• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberbedaan Idealisme dan Citra Kota Modern

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMS

3. Keberbedaan Idealisme dan Citra Kota Modern

Image dunia publik tentang suatu kota modern sebagaimana direpresentasikan dalamWide Shot Top Fiveversi METROTV (05/11/2015) yang menghadirkan potret 5 (lima) kota mancanegara; Calgary (Kanada), Minneapolis (Minnesota USA), Kobe (Osaka Kyoto di Jepang), Wellington (New Zelland), dan Singapura yang memiliki suasana nyaman, indah, rapi, serta terkelolanya sampah dengan baik; akan menjadi begitu jauh berbeda dengan realita Kota Manokwari dengan tertumpuknya sampah di berbagai sudut ruang, kesengkarutan arus lalu lintas, serta belum tertatanya infrastruktur yang disertai akibat-akibat yang ditimbulkannya. Keadaan ini membuat warga masyarakat menjadi tidak dalam situasi yang nyaman. Realitas ini menjadi sebuah persimpangan di antara cara pandang dan orientasi subyek-subyek yang terlibat dalam ruang publiknya.

Hamburan limbah konsumsi pinang menjadi indikasi keadaan yang kotor, jorok, tidak sehat; terhubungkan pada sisi kontra produktif dengan upaya menciptakan kondisi dan situasi kota yang bersih dan rapi. Limbah sisa aktivitas mengkonsumsi pinang membangunkan imaji negatif, menjadikan ruang publik kotor, memperkeruh suasana hati serta memperburuk pemandangan lingkungan ruang publik.

Gambar 20. Dinding sebuah bangunan unit bank pelayanan di Pasar Sanggeng.

Pemandanganbiasadi Kota Manokwari, dari buangan ludah merah saatmengkonsumsi pinang69

Kultur dan gaya hidup masyarakat tersebut menyisakan akibat yang merisaukan, karena keadaan tersebut membangunkan wacana dari keberbedaan imaji tentang kota yang ideal versus realitas publik yang ada. Dituturkan oleh Ong King Sioe (53), pemilik CV. SSM di Manokwari:

“…kalau itu saya kira sudah tradisi turun temurun ... maksudnya itu sudah turun temurun dari orang tua sampai sekarang, dimana anak-anak muda pun sudah mengkonsumsi pinang sirih. Sebenarnya itu kotor

sekali, apalagi mereka makan sudah kunyah … buang

sembarang, bahkan mereka sengaja, kita punya dinding, pintu aja … pagi sudah penuh dengan semburan pinang. Buat-buatnya tengah malam. Maunya ruang publik kota Manokwari bisa bersih namun keadaan begitu masih susah. …dibanding

69

dengan Singapura seperti bumi dan langit perbedaanya. Di sana nyamuk saja tidak ada”.70

Begitu pula seorang pelancong yang berasal dari Jawa, Handoko Widagdo71 yang sempat mengunjungi Manokwari. Dalam bloggernya ia menuliskan pengalamannya;

Upaya untuk meningkatkan kebersihan tertuang dalam plakat-plakat kecil bertuliskan “Dilarang Meludah Pinang Di Tempat ini”. Plakat-plakat kecil tersebut bisa kita temukan di dinding depan restoran, hotel, bank, pertokoan dan bangunan-bangunan pemerintah. Masyarakat Manokwari memang masih memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Warna bibir yang merah dan beberapa noktah hitam di giginya membuat senyum laki-laki Manokwari menjadi seksi. Namun ludah pinang menjadi persoalan kebersihan yang harus ditangani.”

Latar belakang pemikiran dan konsep modernitas pada diri seorang Handoko membuat suatu komparasi dalam kaitan dengan keadaan ruang publik di Manokwari. Ia mengidealiskan ruang publik seperti yang ia pikirkan; ‘berharap tidak adanya keadaan kotor’; Masyarakat Manokwari memang masih memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Tanpa ada

70

Sumber: Wawancara 18 September 2015. 71

Sumber: BALTYRA.com. Kota Manokwari dan Ransiki. (20 Februari 2015). Pelancong ke berbagai penjuru dunia, berasal dari Purwodadi dan tinggal di Solo Jawa Tengah. Bekerja pada lembaga pemerhati pendidikan. (6 Nopember 2015).

dalam pikirannya bahwa keadaan tersebut merupakan bagian imbas dari kultur masyarakat setempat. Ia berpandangan bahwa kebiasaan tersebut (seharusnya) tidak ada lagi di masa sekarang.

Kultur masyarakat ini juga menimbulkan kerisauan banyak pihak, sebab kebiasaan ini dalam sisi modernitas mendapatkan penilaian sebagai kebiasaan jorok, serta kontra produktif dengan lifestyle di era modern ini. Maka budaya keseharian masyarakat Papua yang telah berlangsung secara turun-temurun ini justru dianggap menjadi biang masalah (kambing hitam) dalamprogresivitasmodern.

Konsep tentang ruang publik modern, menjadi begitu berbeda (berseberangan) dengan keadaan dan cara pandang dari sisi konsumer pinang yang tak ingin ‘dicabut’ dari kultur keseharian hidup mereka. Seorang Imelda Nimbafu (41) menuturkan bahwa; “makan pinang merupakan suatu tradisi masyarakat untuk pergaulan, sehingga biasa dinikmati dalam suasana beramai-ramai. Kotor tidaknya pemandangan sangat bergantung dari kesadaran yang makan saja. Makan pinang harus tahu tempatnya dan jangan asal semprot sembarang di dinding.” Secara lebih khusus ia berpendapat beda dan berlawanan dengan imaji publik; “Banyaknya larangan mengkonsumsi pinang di berbagai tempat memang sangat mengecewakan, mereka tidak senang karena bukan kebiasaannya

saja. Soalnya pohon pinang di sini kecuali banyak di hutan juga banyak ditanam di pekarangan rumah-rumah.”72

Gambar 21.Hadi Departement StoredanSwiss-BelhotelJalan Yos Sudarso Manokwari di siang hari.73

Memperhatikan beragam pendapat di atas menjadi petunjuk bahwa dalam ruang publik muncul serangkaian wacana sebagai representative Offentlichkeit (perepresentasian/perwakilan publik) dan literarische Offentlichkeit (ruang publik dunia sastra/literer) yang terkonstruksi dari sekitar budaya mengkonsumsi pinang. Wacana tersebut berpotensi menjadi dinamisator aktivitas sosial, perekonomian, komunikasi, kebudayaan dan terkait pula dengan dunia medis dalam kehidupan warga masyarakat di Kota Manokwari dan sekitarnya. Kebiasaan turun-temurun yang tetap eksis dalam

72

Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015. 73

kehidupan sehari-hari tersebut menjadi ciri, identitas, dan sebuah karakter sosial yang khas dalam masyarakat setempat hingga saat ini.

Sajian kakes berupa pinang yang disertai sirih dan kapur menjadi

cemilan lokalitas kultur dan perangkat (piranti) utama dalam pertemuan- pertemuan formal adat budaya atau pun informal dalam keseharian masyarakat Papua. Sajian ini selalu (setia) mengiringi pembicaraan/obrolan bersama. Karena efek stimulantnya dapat memacu gairah psikologis si konsumer, sehingga seseorang akan semakin bertambah rasa percaya diri, sehingga membangkitkan gairah berkomunikasi dengan teman-temannya.

Pikiran, permasalahan, cita-cita serta idealitas yang mengendap di alam bawah alam sadar (unconscious) akan membual (liquefy), terungkap dan terbahasa-lisankan dalam obrolan bersama.

BAB IV

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

Pada bab keempat ini akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena konsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari dalam rentang tahun 2010 hingga tahun 2015 yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Pada bab keempat ini akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena konsumsi pinang yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Sebagai landasan menganalisis serta menginterpretasi kajian budaya dengan topik dinamika negosiasi operasional strategi dan taktik pada ruang publik tandingan dalam mewujudkan kemapanan Kota Manokwari ini akan dipergunakan konsep-konsep pemikiran Michel de Certeau dari buku The

Practice of Everyday Life (1984), Ian Buchanan (2000): Michel de Certeau Cultural Theorist; Ben Highmore (2006):Michel de Certeau Analysing Culture,

serta karya akademik lain yang membicarakan tentang topik dimaksud.