• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM

A. KELUARGA KATOLIK

3. Keluarga Sebagai Komunitas Iman

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus” (UR art. 2). Allah telah berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12). Begitupula halnya dalam keluarga. Keluarga terbentuk melalui Sakramen Perkawinan. Melalui Sakramen Perkawinan, pria dan wanita disatukan oleh Allah sehingga mereka tidak lagi dua melainkan satu daging (Mat 19:6). Keluarga membentuk suatu persekutuan (communio) yang didasarkan pada sikap hormat dan kasih timbal-balik dari setiap

anggotanya. Setiap anggota keluarga diharapkan dapat saling membantu dan melayani dalam ikatan mesra antar pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari semakin memperdalam rasa kesatuan tersebut (GS art. 48).

Keluarga merupakan komunitas pertama dan asal mula keberadaan setiap manusia dan merupakan persekutuan pribadi-pribadi (communio personarum) yang hidupnya berdasarkan dan bersumber pada cinta kasih (FC art. 18). Keluarga bukanlah suatu komunitas biasa. Keluarga merupakan suatu komunitas iman. Sebagai komunitas iman, Injil Yesus Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan menjadi pusat hidup keluarga. Keluarga bersekutu dalam persaudaraan serta saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman. Tidak semua keluarga dapat disebut sebagai komunitas iman. Suatu keluarga hanya dapat disebut sebagai komunitas iman jika hidup semua anggotanya dijiwai oleh iman, menjadi tempat persemaian dan sekolah iman, serta antar anggota keluarga diharapkan mampu untuk saling membantu dalam memperkembangkan iman yang dimiliki.

a. Iman menjiwai kehidupan seluruh anggota keluarga

Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak-terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba tak-terbatas untuk menyapa dan memanggilnya. Iman merupakan jawaban atas panggilan Allah, penyerahan pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi juga. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa:

“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri

seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya” (DV art. 5).

Sebuah keluarga hanya dapat disebut sebagai komunitas iman jika kehidupan setiap anggota keluarga dijiwai dengan iman, yang ditandai oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya, dimana iman tersebut hendaknya diyakini, dipahami, diungkapkan, dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di luar maupun di dalam rumah. Karena iman mereka, semua anggota keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengusahakan, memelihara, dan meningkatkan persahabatan mereka dengan Allah.

Keluarga dipanggil untuk mengambil bagian secara aktif dan bertanggung jawab dalam tugas perutusan Gereja dengan cara yang asli dan khas dengan mendudukkan diri dalam keberadaan dan karyanya sebagai komunitas hidup dan kasih mesra untuk melayani Gereja dan masyarakat. Karena keluarga merupakan suatu persekutuan yang menjadi tempat Kristus memperbarui hubungan-hubungan dengan iman dan sakramen-sakramen, partisipasi keluarga dalam pengutusan Gereja harus mengikuti pola persekutuan suami-istri sebagai pasangan hidup serta persekutuan orang tua dan anak-anak sebagai keluarga. Mereka harus menghayati pelayanan mereka pada Gereja dan dunia. Mereka harus sehati dan sejiwa (Kis 4:32) dalam iman melalui semangat merasul bersama yang menyemangati mereka dan pengabdian bersama pada karya-karya pelayanan dalam persekutuan-persekutuan gerejani dan sipil. Konsili Vatikan II mengatakan:

“Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani juga dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu, keluarga Kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja (Ef 5:32), akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakikat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-istri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya” (GS art. 48).

b. Keluarga merupakan tempat persemaian dan sekolah iman

Dalam rencana Allah, iman disemai, dipupuk, dan diperkembangkan di dalam keluarga. Keluarga sebagai Gereja kecil harus menjadi tempat untuk menyalurkan dan mewartakan iman. Misi keluarga ini berakar dalam Sakramen Baptis dan Krisma, serta mendapatkan peneguhannya dalam Sakramen Perkawinan untuk menguduskan dan merombak dunia menurut rancangan Allah sendiri. Melalui Sakramen Perkawinan, suami-istri dipanggil dan diutus oleh Kristus untuk mewartakan Injil kepada seluruh ciptaan, khususnya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka sesuai iman Katolik. Sebagai sekolah iman, keluarga perlu memperhatikan pendidikan iman Katolik (FC art. 36). Pimpinan Gereja sangat menekankan pentingnya pendidikan iman bagi anak-anak. Berkat penerimaan Sakramen Baptis, mereka menjadi ciptaan baru dan menjadi putra-putri Allah. Karena itu, mereka berhak menerima pendidikan iman Katolik untuk mengembangkan rahmat Sakramen Baptis agar sampai kepada kedewasaan iman (GE art. 3). Dalam hal ini, orang tua merupakan pendidik dan pewarta iman pertama dan utama bagi anak-anak. Melalui keteladanannya, mereka berkatekese agar anak-anak menghayati hidup iman Katoliknya.

c. Keluarga menjadi tempat untuk saling membantu dalam mengembangkan iman

Sebagai suatu komunitas iman, antar anggota keluarga diharapkan dapat saling membantu dalam memperkembangkan iman yang dimiliki. Sharing atau dialog mengenai pengalaman akan Allah merupakan sarana yang dapat dilakukan untuk saling memperkembangkan iman yang telah dimiliki masing-masing anggota keluarga. Suami-istri dan orang tua Katolik diminta untuk mempersembahkan kepatuhan iman (Rom 16:26). Mereka dipanggil untuk menyambut Sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari (FC art. 51). Sejauh keluarga menerima Injil dan menjadi dewasa dalam iman, keluarga menjadi persekutuan penginjilan. Tugas kerasulan keluarga ini berakar dalam Sakramen Baptis dan menerima dari rahmat Sakramen Perkawinan kekuatan baru untuk menyiarkan iman, untuk menguduskan, dan mengubah masyarakat kita selaras dengan rencana Allah. Pada zaman ini, keluarga mempunyai panggilan istimewa untuk menjadi saksi perjanjian Paska Kristus dengan senantiasa memancarkan sukacita cinta kasih dan kepastian pengharapan yang harus dipertanggungjawabkan: “Keluarga Katolik dengan nyaring memaklumkan keutamaan-keutamaan Kerajaan Allah pada waktu sekarang maupun pengharapan hidup yang terberkati pada waktu yang akan datang” (LG art. 35).