tahunnya ada demonstrasi menyatakan sikap dan pendapat untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi bangsa (dan negara) yang merdeka.

Fenomena-fenomena terkait dengan resistensi sosial dan politik di Manokwari, banyaknya operasi taktik, banyaknya penyimpangan serta acap kali terreproduksi kekeruhan sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Kota Manokwari dan Papua pada umumnya, telah menjadi sebuahatribut model politik; “to attribute to it, as to its political model,44 yang menciptakan subjek universal dan anonim. Artinya dalam mobilitas struktur, infrastruktur serta keseharian masyarakat sipil (civil society), dengan fungsi serta keragaman ideologi, asosiasi, dengan ruang privatnya masing-masing subyek atau pun komunal yang terlibat, sangat mungkin

44

Bdk. Michel de Certeau. 1984. The Practice of Everyday Life. Walking in the City. An operational concept ?. University of California Press: Berkeley., hal.94.

terjalin relasi (intimitas sosial) atau pun justru mengambil jarak dan menutup (memisahkan) diri dalameksklusivitasnya.

Ruang publik Kota Manokwari dibangun di atas kerawanan dan ketidakstabilan; politik, kamtibmas, kehidupan sosial dan kriminalitas yang bertumbuh kembang bersama dinamika kontestasi pasar (forum) dalam era modernitas, dimana program-program dari pemegang otoritas publik (rezim penentu), seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan non-formal melakukan fungsi dan tugasnya.

Mencermati langkah-langkah tingkatan operasional tentang pembentukan sebuah kota sebagaimana Michel de Certeau konsepkan, serta memperhatikan keadaan lapangan sekitaran Kota Manokwari dalam 5 tahun terakhir ini, adalah masih jauh dari harapan untuk bisa memberikan apresiasi dan predikat terhadap Kota Manokwari sebagai sebuah ruang publik kota yang mapan dan mampu mengakomodir asosiasi bebas bagi warga masyarakatnya.

Melalui pengalaman blusukan (walking in the city) pada ‘kedai-kedai’

Warung Pinang Papua, tempat masyarakat pengkonsumsi pinang berkumpul bersama dalam keseharian hidup masyarakat di Kota Manokwari. Forum tersebut menjaditempat pengucapan ketiga, ruang publik khusus sebagai ajang berefleksi, mengolah pengalaman hidup pribadi maupun komunal, sehingga

dapat menumbuh-kembangkan potensi-potensi fisik, mental, dan idealisme dalam konstelasinya dengan apparatusnegara, masyarakat sipil, kapital modal dan media massa yang ada dalam lingkup ruang publik Kota Manokwari.

Dari blusukan pada lintasan-lintasan jalan (trajectory) ditemukan praktek-praktek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangat berkemungkinan dapat melihat keseluruhan (holistis) secara sekaligus (panoptic) dari yang ada dan terjadi pada ruang geometris serta

geografisnya; yakni hamburan makna (wandering of the semantic) yang ada di sekitar wilayah Kota Manokwari.

Dengan pengalaman, pesan, serta makna, yang diperoleh dari blusukan tersebut dapat dijadikan bahan/materi untuk merencanakan dan mengkonstruksi

totalitas imajiner (visions) untuk mewujudnyatakan kontinuitas pembentukan Kota Manokwari sebagai Ruang Publik.

BAB V

PENUTUP

Mama Mama Papua penjual pinang yang duduk menanti dan meladeni para pembeli dari pagi hingga hampir larut malam telah mampu membantu dan membidani pengartikulasian endapan-endapat idealisme, nasionalisme, penderitaan, dan harapan yang ada dalam perasaan dan pikiran yang membeku atau dibekukan oleh karena kondisigeografis dan keadaan politis. Sekitar 1.554 lapak jualan pinang memenuhi ruang geometris sekitar Kota Manokwari, yang darinya lalu lalang warga penginang dalam jumlah ribuan orang. Mama Mama Papua dengan lapak-lapak pada pondok jualannya telah membantu memfasilitasi interaksi dan komunikasi bagi warga penginang yang darinya telah dan akan melahirkan sejumlah ragam wacana dan opini tentang membangun serta mewujudkan harapan melalui keseharian hidup mereka.

Kesimpulan

Dinamika interaktif dalam komunikasi yang dilakukan oleh para penginang telah mampu membangun beragam wacana yang terlahir dari pengalaman, pemikiran, gagasan dan ide-ide individu maupun kelompok, sehingga memberi ruang untuk terjadinya dinamika (eskalasi) kontestasi

ekonomi-budaya-sosial-politik dalam kehidupan masyarakat warga budaya, warga bangsa, dan warga negara dalam pusaran ruang publik Kota Manokwari.

Aktivitas mengkonsumsi pinang telah menjadi suatu pasar (forum) publik yang mampu mencairkan kebekuan materi-materi yang berupa ide- ide, gagasan, harapan, semangat dan pilihan hidup; endapan-endapan yang terpendam sebagai social unconscious yang akan dapat diungkapkan (dibahasakan) dalam ruang publik sebagairuang sosial tak terbatas;seperti ngobrol bersama teman-teman, obrolan warung pinang, atau pun mop yang merupakan budaya pop ala Papua. Simpanan-simpanan yang ada di bawah sadar tersebut akan dibawa ke dalam arena asosiasi bebas yang merupakan tempat berbicara ketiga, sehingga subyek-subyek warga masyarakat Papua di Manokwari melalui aktivitas mengkonsumsi pinang bersama akan lebih mudah berinteraksi, berkomunikasi serta mengartikulasikan hasil refleksi dan olahan atas pengalaman hidup, nilai-nilai dan makna yang mereka peroleh dari aktivitas kultural, sosial, dan politik, di dalam relasi sosialitasnya.

Budaya konsumsi pinang menjadi ruang publik bersama tempat berbicara ketiga yang dapat mencairkan (liquefy) kebekuan relasi-relasi sosial; seperti kerja sama, korporasi, persahabatan, dan persaudaraan yang terkandung resistensi di antara subyek-subyek yang berada dalam ruang publik Kota Manokwari.

Dialektika komunikasi di antara warga masyarakat di Kota Manokwari yang terjadi dan menyatu dengan dinamika budaya konsumsi pinang, turut serta berperan dalam proses membentuk identitas dan karakterisasi subyek- subyek masyarakat di dalamnya, yang sekaligus secara evolutif berperan dalam proses pembentukan identitas, karakter, dan wujud Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan.

Ide-ide, gagasan, harapan, semangat dan pilihan hidup yang ada dalam setiap subyek yang diperoleh dari hamburan makna (wandering of the semantics) saat blusukan (walking in the city) pada lintasan-lintasan jalan

(trajectory) di antara warga masyarakat pengkonsumsi pinang mengkonstruksi perspektif totalitas imajiner (visions) tentang cikal bakal sebuah ruang publik kota di masa yang akan datang, yakni suatu proyeksi sebuah ruang publik kota yang lebih mapan dan maju – dua kali lipat atau berlipat-lipat–dari pada masa lalu (sebelumnya), dimana pada waktu-waktu sebelumnya merupakan lintasan-lintasan tak teratur (indeterminate trajectories) dengan banyak kesengkarutan dan kekuatiran (okultis) dan selanjutnya secara berangsur melalui pengelolaan problematika1 akan tergantikan dengan hadirnya masa depan yang bisa menangani problematika masa lalu sehinga menjadi“a 'nouveau monde' de l'Esprit".

1

Menurut Michel de Certeau ada 3 (tiga) tingkatan operasional pembentukan kota sebagai sebuah ruang publik.

Untuk mencapai suatu kemapanan sebagaimana de Certeau mengisyaratkan diperlukan 3 (tiga) langkah tingkatan operasional yang harus dipenuhi. Dengan asumsi yang menggunakan indikator syarat tersebut tentunya pada saat ini Kota Manokwari belum bisa dikategorikan sebagai ruang publik kota yang mapan.

Kota Manokwari dari waktu ke waktu mengalami perubahan serta dinamika sosial, ekonomi, politik serta kebudayaannya. “… the old regime no longer had the authority it had once commanded” (Buchanan.2000:2). Bangunan perkantoran propinsi, hotel-hotel, mall, perumahan, ruko-ruko, penyedia jasa publik, serta infrastruktur lain merupakan tampilan baru yang semakin memperpadat ruanggeometris“Kota Injil”.

Pergeseran-pergeseran posisi struktur dan mobilitas migrant

mengakibatkan bertumbuhkembangnya ‘kampung dalam kota’ atau pun ‘kota dalam kampung’, sehingga terbangun ruang-ruang publik tandingan (counter public sphere) bagi otoritas dominan (aparatus pemerintah dan

korporasinya yang kooperatif)vis-à-vis warga budaya atau masyarakat sipil (civil society) yang mempunyai perbedaan dalam cara pandang (point of view), konsep, paradigma, serta wacananya tentang sebuah ruang publik.

Vision menjadi sebuah panorama kota tentang sebuah ruang publik bersama dan berkelanjutan yang menjadi sebuah teori visual simulacrum, yakni suatu penggambaran kondisi sebuah ruang publik bersama yang pernah terlupakan atau yang sedang diideakan. Seolah-olah kesibukan

praktik pengelolaan kota Manokwari oleh subyek-subyek rezim penentu dan / atauotoritas dominan yang selalu berusahamenghegemoni.

Pengoperasian strategi dan taktik, kebijakan publik atas nama penyeragaman (uniformitas) keadaan publik; ‘dilarang makan pinang di tempat ini’ yang tidak memiliki penulis (yang bertanggung jawab)2mau pun pembaca (dianggap tidak ada larangan), menjadi sebuah fragmen atau sandiwara publik dalam arus perubahan yang terjadi dari hari ke hari (practice of everyday life) yang tidak pernah kunjung selesai. Dengan demikian kultur masyarakat pengkonsumsi pinang dalam masyarakat di Kota Manokwari dengan segala eksistensinya tidak terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan publik yang didominasi oleh masyarakat urban mau pun imigran dari luar Manokwari.

Dengan seluruh eksistensinya, budaya konsumsi pinang yang telah merambah hampir seluruh ruang geometris Kota Manokwari, senyatanya mempunyaikuat kuasa patisipatoris dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari Papua Barat atas dasar pemikiran dan konsep-konsep tentang ruang publik dari para warga pengkonsumsi pinang. Oleh karena itu komparasi yang ada dalam pemikiran warga masyarakat dengan konsep modernitas (kota modern) selalu akan menghasilkan banyak ragam wacana

2

Tidak ada peraturan atau perundang-undangan yang legal (state), namun sebatas plakat-plakat (literarische Offentlichkeit) pada ruang publik yang dibuat berdasarkan kebijakan publik.

(polivocality) pada ruang publik politik, literer, mau pun perepresentasian publik dalamgeografisKota Manokwari.

Polivocality menjadi sebuah indikasi adanya keberagaman konsep dan pemikiran pragmatis dalam budaya masing-masing subyek yang berada dalam proses evolusi sosial, karena dalam kenyataannya masing-masing pihak tidak dapat mempertahankan atau pun meleburkan diri secara total. Sebagaimana pendapat Bhabha,3 yakni bahwa klaim terhadap sebuah hierarki “kemurnian” menjadi tidak dapat dipertahankan lagi, karena identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi. Maka dalam sentimental stigmatisasi budaya konsumsi pinang dan juga konsep-konsep modernitas pada benak kaum migrant yang berdomisili di Manokwari, tidak bisa mengklaim sebuah keberhasilan (kemenangan) mutlak, karena sebenarnya bukan tidak ada yang “berubah”, melainkan ada perpindahan-perpindahan otoritas beserta kewenangan yang bergulir secara terus menerus (kontinuitas), sejalan dengan dialektika negosiasi serta pergulatan strategi dan taktik pada ruang publik tandingan.

Dinamika interaksi komunikasi, konstruksi wacana,

subyektifikasi/karakterisasi yang terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat tetap menjadi bagian melekat tak terpisahkan dan berpartisipatoris dalam proses pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari.

3

Bdk.Leela Gandhi. 1998. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal.viii.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta : INSIST.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manokwari. 2014. Kabupaten Manokwari dalam Angka 2014. Manokwari: BPS Kab. Manokwari. Barker, Chris. 2014.Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Bhabha, Homi. K. 2007. The Location of Culture. London and New York: Routledge.

Buchanan, Ian. 2000. Michel de Certeau Cultural Theorist. Nottingham Trent University.

David S. Moyer, Henri J.M. Claessen and, (ed.). 1988. Verhandelingen van

Het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land–en Volkenkunde. 131. Time Past, Time Present, Time Future Perspectives on Indonesian Culture.

Dordreht-Holland / Providence–USA: Foris Publications.

de Certeau, Michel. 1984. The Practice of Everyday Life. University of California Press, Berkeley.

Gandhi, Leela, 1998. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Habermas, Jurgen. 1989. Ruang Publik. Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana. (terj.Yudi Santoso). Hardiman, F. Budi. (ed.). 2010. Ruang Publik. Melacak “Partisipasi

Demokratis” dari Polis sampai Cybercpace.Yogyakarta: Kanisius Highmore, Ben. 2006. Michel de Certeau Analysing Culture. Continuum

Husna, dan Bobin AB (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala.

Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (tanpa tahun)

Jean Gelman Taylor, Kees van Dijk and, (ed.) 2011. Cleanlines and Culture Indonesian Histories. Leiden: KITLV Press

Kluge, Oskar Negt and Alexander. 1993. Public Sphere and Experience: Toward an Analysis of the Bourgeois and Proletarian Public Sphere, translated by Peter Labanyi, Jamie Owen Daniel and Assenka Oksiloff. Minneapolis: University of Minnesota Press. p. 12 (first published in Germany in 1972.)

Miller, Toby. 2007. Cultural Citizenship: Cosmopolitanism, Consumerism, and Television in a Neoliberal Age. Philadelphia: Temple University Press.

Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Northold, Henk Schulte. (ed.). 1997. Outward Appearances. Dressing State and Society in Indonesia. Diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS.

Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies. An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London. Thousand Oaks. New Delhi : SAGE Publications.

Siahainenia, James J. J. Carel. 2000.Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Sunardi, St. (2003).Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik.

Suryawan, I Ngurah. 2013. Kritis, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1.Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua. Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana.

Suryawan, I Ngurah (ed). 2011. Narasi Sejarah Sosial Papua. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing.

Yoman, Socrates Sofyan, 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press.

Yuniarti, Fandri. (ed). 2009. Ekspedisi Tanah Papua. Laporan Jurnalistik Kompas. Terasing di Tanah Sendiri. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Tesis dan Jurnal :

Burke, Peter. 2002.The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Jurnal of Social and Political Theory. No. 100, History, Justice and Modemization.

Damajani, RR. Dhian, 2007. Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No.