Memaknai Dosa melalui Pendidikan Kristiani
Walaupun noda dan dosa perlu dibersih- kan, Ricoeur menunjukkan perbedaan kedua- nya, yakni dalam noda, aku menuduh orang lain, kemudian dalam dosa aku dituduh. Dengan kata lain, penulis melihat ada pergeseran posisi personal di sini. Noda bisa dilekatkan pada orang lain sebagai obyek, lalu dosa menunjuk pada diri kita sebagai obyek. Penulis menduga pertanyaan Yesus pada orang banyak, “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedang- kan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7: 3) menunjuk pada noda bukan dosa karena kita menyudutkan (menghakimi) orang lain sebagai obyek penderita.
Berbicara mengenai kesalahan, Ricoeur menggambarkannya berada dalam relasi dengan sesama. Artinya, ketika manusia berelasi dengan sesamanya, ia menuduh diri sendiri karena kelalaian atau apapun setelah berefleksi (sadar) atasnya. Kalau demikian, kita bisa melihat bahwa ada pergeseran pemahaman di sana. Dosa yang bernada religius bergeser menuju taraf etis karena kesadaran reflektif yang dilakukannya. Noda, dosa, dan kesalahan dipakai Ricoeur guna menggambarkan tentang memahami simbolisme kejahatan. Artinya, Ricoeur tidak sekedar menafsirkan simbol kejahatan, melainkan merefleksikannya secara filosofis untuk menampilkan kembali isi kesadaran religiusnya yang sudah dilupakan.17
Hal ini bisa dipahami bahwa kesadaran simbol kejahatan semata menempatkan pada manusia dan menjadikannya sebagai penyebab kejahatan.
Aku Orang Berdosa
Berbicara orang berdosa sebagai perenungan filosofis, penulis melihat dosa yang melekat pada diri bukan sekedar berhenti pada kesadaran religius melainkan dicoba dibawa ke arah etis. Artinya, ketika berdosa, manusia memang sedang membutuhkan penebus sebagaimana pemahaman dalam tradisi Kristiani dengan merujuk pada Kristus sebagai korban penebusan. Namun, perlu dilihat bahwa jangan- jangan manusia itu sendiri penyebab dosa tersebut. Walaupun dalam hal ini, Ricoeur menggunakan kata ‘dosa’ dalam ranah pembahasan mengenai simbolisme kejahatan.
Kalau demikian pemahamannya, penulis juga melihat interpretasi atas dosa bisa dikembangkan sama halnya dengan pemaha- man dalam Kej. 3 ketika manusia berdosa karena ia telah gagal dalam persimpangan antara melakukan kehendak Allah atau manusia. Ricoeur memang sedikit membawa diskusi ini dalam relasi dengan Allah. Namun, ia sebenarnya hendak mengatakan adanya ajakan untuk memahami terlebih dahulu perenungan simbol-simbol teks suci melalui fenomenologi pengakuan kemudian membawanya pada perenungan secara filosofis. Artinya, uraian simbolisme kejahatan mengajak pembaca memahami adanya dua tendensi yang perlu diinterpretasi. Tendensi ini merujuk pada upaya melihat kejahatan untuk mendahului penga- laman manusia dalam dirinya dan menempat- kan kejahatan dalam dirinya guna menjadikan manusia sebagai penyebab kejahatan tersebut.
Kejahatan
Setelah meneropong uraian The Symbolism of Evil, T.M. van Leeuwen mengusulkan bahwa kajian tersebut garis besar perjalanan pengala- man manusia melalui tiga tahap perkembangan sejarah melalui kebudayaan kuno, agama monotheis, dan pengalaman sekular-personal.18
Melalui perkembangan sejarah demikian, kejahatan tidak hanya dilihat sebagai tindakan manusia melainkan gambaran kejahatan sebagai penodaan, manusia berada dalam ‘situasi’ jahat dan tersentuh oleh kejahatan, yang menular.
Pemahaman kejahatan model demikian membuat kita menjadi semakin bertanya lebih dalam mengenai siapakah manusia dan apa yang membuatnya menjadi semakin terhisap kejahatan yang menular tadi. Mungkin, manusia bisa dibedah lebih jauh melalui pisau antinomi (kenyataan kontroversial) antara pewahyuan dan rasionalitas, iman dan pengetahuan, anugerah dan alami, keberanian dan kegelisahan.19 Hal ini senada dengan
persimpangan manusia dalam Kej. 3 yang coba dibahasakan.
Pertanyaan siapakah manusia, mungkin tidak hanya dilihat dari pisau antinomi saja melainkan perspektif religius. Perspektif ini cenderung mengandaikan manusia memang
dimungkinkan terhisap dalam konversi pemikiran naturalisme dan dogma sekularisme yang berlawanan dengan refleksi transendental. Refleksi transendental memperlihakan bahwa pencerapan atau persepsi ditandai oleh keterbatasan yang diakibatkan oleh tubuhku sebagai pusat orientasi. Dalam hal ini, tubuh tidak pertama-tama menunjukkan keterbatasan melainkan keterbukaan kepada dunia dan yang lain. Melalui langkah ini, tubuh diharapkan menjadi mediasi guna menjangkau dunia.20
Refleksi transendental bisa diletakkan dalam keterampilan manusia dalam mencari Allah. Pencarian ini mengandaikan agama mendistingsi dengan teologi berkaitan perasaan, aspirasi, dan tindakan manusia.21 Hal ini turut
mengungkapkan keinginan alamiah manusia dalam mencari Allah dan sebaliknya. Allah disinyalir sebagai
subyek pencipta manusia guna mengeksplor asi makna Allah deng- an mengonstitusi sebuah aspek alamiah manusia sebagai substansi ontologis. Manusia d i h a r a p k a n berproses dengan formula untuk
berproses kreatif melalui memproteksi diri dari teror eksistensi etis, termasuk distingsi antara agama dengan sekularisme dan sakral dengan profan.
Dasar-Dasar Pendidikan Kristiani Transfor- matif di Sekolah
Istilah Pendidikan Kristiani (selanjutnya ditulis PK) merupakan hasil diskusi yang panjang. Sebelumnya, dikenal istilah Pembinaan Warga Gereja (selanjutnya ditulis PWG) dan Pendi- dikan Agama Kristen (selanjutnya ditulis PAK). Keduanya merupakan istilah awal dari istilah PK. PAK memiliki ranah mulai dari pembinaan pada anak, misalnya: sekolah minggu dan PAK di sekolah, kemudian berkelanjutan melalui katekisasi. Kemudian, PWG meneruskannya pada usia muda dan dewasa, sekalipun
pembatasannya tidak terlalu tajam.22 Clement
melihat adanya kerancuan antara istilah tersebut. Ia mempertanyakan apakah benar PAK dapat dilihat sebagai pelayanan gerejawi bagi semua golongan umur sehingga timbul gagasan untuk menggantikan PAK dengan PWG. Atau sebaliknya, PWG merupakan bagian dari PAK23
Menanggapi hal tersebut, PERSETIA mengeluar- kan istilah PK guna menghindari kericuhan yang terjadi pada tahun 1996. Setelah memahami bagaimana munculnya istilah PK, perlu pula diketahui pengertiannya secara benar. Menurut Seymour, PK merupakan percakapan kehidupan dan sebuah pencarian yang menggunakan sumber iman dan tradisi budaya yang bergerak menuju masa depan terbuka bagi keadilan dan harapan.24 Berdasarkan pandangan yang
diutarakan oleh Seymour, PK bersifat dialogis yang membica- rakan kehidup- an bukan bersi- fat monolog.
M u n g k i n , kita bisa mene- mukan banyak salah persepsi dalam meman- dang PK, misal- nya PK hanya dilihat sebatas metode yang digunakan seseorang atau kelompok untuk menyampaikan suatu hal (contohnya tafsiran suatu kitab) kepada jemaat. Padahal, PK memiliki kaitan yang cukup luas. PK terkait dengan manusia, Tuhan, dan dunia. Ketiga hal tersebut bisa digambarkan seperti segitiga saling berhubungan. Selain itu, PK juga terkait dengan individu, komunitas, masyarakat, negara, internasional, bumi atau dunia, dan alam semesta. Tak lepas dari itu, PK juga memiliki kaitan dengan berbagai ilmu lain. Kaitan PK dengan ilmu teologi ialah PK membantu sese- orang atau komunitas untuk mampu berteologi secara mandiri dengan cara memberi makna dari perspektif iman Kristen atas pengalaman hidup. PK memiliki empat (4) pendekatan. Pendekatan tersebut yaitu instruksional, perkembangan, komunitas iman, dan transformasi sosial.