• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM

A. KELUARGA KATOLIK

2. Ciri-Ciri Keluarga Katolik

Selain merupakan sel terkecil dalam masyarakat luas, keluarga juga merupakan bagian dari Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, keluarga ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yakni mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Maka dari itu, keluarga juga sering disebut Gereja kecil (FC art. 21).

Sebagai Gereja kecil, keluarga merupakan tubuh Yesus Kristus. Setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa, baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan Sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka diharapkan bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah laku yang sesuai dengan semangat Injil. Keluarga diharapkan menjadi tempat yang baik bagi setiap orang untuk mengalami kehangatan cinta yang tak mementingkan diri sendiri, kesetiaan, sikap saling menghormati dan mempertahankan kehidupan. Inilah panggilan khas keluarga Katolik dan apabila mereka menyadari panggilannya ini, maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian,

kedamaian, dan ketulusan hati (bdk. Ef 1:1-4). Sebagai Gereja kecil, keluarga Katolik memiliki kekhasan, antara lain kesatuan iman yang dimiliki oleh anggota-anggotanya, hidup para anggotanya mengarah kepada kesucian dan berperan serta dalam menyucikan Gereja dan dunia, membuka diri dengan lingkungan sekitarnya, serta memiliki panggilan dan perutusan yang khas dalam karya keselamatan Allah.

a. Kesatuan iman yang dimiliki oleh anggota-anggotanya

Hidup keluarga didasarkan pada kesatuan iman antar anggotanya. Karena didasarkan pada kesatuan iman, kehidupan antar anggota keluarga diharapkan dapat saling membantu dalam memperkembangkan iman yang dimiliki masing-masing anggota melalui sharing atau dialog di dalam keluarga, khususnya dialog mengenai pengalaman-pengalaman iman, seperti bagaimana menerapkan cara hidup beriman Katolik dalam kehidupan. Sebagai suatu kesatuan iman, keluarga Katolik hendaknya dipahami sebagai sekolah iman, dimana di dalamnya dibangun suasana saling mendidik di antara para anggotanya. Sebagai sekolah iman, keluarga Katolik diharapkan mampu menjadi ajang komunikasi iman. Komunikasi iman diperlukan agar kehidupan iman anak dan orang tua dapat berjalan bersama-sama. Komunikasi iman mengakibatkan suatu persekutuan rohani antara orang beriman sebagai anggota satu Tubuh Kristus dan membuat mereka menjadi sehati-sejiwa (1Yoh 1:7). Komunikasi iman ini diharapkan menjadi sarana saling asah, asih, dan asuh.

b. Keluarga Katolik dipanggil menuju kepada kesucian dan ikut membantu menyucikan Gereja dan dunia

Keluarga Katolik merupakan bagian dari Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, keluarga Katolik menunaikan tugasnya sebagai imam. Tugas imami dijalankan oleh Keluarga Katolik dalam persatuan mesra dengan seluruh Gereja, melalui kenyataan sehari-hari hidup perkawinan dan keluarga. Keluarga Katolik bersatu dengan Allah lewat sakramen-sakramen dan hidup doa (FC art. 55). Melalui sakramen-sakramen dan hidup doa, keluarga Katolik bertemu dan berdialog dengan Allah. Dengannya, mereka dikuduskan dan menguduskan jemaat gerejawi serta dunia (FC art. 55). Relasi antara Kristus dengan Gereja terwujud nyata dalam Sakramen Perkawinan, yang menjadi dasar panggilan dan tugas perutusan suami-istri. Suami-istri mempunyai tanggung jawab membangun kesejahteraan rohani dan jasmani keluarganya dengan doa dan karya. Doa keluarga yang dilakukan setiap hari dengan setia akan memberi kekuatan iman dalam hidup mereka, terutama ketika mereka sedang menghadapi dan mengalami persoalan sulit dan berat, dan membuahkan berkat rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah.

Sakramen Perkawinan, seperti sakramen-sakramen lainnya, memiliki tujuan menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah (SC art. 59). Perkawinan Katolik merupakan tindakan liturgis yang memuliakan Allah di dalam Yesus Kristus dan di dalam Gereja. Sakramen Perkawinan memberikan kepada suami-istri rahmat untuk memenuhi dua tanggung jawab, yaitu menerjemahkan misteri pemberian

diri ke dalam hidup sehari-hari dan mengubah seluruh hidupnya menjadi korban persembahan yang harum dan mewangi dan hidup bagi Allah. Dengan cara ini, hidup mereka merupakan ibadah, membawa kesucian di mana saja, sekaligus menyucikan dunia bagi Tuhan (LG art. 34). Peranan pengudusan yang diemban oleh keluarga Katolik didasarkan pada Sakramen Baptis dan memperoleh ungkapannya yang tertinggi dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan sumber dari perkawinan Katolik. Sebagai perwujudan korban kasih Kristus bagi Gereja, Ekaristi merupakan air mancur cinta kasih. Dalam karunia kasih Ekaristi, keluarga Katolik menemukan landasan dan jiwa bagi persatuan dan perutusannya. Tugas perutusan untuk menguduskan yang diemban oleh keluarga Katolik juga dilaksanakan melalui pertobatan dan sikap saling mengampuni, yang memuncak dalam penerimaan Sakramen Tobat. Tugas pengudusan juga dilaksanakan dalam doa yang bercirikan kebersamaan. Dalam doa diungkapkan suka-duka hidup keluarga sehingga terjadilah dialog yang khusyuk dengan Bapa, melalui Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Orang tua Katolik memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka dalam doa, mengantar anak-anak tahap demi tahap untuk membangun jalinan hati dengan Allah secara pribadi (FC art. 60). Teladan konkret dan kesaksian hidup orang tua sungguh merupakan dasar dalam mendidik anak-anak mereka untuk berdoa. Hanya dengan menanamkan kebiasaan berdoa dalam keluarga, orang tua telah melaksanakan tugas pengudusan mereka.

c. Keluarga Katolik membuka diri dengan penuh cinta kasih, baik kepada masyarakat maupun Gereja

Keluarga Katolik merupakan bagian dari masyarakat dan Gereja. Sebagai bagian dari masyarakat dan Gereja, mereka dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam pembangunan masyarakat dan Gereja. Mereka tidak boleh hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Mereka diharapkan mampu memberikan sumbangan positif dalam pembangunan masyarakat dan Gereja. Ini berarti keluarga Katolik tidak membangun persekutuan yang eksklusif tapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini, keluarga Katolik terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah (FC art. 42). Keterbukaan mau menerima dan menghargai siapa saja terwujud dalam penerimaan, penghargaan bahkan dialog dan kerjasama dengan keluarga-keluarga lain yang ada di masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melakukan kehendak Allah dalam membangun dunia atau masyarakat menuju masa depan yang lebih baik, penuh damai dan sejahtera (FC art. 43).

d. Keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah

Dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Konsili Vatikan II menyatakan dengan jelas bahwa tugas kerasulan pertama-tama dilakukan oleh semua orang yang dibaptis (AA art. 2). Keluarga, yang dibangun oleh kaum awam, dipanggil melalui caranya sendiri kepada kerasulan dengan menjadi ragi di dalam masyarakat. Dalam tugas kerasulannya, keluarga mengambil bagian dalam tugas

Gereja untuk mewartakan Injil. Sebagai pengambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja, keluarga Katolik mendengarkan sabda Allah dengan penuh hormat dan memaklumkannya dengan penuh kepercayaan (DV art. 1), keluarga Katolik menunaikan tugas kenabiannya dengan menyambut dan mewartakan sabda Allah. Dengan demikian, dari hari ke hari, mereka semakin berkembang sebagai persekutuan yang hidup dan dikuduskan oleh Sabda. Dalam keluarga, yang menyadari tugas perutusan adalah semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan Injil. Selain menjadi pewarta Injil bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya, keluarga juga dipanggil untuk mengamalkan cinta kasih melalui pengabdiannya kepada sesama, terutama bagi mereka yang miskin tersingkir. Dijiwai oleh cinta kasih dan semangat pelayanan, keluarga Katolik menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah.