• Tidak ada hasil yang ditemukan

kehidupan ini.

Dalam dokumen Jurnal No26 Thn15 Juni2016 (Halaman 91-94)

ini dinamakan hermeneutika rekolektif. Namun, hermeneutika model ini bergerak kembali pada sebuah kecurigaan terhadap apa yang tampak secara langsung dan berusaha mengasalkan (atau mereduksikannya) kepada yang lain. Pola ini melahirkan hermeneutika kecurigaan. Kecurigaan menjadi langkah baik dalam mengembangkan interpretasi. Oleh karena, interpretasi mengandung desain gerakan pendugaan menuju pengabsahan. Dugaan tersebut bisa dibantu dengan pertanyaan , (1) siapa yang berbicara, (2) siapa yang bertindak, (3) siapa yang menceritakan sesuatu, dan (4) siapa merupakan subyek moral dari tanggung jawab?8 Semua pertanyaan tersebut bersifat

identitas dan susah dijawab karena dibutuhkan proses klarifikasi yang panjang. Maka bagi Ricoeur, sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku tempat teks tercantum dan pada pembaca pertama.9 Dengan dikembangkannya pola

tersebut, hermeneutika tidak lagi mencari makna tersembunyi di balik teks tetapi mengarahkan perhatiannya pada makna obyektif sebuat teks. Hal ini dilakukan melalui interpretasi sebuah teks dengan membangun hubungan antara dua diskursus (diskursus teks dan interpretasi). Hubungan tersebut berujung pada ketercampur- an dunia teks dengan interpretator.

Tiga Model Hermeneutika dan Tekstualitas Fakta Sosial

Haryatmoko memetakan adanya tiga model hermeneutika dan tekstualitas yang layak kita ketahui guna melihat lebih jauh peran hermeneutika dalam kehidupan.10 Ketiga model

tersebut diuraikan berikut. Pertama, hermeneu- tika telah memerankan fungsi seni pemahaman yang mampu memberikan aturan metodis konkrit dalam menafsirkan teks. Dalam proses operasinya, peran ini agaknya terlihat sangat teknis dan normatif. Setidaknya, bagian ini dapat ditemukan dalam pemikiran filsuf hermeneutika Schleiermacher, Dilthey, dan Droysen. Kedua, hermeneutika diharapkan mampu beranjak dari peran seni pemahaman untuk memberikan tempat kepada refleksi yang lebih bersifat fenomenologis. Dalam hal ini, penafsiran tidak lagi terbatasi atas analisis teks pada disiplin

tertentu, melainkan terintegrasi dengan ciri mendasar dari seluruh keberadaan manusia dalam dunia sejarah. Pola demikian, bisa ditemukan pada Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur. Ketiga, hermeneutika turut berkelindan dengan teori kritis. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh metode mazhab Frankfurt yang menekankan analisis teori masyarakat. Teori kritis diharapkan mampu mengevaluasi masyarakat dan perkembangannya dengan perspektif nilai tertentu. Setidaknya, kritik ini telah mengadili tingkat kebebasan masyarakat sehingga bagi anggotanya telah mendorong ke pembebasan, perubahan, dan kemajuan. Pola ini dapat ditemukan pada Habermas, Foucault, Bourdieu, Derrida, dan Ricoeur.

Berpijak pada deskripsi tiga model di atas, kita bisa melihat bahwa rupanya Ricoeur banyak berkelindan dengan teori kritis. Dalam hal ini, ia banyak bersinggungan dengan ciri tekstualitas dalam tindakan. Tindakan tidak dimulai dari nol melainkan kemungkinan dari meniru, melalui belajar dari yang telah dibuat, dengan mendengar, melihat, atau membaca. Dalam uraian pemikirannya, Ricoeur membawanya pada diskusi tentang mimesis. Mimesis menyajikan tindakan meniru, meng- ulang, mengikuti, meneladan, memalsu, dan menciptakan kembali. Untuk sampai pada pemikiran tersebut, Ricoeur menggunakan metode fenomenologi Husserl tetapi tidak seluruhnya digunakan. Ia banyak memperhati- kan kajian tentang mencari eidos atau hakikat sesuatu. Hal ini dilakukannya karena Ricoeur ingin memberikan eidetika tentang kehendak yang tertuang melalui sikap memutuskan, melakukan, dan menyetujui.

Bagi Ricoeur, ‘memutuskan’ sudah terma- suk proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Kalau dilihat sepintas, hal tersebut tampak ciri khas fenomenologi Husserl tetapi sebenarnya, pemikiran ini kurang memadai menurut Ricoeur. Bagi Ricoeur, jika beralih ke faktor yang tidak dikehendaki berkenaan dengan bidang ini, misalnya pelbagai kebutuhan, kesenangan, dan ketidaksenangan, maka fenomenologi Husserl terlihat kurang memadai. Hal ini dikarenakan Husserl terlalu membatasi pada kesadaran murni yang jelas berhubungan

Memaknai Dosa melalui Pendidikan Kristiani

dengan pengalaman tubuh dan sejarah pribadi seseorang. Oleh karenanya, Ricoeur mengem- bangkannya pada uraian partisipasi eksistensial dengan integrasi dari pemikiran Gabriel Marcel melalui analisisnya berkenaan tubuh.

Berpindah pada ‘melakukan’, Ricoeur menunjukkan tindakan paling sering dilakukan berkenaan dengan pola ini ialah menggerakan tubuh. Hal ini terlihat sederhana, tetapi Ricoeur menganggapnya serius karena ia melihat tubuh dipandang sebagai alat perbuatan yang dimungkinkan terjadi berbagai kesulitan besar, di antaranya keterlibatan tubuhnya dalam dunia material. Ricoeur terlihat sangat memberi catatan terhadapnya karena ia tidak ingin terjebak pada pandangan manusia sebagai dua hal tubuh dan jiwa tanpa memperhatikan kesatuannya. Lagi pula, Ricoeur merasa kehendak telah melebur pada berbagai hal yang tidak dikehendaki, seperti insting, emosi, dan berbagai kebiasaan. Ricoeur melihat fenomena percobaan menjadi semacam jembatan antara yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.

Berlanjut pada ‘menyetujui’, Ricoeur turut melihatnya sebagai tindakan menerima dan membuat menjadi miliknya sendiri. Dalam hal ini, menyetujui itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki sebagaimana biasa disebut keniscayaan. Keniscayaan yang dimaksud Ricoeur di sini ialah keniscayaan yang dihayati. Artinya, keniscayaan yang berhadapan dengan manusia secara obyektif, melainkan melekat pada subyektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini mencakup watak, ketidaksadaraan dan apa yang dengan suatu istilah umum dapat disebut kehidupan, misalnya fase-fase pertumbuhan dan kelahiran.

Prolog Keberdosaan Manusia

Lukas 7: 36-50 mengulas peristiwa Yesus diurapi oleh perempuan berdosa. Dalam teks tersebut, perempuan yang mengurapinya (membasahi kaki-Nya dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi) dilabel sebagai perempuan berdosa. Teks tersebut tidak menjelaskan makna dosa dan tiba-tiba langsung dilabelkan pada dirinya (ay. 37).

Melalui cuplikan pemahaman di atas, penulis mencoba merenungkan makna dosa dari kacamata Ricoeur. Penulis sengaja memilih pemikirannya karena Ricoeur dengan tegas membuat distingsi antara noda (defilement), dosa (sin), dan kesalahan (guilt).11 Bagi penulis,

distingsi ketiganya dapat memberi sumbangan positif bagi ketercampuran pemahaman noda, dosa, dan kesalahan yang biasa dilakukan. Secara singkat digambarkan, noda atau kecemaran merupakan kesadaran religius atas kontaminasi yang mengakibatkan hilangnya kemurnian etis seseorang. Sedangkan, dosa digambarkan sebagai ketersesatan dari kehendak Allah. Lalu, kesalahan lebih mengarah pada dirinya sendiri sebagai wujud peralihan dari kesalahan religius ke etis.

Makna Dosa dari Tradisi Kristiani

Teks Alkitab tidak menjelaskan eksplisit mengenai asal dosa. Bahkan, Allah pun tidak bisa dilabelkan sebagai sumber dosa sebab Ia merupakan terang dan sama sekali tidak ada dosa di dalamnya. Ia malah berinisiasi untuk memulihkan hubungan manusia dan Allah yang rusak karena dosa melalui kehadiran dan pengorbanan Yesus Kristus. Kalaupun asal dosa dijelaskan, ia biasa dilekatkan dalam iblis.

Iblis dilabel sebagai asal dosa. Cerita bagaimana Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena bujukan iblis kerap menjadi sumber pemahaman asal dosa (Kej. 3: 1-7). Kalau diteliti lebih jauh, manusia jatuh dalam dosa bukan semata karena iblis, melainkan manusia telah mengambil keputusan di antara mendengarkan firman Allah atau kata-kata iblis. Dengan kata lain, manusia telah kalah dalam pergumulannya melalui persimpangan etisnya. Maka, penulis boleh merasa tidak pantas apabila penulis senantiasa menyudutkan iblis sebagai sumber dosa.

Melalui gambaran di atas, penulis merasa kesulitan menemukan asal dosa tersebut, kecuali menggesernya menjadi apa yang disajikan Alkitab mengenai dosa. Penulis berkesimpulan, Alkitab memang tidak menguraikan asal dosa melainkan pengakuan dosa. Contoh nyata, kajian tersebut merujuk pada Mamur 32: 5 tertulis, “Dosaku kuberitahukan kepadaMu dan

kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: ‘Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku’ dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.”

Alkitab menunjukkan dua versi dalam menjelaskan makna dosa. Perjanjian Lama menunjukkan dosa setidaknya melalui tiga kata kunci yakni kehilangan, menyimpang, dan memberontak.12 Kehilangan berarti manusia

telah kehilangan tujuan karena ketidak- tahuannya terkait peraturan yang disampaikan oleh Allah (Kel. 20: 20; Ams. 8: 36). Sedangkan kata ‘menyimpang’ dipahami bahwa manusia telah melanggar dan menyimpang dari kehendak Allah. Kalau begitu, kata ini dimungkinkan dimaknai kesala-

han bukan dosa. Lalu, kata ‘membe- rontak’ bisa dipa- hami pemberon- takan atas kekua- saan hukum Allah dengan sadar (1 Raja. 12: 9; 2 Raja. 8: 20; Hos. 8:1). Sedikit mirip dengan Perjanjian

Lama, Perjanjian Baru menyajikan pemahaman dosa berupa pelang-garan hukum Allah (1 Yoh. 3: 4), perbuatan tanpa kasih (1 Yoh 4: 8), ketidaktaatan, ketidaksetiaan, dan tidak percaya. Bila pemaknaan dosa di atas dikembalikan ke Kej. 3 sebagai kisah etiologi (asal usul), kata ‘dosa’ dapat dipahami sebagai rusaknya hubungan baik antara Allah dan manusia yang membuat manusia mengalami banyak penderi- taan berikutnya. Dengan kata lain, dosa turut dipahami sebagai tindakan bukan sekedar tidak percaya, melanggar, dan tidak menaati Allah melainkan memusuhi dan memberontak Allah, hidup tanpa Allah, dan tidak layak disebut anak Allah.

Noda, Dosa, dan Kesalahan

Ricoeur memulai penjelasannya mengenai noda, dosa, dan kesalahan dalam bingkai diskusi mitos dan simbol. Bagi Ricoeur, mitos bukan suatu penjelasan yang palsu melalui gambaran dan cerita, tetapi suatu narasi tradisional yang

menceritakan peristiwa yang terjadi pada awal waktu dan bertujuan memberikan dasar bagi tindakan ritual manusia sekarang.13 Dalam hal

ini, mitos secara umum dapat dipahami sebagai bentuk tindakan dan pikiran dengan mana manusia memahami dirinya di dunia. Sedangkan, simbol selalu memiliki tujuan mengutarakan makna. Mitos dan simbol saling berkaitan dan memiliki arti yang sama. Mitos bisa dipahami sebagai simbol dalam bentuk narasi.

Noda, dosa, kesalahan merupakan bagian dari simbol. Noda dan dosa memiliki kesinam- bungan. Noda yang bersifat eksternal ditransformasikan menjadi bentuk internal berupa dosa.14 Secara konkrit, noda dianggap benda sedangkan dosa menggam- barkan absennya Allah. Noda dipa- hami sebagai peristiwa yang m e n i m b u l k a n ketakutan. Dalam hal ini, Ricoeur menyebutnya sebagai teror etis pada pelakunya dan menuntut hukuman setimpal untuk pemurnian kembali yakni memulihkan tatanan. Namun, Ricoeur mengingatkan bahwa noda bukan merujuk pada bentuk kelangsungan hidup melainkan model imajinatif pembersihan filosofis yang terkonstruksi.15

Noda perlu dibersihkan dan dalam Alkitab, pembersihan sering digambarkan penyembuhan atas penyakit dan hati yang tercemar. Ricoeur menunjukkan noda di sini bukan sekedar noda kotor (stain), melainkan kecemaran (defilement) yang membutuhkan pembersihan. Pembersihan terus dilakukan sampai orang tersebut bersih dan murni (purity). Murni diindikasikan secara fisik dan etis. Beranjak ke pembahasan tentang dosa, pemikiran yang langsung muncul mengenai hal ini adalah zaman Israel. Mereka menghayati dosa digambarkan sebagai jalan berkelok, salah sasaran, pemberontakan dan ketersesatan dari kehendak Allah.16 Dalam hal ini, dosa juga perlu

dibersihkan dengan adanya penebus.

Mereka menghayati dosa

digambarkan sebagai jalan

Dalam dokumen Jurnal No26 Thn15 Juni2016 (Halaman 91-94)