• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Delegasi

DALAM MEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 5.1.Kerangka Hukum Penggunaan Pendekatan Omnibus law

5.5. Peraturan Delegasi

Salah satu tujuan pembentukan omnibus law di Indonesia adalah untuk menyederhanakan persoalan Peraturan Perundang-Undangan, salah satunya adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terlalu banyak. Persoaalan ini bahkan sudah berukangkali dibahas dalam berbagai diskusi dan penelitian. Sayangnya, pembentukan UU Cipta Kerja justru tidak menjawab persoalan tersebut yang salah satu menyebabnya adalah pendelegasian peraturan yang terlalu banyak. Terdapat 440 ketentuan yang mendelegasikan pengaturan ke peraturan lebih lanjut.

Pendelegasian peraturan ini perlu menjadi perhatian dari Pemerintah dan DPR dalam membentuk UU, terutama dalam membentuk UU menggunakan pendekatan

omnibus law, sebab dengan banyaknya ketentuan delegasi ini menandakan bahwa

semangat untuk menyederhanakan Peraturan Perundang-Undangan justru tidak terimplementasi dalam proses pembentukan UU. Banyaknya mandat pembentukan peraturan turunan dapat menimbulkan kompleksitas pengaturan, salah satunya adalah persoalan peraturan yang tidak harmonis, terlebih peraturan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja harus disahkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak UU Omnibus

law tersebut diundangkan.

Pemerintah dan DPR perlu mencontok ke Belanda dalam penyederhanaan Peraturan Perundang-Undangan, terutama di tingkat peraturan pelaksana.

Omgivingswet yang disahkan Belanda pada 2016 hanya mendelegasikan 14 Peraturan

yang terdiri dari 4 peraturan administrasi umum (algemene maatregelen van bestuur

(AMvB)) dan 10 Peraturan menteri (ministeriële regelingen aanzienlijk). 5.6.Keterbukaan dan Partisipasi Masyarakat

Transparansi adalah salah satu pilar utama dari peraturan yang efektif, mendukung kepercayaan dalam lingkungan hukum, membuat peraturan yang lebih aman dan mudah diakses, serta sedikit dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Bagi negara yang menganut konfigurasi politik otoriter, maka pembentukan hukumnya akan

122 memperlihatkan ciri yang otoritarian juga.24 Sedangkan Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengakomodir kepentingan masyarakat dengan mengikuti struktur sosial-politik dari masingmasing negara. 25

Peroalan keterbukaan ini juga menjadi salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang terdapat dalam UU No.12/2011 jo UU No.15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Transparasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus sudah dilakukan mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Tujuannya agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan. Selain itu, transparansi juga dibutuhkan untuk memperkuat legitimasi dan kejujuran proses peraturan. Dua elemen dari transparansi adalah konsultasi publik dan komunikasi mengenai peraturan, termasuk di dalamnya adalah persoalan partisipasi publik.

Pentingnya partisipasi publik dalam pembentukan UU bahkan ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Putusan Perkara No.Perkara No.79/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut, dijelaskan bahwa setiap pembentukan UU, para yang terlibat dalam proses pembentukan berkewajiban untuk membuka pintu partisipasi publik dan mengakomodasikan aspirasi publik. Bentuk partisipasi dan akomodasi tersebut dapat dilihat berdasarkan dua aspek, yaitu aspek masyarakat dan aspek lembaga/institusi yang terkait dengan undang- undang yang dibentuk.26 Bahkan hal ini juga dijamin oleh negara melalui Pasal 96 UU No. 12/2011

juncto UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal

ini memberikan penegasan bahwa dalam proses pembahasan rancangan UU, masyarakat diberikan hak untuk memberikan masukan, baik secara lisan maupun

24 Putera Astomo, Pembentukan Undang-Undang dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional

Di Era Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014, hlm 579

25 Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi;Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum Dalam Pembnetukan Hukum di Daerah, Cetakan Pertama, Malang: In-TRANS Publishing, 2008, hlm.104

123 tertulis. Hal ini bisa dilakukan dengan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, atau diskusi.27

Sayangnya, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, transparansi tersebut minim terjadi. Masyarakat bahkan kesulitan untuk mengakses naskah RUU Cipta Kerja secara resmi dari pemerintah, bahkan setelah RUU Cipta Kerja dibahas oleh DPR. Padahal, berdasarkan Pasal 96 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komponen penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, kemudian pada Perpres No.87/2014 juga memberikan penegasan bahwa pemerintah dan DPR harus menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan.

Persoalan keterbukaan dan Partisipasi Masyarakat ini luput dari perhatian Pemerintah dan DPR dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Bila omnibus law akan tetap digunakan dalam pembentukan UU di asa depan, maka aspek trnasparansi dan partisipasi ini perlu mendapat perhatian khusus. Pada dasarnya, dalam proses penyusunan sebuah kebijakan, termasuk UU, ada masyarakat yang ingin terlibat dalam proses penyuusnan kebijakan yang terkait dengan dirinya sendiri.

124

BAB 5 PENUTUP

1. SIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Omnibus law merupakan pendekatan pembentukan perundang-undangan yang lahir di negara menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat dan Canada yang di masing-masing negara tersebut dikenal dengan sebutan omnibus Bill. Tidak hanya di negara-negara common law, pendekatan omnibus juga diterapkan di negara-negara civil

law seperti Belanda dan Jerman. Pendekatan omnibus menawarkan pembenahan Peraturan

Perundang-Undangan yang disebabkan oleh peraturan yang terlalu banyak (overregulasi) dan tumpang tindih (overlapping) yang mana bila diselesaikan dengan cara biasa akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah memilih pendekatan omnibus law dalam membentuk UU adalah untuk melanjutkan upaya reformasi peraturan perundang-undangan. Hingga April 2021, telah lahir 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law di Indonesia, yaitu:

1) UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja;

2) UU No.2/2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU; dan

3) PP No.9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk kemudahan Berusaha

2. Penggunaan omnibus law dalam pembentukan UU tidak memberikan dampak positif terhadap upaya reformasi Peraturan Perundang-Undangan sehingga Pemerintah dan DPR tidak seharusnya terus menerapkan pendekatan tersebut dalam membentuk peraturan

125 perundang-undangan. Penerpaan pendekatan omnibus law dalam membentuk UU Cipta Kerja bermasalah sejak dari proses perencanaan sampai pembentukan peraturan delegasi. Pada tahap perencanaan, UU Cipta Kerja terdapat tumpang tindih perencanaan yang menyebabkan satu UU direvisi melalui 2 (dua) proses legislasi yang berbeda, yakni dalam merevisi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara.

Dari segi proses pembentukan UU Cipta Kerja terdapat beberapa persoalan yang dilatarbelakangi oleh ketidaktaatan pembentuk terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pembahasannya dilakukan dalam waktu yang singkat, sementara ruang lingkup materi muatan omnibus law sangat besar/luas yakni mencakup 38 sektor. Pembahasan dalam waktu singkat tersebut menyebabkan terjadinya beberapa persoalan, yaitu:

1) Pembahasan dalam waktu singkat menyulitkan DPR untuk mengkaji secara mendalam subtansi dari RUU Cipta Kerja yang disusun pemerintah saat pembahasan;

2) Pembahasan dalam waktu singkat menyebabkan masyarakat sulit untuk memahami dan memberikan masukan, terlebih masyarakat tidak memiliki kapasitas sebagaimana yang dimiliki DPR dan Pemerintah dalam memahami UU yang berujuk pada ketiadaan partisipasi publik;

3) Pembahasan dalam waktu singkat dan luasnya cakupan UU Cipta Kerja menyebabkan terjadinya praktik riders (penyelundupan pasal), yang terlihat ketika draf yang telah disepakati oleh DPR bersama Pemerintah dan disahkan dalam sidang paripurna mengalami 5 (lima) kali perubahan, baik jumlah halaman maupun subtansi yang diatur; dan

4) Luasnya cakupan UU Cipta Kerja dan dibentuk dalam waku singkat juga menyebabkan UU omnibus law tersebut mendapat kritik dan penolakan dari masyarakat yang berujung pada aksi unjukrasa dan pengujian UU di Mahkamah Konstitusi karena dianggap bermasalah dari segi proses pembentukan dan subtansi yang diatur. Hingga 21 April 2021, Mahkamah Konstitusi telah menerima 14 permohonan pengujian UU terkait UU Cipta Kerja.

Sementara dari segi implementasi, UU Cipta Kerja juga tidak memberikan dampak positif sebagaimana yang diharapkan Pemerintah. UU Cipta Kerja menyebabkan kerumitan baru

126 dari segi peraturan perundang-undangan yang dilatarbelakangi oleh 4 hal, yaitu: 1) naskah UU Cipta kerja yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law sulit dipahami; 2)UU Cipta Kerja dterlalu banyak mengamanatan ketentuan delegasi; 3) Pendelegasian dari Peraturan delegasi yang terlalu banyak; dan 4) Adanya Ketentuan dalam Peraturan Delegasi yang saling tumpang tindih atau disarmonis.

3. Pendekatan omnibus law seharusnya tidak lagi digunakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan karena besarnya potensi masalah yang menyertainya. Bila pendekatan tersebut memang harus kembali digunakan, maka evaluasi menyelutuh dalam penggunaan pendekatan tersebut perlu terlebih dahulu dilakukan agar penggunaan pendekatan omnibus law kedepannya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Setidaknya, terdapat 6 sektor yang perlu dievaluasi, yaitu: Kerangka Kukum penggunaan pendekatan omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; Perencanaan pembentukan omnibus

law agar tidak menyebabkan terjadinya tumpang tindih revisi terhadap satu UU; lama

waktu pembentukan; rumusan subtansi; Pendelegasian peraturan; dan Keterbukaan dan partisipasi Publik dalam proses pembentukan agar terciptanya materi yang berimbang dan meminimalisir kritik dan penolakan saat proses pembahasan berlangsung di DPR dan meminimalisir kemungkinan penolakan dari masyarakat seperti pengujian UU di Mahkamah Konstiusi setelah disahkan menjadi UU.

2. SARAN

Berdasarkan pemaparan dan simpulan yang didapatkan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Pembentuk UU, dalam hal ini DPR bersama Pemerintah, terkususnya bagi perancang peraturan perundang-undangan perlu mendalami penggunaan pendekatan omnibus law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dari beberapa negara yang telah terlebihdahulu menerapkan pendekatan tersebut, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Belanda, dan Jerman.

2. Pembentuk UU, dalam hal ini DPR bersama Pemerintah dalam membentuk UU menggunakan pendekatan omnibus law seharusnya dilakukan dengan perencanaan yang matang, terutama dalam persoalan singkronisasi peraturan perundang-undangan agar tidak

127 terjadinya tumpang tindih pembahasan revisi terhadap suatu UU sebagaimana yang terjadi terhadap revisi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara (Minerba), di mana revisi terhadap UU tersebut terjadi di UU Cipta kerja dan UU No.3/2020 tentang Perubahan UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan menghindari pendelagasian peraturan terlalu banyak dari UU omnibus law ke peraturan yang ada dibawahnya sebagaimana yang terjadi di UU Cipta Kerja.

3. Denggunaan pendekatan omnibus law dalam pembentukan UU, DPR bersama Pemerintah hendaknya menghindari materi muatan yang lintas sektor, sebab omnibus law dengan materi muatan yang lintas sektor rawan terjadinya praktik riders (penyelundupan pasal). Pemerintah bersama DPR perlu melihat praktek pembentukan omnibus law di Belanda dan Jerman yang terdapat penegasan bahwa omnibus law hanya untuk megatur persoalan spesifik. Kemudian dalam proses pembahasan, DPR bersama Pemerintah hendaknya juga membuka ruang partisipasi publik yang cukup dalam proses pembentukan UU agar terciptanya UU yang diinginkan oleh masyarakat.