• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Indonesia adalah negara hukum. Hal itu ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal ini menunjukkan bahwa komitmen negara hukum tersebut merupakan prinsip dasar dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.1

Dalam perkembangan negara hukum akan sangat dipengaruhi oleh kualitas peraturan undangannya. Oleh sebab itu, kondisi peraturan perundang-undangan pada suatu negara hukum seharusnya berjalan baik saat proses pembentukan, tidak tumpang tindih secara vertikal, dan tidak saling bertentangan secara horizontal, serta efektif dalam implementasi. Sebaliknya, bila peraturan perundang-undangan saling bertentangan, tidak efektif, dan jumlahnya tidak proporsional atau berlebihan akan menimbulkan dampak negatif terhadap eksistensi sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum.

Namun demikian, persoalan tentang kualitas dan kuantitas Peraturan perundang-undangan di Indonesia nyatanya sudah berulangkali menjadi sorotan.2

Berdasarkan laporan The Organization for Economic Co-operation and Development

(OECD) yang diterbitkan pada 2012, ditemukan bahwa belum ada pendekatan

menyeluruh dalam pembenahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan

1 Anang Puji Utama, Eksistensi Peraturan Presiden Dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia, (Jakarta: Bina Karya, 2019), hlm 1

2 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok

Permasalahan dan Strategi Penanganannya, (Jakarta: PSHK, 2019), hlm 7. Dapat diakses di https://pshk.or.id/wp-content/uploads/2019/11/PSHK_KAJIAN-REFORMASI-REGULASI-DI-INDONESIA.pdf

(2)

Indonesia.3 Akibatnya, produk hukum yang ada saat ini berada pada kondisi yang memprihatinkan, yaitu ketika hukum tidak saja belum efektif, tetapi juga menyebabkan masalah dan mempersulit persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah.4

Bila dilihat dari segi jumlah, Indonesia juga memiliki Peraturan perundang-Undangan yang terlalu banyak. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni dari 2014 s/d 2019, terbit 10.180 Peraturan, dengan rincian UU 131, Peraturan Pemerintah 526, Perpres 839, dan Peraturan Menteri 8.684.5 Banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan tersebut menyebabkan Pemerintah kesulitan dalam mengambil tindakan dan mengambil kebijakan.

Ibnu Sina Chandranegara juga menuliskan hal serupa. Ia menemukan dalam kurun 2000 s/d 2017 terbit sekitar 35.901 peraturan, dengan Peraturan Daerah (Perda) menempati posisi teratas dengan 14.225 peraturan, disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) 11.873, Peraturan Lembaga Non Kementerian (LPNK) 3.163 peraturan.6 Banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan tersebut menyebabkan terjadinya pengujian peraturan perundang-undangan di ranah peradilan, yakni di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ibnu Sina menemukan hingga Maret 2017, Mahkamah Konstitusi telah memutus 802 perkara pengujian UU, dan Mahkamah Agung telah memutus 203 perkara pengujian peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah UU.7

3 OECD, Reviews of Regulatory Reform, Government Capacity to Assure High Quality

Regulation, (OECD, 2012 ), hlm 19.

4 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampone, 1987)

hlm 234.

5 Agil Oktaryal, “Bahaya Omnibus law Terhadap Demokrasi”, Koran Tempo,

https://kolom.tempo.co/read/1282810/bahaya-omnibus-law-terhadap-demokrasi/full&view=ok.

6 Ibnu Sina Chandranegara, Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi, Jurnal

Hukum Ius Quia Iustum Vol. 26. No. 3, 2019, hlm. 435.

(3)

Selain itu, Pemerintahan Jokowi juga menganggap peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak menghambat investasi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi jauh dari harapan. Peraturan perundang-undangan tersebut menyebabkan terjadinya disharmoni atau tumpang-tindih pengaturan di tataran operasional, dan menyebabkan kerumitan terhadap hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah.8

Menanggapi permasalahan tersebut, Pemerintah di masa Pemerintahan Jokowi sudah berkomitmen untuk menyelesaikannya, terutama dalam hal penyederhanaan Peraturan perundang-undangan. Hal itu dapat dilihat dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan, di antaranya mengeluarkan paket kebijakan revitalisasi hukum yang berisikan dita program utama, yaitu: penataan Peraturan perundang-undangan, pembenahan kelembagaan; dan pembangunan budaya hukum.9

Terkait dengan penataan peraturan perundang-undangan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Pada 2015, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan dokumen penelitian terkait Strategi Nasional Reformasi Regulasi yang memuat strategi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dari peraturan perundang-undangan yang masih berlaku saat ini (existing regulation) maupun peraturan perundang-undangan berlaku di masa yang akan datang (future

regulation).10 Sementara untuk tataran pembenahan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencabut 3.143 peraturan yang terdiri atas Peraturan dan Keputusan Menteri Dalam Negeri serta Peraturan Daerah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/476/SJ.11

8Antoni Putra, “Ikhwal Pembentukan Omnibus law”, Koran Tempo,

https://kolom.tempo.co/read/1287292/ihwal-pembentukan-omnibus-law/full&view=ok

9 Pusat Studi hukum dan kebijakan Indonesia, Kajian Reformasi Regulasi, Op. Cit. hlm 9 10 Ibid.

11 Kementerian Dalam negeri, “Presiden Umumkan Pembatalan 3143 Perda Bermasalah”,

http://www.kemendagri.go.id/news/2016/06/13/presiden-umumkan-pembatalan-3143-perdabermasalah.

(4)

Kemudian, upaya pemerintah dalam melakukan penataan peraturan perundang-undangan yang menjadi sorotan publik adalah penerapan pendekatan

Omnibus law dalam membetuk UU. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas

2020), terdapat empat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Keafirmasian, dan RUU tentang Ibu Kota Negara.12 Terkait empat RUU yang disusun

menggunakan pendekatan omnibus law tersebut, baru RUU Cipta Lapangan Kerja yang disahkan menjadi UU, yakni menjadi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang disahkan pada pada 5 Oktober 2020.

Dari segi subtansi, pembentukan omnibus law bisa dilacak sampai dari pidato Presiden Jokowi ketika dilantik sebagai Presiden 2019 s/d 2024 yang dilangsungkan pada 20 Oktober 2019. Presiden Jokowi mengatakan bahwa omnibus law adalah jalan untuk menyederhanakan kendala peraturan perundang-undangan yang berbelit-belit dan panjang sehingga menyulitkan investasi.13 Intinya, pembentukan omnibus law ini

ditujukan untuk memudahkan investasi dengan cara menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor perizinan, dan berbagai persyaratan bisnis dan investasi yang selama in menyebabkan dunia usaha menjadi.

Sejak saat itu, perbincangan mengenai omnibus law tidak pernah sepi di kalayak. Terlebih regulasi di Indonesia memang memiliki banyak persoalan, seperti masalah perencanaan pembentukan UU yang tidak terstruktur, peraturan yang terlalu banyak (hiperregulasi), tumpang tindih peraturan, ketidaksesuaian materi muatan,

12 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Daftar Program Legislasi Nasional Prioritas

2020”, http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas.

13 Luthfia Ayu Azanella, "Apa Itu Omnibus law, yang Disinggung Jokowi dalam Pidatonya?",

(5)

sampai masalah ego sektoral yang terdapat di kementerian dan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian.14

Bila melihat ke persoalan omnibus law ke dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut beberapa orang penggunaan konsep omnibus law dalam pembentukan UU di Indoensia sudah ada sejak lama. Satya Arinanto (2020) mengungkapkan bahwa

omnibus law sudah digunakan saat membentuk Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang

Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan jo UU No. 9 Tahun 2017, Ketetapan MPR RI No.I/MPR/2003, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan dalam menyederhanakan sekitar 7.000 peraturan peninggalan Belanda menjadi 400 peraturan.15 Hanya saja, namun pendekatan yang digunakan dalam pembentukan dan penyederhanaan sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut belum diperkenalkan ke publik sebagai omnibus law.

Praktek pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan omnibus law ini baru benar-benar dikenal publik ketika proses legislasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja di mulai. Dari segi proses penyusunan omnibus

law pertama ini, proses penyusunan dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR

dianggap sangat tidak partisipatif dan tidak transparan. Di mulai dari tim satuan tugas

omnibus law (Satgas Omnibus law) yang didominasi oleh pengusaha, sampai masalah

Draf RUU dan Naskah Akademik.

Satgas yang dibentuk oleh pemerintah beranggotakan 127 orang, namun keanggotaan itu didominasi oleh pengusaha tanpa adanya keterwakilan semua pihak,

14 Antoni Putra, Penerapan Omnibus law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi

Indonesia Vol 17 Nomor 1 Tahun 2020, hlm 1

https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602

15 Satya Arinanto, “Reviving omnibus law: Legal option for better coherence Satya Arinanto”,

The Jakarta Post, https://www.thejakartapost.com/news/2019/11/27/reviving-omnibus-law-legal-option-better-coherence.html

(6)

seperti perwakilan serikat buruh dan koalisi masyarakat sipil.16 Sementara untuk kedua dokumen, yakni draf RUU Cipta Lapangan Kerja beserta dan Naskah Akademiknya baru dipublikasikan setelah proses pembahasannya berjalan di DPR. Itu pun, hanya terdapat satu draf RUU yang dapat diakses publik selama pembahasan di DPR, padahal pembahasannya terus berlangsung secara cepat yang menyebabkan publik tidak mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang pembahasan.

Dari segi materi muatan juga berpotensi menyebabkan terjadinya tumpang tindih Pengaturan. Misalnya yang terjadi pada revisi UU Minerba. Revisi UU No. 4 Tahun 2009 melalui UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba disahkan DPR Pada 10 Juni 2020, sementara sebagian materi dari UU Minerba tersebut juga direvisi melalui UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020.17 Hal ini tentu menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan Pemerintah bersama DPR terdapat masalah yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Keberadaan satu UU direvisi melalui dua proses legislasi berbeda yang memperkuat dugaan bahwa pembentukan Cipta Kerja mengunakan pendekatan omnibus law tidak dilaksanakan dengan perencanaan materi yang solid.18

Banyak pihak menilai bahwa UU Cipta Kerja tidak hanya bermasalah dari segi substansi, tapi masalah juga terdapat dari segi proses pembentukan. Pembentukan UU Cipta kerja yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law ini tidak bisa menjawab dan menjadi solusi dari perosalan jumlah peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak dan tidak harmonis sesuai dengan tujuan awal pembentukkannya. Selain itu, terdapat indikasi terjadinya penyelundupan pasal dengan menyelipkan beberapa pasal yang sejak awal tidak termasuk dalam materi UU Cipta Kerja yang diajukan Pemerintah ke DPR, yakni materi terkait perpajakan yang

16 Abdul Aziz,” Daftar Anggota Satgas Omnibus law: James Riady hingga Erwin Aksa” tirto.id

https://tirto.id/daftar-anggota-satgas-omnibus-law-james-riady-hingga-erwin-aksa-enxx

17 Antoni Putra, Potensi konflik Regulasi dalam RUU Cipta Kerja, The Conversation,

https://theconversation.com/potensi-konflik-regulasi-dalam-ruu-cipta-kerja-144877

(7)

tiba-tiba muncul sesaat sebelum pengesahan.19 Selain itu, banyaknya jumlah UU yang diubah melalui UU Cipta Kerja menyebabkan pengawasan masyarakat terhadap materi pada saat pembahasan menjadi sangat minim.20

Selain itu, sepanjang proses pembentukan UU Cipta Kerja juga terdapat beberapa perosalan lain. Di mulai dari proses pembahasan yang dilakukan dalam waktu relatif singkat dan dianggap oleh banyak pihak tidak partisipatif karena proses pembuatanya dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, materi muatan yang dinilai merugikan masyarakat, draf yang sulit dipahami, serta terdapat banyak pasal inskonstitusional yang diselundupkan. Sebagaimana catatan KODE Inisiatif yang menukan 31 Pasal bertentangan dengan 27 Putusan Mahkamah Konstitusi.21 Hal tersebut membuat RUU yang dirumuskan menggunakan pendekatan Omnibus law ini dinilai hanya semata-mata untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu yang menyebabkan keberadaanya kehilangan legitimasi dari masyarakat.

Pada saat sidang paripurna oleh DPR pengambilan keputusan, tidak ada draf resmi yang yang dapat diakses, sementara setelah disepakati dalam sidang paripurna tersebar berbagai macam versi draf dari UU Cipta Kerja yang kebenarannya sulit diverifikasi. Hal tersebut setidaknya cukup menjadi bukti bahwa terdapat masalah dari pembentukan UU Cipta Kerja dan telah terjadi pengabaian terhadap proses legislasi yang baik.22 Pembentukan UU yang demikian juga terjadi secara berulang.

19 Agatha Olivia Victoria, “Kontroversi Masuknya Aturan Pajak dalam Omnibus law UU Cipta

Kerja” Katadata.co.id, https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f7ed578789f9/kontroversi-masuknya-aturan-pajak-dalam-omnibus-law-uu-cipta-kerja

20 Nabila Jusuf, “Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa

layak diteruskan?”, The conversation,

https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009

21 Tsarina Maharani, “Kode Inisiatif: Ada 31 Pasal Inkonstitusional di Draf RUU Cipta

Kerja”, Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2020/03/05/16375231/kode-inisiatif-ada-31-pasal-inkonstitusional-di-draf-ruu-cipta-kerja?page=all

22 M Nur Sholikin, “Proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR tak representatif”, The

Conversation, https://theconversation.com/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-representatif-140179

(8)

Sebelumnya, pembentukan produk legislasi yang kental nuansa politiknya mendapat penolakan besar-besaran dari publik. Namun, penolakan tersebut diabaikan, beberapa UU yang dianggap bermasalah pun di sahkan dalam waktu singkat, dan pengesahan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat tanpa adanya partisipasi publik juga merupakan ancaman bagi negara hukum dan demokrasi Indonesia.23 Berdasarkan latarbelakang

di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian dalam sebuah tesis dengan judul ‘‘PENERAPAN PENDEKATAN OMNIBUS LAW DALAM REFORMASI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”. 2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat permasalahan terkait penerapan pendekatan omnibus law dalam pembentukan paraturan perundang-undangan di indonesia, termasuk dalam upaya pemerintah melakukan reformasi peraturan perundang-undangan, maka melalui penulisan tesis ini jawaban atas-atas pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaiamana tinjauan pendekatan omnibus law dalam upaya reformasi peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana dampak omnibus law dalam reformasi peraturan perundang-undangan di Indonesia?

3. Pembentukan peraturan perundang-undangan dengan pendekatan omnibus

law yang ideal? 3. TUJUAN PENELITIAN

Berangkat dari perumusan maslah atau pertanyaan penelitian di atas, maka dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Menjelaskan dan menganalisis konsepsi, pengaturan dan penerapan pendekatan omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,

23 Antoni Putra, “Ancaman bagi Demokrasi dari Cipta Kerja”, Koran Tempo

(9)

terutama dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang merupakan Undang-Undang pertama yang dibentuk dengan pendekatan omnibus law.

2. Untuk menganalisis dampak dari penggunaan pendekatan omnibus law dalam upaya reformasi peraturan perundang-undangan yang sedang terus diupayakan oleh pemerintah.

3. Untuk memberikan pemahaman mengenai penggunaan pendekatan omnibus

law yang ideal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam

upaya melakukan reformasi peraturan perundang-undangan.

4. KERANGKA TEORI 4.1. Teori Negara Hukum

Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat merupakan dua istilah yang lazim digunakan untuk menyebut suatu negara hukum. Walaupun menggunakan konotasi yang berbeda, namun mengandung perbedaan dari segi makna. Rule of Law merujuk pada suatu susunan konstitusional di mana tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara, baik itu tindakan politik pemerintah dalam mengambil kebijakan dan termasuk tindakan legislatif dapat diperiksa oleh pengadilan dengan prinsip peradilan yang merdeka.24 Kedua istilah tersebut sama-sama memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dalam teori negara hukum, setiap orang dapat berkontribusi dan memberikan masukkannya terhadap negara, maupun produk hukum yang dihasilkan, baik dalam negara yang mendasarkan kepada tradisi Eropa Kontinental (rechtsstaat) maupun tradisi Anglo Saxon (rule of law).25 Dalam tradisi rechstaat, Friedrich Julius Stahl

24 Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia (Ham) Di Indonesia Pada Era

Reformasi, Studi tentang Penegakan Hukum HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu.

Disertasi, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010), hlm 21.

25 Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan negara hukum tidak selalu identik dengan rule of law.

Sedangkan istilah rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Selengkapnya baca Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960) hlm 456. Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah negara hukum adalah Rule of law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not

(10)

(1802-1861) mengemukakan ciri-cirnya yaitu: adanya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia; adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan; dan adanya penyelesaian sengketa melalui sebuah sistem peradilan. Dalam tradisi Eropa Kontinental yang menganut sistem hukum civil law, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah negara hukum rechtsstaat adalah: adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia; pemisahan kekuasaan; pemerintahan berdasar atas UU; dan peradilan administrasi.26

Sementara Rule of Law adalah konsep payung untuk melindungi warganegara terhadap kekuasaan negara.27 Substansi rule of law dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu, (1) prosedural, (2) substantif, dan (3) mekanisme kontrol.28 Sedangkan untuk unsur yang harus ada dalam rule of law adalah: adanya supremasi hukum

(supremacy of law); adanya persamaan di depan hukum (equality before the law); dan

adanya konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based

on human rights).29 Sementara Albert Venn Dicey (1835-1922) mengemukakan ciri-ciri rule of law yang dianut oleh negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon, yitu: adanya larangan kesewenang wenangan dari otoritas politik negara; adanya persamaan di depan hukum; dan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia.

Dalam konteks Indonesia, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat). Dalam kontkes ini, Indonesia bukan sekadar negara yang hanya terdiri atas hukum saja, melainkan memiliki konsekuensi logis pada proses pembentukan UU yang mengharuskan pembentuk UU harus terhadap ketentuan formil dan materiil pembentukan peraturan

of Man. Baca Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

CV. Sinar Bakti, 1988), hlm 8.

26 Suparman Marzuki, Politik Hukum..Op.cit., hlm 22.

27 Sulistyowati Irianto, Pendidikan Untuk Indonesia Masa Depan: Sebuah Catatan Kritis,

disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis FH UGM ke-74, hlm 15.

28 Ibid.

(11)

perundang-undangan agar menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan amanat konstitusi dan memiliki kualitas yang baik untuk mengatur kehidupan bernegara.30

4.2. Teori Perbandingan Hukum

Istilah Perbandingan hukum berasal dari banyak istilah. Di antaranya ada istilah Comparative Law, istilah Comparative Jurisprudence, dan Foreign Law dalam Bahasa ingggris, Droit Compare dalam Bahasa Perancis, dalam istilah belanda dikenal dengan Rechtsgelijking, dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende

Rechlehre dalam istilah bahasa Jerman.31 Istilah-istilah tersebut bila diterjemaahkan

secara harfiah ke Bahasa Indonesia adalah perbandingan hukum dari sistem hukum yang beda, dengan kembegaan dan penyelesaian perosalan hukum berbeda-beda pula yang dapat menjadi perbandingan.

Gutteridge mengatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu pendekatan yang dapat digunakan dalam banyak, bahkan semua semua cabang penelitian hukum dengan cara membandingkan dua sistem hukum atau lebih dan mempelajari hukum dari sistem yang berbeda tanpa secara nyata membandingkan dengan sistem hukum yang lainnya.32

Soedjono Dirdjosisworo (1983) mengemukakan perbandingan hukum sebagai suatu pendekatan studi hukum, yang memperbandingkan sistem hukum dari beberapa negara.33 Sedangkan R.Soeroso (1999) menyimpulkan perbandingan hukum sebagai suatu cabang ilmu yang menggunakan pendekatan perbandingan untuk mencari jawaban atas permasalahan hukum konkret yang terjadi di suatu negara.34 Setiap

30 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, hlm 24.

31 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Bandung:

Gramedia, 2000), hlm. 6

32 Gutteridge dalam Romli Atmasasmita, ibid. hlm 7

33 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1983), hlm.

60

(12)

negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam memandang problematika hukum, seperti sistem hukum, proses pembentukan dan cara menjalankan hukum.

Sudikno Mertokusumo (2012) mengatakan bahwa membandingkan hukum negara tidak hanya digunakan untuk membahas perbedaan dan persamaan sistem hukum yang ada di beberapa negara saja. Melainkan juga bertujuan untuk mencari solusi atas permasalahan dan memberikan masukan terhadap pembentuk hukum agar menciptakan hukum yang lebih baik dengan cara memperbandingkan sistem hukum yang ada di beberapa negara.35

Hendri C Black mendefinisikan perbandingan hukum sebagai suatu upaya untuk mengelompokkan hukum untuk kemudian diperbandingkan. Ole Lando mendefinisikan hal serupa mengenai perbandingan hukum dengan mengatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu ilmu yang menjadi pendekatan atau metode dalam menyusun sebuah kajian hukum.36

Dalam teori perbandingan hukum, dikenal dua mekanisme, yaitu dengan memperbandingkan makro dan mikro. Perbandingan makro dapat didefinisikan sebagai suatu cara memperbandingkan masalah hukum yang terjadi pada umumnya, seperti memperbandingkan hukum umum di suatu negara dengan negara lain. Sementara untuk perbandingan mikro merupakan peebandingan hukum dengan cara memperbandingkan masalah hukum khusus yang terjadi di suatu negara dengan negara lain.37

Hukum yang menjadi perbandingan disebut “comparatum”, sedangkan hukum yang diperbandingkan disebut dengan “comparandum”.38 Setelah diketahui kedua hukum itu, perlu ditentukan objek apa yang akan diperbandingkan, dalam

35 Sudikno Mertokusumo, “Perbandingan Hukum”, Di unduh dari

http://sudiknoartikel.blogspot.co.id/2012/04/perbandingan-hukum.html

36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 258. 37 Geoffrey Samuel, An Introduction to Comparative Law Theory and Method, (Oregon: Hart

Publising, 2014), hlm. 50.

(13)

konteks penelitian tesis ini, perbandingan tersebut akan menyasar pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus di beberapa negara yang menganut sistem hukum

civil law dan common law.

4.3. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik

Kajian sosial mengenai hukum selalu berasumsi bahwa hukum tidak terletak atau dibuat dalam ruang hampa,39 sebab hukum tidak dapat berjalan dan dipelajari dalam ruang yang vakum.40 Bagi sebagian kalangan, hukum dianggap sebagai suatu

instrumen yang dibuat atas dasar kepentingan kelompok berkuasa.41 David Trubeck

memandang pembuatan hukum sebagai instrumentasi dari keinginan politik yang tidak pernah bersifat mandiri dan bersih, melainkan sarat dengan kepentingan kelompok tertentu, atau kekuatan politik kuat dalam suatu negara.42

Pembentukan UU bukan sekedar prosedur formal yang diinginkan oleh penguasa, melainkan sebuah UU harus dibentuk atas dasar Perintah UUD dan atas kebutuhan hukum bersama yang harus tergambar dari isi atau materi muatan dari UU yang dibentuk secara bersama-sama oleh presiden bersama DPR tersebut.43 Dalam

membentu peraturan terkait perosalan yang berada dalam di luar apa yang telah diatur dalam UUD, legislatife harus menentukan cakupan ruang lingkupnya,44 yang

menurut para ahli hukum secara umum belum ada kesatuan pendapat tentang Batasan

39 Ibid.

40 Kalimat ini dikutip oleh Alan Hunt dalam menjelaskan pemikiran aliran sociological

jurisprudence. Alan Hunt, Explorationsin Law and Society Toward Constitutive Theory of Law, ( New

York: Routhledge, 1993), hlm 37.

41 Suparman Marzuki, Op.cit., hlm 25. 42 Ibid.

43 Bayu Dwi Anggono, Asas Materi Muatan Yang Tepat Dalam Pembentukan Undang-Undang,

Serta Akibat Hukumnya: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Yang Dibentuk Pada Era Reformasi (1999-2012), Disertasi, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

2014), hlm 26

(14)

ruang lingkup ini, namun namun ruang lingkup materi muatan dari UU dapat ditentukan.45

Keberadaan UU tidak bisa dilepaskan dari konsep legalisme dan positivisme yang menurut J. N. Shklar sebagai sikap etis yang memegang perilaku moral yang kemudian menjadi aturan hukum.46 Paham legalisme mendasarkan pemikirannya pada aturan tertulis oleh negara. Pemikiran ini disokong oleh pemikir hukum yang menganut aliran positivisme dan legisme.47 Konsep legalisme mengedepankan gagasan keadilan yang dapat dilaksanakan melalui sistem dan prosedur pembentukan peraturan yang bersifat obyektif atau tidak memihak, tidak bersifat personal dan bersifat otonom.48 Soetandyo Wignjosoebroto (2006) melalui doktrin positivisme mengajarkan bahwa suatu aturan hukum harus dibentuk oleh sosok yang bukan merupakan bagian dari orang-orang yang berada di ranah metayuridis, melainkan harus oleh orang-orang yang sifatnya berada di ranah yang objektif.49 Oleh karena itu, setiap aturan hukum harus dirumuskan secara jelas, cermat dan tepat oleh pejabat atau institusi yang berwenang untuk membentuk suatu norma hukum.50

Jimly Asshiddiqie (2006) mengatakan bahwa UU memegang peranan penting bagi suatu negara, bahkan ada istilah negara UU atau the legislation-state yang menurut John Robert diartikan sebagai “the legislation-state that is, the state engaged

continually in making laws, unmaking them, and amending them” (negara UU adalah

negara yang terus menerus terlibat dalam pembentukan/pembuatan UU, mencabut UU dan merubah UU).51

45 Ibid. hlm 27

46 Sumaryono, Etika dan Filsafat, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Jakarta:

Kanisius, 2002), hlm. 20

47 J. N. Shklar dalam Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law

Book Services, 1994), hlm 109.

48 Nonet dan Selznick, Law and Society In Translation, 1978 sebagaimana dikutib dalam Satjipto

Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm.10.

49 Soetandyo Wignjosoebroto, menggagas Terwujudnya Peradilan yang independent Dengan

Hakim Yang Tidak Memihak, Buletin Komisi Yudisial Vol I/No 3 Des 2006, hlm.16

50 Ibid.

(15)

A. Hamid S. Attamimi (1993) secara garis besar mengatakan bahwa UU merupakan wadah bagi sekumpulan materi tertentu, yang meliputi: a) hal-hal yang oleh hukum dasar diminta secara tegas atau tidak untuk ditetapkan dengan UU; b) hal-hal yang berdasarkan asas-asas negara hukum sebagaimana yang dianut Indonesia diminta untuk diatur dengan UU; dan c) hal-hal yang berdasarkan UUD 1945 diminta untuk diatur dengan UU.52

Dari ketiga kumpulan materi itu, UU dapat dirincikan menjadi sembilan materi pokok yang terdiri dari: 1) tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR; 2) dibentuk untuk mengatur lebih lanjut ketentuan yang ada di UUD; 3) mengatur HAM; 4) dibentuk untuk mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara; 5) mengatur peros al an pembagian kekuasaan negara; 6) mengatur lembaga-lembaga Negara ; 7) untuk mengatur pembagian wilayah negara; 8) mengatur perosalan kewarganegaraan; 9) dinyatakan oleh UU untuk diatur dengan UU.53

Membentuk peraturan perundang-undangan merupakan proses menuangkan kebijakan publik ke dalam sebuah norma hukum yang sifatnya mengikat warga dalam bentuk hak dan kewajiban, serta larangan dan kebolehan.54 Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, pembentuk dalam hal ini Pemerintah bersama DPR harus mengetahui jenis peraturan perundang-undangan yang akan dibuat berdasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat di Pasal 7 UU PPP.55 Bila masalah yang akan diatur dalam sebuah UU itu sesuai dengan butir-butir UU di atas, pembentuk harus diatur dalam bentuk UU. Tapi bila tidak memenuhi butir-butir

52 A. Hamid S. Attamimi, “Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)”, Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Jakarta, 20 September 1993, hlm. 10

53 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara. Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,1990), hlm.

219

54A.A.Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Persepektif Peraturan

Perundang-undangan, Ed. Soekedy, (Jakarta: Depkumham, 2006), hlm. 88

(16)

tersebut, maka persoalan tersebut tidak bisa diatur dalam UU, melainkan di peraturan lain seperti peraturan pemerintah atau Perpres.56

Dalam membentuk hukum, kegentingan-kepentingannya itu dilegalisasikan dalam UU. Menurut Schuyt sebagaimana dikutip Duverger, UU merupakan "een

neerlag van politieke machtsverhoudingen”atau suatu endapan kesepakatan antara

kekuatan politik yang ada dalam masyarakat.57 Karl Marx menyebutnya sebagai representasi dari kekuatan kapitalis yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.58 Sementara menurut Maria Farida (2002), dalam sebuah negara hukum modern, tujuan pembentukan UU tidak lagi untuk kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai yang sudah lama mengendap, melainkan bertujuan untuk memodifikasi atau melakukan perubahan dalam kehidupan bermasyarakat.59

Yuliandri (2011) mengatakan bahawa ”legal policy” yang dalam bentuk UU menjadi semacam alat/sarana untuk melakukan rekayasa sosial, yang memuat ketentuan tentang kebijaksanaan yang ingin dicapai pemerintah, dengan cara mendorong masyarakat untuk menerima nilai-nilai baru.60 Sedangkan Hendrik Hattu menyatakan dalam negara hukum modern diperlukan sebuah sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan semacam ruang yang mampu memberi, mengatur, membatasi, dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas dan wewenang dari Pemerintah, dengan tetap memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat.61

56 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan,Dasar-Dasar dan Pembentukannya,

(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.130

57 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Pendekatan dan Pilihan Masalah,

(Surakarta:Muhamdiyah University Press, 2004), hlm 127.

58 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks

Sosiologi Hukum (Buku I), (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm 141-200.

59 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,

(Yogyakarta: Kanisius 2002) hlm. 2..

60 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan

Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,(Jakarta: Rajawali Press, 2011) hlm. 1.

61 Hendrik Hattu, Tahapan Undang-Undang Responsif, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2,

(17)

Dalam UUD 1945, pembentukan UU haruslah mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Saldi Isra mengatakan bahwa frasa “persetujuan bersama” yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut memberikan otoritas ganda dalam pembentukan UU, yang berpotensi memunculkan tiga persoalan krusial, 62 yaitu: tidak akan ada UU tanpa persetujuan bersama antara Presiden dan DPR; jika salah satu di antara Pemerintah dan DPR tidak setuju, maka pembahasan sebuah RUU tidak bisa dilanjutkan; kewenangan persetujuan RUU menjadi UU harus selalu dilakukan bersama oleh DPR dan Presiden.

Pembentukan UU pada dasarnya adalah kebijakan politik yang disepakati bersama oleh DPR dan Presiden. Kebijakan tersebut lahir akibat adanya kesepakatan formal antara DPR dengan Pemerintah untuk mengatur seluruh kehidupan bernegara.63 Untuk peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah UU dibentuk atas dasar kewenangan mandiri dari pembentuknya, baik yang timbul akibat adanya delegasi dari UU maupun akibat kehendak sendiri, misalnya seperti Peraturan Pemerintah, Perpres, maupun peraturan lain yang memiliki kedudukan secara hierarki.

Untuk menyusun suatu rancangan UU diperlukan kajian atau analisis yang didukung dengan teori bahwa rancangan UU ini dibuat berdasarkan kebutuhan. Kajian yang dilakukan tersebut akan menjadi pertimbangan persuasif terhadap suatu rancangan UU. secara teori, terdapat empat tahap untuk merumuskan persoalan untuk menunjukkan bahwa suatu rancangan UU yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang kuat dan atas dasar pengalaman.

Kelima tahapan dalam pembentukan UU tersebut adalah; tahap 1 sampai 3, merupakan teknis procedural yang dapat diartikan sebagai tahap analisa dan

62 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.6

63 Maria Farida, Laporan Kompodium Bidang Hukum Perundang-Undangan, (Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional, 2008) hlm 11, dapat diakses di

(18)

penyusunan kajian secara kritis dengan melibatkan banyak ahli dan stakeholder yang akan terdampak dari suatu UU. Walaupun demikian, pembentukan hukum juga tidak pernah lepas dari pengaruh kekuatan sosial politik yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Adanya pengaruh kekuatan sosial-politik tersebut akan mempengaruhi setiap produk hukum yang dihasilkan yang menurut Robert B. Seidman, kekuatan sosial tersebut akan selalu mempengaruhi setiap proses pembentukan UU dan penegakannya.

Dalam pembentukan suatuperaturan perundang-undangan, ada persoalan hak asasi manusia yang perlu diperhatikan. Baik pada tahap pembentukan maupun pada saat sebuah peraturan perundang-undangan sudah resmi berlaku. Hal ini perlu diperhatikan karena tegaknya HAM merupakan output dari keseluruhan dinamika sosial dan politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,

Law Making Process itu tidak hanya dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan, melainkan juga memenuhui persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis.64 Selain itu, sebuah produk hukum yang dibentuk juga harus harus

memiliki legitimasi sosial dan legitimasi politik agar produk hukum yang dibentuk dapat berlaku dengan efektif dalam masyarakat.65

Jimly Asshiddiqie juga menyatakan hal yang sama tentang legitimate sosial dalam pembentukan hukum. Ia menyatakan bahwa norma hukum yang dituangkan dalam suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan seharusnya benar-benar telah disusun berdasarkan kajian yang matang dan perenungan yang mendalam, yang semata-mata dibentuk untuk kepentingan umum (public interest), bukan hanya atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.66

Untuk mendapatkan legitimasi sosial tersebut, jalan terbaik adalah dengan adanya partisipasi publik dalam proses pembentukan. Pada dasarnya, hukum

64 Ibid. 65 Ibid.

66 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia,( Jakarta: Sekretariat Jenderal

(19)

merupakan sumber dari semua norma kebajikan yang mendukung kehendak-kehendak baik dari masyarakat. Tapi pada kenyataanya, politik kerapkali melakukan intervensi dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.

5. METODE PENELITIAN

Metodologi adalah konsekuensi logis dari suatu teori dan keilmuan yang digunakan. Termasuk dalam penelitian hukum. Dalam ilmu hukum, perdebatan mengenai pendekatan penelitian masih berlangsung hingga kini. Tidak sedikit akademisi yang mengatakan bahwa penelitian hukum itu identik dengan penelitian dokumen karena mengharuskan yuridis normatif, bila dilakukan penelitian lapangan maka penelitiannya adalah milik ilmu sosial.67 Padahal, bila merujuk fakta kebutuhan hukum yang terus berkembang dan mengikuti perkembangan masyarakat, maka untuk mendapatkan hasil penelitian hukum yang responsif, maka haruslah berdasarkan pada kenyataan sosial yang didapatkan melalui penelitian lapangan.68 Oleh sebab itu, penelitian tesis ini akan menggunakan pendekatan penelitian yuridis-normatif,69.

Pendekatan yuridis-normatif bercirikan pada penelitian yang dalam mencari jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian dengan mengkaji kerangka hukum normatif untuk melakukan penelaahan terhadap data seperti seperti kaidah-kaidah hukum, asas hukum, pengertian pokok hukum dan sebagainya.70 Dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian ini, diperlukan data-data sekunder yang mencakup bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan/ atau bahan hukum

67 Sulistyowati Irianto, Diesnatalis..,Op.Cit., hlm 20. 68 Ibid.

69 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup, (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm

13-14

70 Arief Hidayat, Kebebasan Berserikat Di Indonesia (Suatu Analisis Pengaruh Perubahan

Sistem Politik Terhadap Penafsiran Hukum), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

(20)

tersier.71 Bahan hukum yang termasuk bahan hukum primer meliputi: Konstitusi atau UUD, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jenis, fungsi, materi muatan, asas-asas dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, serta putusan pengadilan. 72

Bahan hukum sekunder berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu berupa hasil penelitian, hasil analisis peraturan perundang-undangan, buku hukum, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.73 Kemudian, yang terkahir adalah bahan hukum tersier, seperti kamus, ensiklopedia, dsb. Bahan-bahan hukum ini dikumpulkan melalui studi Pustaka di Perpustakaan Dan S Lev, menelusuri website Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, , BPHN, J.D.I.H DPR RI, website analisis peraturan perundang-undangan hukumonline.com, website BPK RI Perpustakaan Universitas Indonesia, dan lain sebagainya. Dengan pendekatan ini penulis berharap dapat menjelaskan berbagai teori dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan pendekatan Omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara ringkas

6. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disajikan dengan sistematika yang dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan uraian sebagai berikut. Bab I “Pendahuluan” memuat dan berisi uraian tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, pendekatan penelitian, san sistematika penulisan.

Bab II “tinjauan penerapan pendekatan omnibus law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, membahas tentang omnibus law secara umum, kerangka hukum omnibus law, manfaat dan kekurangan omnibus law. Bab ini juga akan membahas pembentukan omnibus

71 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Ed.1, Cet.3, (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm. 14-15

72 Bayu Dwi Anggoni, Asas Materi Muatan, Op.Cit. hlm 49 73 Ibid.

(21)

law, khususnya pembentukan UU Cipta Kerja berupa identifikasi permasalahan

pembentukan dan Analisa undang-undang terdampak.

Bab III “omnibus law dalam reformasi peraturan perundang-undangan di Indonesia”, membahas tentang dampak penerapan pendekatan omnibus law dalam pembentukan UU, khususnya UU Cipta Kerja. Pembahasan pada bab ini dimulai dengan penjabaran masalah Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan upaya reformasi Peraturan Perundang-Undangan yang pernah dilakukan pemerintah, khususnya selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kemudian pembahasan akan dilanjutkan dengan dampak UU Cipta Kerja.

BAB IV “pembentukan peraturan perundang-undangan dengan pendekatan omnibus law yang ideal”, membahas tentang bagaimana proyeksi kedepannya dalam penerapan pendekatan omnibus law dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Bab V “Penutup”, menyajikan simpulan yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dapat diberikan.

(22)

22

BAB 2

OMNIBUS LAW DAN UPAYA REFORMASI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

1. OMNIBUS LAW DAN KERANGKA HUKUM PENGGUNAANNYA

Berdasarkan teori negara hukum, peraturan perundang-undangan selalu memegang peran yang strategis, karena akan menjadi dasar yang memberikan legalitas atas segala tindakan dalam bernegara.1 Di mana suatu peraturan perundang-undangan mengikat masyarakat dari segi ide dan maknanya yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun. Oleh sebab itu, penggunaan pendekatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu didasarkan oleh suatu legalitas hukum yang menjadi dasar pembentukannya. Termasuk dalam penggunaan pendekatan omnibus law dalam membentuk undang-undang.

1.1.Pengertian Omnibus Law

Pada 1820 di Paris, dikenal istilah ”Bus Omni”, yaitu sebuah kendaraan yang mampu mengangkut banyak orang dan segala jenis barang bawaanya. Istilah ini menjadi familiar ketika dipakai di Amerika Latin. Istilah omnibus ini kemudian menjadi kata yang umum untuk menggambarkan apa pun yang dapat dipakai secara bersama-sama sekali gus. Istilah ini kemudian juga diadopsi di bidang hukum dengan

1 Yuslim, Arah Reformasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Prosiding

Forum Akademik Kebijakan Reformasi Regulasi 2019: Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi di Indonesia, (Jakarta:PSHK, 2019) hlm 56

(23)

23 istilah ”Omnibus law” yaitu satu UU yang materi muatanya dapat berisi beragam jenis materi.2

Ditinjau dari terminologi Bahasa, omnibus berasal dari bahasa Latin yang memiliki makna untuk semuanya. Dalam istilah lain, omnibus law dapat diartikan sebagai hukum yang dapat merangkum dan mengatur banyak hal.3 Kata omnibus juga dipakai dalam semboyan atau motto dari Swiss yang berbunyi "unus pro omnibus,

omnes pro uno" yang bisa diartikan kedalam Bahasa Indonesia sebagai "satu untuk

semua, semua untuk satu". Semboyan ini layaknya “Bhineka Tunggal Ika” di Indonesia. Di Swiss semboyan tersebut menyimbolkan negara yang mencintai perbedaan dan pluralisme.4

Menurut Henry Campbell Black (1968) omnibus bill adalah “In legislative

practice, a bill including in one act various separate and distinct matters, and particularly one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment”.5 Black mengatakan bahwa omnibus law merangkum

banyak UU dan menjadikannya satu UU. Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa pengunaan pendekatan omnibus law dapat diterapkan dalam tiga keadaan, yaitu: UU yang akan diubah berkaitan secara langsung; UU yang akan diubah tidak berkaitan secara langsung; dan UU yang akan dibuah dalam praktek bersinggungan.

Audrey O’Brien dan Marc Bosc (2009) memberikan definisi omnibus law sebagai UU yang mengubah, mencabut, dan/atau memberlakukan beberapa ketentuan

2 Wicipto Setiadi, Simplifikasi Regulasi dengan Menggunakan Pendekatan Pendekatan Omnibus

law, Jurnal Rechvinding Volume 1, April 2020, hlm 44

3 Muhammad Idris, "Mengapa UU Cipta Kerja Disebut Omnibus law?", kompas.com,

https://money.kompas.com/read/2020/10/17/073311026/mengapa-uu-cipta-kerja-disebut-omnibus-law?page=all.

4 Muhammad Idris, "Mengapa UU Cipta Kerja Disebut Omnibus law?", kompas.com,

https://money.kompas.com/read/2020/10/17/073311026/mengapa-uu-cipta-kerja-disebut-omnibus-law?page=all.

(24)

24 dari berbagai UU dalam satu UU.6 Lebih lanjut Audrey O’Brien mengatakan bahwa melalui omnibus law dapat dilakukan revisi terhadap banyak UU melalui satu UU saja untuk mendukung kebijakan tertentu dari negara.7 Sementara Herb Gray memberikan definisi omnibus law sebagai suatu UU yang sekali gus dapat mengubah banyak UU yang secara konteksnya berbeda yang didasarkan atas tujuan untuk mencapai atau mendukung suatu kebijakan.8

Maria Farida Indrati (2020) mendefinisikan omnibus law sebagai UU yang mengatur berbagai macam substansi dan subyek dalam rangka penyederhanaan UU yang masih berlaku.9 Selain itu, Maria Farida Indrati juga mengatakan bahwa omnibus

law tidak tepat bila disamakan dengan sebuah UU Payung atau UU yang menjadi induk

dari UU lainnya.10 Sementara Muladi (2019) mengatakan bahwa omnibus law adalah hukum yang mencakup banyak topik atau objek yang tidak selalu berkaitan satu sama lain.11

Bivitri Susanti (2019) mengatakan bahwa omnibus law sebagai UU yang dibentuk untuk menyasar isu-isu besar di suatu negara. UU yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law dimaksud untuk merampingkan Peraturan Perundang-Undangan dari segi jumlah, dan menyederhanakan persoalan peraturan agar peraturan tersebut lebih tepat sasaran.12 Sementara Fahri Bachmid mengatakan bahwa konsep

“omnibus law” sebagai suatu produk hukum yang mengkonsolidir berbagai tema,

materi dan subjek dalam suatu peraturan perundang-undangan.13 Kemudian, Refly

6 Audrey O’Brien & Marc Bosc, eds, House of Commons Procedure and Practice, (Cow-

ansville, QC: House of Commons & Éditions Yvon Blais, 2009) hlm, 724.

7Ibid.

8 Herb Gray dalam dalam Bayu Dwi Anggono, Omnibus law..Op.Cit.hlm 22

9 Maria Farida Indrati, ”Omnibus law”, UU Sapu Jagat?, Harian Kompas, 4 Januari 2020, hlm.6 10 Ibid.

11 Muladi, RKUHP Sebagai Omnibus law, Harian Kompas, 27 November, 2019,hlm 6.

12 Bivitri Susanti dalam Jawahir Gustav Rizal, "Apa Itu Omnibus law Cipta Kerja, Isi, dan

Dampaknya bagi Buruh?", kompas.com,

https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/06/104500965/apa-itu-omnibus-law-cipta-kerja-isi-dan-dampaknya-bagi-buruh?page=all

(25)

25 Harun mengungkapkan bahwa penerapan pendekatan omnibus law bisa saja dilakukan di Indonesia karena baik untuk membentuk peraturan yang ramping dan harmonisasi.14

Bayu Dwi Anggono (2020) memberikan makna omnibus law dengan cara menjabarkan tiga perbedaan mendasar omnibus law dengan pembentukan UU yang pernah diterapkan di Indonesia, yaitu:

1. Substansi yang diatur dalam UU selama ini mengandung satu substansi tertentu, sementara omnibus law menawarkan hal yang berbeda dengan dapat memuat banyak materi sekali gus dalam satu UU, walau pun tidak saling berkaitan; 2. Perubahan atau pencabutan UU yang lazim dilakukan Indonesia adalah dengan

mengubah atau mencabut satu UU saja, sedangkan omnibus law dapat mengubah dan mencabut ketentuan di banyak UU sekali gus melalui pembentukan satu UU; dan

3. Delama ini Indonesia mengenal istilah kodifikasi yang sejatinya juga memiliki pengertian yang berbeda, sebab omnibus law menggabungkan ketentuan dari banyak UU dengan subtansi yang berbeda-beda. 15

1.2.Sejarah Omnibus Law

Konsep omnibus law untuk pertama kali berkembang di negara-negara common

law yang memiliki sistem hukum anglo saxon seperti Kanada, Amerika Serikat, Belgia,

dan Inggris.16 Konsep omnibus law menawarkan pembenahan Peraturan Perundang-Undangan yang disebabkan oleh peraturan yang terlalu banyak (overregulasi) dan memiliki materi muatan yang tumpang tindih (overlapping). Terhadap perosalan tersebut bila diselesaikan dengan cara-cara biasa, yakni dengan membentuk merevisi UU satu per satu, maka akan memakan waktu yang lama dengan biaya yang besar.17

14 Ibid.

15Bayu Dwi Anggono, Omnibus law…Op.Cit.hlm 25

16 Antoni Putra, Penerapan Omnibus law dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi

Indonesia Vol 17 No. 1- Maret 2020,hlm 2.

17 Firman Freaddy Busroh, Konseptualisasi Omnibus law dalam Menyelesaikan Permasalahan

(26)

26 Di negara-negara Eropa Continental yang menganut sistem hukum civil law, pendekatan omnibus law jarang terdengar karena di negara-negara tersebut mengenal istilah kodifikasi hukum. Maksud kodifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) adalah: (1) himpunan berbagai peraturan menjadi satu UU dalam bentuk sebuah

kitab hukum atau UU; (2) pengelompokkan hukum dan UU berdasarkan asas-asas tertentu; (3) pembukuan norma hukum; dan (4) pemberian nomor atau lambang yang berfungsi sebagai pembeda untuk hukum yang satu dengan yang lainnya.

Sejarah omnibus law dapat dilihat di beberapa negara yang telah menerapkannya. Misalnya di Amerika Serikat dan Kanada yang dikenal dengan istilah

omnibus bill. Di Amerika Serikat tercatat UU omnibus bill pertama kali dibahas pada

184018 dan mulai diterapkan pada 1888 dalam mengatur perjanjian privat tentang pemisahan dua rel kereta api.19 Dalam catatan House of Commons Procedure and

Practice menyebut bahwa RUU yang disusun menggunakan pendekatan omnibus juga

telah ada pada awal 1868 di Kanada, yaitu menyangkut pengesahan sebuah UU dalam rangka memperpanjang waktu berlaku beberapa UU setelah Konfederasi Canada.20

Sebelum Indonesia, Omnibus juga telah diterapkan oleh negara-negara Asia Tenggara lain, misalnya Vietnam dan Filipina. Di Vietnam, pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law dalam upaya penerapan perjanian perjanjian WTO secara nasional. Sementara di Filipina Omnibus law lebih mirip dengan kodifikasi karena pembentukan omnibus law hanya diperuntukkan untuk mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengatur persoalan yang sama, yang dapat terlihat dalam Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act

Of 1991.21

18 Yantina Debora, "Arti dan Sejarah Omnibus law Atau UU Sapu Jagat",

tirto.id, https://tirto.id/f5Du

19 Hukumonline.com, ”Menelusuri Asal-Usul Konsep Omnibus law”, hukumonline.com,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2c1e4de971a/menelusuri-asal-usul-konsep-omnibus-law

20 Yantina Debora, "Arti dan Sejarah…Op.Cit. 21 Ibid.

(27)

27

1.3.Kelebihan dan Kelemahan Omnibus Law

Penggunaan omnibus law dalam pembentukan UU memiliki sejumlah alasan. Salah satunya penggunaan omnibus law memudahkan pembentuk untuk mencapai kesepakatan atau persetujuan dari pembentuk karena materi muatannya yang sangat kompleks yang memungkinkan masing-masing anggota dapat memasukkan subtansi yang diinginkannya.22

Louis Massicotte (2013) menjelaskan 2 keuntungan omnibus law dalam pembentukan UU yaitu mnghemat waktu dan mempersingkat proses legislasi karena tidak perlu melakukan perubahan terhadap banyak UU yang akan diubah melainkan cukup melalui satu rancangan UU yang berisikan banyak materi perubahan dari berbagai UU.23 Adam M. Dodek menyebutkan keuntungan digunakannya teknik

omnibus law adalah pembentukan UU menjadi lebih efisien yang dikarenakan

amandemen banyak UU bisa dilakukan hanya melalui satu UU atau UU Tunggal.24 Sementara Glen S. Krutz menyebut omnibus law memberi manfaat dalam mencegah ketidakpastian hukum yang muncul pasca pembentukan satu UU yang hanya memuat satu materi tertentu akibat potensi pertentangan dengan UU lainnya dan meningkatkan produktivitas dalam pembentukan UU.25

Bayu Dwi Anggono (2020) mengemukakan beberapa kelebihan omnibus law, yaitu: 1) Mempersingkat proses pembuatan dan pembahasan produk legislasi atau RUU; 2) Mencegah kebuntuan dalam pembahasan RUU di DPR; 3) Memberikan efisiensi terkait biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan UU; dan 4)

22 Bayu Dwi Anggono, Omnibus law. Op.Cit. hlm 24

23 Louis Massicotte, ”Omnibus Bills in Theory and Practice”, (Canadian Parliamentary Review,

2013), hlm 15

24 Adam M Dodek, dalam Bayu Dwi Anggono, Omnibus law…Op.Cit. hlm 25.

25 Glen S. Krutz, Hitching a Ride: Omnibus Legislating in the U.S. Congress, (Ohio State

(28)

28 memudahkan pembentuk dalam melakukan harmonisasi pasal per pasal dalam UU

omnibus law.26

Selain kelebihan, juga terdapat kelemahan dari Omnibus law. Sementara Aaron Wherry mengatakan bahwa omnibus law adalah pembentukan hukum yang pragmatis dan tidak demokratis karena merevisi sejumlah norma di beberaoa UU sekali gus yang sejatinya memiliki inisiatif politik yang berbeda.27 Bayu Dwi Anggono (2020) memaparkan kelemahan dari omnibus law, yakni: 1) Pendekatan

omnibus law cenderung pragmatis dan tidak demokratis; 2) Membatasi ruang

partisipasi publik; 3) menyebabkan pembentuk kurang teliti dalam merumuskan norma; 4) berpotensi mengabaikan konstitusi dan putusan MK. 28

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020) juga mengemukakan 3 (tiga) kelemahan dari omnibus law, yaitu: 1) Omnibus law memuat terlalu bnayak pengaturan yang menyebabkan kelompok anggota DPR yang kritis dan masyarakat yang ingin terlibat dalam proses pembentukan UU mengalami kesulitan memberikan masukan; 2) Luasnya cakupan pengaturan dan banyaknya pengaturan di dalamnya berpotensi menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum berdasarkan kepentingan kelompok tertentu; dan 3) Keterbatasan waktu untuk mengakomodir kepentingan masyarakat yang diebabkan karena terbatasnya kesempatan DPR untuk mengkaji secara mendalam substansi demi subtansi dan sempitnya ruang partisipasi bagi masyarakat, padahal UU

26 Bayu Dwi Anggono dalam Rofiq Hidayat, “Plus-Minus Pendekatan Penyusunan Omnibus law

di Mata Akademisi”, hukumonline.com,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e95cd1fe904b/plus-minus-pendekatan-penyusunan-omnibus-law-di-mata-akademisi

27 Aaron Wherry dalam Mirza Satria Buana, ”Menakar Konsep Omnibus law Dan Consolidation

Law Untuk Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia: Pendekatan Perbandingan Hukum Tata Negara”, Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-4 , Penataan Regulasi di Indonesia, Jember, 2017. hlm.312.

28 Bayu Dwi Anggono, Omnibus law Sebagai tekhnik Pembentukan Undang-Undang: Peluang

Adopsi dan Tantangan Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal RechVinding volume 9

(29)

29 yang disusun menggunakan pendekatan omnibus law memiliki subtansi yang lintas sektoral dan berdampak pada banyak sektor.29

1.4.Tantangan Penerapan Omnibus Law di Indonesia

Penerapan omnibus law juga memiliki tantangan tersendiri yang berberda dengan pembentukan UU dalam meodel yang biasa diterapkan sebelumnya. Bivitri Susanti (2020) mengatakan bahwa terdapat beberapa tantangan dalam penerapan

omnibus law dalam pembentukan undang-undang. Pertama, banyak peraturan teknis

yang mesti disingkronkan, mulai dari peraturan pemerintah, permen, kepme, surat edaran, dan sebagainya. Kedua, proses di DPR akan sulit mengakomodir pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law karena secara teknis dalam proses pembentukan diperlukan kesiapan dan model pembahasan yang berbeda dari yang lazim dilakukan.30

Novianto Murti Hantoro (2020) mengatakan salah satu tantangan penerapan

omnibus law di Indoensia terletak pada tekniknya yng tidak dikenal dalam sistem

hukum Indonesia dan UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2020 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.31 Selain itu, teknik perubahan atau

revisi UU yang jarang terjadi karena omnibus law merevisi dan/atau mencabut puluhan UU melalui satu UU yang akan menyulitkan Pemerintah dan DPR melakukan kajian secara mendalam.32

29 Stephanie Juwana, et.al, Sistem dan Praktik Omnibus law di Berbagai Negara dan Analisis RUU

Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making, Policy Brief 4: Indonesia Ocean Justice Initiative,

hlm 26 https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/08/Policy-Brief-IV-IOJI-Sistem- dan-Praktik-Omnibus-Law-di-Berbagai-Negara-dan-Analisis-RUU-Cipta-Kerja-dari-Perspektif-Good-Legislation-Making.pdf

30 Bivitri Susanti dalam Budiarti Utami Putri, “Pakar Jelaskan Tantangan Omnibus law yang

Diinginkan Jokowi”, tempo.co,

https://nasional.tempo.co/read/1263751/pakar-jelaskan-tantangan-omnibus-law-yang-diinginkan-jokowi/full&view=ok

31 Novianto Murti Hantoro, Konsep Omnibus law dan Tantangan Penerapannya di Indonesia,

PARLIAMENTARY REVIEW, 2020, hlm 7,

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/parliamentary_review/Parliamentary%20Review-II-1-M-2020.pdf?1619719259

(30)

30 Maria Farida Indrati (2020) juga mengatakan bahwa setiap UU sederajat, yang tidak memungkinkan adanya UU payung atau umbrella act sebagaimana yang dikemukakan oleh sekelompok orang dalam memberikan tafsir terhadap omnibus

law.33 Sementara Bayu Dwi Anggono (2020) menuliskan 6 tantangan besar dalam mengadopsi pendekatan omnibus law dalam pembentukan UU di Indonesia yakni:

1. Permasalahan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sangat kompleks, tidak hanya persoalan teknik penyusunan UU;

2. Seriap UU yang diubah dengan omnibus law masing-masing memiliki landasan filosofis yang berbeda satu sama lain;

3. Dalam prinsip supremasi konstitusi menempatkan batas-batas kewenangan untuk tiap jenis peraturan perundang-undangan;

4. Menyebabkan ketidakpastian hukum akibat ego sektoral yang terjadi antar penyelenggara negara;

5. tidak ada parameter kapan suatu UU diubah dengan pendekatan omnibus

law dan kapan diubah dengan cara biasa; dan

6. Persoalan partisipasi publik yang harus dijamin dalam setiap tahapan pembentukan UU.34

Terdapat beberapa hal perlu diperhatikan dalam pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law. Maria Farida Indrati (2020) menyampaikan beberapa catatan kritis terkait pembentukan UU menggunakan konsep omnibus law ini, yaitu:

1. Pembentukan Peraturan Perundang-Undnagan harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, berlandaskan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang berbeda di setiap peraturan perundang- undangan;35

2. Eksistensi UU yang beberapa pasalnya diubah, dicabut dan dipindahkan melalui pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law, karena

33ibid.

34 Bayu Dwi Anggono, Omnibus law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang

Adopsi dan Tantangannya Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal RechtsVinding, Vol. 9 No. 1, April 2020, hlm 30

(31)

31 setiap UU selain memiliki materi muatan yang berbeda juga mengatur subyek yang berbeda pula.36

1.5. Kerangka Hukum Omnibus Law

Sejumlah pihak pernah mengkritik kebijakan pemerintah terkait mekanisme pembentukan omnibus law karena dianggap tidak memiliki dasar hukum untuk diterapkan di Indonesia.37 Salah satunya datang dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (2020) yang mengatakan bahwa pembentukan omnibus law tidak diatur dalam UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Pembentukan, perubahan atau pencabutan UU yang selama ini lazim digunakan Indonesia pendekatan satu usulan perubahan UU melalui satu UU saja tanpa mengubah substansi UU lain. Sedangkan pendekatan

omnibus law memungkinkan satu UU mengubah banyak UU sekali gus.

Pada butir 6 Lampiran II UU PPP yang mengatur Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa pada nama peraturan perundang-undangan perubahan harus ditambahkan frasa “perubahan atas” di depan judul peraturan perundang-undangan yang dilakukan perubahan. Kemudian pada butir 9 disebutkan bahwa pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan, di depan judul ditambahkan kata “pencabutan”. Dalam konteks ini, omnibus law tentu berbeda karena tidak mungkin menyebutkan satu persatu judul UU yang dubah, direvisi dan dicabut. Misalnya UU Cipta Kerja yang memuat 78 Undang-Undang.

Pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan tentu memiliki kerangka hukum yang menjadi dasar pembentukannya, termasuk dalam pemilihan pendekatan pembentukan yang digunakan. Di Indonesia dikenal konsep pembentukan UU menggunakan pendekatan kodifikasi, meski omnibus law dan kodifikasi sama-sama memungkinkan mengubah UU dalam jumlah banyak sekali gus, namun keduanya

36 Ibid.

37 Rofiq Hidayat, “Penyusunan Omnibus law Tetap Mengacu UU Pembentukan Peraturan”,

hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e301e05dbd71/penyusunan-omnibus-law-tetap-mengacu-uu-pembentukan-peraturan/

(32)

32 tetaplah memiliki pengertian yang berbeda. Omnibus law dapat mengumpulkan UU yang memuiliki topik hukum yang berbeda-beda dan sering tidak berkaitan satu sama lain. Sedangkan kodifikasi adalah pembukuan hukum dalam suatu UU dalam konteks materi yang sama.38

UU PPP yang menjadi acuan dalam tatacara pembentukan peraturan perundang-undangan tidak mengenal istilah omnibus law. Namun demikian, dalam teori hukum, sesuatu yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak berarti hal tersebut dilarang.

Benny Riyanto (2020) mengungkapkan bahwa omnibus law adalah sebuah pendekatan dalam proses legislasi, bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya harus diatur berbeda dengan pendekatan pembentukan UU yang biasa digunakan sebelumnya. Tahapan pembentukan omnibus

law tetap tunduk pada UU PPP yang telah mengatur syarat teknis dan subtantif dari

pembentukan peraturan perundang-undangan.39

Penggunaan omnibus law dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat didasarkan pada Pasal 7 UU PPP yang menguraikan tentang hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, omnibus law adalah UU yang sama dengan UU pada umumnya, yang membedakan hanyalah dari materi muatan yang lintas sektor, di mana proses pembentukan tetap berdasarkan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang di atur dalam UU PPP. Dalam pembentukan UU menggunakan pendekatan omnibus law, tetap harus disertai dengan Naskah Akademik dan RUU sebagaimana yang di atur Pasal 44 dan Pasal 45 UU PPP.

38 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 77. 39 Ibid.

(33)

33

2. PENERAPAN PENDEKATAN OMNIBUS LAW DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Berdasarkan teori perbandingan hukum penjabaran mengenai omnibus law perlu dilakukan dnegan cara memperbandingkan pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan tersebut di beberapa negara. Baik di negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Jerman dan Belanda, maupun penggunaan pendekatan omnibus law di negara penganut sistem common law seperti Kanada, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris. Selain itu, juga perlu dijelaskan bagiamana penggunaan pendekatan omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang telah terlebih dahulu menerapkannya. Dalam hal ini, negara yang dipilih adalah Vietnam dan Filipina.

2.1.Omnibus Law di Negara Common Law 2.1.1. Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, omnibus law atau omnibus bill merupakan proses legislasi yang bersifat kompleks dan prosesnya memakan waktu yang cukup lama yang disebabkan oleh faktor banyaknya subtansi yang terkandung di dalamnya.40 Contoh penggunaan pendekatan omnibus di Amerika Serikat adalah dalam pembentukan

Omnibus Spending Bill atau UU APBN dalam istilah Indonesia yang dikeluarkan setiap

tahun.41 Selain masalah keuangan, Omnibus Spending Bill mengatur berbagai perosalan politik, persoalan pemilihan umum, modernisasi teknologi, pengaruh Rusia, hingga persoalan Taylor Force Act.42

40 Muhammad Idris, "Mengapa UU Cipta Kerja Disebut Omnibus law?", kompas.com,

https://money.kompas.com/read/2020/10/17/073311026/mengapa-uu-cipta-kerja-disebut-omnibus-law?page=all.

41 Stephanie Juwana, et.al, Sistem dan Praktik Omnibus law di Berbagai Negara dan Analisis RUU

Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making, Policy Brief 4: Indonesia Ocean Justice Initiative,

hlm 13 https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/08/Policy-Brief-IV-IOJI-Sistem- dan-Praktik-Omnibus-Law-di-Berbagai-Negara-dan-Analisis-RUU-Cipta-Kerja-dari-Perspektif-Good-Legislation-Making.pdf

Gambar

Tabel 2.1: Peraturan terdampak dalam Perpu No.1 Tahun 2020
Tabel 2.2 Materi muatan dari Perpu No. 1 Tahun 2020  No.  Materi  Detail
Gambar 2. 1 Capaian Prolegnas periode 2015--2020
Tabel 3. 4 Inisiatif Pembenahan Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU  PPP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan UU ITE No.11 tahun 2008 merupakan terobosan hukum yang luar biasa namun UU ITE belum secara eksplisit mengakomodasi transaksi perbankan melalui internet dengan

Pengertian pajak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum

Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan

Padahal Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Dalam UU RI No.38 tahun 1999 Pasal 16 Ayat 2 terdapat delapan Ashnaf yang harus diperhatikan yaitu fakirialah merka yang tidak memiliki harta dan juga tidak memiliki

Sesuai dengan permendiknas no 19 tahun 2007 tentang standar pendidikan nasional dan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang menerangkan tentang sistem

Pasal 27 UU No.7 tahun 2011 tentang Mata uang, setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan atau mendestribusikan mesin, peralatan, alat cetak

Terdakwa dikenakan Pasal 114 ayat 1 UU No 35 Tahun 2099 tentang Narkotika dalam putusan hakim menetapkan sanksi pidana penjara selama 5 lima tahun walaupun terdakwa terbukti sebagai