• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan delegasi Undang-Undang Cipta Kerja a Pendeleasian Dari Undang-Undang Cipta Kerja

UU CIPTA KERJA DALAM UPAYA REFORMASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

2. PERSOALAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA 1. Persoalan dalam Proses Pembentukan

2.2. Peraturan delegasi Undang-Undang Cipta Kerja a Pendeleasian Dari Undang-Undang Cipta Kerja

UU Cipta Kerja memuat 440 ketentuan yang memberikan delgasi ke peraturan perundang-undangan di bawah UU dengan rincian 426 ketentuan memberikan delegasi ke PP, 7 ketentuan delegasi ke Perpres, 1 ketentuan delegasi ke Peraturan Daerah, dan 6 ketentuan memberikan delegasi ke Peraturan Menteri (lihat table)

Tabel 3.9 Ketentuan Delegasi di UU Cipta kerja

No Jenis Diatur dalam Diatur

dengan

1 PP 28 398

2 Perpres - 7

43 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 159

95

3 Peraturan Daerah - 1

4 Peraturan Menteri 6

Jumlah 28 412

Total 440

Sumber: UU Cipta Kerja

Pada 2 Februari 2021, Presiden Jokowi mensahkan 49 peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja, yang terdiri dari 45 PP dan 4 Perpres. Sebelumnya, yakni pada 2020, Pemerintah juga telah mensahkan 2 PP, yaitu PP No.73/2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi yang diundangkan 3 Juli 2020, dan PP No.74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi yang diundangkang 15 Desember 2020. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menjadi salah satu konsiderans menimbang di 5 (lima) PP yang mengatur tentang Penyertaan Modal Negara dalam sebuah perusahan. Kelima PP tersebut adalah sebagai berikut: PP No.65/2020 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia; PP No.71/2020 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Hutama Karya; PP No.72/2020 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Pt Bahana Pembinaan Usaha Indonesia; PP No.77/2020 Tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara Melalui Penerbitan Dan Penjualan Saham Baru Pada Pt Bank Bukopin Tbk; dan PP No.79/2020 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Jumlah tersebut tentu masih berpotensi bertambah, mengingat terdapat 440 ketentuan di UU Cipta Kerja yang memberikan delegasi untuk dibentuk peraturan lebih lanjut.

Dari 51 peraturan pelaksana yang telah disahkan, juga memuat ketentuan yang mendelegasikan ke 11 delegasi ke PP, 11 ke Perpres, 379 ke peraturan menteri, 60 peraturan lembaga pemerintah non-kementerian, dan 7 peraturan daerah, dan 19 delegasi ke Peraturan Dewan Pengawas Direktur. Pendelegasian peraturan itu tidak

96 hanya ke peraturan yang lebih rendah, tapi juga memuat ketentuan pendelegasian sejajar antara PP dan antara Perpres. Terdapat 11 peraturan delegasi dari PP ke PP dan satu peraturan delegasi dari Perpres ke Perpres.44

Pendelegasian sejajar dari peraturan perundang-undangan memang dibolehkan bila merujuk pada UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan. Hal itu dituangkan dalam ketentuan teknisnya yang mengatur bentuk pendelegasian sejajar antar-undang-undang dan antar-peraturan daerah. Namun pendelegasian sejajar dalam UU Cipta Kerja ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menyederhanakan Peraturan Perundang-Undangan karena justru berpotensi menyebabkan kerumitan baru dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja juga memuat 22 ketentuan pendelegasian peraturan ke peraturan perusahaan. Peraturan tersebut terdapat di dua PP, yakni PP No.35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (19 delegasi) dan PP No.41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (3 delegasi).45

Banyaknya pendelegasian pengaturan dari UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya menunjukkan adanya kegagalan pembentuk dalam memahami tjuan awal dibentuknya omnibus law, yaitu untuk menyederhanakan persoalan Peraturan Perundang-Undangan. Pendelegasian peraturan yang terlalu banyak akan menyebabkan kerumitan baru dalam banyak hal, alih-alih menyederhanakan Peraturan Perundang-Undangan, omnibus law pertama yang dibentuk Pemerintah dan DPR ini justru bermasalah di peraturan delegasi.

44 Antoni Putra, ”Ironi Penyederhanaan Regulasi di Cipta Kerja”, Koran Tempo, https://koran.tempo.co/read/opini/463088/opini-ironi-penyederhanaan-regulasi-di-cipta-kerja-oleh-antoni-putra

97

b Sulitnya mengidentifikasi Peraturan Delegasi

Implementasi UU Cipta Kerja Cipta Kerja memiliki masalah dalam hal status peraturan delegasi. Di Konsiderans menimbang, Peraturan Pelaksana Undang-Undnag Cipta Kerja merujuk hanya pada pasal luar UU Cipta Kerja, sementara subtansi dari peraturan pelaksana tersebut merujuk pada UU eksisting atau UU yang diubah melalui UU Cipta Kerja.

Dari 51 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, hanya ada 3 PP yang konsideran menimbangnya merujuk pada UU yang jelas. Satu menyebutkan rujukan Pasal secara langsung, sementara 2 lagi menyebutkan rujukan UU di Judul dan di bagian Konsideran menimbang tanpa menyebutkan detail Pasal yang dimaksud karena hanya menyebutkan Pasal di UU Cipta Kerja.

1. PP No.51/2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero). Konsideran menimbang dari PP ini merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No.11/2020 Cipta Kerja.46

2. PP No.15/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2017 Tentang Arsitek yang dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 185 huruf b UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang merevisi UU No.6/2017 tentang Arsitek.47

3. PP No.48/2021 tentang Perubahan Ketiga atas PP No.31/2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2011 Tentang Keimigrasian. Pada bagian

46 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero)

47 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Arsitek

98 menimbang, PP ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 106 dan Pasal 185 huruf b UU No.11/2020.48

Sementara untuk peraturan pelaksana lainnya, tidak ada kejelasan peraturan tersebut merujuk kemana. Berikut adalah contoh dari PP yang rujukannya tidak jelas. 1. PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Di mana Konsiderans berbunyi “bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 dan Pasal 185 huruf b UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan PP Penyelenggaraan Kehutanan”, sementara Pasal 36 tersebut tertulis “Beberapa ketentuan dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan diubah sebagai berikut”. Padahal pendelegasian adanya di Ketentuan Pasal 18 yang mengubah Pasal 36 UU Kehutanan sehingga berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam PP.”49

2. PP No.9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk kemudahan Berusaha merujuk pada Pasal 111 dan Pasal 185 UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Pertanyaannya, Pasal 111 dan pasal 185 yang dimaksud di PP No.9/2021 ini merujuk ke UU yang mana. Hal ini menyebabkan kebingungan yang mengaburkan status hukum dari PP ini. Terdapat 5 Pasal 111 dan 3 Pasal 185 di UU Cipta Kerja.50 Pada bagian mengingat, PP ini merujuk pada 4 Undang-Undang, yakni UU No.16/2009 tentang Perubahan keempat terhadap UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.UU No.36/2008 tentang Perubahan keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan, UU No.42/2009 tentang Perubahan Kertiga atas UU No.8/1983

48 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.

49 Dirangkum dari pemaparan Fitriani A. Sjarif, dalam fokus grub terpumpun yang diadakan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan tema “Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan UU Cipta Kerja” yang dilaksanakan pada 28 April 2021.

50 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk kemudahan Berusaha

99 tentang Pajak Petambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas atas Barang Mewah, dan UU Cipta Kerja.

3. PP No.42/2021 Tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Pada konsideran menimbang, merujuk pada Pasal 3 huruf d, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 36, Pasal 124, Pasal 173, dan Pasal 185 huruf b UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada kejelasan mengenai pasal-pasal yang dimaksud. Pasal 3 huruf d dan Pasal 185 hurf b mengang hanya satu, tapi terdapat 2 Pasal 26, 6 Pasal 31, 9 Pasal 36, 3 Pasal 124, dan 2 Pasal 173.51

4. PP No.7/2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga memakai pola yang serupa, tidak jelas merujuk pada Pasal yang mana di UU Cipta Kerja. Bagian konsideran menimbang disebutkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 94, Pasal 104, dan Pasal 185 huruf b UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, tapi di UU Cipta Kerja terdapat 2 Pasal 86, 2 Pasal 87, 6 Pasal 88, 4 Pasal 89, 4 Pasal 90, 5 Pasal 91, 5 Pasal 94, 5 Pasal 104, dan hanya Pasal 185 hurub yang satu.52 Pada mengingat, PP No.7/2021 mencantumkan 3 UU sebagai dasar, yakni UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, UU No.20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.53

5. Rujukan pasal dari PP No.21/2020 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang juga tidak jelas. Pada bagian konsideran menimbang disebutkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 angka 3, angka 4, angka 7, angka 9, angka 10, angka 20, angka 21, Pasal 18 angka 3, angka 21, Pasal 19 angka 4, angka 6, angka 10 dan pasal 185 huruf b dari UU No.11/2020.54 Sekali lagi, di UU

51 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2021 Tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional

52 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

53 Ibid.

54 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

100 Cipta Kerja terdapat banyak pasal serupa yang akan menyulitkan publik untuk memahami PP. Sementara pada bagian mengingat, PP ini merujuk pada 4 Undang-Undang, yakni UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.32/2014 tentang Kelautan, dan UU No.11/2020 terrtang Cipta Kerja.55

6. PP No.22/2021 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidpu mencantumkan Pasal 22 dan Pasal 86 UU No.11/2020 tentang Cipta kerja sebagai konsiderans menimbang. Sementara Pasal 22 tertuslis “Beberapa ketentuan dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia/2009 No.140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.5059) diubah:” Pendelagasian justru terdapat pada Pasal 20, 24, 26, 28, 34, 35, 55, 59, 71, 76, dan 82C Perubahan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.56

7. PP No.20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar justru menempatkan 2 UU di Konsideran Menimbang, yakni sebagai peraturan pelaksana untuk Pasal 180 UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terkait hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan.57

c Ketentuan Umum yang Tidak Lazim

Selain persoalan rujukan peraturan pelaksana yang tidak secara rinci menyebutkan pasal UU Cipta Kerja yang menjadi rujukan, juga ada persoalan Ketentuan umum yang terdapat pada Pasal 1 yang tidak lazim. Hal itu terdapat di PP No.9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk kemudahan Berusaha. Pasal 1 pada

55 Ibid.

56Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penelilaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

57 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar

101 PP tersebut terdiri dari 6 angka, di mana 4 diantaranya hanya PP No.9/2021 juga hanya menjelaskan penyebutan keempat UU yang menjadi rujukan.58

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam PP ini yang dimaksud dengan:

1. UU Cipta Kerja adalah UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja

2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah UU No.7/1983 tentang Pajak Pengahsilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

3. Undang-Undang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan adalah UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja

4. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah UU No.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja

5. Obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan obligasi daerah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan non pemerintah termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip Syariah (sukuk)

6. bunga Obligasi adalah imbalan yang dterima atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga, ujrah/fee, bagi hasil, margin, penghasilan sejenis lainnya dan/atau diskonto.

Tidak jelas mengapa PP ini memasukkan UU di ketentuan Umum Pasal 1, padahal banyak peristilahan lainnya yang perlu dijelaskan agar publik tahu apa maksudnya. Misalnya istilah “deviden” dan “faktur pajak” yang beberapa kali muncul. Seharunya bila merujuk pada UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Ketentuan umum berisi 3 (tiga) hal hal, yaitu: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang

58 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk kemudahan Berusaha

102 mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. 59

PP ini adalah satu-satunya peraturan pelaksana dari UU Cipta kerja yang dibentuk menggunakan pendekatan omnibus law. Sayangnya persoalan ketentuan umum ini berlanjut perubahan PP yang terdapat di dalamnya. Perubahan PP No.94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak penghasilan dalam/berjalan. Ketentuan Umum Pasal 1 hanya memuat 3 angka, dan ketiganya hanya menjelaskan Undang-Undang, yakni UU No.6/1983, UU No.7/1983 dan UU No.8/1983. Untuk perubahan PP lainnya, 3 UU tersebut tetap masuk di Ketentuan Umum Pasal 1, namun bedanya diikuti dengan banyak penjelasan peristilahan lainnya.

PP berikutnya yang dubah melalui PP ini adalah PP No.1/2012 tentang Peraturan Pelaksana dari UU No.8/1983 tentang Pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terkahir dengan UU No.42/2009 tentang perubahan ketiga atas UU No.8/1983 tentang Pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan PP No.74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Selain itu, ada persoalan rujukan dari dari peraturan pelaksana yang tidak jelas. PP ini mengubah 3 PP, namun pasal yang dijadikan rujukan hanya kepada Pasal 111 dan Pasal 185 hurub b UU Cipta kerja. Padahal, PP ini mengubah 3 PP yang seharusnya juga merujuk setidaknya pada 3 Undang-Undang, sebagaimana karakteristik dari PP, yaitu; 1) PP tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada UU yang menjadi “induknya”; 2) PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana. (sebelum UU 10/2004 dan UU 12/2011); 3) Ketentuan PP tidak dapat menambah atau

59 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan.

103 mengurangi ketentuan UU yang bersangkutan; 4) Untuk ‘menjalankan’, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-Undang, PP dapat dibentuk meski ketentuan UU tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas; 5) Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-mata.60

d Tumpang Tindih Pengaturan dalam Peraturan Delegasi

1. PP 7/2021 dengan PP 23/2021

Persoalan berikutnya yang ada pada peraturan delegasi dari UU Cipta Kerja adalah tumpang tindih peraturan. Misalnya yang pengaturan terkait kewajiban pemegang izin yang terdapat di PP No.7/2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah disebutkan bahwa setiap pemegang izin usaha di Kawasan hutan lindung wajib bekerjasama dengan koperasi. Sementara di PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan tidak ada kewajiban tersebut, meski di Pasal 139 terdapat 14 kewajiban Pemegang Izin berusaha di Kawasan hutan lindung.

PP 7/2021 Pasal 32

Setiap pemegang Perizinan Berusaha pernanfaatan hutan pada hutan lindung wajib melaksanakan kerja sama dengan Koperasi.

PP 23/2021 Pasal 139

Setiap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung, wajib:

a menyusun dokumen perencanaan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan; b melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1 (satu)

tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan;

60 Maria Farida Indrati, Efek Samping Pendekatan Omnibus law dalam UU Cipta Kerja, Bahan tayang diskusi Publik 27 Maret 2021, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

104 c melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu)

tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan; d melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya;

e melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal kerjanya;

f bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya;

g melakukan pemulihan lingkungan;

h menatausahakan keuangan kegiatan usahanya;

i mempekerjakan tenaga profesional bidang Kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; j membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

k melakukan PUHH;

l menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri; m melaksanakan kemitraan dengan Masyarakat setempat;

n melaksanakan kerja sama dengan Koperasi dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau

o melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. PP 22/2021 dengan PP 23/2021

Pertantangan juga terjadi antara PP No.22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP 22/2021) dengan PP Republik Indonesia No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021). Dua PP tersebut memiliki perbedaan dalam mengatur kewenangan penjatuhan sanksi administrasi, padahal antara pengelolaan lingkungan hidup dengan pengelolaan penyelenggaraan kehutan berada di lingkup kewenangan yang sama, yaitu kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. Di PP 22/2021 terdapat ketentuan pendelegasian kewenangan penjatuhan sanksi, yakni dari Menteri, Gubernur, bupati/walikota ke pejabat terkait. Sementara di PP 23/2021 tidak terdapat pendelegasian kewenangan, penjatuhan sanksi mutlak menjadi kewenangan Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota

PP 22/2021 Pasai 507

105 Menteri, gubernur atau bupati/walikota dalam penerapan Sanksi Administratif dapat mendelegasikan kerwenangannya kepada pejabat yang membidangi penegakan hukum atau perangkat daerah yang membidangi Lingkungan Hidup.

PP 23/2021 Pasal273

(1) Menteri atau gubernur sesuai kewenangan menerapkan Sanksi Administratif terhadap pemegang Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah di bidang Kehutanan yang melanggar ketentuan dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah di bidang Kehutanan dan peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan.

(2) Gubernur atau bupati/wali kota sesuai kewenangan dapat menerapkan Sanksi Administratif terhadap pemegang perizinan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali kota sebelum berlakunya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

(3) Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota tidak menerapkan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menerapkan Sanksi Administrarif terhadap pemegang perizinan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali kota sebelum berlakunya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

106

BAB 4

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN