• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK UU CIPTA KERJA DALAM UPAYA REFORMASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN PENDEKATAN OMNIBUS LAW YANG IDEAL

4. DAMPAK UU CIPTA KERJA DALAM UPAYA REFORMASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

4. DAMPAK UU CIPTA KERJA DALAM UPAYA REFORMASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam sejarah ketetanegaraan Indonesia, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undang memang sering terjadi pengabaian terhadap kebebasan warga negara, ketiadaan partisipasi publik dan materi muatan yang justru hanya

112 menguntungkan kelompok tertentu saja. Moh. Mahfud MD., mengatakan bahwa kegiatan legislatif dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan berdasarkan kepentingan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya.10 Itu pula yang terjadi dalam pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law, khususnya dalam pembentukan UU Cipta Kerja, di mana kehendak politik partai politik dan penguasa lebih diutamakan dari pada mendengarkan masukan publik sehingga pembentuk UU, dalam hal ini DPR bersama Pemerintah gagal dalam menyatukan berbagai kepentingan dalam UU yang dihasilakan.

Tujuan dari penggunaan pendekatan omnibus law dalam pembentukan peraturan undangan adalah untuk melakukan reformasi peraturan perundang-undangan kearah yang lebih baik, terutama dalam hal penyederhanaan persoalan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam konteks ini, omnibus law memang memiliki keunggulan dalam menyederhanakan peraturan perundang-undangan dari segi jumlah dan pengharmonisasian pengaturan yang tumpang tindih. Begitu pun dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk penyederhanaan persoalan Peraturan Perundang-Undangan di bidang ekonomi dan investasi.

Sayangnya, pembentukan UU Cipta Kerja yang merupakan omnibus law pertama ini justru tidak menunjukkan korelasi positif dalam mencapai tujuan dibentukknya, yakni menyederhanakan persoalan Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan perundang-undangan. Alih-alih menyederhanakan Peraturan Perundang-Undangan, UU Cipta Kerja justru menciptakan masalah atau kerumitan baru di bidang peraturan perundang-undangan. UU Cipta Kerja mendelegasikan pengaturan terlalu banyak, begitu pun dari peraturan turunannya yang juga kembali mendelgasikan pengaturan dalam jumlah banyak. Dalam konteks ini, alih-alih menyederhanakan peraturan perundang-undangan sebagaimana tujuan dibentuknya, UU Cipta Kerja justru kebablasan di peraturan delegasi.

113 Selain itu, persoalan yang muncul dari UU Cipta Kerja yang merupakan omnibus

law pertama juga terdapat dalam hal perencanaan. Terdapat tumpang tindih

perencanaan karena menciptakan dualisme revisi terhadap satu UU, yakni di UU eksisting dan melalui UU Cipta kerja. Hal ini terjadi di revisi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana UU tersebut direvisi melalui UU No.3/2020 dan UU Cipta Kerja pada masa sidang DPR di tahun yang sama. Selain itu, dari 76 UU yang direvisi menggunakan UU Cipta Kerja, 6 (enam) UU diantaranya juga diagendakan untuk direvisi dalam Prolegnas 202. Keenam UU tersebut adalah: UU No. 38/2004 tentang Jalan; UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; UU No. 32/2002 tentang Penyiaran; UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; RUU tentang Perubahan atas UU No.35/2009 tentang Narkotika; dan RUU tentang Perubahan Kelima atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Adanya hal-hal tersebut di atas tentu menunjukkan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja menggunakan pendekatan omnibus law tidak dibentuk dengan perencanaan yang matang.

Masalah lain dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja adalah dibahas dengan cara terburu-buru, tanpa partisipasi publik, dan disahkan disaat masih banyak terdapat persoalan kesalahan teknis dan subtnasi yang pembahasannya belum selesai. Akibatnya, setelah disahkan dalam sidang paripurna, draf yang seharusnya sudah final masih tetap mengalami perubahan, baik dari segi subtansi maupun jumlah halaman.

Kemudian dari segi materi muatan, pembentukan UU Cipta Kerja justru menunjukkan bahwa upaya penyederhanaan Peraturan Perundang-Undangan yang selama ini diklaim Pemerintah sebagai tujuan awal omnibus law mengalami kegagalan akibat pendelegasian peraturan peraturan yang terlalu banyak kepada berbagai jenis peraturan pelaksana.11 Dengan proses pembentukan dan hasil yang bermasalah dari segi subtansi tersebut menyebabkan UU Cipta Kerja mendapatkan legitimasi publik

11 Agus Sahbani, “PSHK: Evaluasi Menyeluruh Mekanisme Pembentukan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja”, hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60488499861f0/pshk--evaluasi-menyeluruh-mekanisme-pembentukan-peraturan-pelaksana-uu-cipta-kerja/

114 rendah yang dapat dilihat dari banyaknya penolakan publik yang tidak henti-hentinya terjadi meski meski UU tersebut telah lama disahkan, baik penolakan langsung berupa aksi demonstrasi maupun melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Materi UU Cipta Kerja yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law memiliki jangkauan bidang yang diatur sangat luas karena bersifat multisektor dan disusun dalam waktu singkat. Hal itu menyebabkan terjadi pengabaian terhadap prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga proses dan hasilnya tidak mencerminkan adanya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.12

Dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang disusun menggunakan pendekatan

omnibus law tersebut belum tercermin adanya asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, baik dari segi aspek formil maupun material. Penyusunan peraturan perundang-undangan dengan pendekatan omnibus law berada di luar kelaziman praktik penyusunan UU yang berkembang di Indonesia selama ini yang berdampak pada ketidaksiapan pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah dan DPR, dan tim teknis penyusunan UU dalam menjalankan proses legislasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law.13

Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan merujuk pada pembentukan pembentukan UU Cipta Kerja, terdapat beberapa persoalan yang perlu dievaluasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan

omnibus law, diantaranya: 1) dasar hukum dan teknis pembentukan peraturan

perundang-undangan menggunakan pendekatan omnibus law yang belum terakomodir dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara proses pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga menyebabkan terjadinya kegagapan pembentuk dalam Menyusun dan membhas UU menggunakan pendekata omnibus law;

12 Ibid.

13 M. Nur Sholikin, “Perlu Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk Menerapkan Pendekatan Omnibus law”, pshk.or.id, https://pshk.or.id/rr/perlu-revisi-uu-pembentukan-peraturan-perundang-undangan-untuk-menerapkan-pendekatan-omnibus-law/

115 2) Persoalan singkronisasi dalam proses perencanaan peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan omnibus law perlu lebih mendapat perhatian agar tidak muncul agenda revisi suatu UU dalam dua proses legislasi yang berbeda di tahun yang sama; 3) persoalan kedua yang perlu dievaluasi dalam penggunaan pendekatan

omnibus law adalah persoalan draf yang sulit untuk dipahami karena format penulisan

pasal demi pasal yang tidak biasa dan tidak sederhana; 4) waktu proses pembahasan dalam pembentukan UU Cipta Kerja terlalu singkat, sekali pun sejak diserahkan Pemerintah ke DPR sampai disepakati dalam sidang paripurna oleh DPR memakan waktu sekitar 8 bulan, namun tetap saja waktu tersebut terlalu singkat bila mengingat banyaknya UU yang direvisi melalui UU cipta kerja; 5) subtansi yang lintas sektor menyebabkan cakupan dari UU Cipta Kerja terlalu luas, yakni berdampak hingga ke 38 sektor; 6) Persoalan Partisipasi publik yang minim menyebabkan banyak subtansi yang luput dari perhatian publik dan banyak subtansi yang seharusnya berdampak luas terhadap publik dibahas tanpa menghiruakan masukan publik sehingga menyebabkan munculnya kritik dan penolakan dari msyarakat, baik ketika proses pembentukan berjalan maupun setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU.