• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM

C. PENDIDIKAN IMAN ANAK SEBAGAI TUGAS UTAMA

2. Usaha-Usaha Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Dalam

Tugas untuk memberikan pendidikan iman berakar dalam panggilan utama orang-orang yang menikah untuk ikut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah (FC art. 36). Dengan melahirkan anak, orang tua mengemban tugas dan kewajiban membantu anak-anak yang dilahirkan agar mampu hidup sebagai manusia.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman dalam keluarga Katolik, yakni orang tua perlu memberikan pengajaran mengenai iman, mengembangkan kebiasaan hidup rohani dalam keluarga, dan memberikan teladan hidup yang baik

bagi anak-anaknya, serta orang tua perlu menciptakan suasana kasih dan mengembangkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka.

a. Orang tua mendidik dengan pengajaran

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya menegaskan bahwa tugas perutusan untuk mendidik menuntut orang tua Katolik untuk menyajikan semua topik yang diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak mereka menjadi pribadi yang matang dan dewasa dari sudut pandang Katolik dan gerejani (FC art. 39). Salah satu aspek pendidikan iman adalah pemberian dan pengembangan pengetahuan iman. Pengetahuan-pengetahuan iman dapat diperoleh melalui Kitab Suci, Katekismus, dokumen-dokumen Gereja, dan buku-buku katekese.

Dalam mendidik iman anak-anaknya, orang tua diharapkan mampu mengarahkan anak-anak kepada cara hidup beriman Katolik. Orang tua harus menyampaikan agama Katolik kepada anak-anaknya, bukan hanya sekedar memberi tahu apakah agama Katolik itu, tetapi dengan menghayati agama tersebut dalam hidup sehari-hari. Sebagai contoh, bila orang tua berbicara tentang Kristus, hendaknya mereka berbicara kepada anak tentang-Nya sebagai seseorang yang sungguh-sungguh ada. Orang tua juga harus menunjukkan pentingnya agama Katolik bagi kehidupan mereka dan menunjukkan daya tarik agama Katolik. Hal ini sangat penting, sebab iman melibatkan pilihan. Iman itu menerima Kristus dari kehendak hatinya sendiri. Manusia cenderung untuk menerima apa yang menarik baginya. Jika orang tua tidak mampu memberikan kesaksian akan pentingnya dan

menariknya agama Katolik, anak akan merana dalam pertumbuhan hidup imannya.

Pengajaran tentang Allah dan perintah-perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Kuis/bermain tebak-tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya, pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka. Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama-sama bertumbuh dalam kekudusan.

b. Orang tua mendidik dengan mengembangkan kebiasaan hidup rohani Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Dalam Katekismus Gereja Katolik dijelaskan bahwa : “Pendidikan iman oleh orang tua sudah harus mulai sejak masa anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil” (KGK art. 2226). Kebiasaan untuk hidup saling membantu dalam menumbuhkembangkan iman antar anggota keluarga sangat diperlukan, tak terkecuali antara orang tua dan anak-anak. Kebiasaan hidup rohani ini harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anak sejak dini.

Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari atau sore hari. Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Membiasakan diri untuk mengajak anak berdoa di dalam keluarga merupakan salah satu bentuk pendidikan iman yang dapat dilakukan dalam keluarga. Hal ini dapat membantu anak untuk mengetahui bagaimana sikap berdoa yang baik, sekaligus dapat mengajarkan kepada anak doa-doa harian yang terdapat dalam iman katolik, seperti tanda salib, Bapa Kami, Salam Maria, serta doa-doa sederhana lainnya yang mudah dihafal dan dimengerti oleh anak. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario, doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan dengan renungan Kitab Suci, kemudian anak-anak dan orangtua dapat melakukan sharing iman sesuai dengan ayat-ayat yang

direnungkan. Dengan merenungkan Kitab Suci, anak-anak diarahkan kepada Allah yang hadir dalam Sabda-Nya (SC art. 7).

Selain itu, mengajak anak untuk terlibat dalam kegiatan menggereja juga merupakan bentuk pendidikan iman yang dapat dilakukan dalam keluarga. Melalui keluargalah, anak-anak secara berangsur-angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara-saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak-anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas-komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk mengambil bagian dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat. Dengan mengajak anak dalam kegiatan-kegiatan menggereja, orang tua telah mengajarkan hal-hal yang baik mengenai Tuhan dan sesama kepada anak. Di samping itu, anak juga dilatih untuk berani tampil di depan umum. Dengan aktif dalam kegiatan-kegiatan menggereja, orang tua juga telah mengajarkan dan membiasakan anak untuk berdoa dan mendengarkan Sabda Tuhan.

c. Orang tua mendidik dengan memberi teladan

Mendidik iman anak di dalam keluarga Katolik, tidaklah cukup hanya dengan kata-kata. Orang tua juga perlu menunjukkannya dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang dapat membantu anak untuk semakin bertumbuh dan

berkembang dalam iman. Dalam hal ini, orang tua perlu memberikan teladan yang baik kepada anak di dalam keluarga.

Anak merupakan peniru ulung. Sifat peniru inilah yang menjadi modal dasar bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai dan kebajikan Katolik kepada anak, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap-tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan sebagainya. Dalam memberikan pendidikan iman kepada anak di dalam keluarga, orang tua juga perlu memberikan contoh-contoh yang baik mengenai kebiasaan hidup rohani, seperti kebiasaan berdoa dalam kehidupan sehari-hari, keterlibatan dalam kehidupan menggereja, dan sebagainya.

Dalam keluarga, orang tua merupakan teladan bagi anak-anak. Apa yang dilakukan orang tua akan terekam dalam ingatan anak. Dalam hal ini, sikap anak sangat dipengaruhi oleh teladan yang diberikan oleh orang tua mereka. Anak-anak akan lebih cepat belajar melalui teladan yang diberikan orang tua daripada apa yang diajarkan orang tua melalui kata-kata. Melalui keteladanan, orang tua membimbing anak-anak mereka secara bertahap, sesuai dengan tahap perkembangan kepribadiannya, sehingga anak-anak semakin menghayati hidup iman katoliknya (AA art. 11).

Agar dapat memberikan teladan yang baik kepada anak-anak, orang tua hendaknya berani memberikan kesaksian hidup akan iman, baik melalui perkataan

ataupun tindakan. Kesaksian hidup iman dimaksudkan untuk membuat Allah transparan dalam hidup anak. Kesaksian iman lebih ditekankan pada cara hidup, sikap dan perilaku yang tanpa penjelasan kata-kata, tetapi sudah begitu jelas sehingga mungkin lebih menyakinkan daripada kesaksian verbal. Hubungan akrab dengan Allah yang menyatakan diri dalam Kristus diteruskan oleh karya Roh Kudus yang secara konkrit dihayati dalam iman Gereja lewat kesaksiaan hidup. Karena orang tua merupakan pendidik iman dalam keluarga, melalui kesaksian hidup, mereka menjadi duta Injil bagi anak-anak (FC art. 39). Sebagai duta Injil, orang tua memiliki kewajiban untuk mewartakan kabar keselamatan bagi anak-anak, sehingga anak-anak semakin mengenal dan menghayati hidup imannya. Maka dari itu, orang tua hendaknya memberi contoh yang baik melalui kesaksian hidup berupa sikap dan tindakan sehari-hari kepada anak.

d. Orang tua mendidik dengan kasih

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dikasihi dan mengasihi (RH. art 10), tak terkecuali anak-anak. Dalam keluarga, anak-anak memiliki hak untuk merasakan cinta kasih dari orang tuanya. Maka, menjadi kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain, sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara anak-anak (GE art. 3).

Tidak ada pendidikan yang tidak diinspirasikan oleh cinta kasih. Cinta kasih orang tua merupakan dasar dari pendidikan anak sehingga kasih itu harus

menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai-nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. Mendidik anak dalam nilai-nilai hakiki kehidupan manusia juga sangat ditekankan oleh Bapa Suci dalam Anjuran Apostoliknya:

“Anak-anak harus dibesarkan dengan sikap bebas yang tepat terhadap harta benda jasmani, dengan diajak menjalani corak hidup ugahari tanpa kemanjaan, dan dengan insaf sepenuhnya, bahwa ‘manusia lebih bernilai karena apa yang dimilikinya’. Dalam masyarakat yang goncang dan terpecah belah karena pelbagai ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh pertarungan penuh kekerasan antara bermacam-macam corak individualisme dan egoisme, anak-anak perlu diperkaya bukan hanya dengan kesadaran akan keadilan yang sejati, satu-satunya nilai yang membuahkan sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang, melainkan juga dan secara lebih kuat lagi dengan cinta kasih yang sejati. Yang dimaksud cinta kasih sejati adalah minat perhatian yang tulus serta pengabdian tanpa pamrih terhadap sesama, khususnya mereka yang paling miskin dan terlantar” (FC art. 37).

Mengasihi anak tidak berarti memenuhi semua tuntutan dan permintaan anak. Karena keterbatasan pengalaman dan wawasannya, belum tentu apa yang diminta anak adalah sesuatu yang memang tepat dibutuhkan. Oleh sebab itu, orang tua harus dengan bijaksana menimbang terlebih dulu apakah tuntutan dan permintaan anak memang patut dipenuhi. Mengasihi anak berarti menghormati anak sebagai pribadi yang utuh yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaannya. Dalam hal ini, orang tua diharapkan mau dan mampu mendengarkan pikiran dan aspirasi anak.

Dalam memberikan pendidikan iman dalam keluarga Katolik, orang tua diharapkan memberikan kasih yang bersifat mengajar dan mendidik anak-anak mereka dalam kebenaran yang alkitabiah. Hakekat dan wujud nyata dari kasih orang tua kepada anak-anak adalah mengarahkan untuk beradaptasi dalam proses

belajar memperlengkapi diri mereka dengan keterampilan menjalani kebenaran hidup yang penuh tantangan. Pembinaan yang ditanamkan secara berkesinambungan dan penuh kasih kepada anak-anak sangat diharapkan akan memperoleh hasil yang positif, seperti: anak-anak menaruh rasa hormat kepada Allah, kepada orang tua, kepada gereja, serta kepada bangsa dan negara.

e. Orang tua mengembangkan relasi yang baik dengan anak

Relasi antara orang tua dan anak bertujuan untuk menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama dan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu, ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:1-4).

Apa yang ditegaskan oleh Santo Paulus sebenarnya merupakan pengulangan atas apa yang sudah ditegaskan dalam Kitab Keluaran 20:12, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu". Dalam relasi antara orang tua dan anak ini terjadi proses pendidikan kebijaksanaan dan cinta kasih antar generasi.

Orang tua hendaknya menghargai dan menghormati kepribadian dan potensi anak-anaknya dan tidak bertindak sewenang-wenang, agar proses perkembangan kepribadian mereka utuh dan menyeluruh. Selain itu, orang tua hendaknya menyadari dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama

bagi anak-anak dengan memberikan pengarahan dan pembinaan, baik melalui nasihat maupun keteladanan hidup. Agar hubungan antara orang tua dan anak dapat terjalin dengan baik, komunikasi sangat diperlukan, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Dalam komunikasi ini, orang tua dapat mengarahkan anak kepada hal-hal yang positif dan memberikan gambaran Allah yang sebenarnya.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT ORANG TUA DALAM