• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mobilitas Migran dan Okultisme Publik

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

3) Mobilitas Migran dan Okultisme Publik

Seiring dengan Kota Manokwari dijadikan pusat struktur pemerintahan Propinsi Papua Barat, maka berakibat pada lajunya tingkat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur. Manokwari menjadi daya tarik bagi publik, dengan demikian juga berakibat pada semakin meluasnya ruang publik tandingan. Prof. Dr. La Pona dari Pusat Studi Kependudukan (PSK) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura menguraikan bahwa:

“Pertambahan penduduk di Tanah Papua …lebih banyak dipengaruhi oleh proses migrasi masuk (in migration) yaitu migran spontan dan transmigran. Sedangkan pertambahan penduduk Papua secara alami (natural increase) yang disebabkan selisih penduduk yang lahir (fertility rate) dibanding yang meninggal (mortality rate) sangat kurang berperan. Apabila program transmigran tidak lagi dikembangkan seperti jaman era Orde Baru (Orba) maka penambahan penduduk di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lainnya di Indonesia”15

Pertambahan penduduk di Papua yang lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lain menciptakan tingkat kemajemukan (heterogenitas) berpotensi mempengaruhi perluasan ruang publik tandingan dan kondisi kehidupan masyarakat.

Konsep-konsep modernitas yang dibawa bersama warga migran pada ruang publik tandingan menciptakan ketidaktentuan dan kekuatiran

15

Sumber: tabloidjubi “Transmigrasi dan Migrasi di Tanah Papua.” Dominggus Mampioper. 28 November 2012.

masyarakat setempat, sehinggamerepresidanmenghantuipsikososial warga masyarakat. Mobilitas dengan dinamikanya membangun rasa was-was, kuatir, bingung, curiga, frustrasi, sehingga tercipta okultisme publik yang mewujud dalam pertanyaan bersama dalam masyarakat; ‘nanti Kota Manokwari ini mau jadi seperti apa?’

Keadaan ini diakibatkan oleh kekuatan dominasi baru (hegemonisasi modernitas), sehingga suatu proses pembentukan ruang publik dengan identitas dan karakternya akan berjalan terus, sehingga “… the old regime no longer had the authority it had once commanded.” (Buchanan.2000:2)16 Perubahan ini menuntut masyarakat publik untuk lebih waspada dan jeli terhadapwandering of the semantic sehingga dapat menemukan (atau tidak menemukan sama sekali) pesan dari makna yang diperoleh, yang akan digunakan sebagai materi perencanaan dan aktvitas untuk mencapai idealisme kehidupan masing-masing.

I Ngurah Suryawan, pengajar pada Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari dalam buku NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA. BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRImenguraikan:

“Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di

Manokwari. … Diantaranya yang terbesar adalah ivestasi Group Hady dengan Hadi Mall dan Hotel Swis-Bell (Group Choice yang memegang Hotel Mariot). Fulica Manokwari membangun Hotel Meridien di Kawasan Sowi Gunung (hotel bintang 4 pertama di Manokwari). Itu tentu

16

saja belum termasuk ratusan pedagang-pedagang dari Sulawesi, Jawa dan daerah lain di Indonesia yang mengadu peruntungan di Manokwari, Papua Barat. Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusat- pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang

berasal dari Sulawesi dan Jawa.”17

Pasca diterbitkannya Undang Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemebentukan Propinsi Irian Jaya Barat (dll.) pada era Presiden B.J. Habibie, seiring dengan terjadinya arus mobilitas migran maka komposisi masyarakat pememegang peranan pada sektor pasar tradisonal berindikasi terjadi ketidakseimbangan peran, masyarakat pendatang lebih dominan menguasai perniagaan pasar dibandingkan dengan masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat setempat menjual sayuran, buah-buahan lokal, ikan atau pun hasil bumi lain yang jumlahnya relatif sedikit, dengan menggelar dagangannya di emperan-emperan pasar atau pinggir-pinggir jalan yang beralaskan karung atau papan-papan seadanya.

Potret pasar tradisional; Pasar Borobudur, Pasar Tingkat Sanggeng serta Pasar Wosi telah dapat menjadi indikator yang membahasakan adanya kompleksitas permasalahan dan pertumbuhan Kota Manokwari tentang adanya masyarakat yang telah mencapai kesejahteraan hidup, kecemburuan

17

I Ngurah Suryawan (ed). 2011.Narasi Sejarah Sosial Papua. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing, hal. 223.

sosial dan pulasentiment etnis yang berpotensi terjadinya persinggungan di antara subyek-subyek di Kota Manokwari sebagai ruang publik tandingan.

Certeau melukiskan kecemasan publik yang diakibatkan oleh penetrasi dari mobilitas sosial dengan munculnyaketidakteraturan danketidakjelasan

yang dianalogikan sebagai hantu: “The practices of consumption are the ghosts of the society that carries their name …” (Certeau. 1984:35)18 yang hadir bersamaan dengan arus globalisasi.

Okultisme yang terpahami sebagai 'pengetahuan yang rahasia dan tersembunyi' telah menjadi hantu ‘jangan-jangan’ sehingga meresahkan kejiwaan publik (psikososial), sebagaimana imaji terror yang selalu mencemaskan dan tidak memberi perasaan nyaman bagi masyarakat setempat.

Dalam kondisi ini dengan sangat mudah akan membangun wacana- wacana racial politics pada ruang publik, sebagaimana diungkapkan oleh seorang Putra Papua, Socrates Sofyan Yoman:

“Pernyataan yang berulang kali mendesingkan di telinga saya (penulis) ini adalah komitmen sebagai anak Papua untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankannya. Ironisnya, orang–orang Papua tidak menyadari bahwa tanah sebagai hak kesulungan yang diberikan Tuhan sedang dijarah dengan alasan pembangunan nasional dan integrasi wilayah Indonesia.Tanah orang Papua dijarah dengan pembangunan pemukiman Transmigrasi tanpa membayar satu sen pun.Tanah ini dijarah dan diserahkan kepada

18

orang–orang pendatang bukan pemilik Tanah Papua. Lihat saja di Manokwari, di Sorong, di Merauke, di Nabire, di Timika, di Jayapura (Arso: Keerom). Setelah dijarah tanahnya, orang Papua disingkirkan dari tanah mereka.”19

Ruang publik Kota Manokwari dan sekitarnya telah terhegemoni oleh otorita-otorita kekuasaan (rezim penentu), menjadi arena ‘lomba’ antara

kesepahaman dan ketidaksepahaman konsep ideologi di antara apparatus

publik (state), masyarakat sipil (civil society), masyarakat asli dan masyarakat pendatang, individu, kelompok etnis, yang semakin memperjelas dinamika pertarungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam keseharian hidup masyarakat.

Pengoprasian strategi dengan berbagai tindakan manipulatif dalam bentuk represif serta upaya-upaya penyeragaman (uniformitas) atas realitas kultur masyarakat di Manokwari, yang dilakukan oleh otorita dominan dan termandatkan pada diri subjek apparatus pemerintah, pebisnis, komunitas, warga budaya, lembaga ilmiah yang memunculkan kebijakan publik (cultural policy); seperti dilarang makan pinang di area ini! akan semakin mempersempit atau justru menjajah20 sistem kultur kampung penginang

19

Socrates Sofyan Yoman. 2007.Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press, hal.175.

20

Bdk.Kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia melepas kuasa- kekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan dalam sebuah pikiran (Nady 1993. hlm.xi). Sumber: Leela Gandi. 2007. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Cet-3, hal. 21.

sebagai ruang tak terbatas yang sarat dengan filosofi dan makna kehidupan bagi masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya.

Kemapanan kultur kampung penginang berhadapan dengan idealisme kota modern yang perlahan menggeser dan mengambil alih fungsi-fungsi kultur setempat seraya memunculkan‘kedai-kedai baru’tempat orang-orang berkumpul dengan gaya hidup modern. Gaya hidup modern memaksa masyarakat setempat menjadi bergantung pada sistem ekonomi baru dalam jaringan yang lebih luas, sehingga masyarakat setempat perlu ambil nafas panjang guna menghimpun tenaga dan mencari kesempatan untuk beradaptasi dengan konsep dan pragmatisme kehidupan modernitas sebagai hal baru.

Kebijakan publik (public policy) yang lahir dari struktur kekuasaan (pemerintah) dan kebijakan budaya (cultural policy) dari otoritas dominan (masyarakat pendatang) yang telah tertransplantasi konsep modernitas – dengan percaya diri mengklaim sebagai subyek yang sudah beradab dan modern–mempunyai potensi untuk mewujudnyatakanimajikota modern.

Padahal otoritas asing tersebut merongrong eksistensi kultur masyarakat setempat, sehingga tersisihkannya warga pengkonsumsi pinang pada ruang

terbatas (sempit), dan bukan lagi sebagai ruang publik ‘kampungku’ yang hanya kita (eksklusif privat) yang tak terbatas. Kenyamanan ruang privat terusik, sehingga membangkitkan hasrat untuk melawan atau pun mengupayakannegosiasisupaya dapat terakomodir asosiasi bebasnya.

Gambar 22. Potretjualan pinang

di Jalan Yakonde Padang Bulan Atas, pasca Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus Abepura Jayapura.21

Keberbedaan sikap dan perilaku dalam realitas kehidupan sosial di lapangan cenderung dibaca sebagai ‘perlawanan’ terhadap keadaan. Sikap cuek terhadap peringatan untuk tidak mengkonsumsi pinang, mempertegas untuk berlaku membuang limbah pinang di sembarang tempat, atau bahkan dengan sengaja mencoret-coretkan ludah pinang pada tembok-tembok rumah atau pun bangunan publik lainnya.

Posisi struktur otoritas dominan telah mampu membangun imaji dan wacana-wacana rasional (logis) yang secara berangsur mampu membangun makna dan fungsi baru pada wilayah kultur masyarakat setempat ke ruang 21

Sumber Facebook: Forum Diskusi Komunikasi (Fordiskom) STFT Fajar Timur Abepura Jayapura. 20 Januari 2015.

publik politik (politische Offentlichkeit). Proses tersebut menggeser ruang

assosiasi bebas masyarakat kultur, tempat berekspresi dengan kreatif dan merdeka dengan nilai-nilai kulturalnya. Kultur yang turun-temurun dari nenek moyang cenderung terepresi – bahkan mendapat penilaian rendah dan stigma negatif dan tak diperhitungkan dalam bangunan imaji dan wacana baru (modernitas) pada ruang publik modern.

Perbedaan kepentingan mewujud dalam resistensi sosial di antara aparatur pemerintah, elit politik, pengusaha, korporasi-korporasi dengan masyarakat kultur pengkonsumsi pinang yang disebabkan oleh perbedaan; konsep, paradigma, ideologi dan gaya hidup. Konsep modernitas pada subyek-subyek mempersepsi kampung sebagai “ruang privat tak terbatas”

dan dikonstruk menjadi sebuah kota sebagai “ruang sosial yang banyak batasan” dengan aturan dan konsep-konsep regulasi yang lebih menitikberatkan suatu penyeragaman (uniformitas) untuk sebuah ide ruang publik. Terbangunlah ‘kampung-kampung dalam kota’ yang dilingkupi bentuk dan praktek-praktek kekuatan struktural dari otoritas dominan yang merupakan sebuah representasi kekuatan sosial pada ruang publik Kota Manokwari.