• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PIA DAN PERAN PENDAMPING PIA DALAM MEMBANTU

A. Dasar-dasar, Pengertian, dan Tujuan PIA

Sebagai orang Kristiani, kita telah dilahirkan kembali dari air dan roh maka kita sudah sepantasnya mendapatkan pendidikan Kristiani, di mana pendidikan tersebut bertujuan mematangkan pribadi manusia menjadi manusia yang sempurna sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam hal ini, Konsili Vatikan II juga mengingatkan agar semua orang beriman menikmati pendidikan Kristiani, terutama yang muda yang merupakan harapan Gereja.

Para orang tua seharusnya menyadari tugas mereka dalam mendidik anak-anak mereka. Orang tua perlu menciptakan suasana keluarga yang penuh cinta kasih kepada Allah dan sesama di mana setiap anggota keluarga menyembah dan mencintai Allah sesuai dengan iman yang diterima pada saat pembaptisan (Goretti, 1999:17).

Konsili Vatikan II, khususnya dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani, menjelaskan bahwa para orang tua mengemban tugas mulia untuk mendidik anak-anak mereka, termasuk pendidikan iman. Dalam deklarasi tersebut juga sekaligus menegaskan bahwa tugas mendidik juga ada pada Gereja, karena Gereja wajib menuturkan jalan keselamatan kepada semua orang, makin memperkenalkan Kristus pada orang beriman. Oleh karena itu,

dalam hal ini para orang tua seharusnya bekerja sama dengan masyarakat dan umat beriman dalam mendidik anak-anak.

Pengakuan dan penghargaan yang sekaligus bukti bahwa Gereja juga ikut ambil bagian dalam pendidikan anak tampak secara nyata dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Istilah PIA bukan satu-satunya istilah, karena banyak paroki dan keuskupan yang memakai istilah lain seperti BIAK (Bina Iman Anak Katolik) dan Sekolah Minggu (Prasetya, 2008:7).

Kehadiran anak di tengah keluarga merupakan karunia perkawinan yang paling luhur dan berarti bagi kesejahteraan suami istri dalam hidup berkeluarga. Pada dasarnya, perkawinan dan bentuk cinta kasih dari suami istri dibuktikan dengan adanya keturunan serta perhatian berupa pendidikan kepada keturunannya tersebut (GS 50). Anak juga merupakan mahkota terindah bagi sebuah keluarga. Menurut rencana Allah, pernikahan mendasari rukun hidup keluarga yang lebih luas sebab pernikahan itu sendiri dan cinta kasih suami istri tertuju kepada adanya keturunan dan pendidikan anak yang merupakan mahkota mereka (FC 14).

Kelahiran anak-anak merupakan dambaan setiap pasangan suami istri dan sudah sepantasnya untuk disyukuri. Bersamaan dengan rasa syukur tersebut, orang tua diajak untuk menyadari hak dan kewajiban sebagai orang tua dalam mengupayakan pendidikan yang utuh, menyeluruh, dan penuh tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Orang tualah pendidik pertama dan utama. Hak maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki, sebab berkesinambungan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain orang tua,

orang lain juga mempunyai peran asali dan utama dalam mendidik anak, namun tidak dapat diambil alih sepenuhnya oleh orang lain tersebut (FC 36).

Pembahasan lebih mengenai pendidikan iman anak terjadi dalam kegiatan PIA. Pendidikan anak sejak dini sangat membantu keberadaan dan kehidupan anak-anak di masa depan, baik menyangkut kehidupan pribadi, sosial, beriman, maupun panggilan hidupnya. Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis, pasal 3 menyatakan bahwa orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, sehingga terikat kewajiban yang amat berat untuk mendidik mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik anak yang pertama dan utama. Orang tua berkewajiban menciptakan lingkup keluarga yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak. Melalui keluargalah akhirnya anak lambat-laun berintegrasi dalam masyarakat manusia dan umat Allah.

Dalam dokumen Apostolicam Actuositatem, pasal 11 juga menegaskan bahwa suami istri harus bekerja sama dengan rahmat dan menjadi saksi iman bagi anak-anak mereka dan orang lain. Kerja sama itu dalam bentuk kata-kata maupun teladan untuk membina anak dalam hidup kristiani dan kerasulan. Di sini, orang tua tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa diri dan hidupnya tidak dapat dilepaskan dari pengamatan anak-anaknya sendiri karena masa kanak-kanak merupakan saat di mana anak menyerap seluruh pengalaman serta peristiwa yang terjadi di sekitarnya terutama dari diri dan hidup orang tuanya

sendiri. Dengan meniru pola tertentu, pola tersebut akan tertanam terus dalam hidup anak (Prasetya, 2008:19).

Anak-anak memerlukan tempat penyemaian yang khusus dan berkesinambungan, yaitu keluarga, untuk mengembangkan kepribadian dan iman serta kehidupan menggereja anak. Anak-anak harus disiapkan dengan pendidikan kepribadian dan iman yang baik serta memadai demi kehidupan anak tersebut di masa depan. PIA merupakan salah satu tempat untuk penyemaian tersebut. Kalau anak-anak berkembang kepribadian serta imannya, maka buah yang dapat dirasakan dan dipetik di kemudian hari adalah anak diharapkan menjadi pribadi yang matang serta beriman dewasa dan mendalam (Prasetya, 2008:21).

Sebagai orang Katolik, pendidikan iman anak sangat penting dan mendesak untuk diperhatikan dan dilakukan baik itu oleh Gereja maupun orang tua. Melalui kegiatan PIA, orang tua sangat berharap bahwa anak mereka dibantu untuk mengembangkan kepribadian serta pemahaman mengenai ajaran Gereja, bahkan sampai tataran pengembangan iman. PIA hanyalah salah satu wadah untuk membina iman anak namun buka satu-satunya. Melalui kegiatan PIA, anak-anak diajak untuk mengembangkan kepribadian dan keimanannya secara bertahap dan bertanggung jawab (Prasetya, 2008:24).

Kegiatan PIA sendiri harus didasari atas pemahaman dan kesadaran dari tiap orang tua untuk pengembangan iman anak mereka. Dengan kata lain, orang tua harus mendukung penuh kegiatan PIA. Bentuk dukungan yang paling konkret adalah menyertakan anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan PIA

serta jika anak-anak mereka sudah beranjak remaja bahkan dewasa diharapkan bisa terlibat menjadi pendamping PIA (Prasetya, 2008:25).

Dalam buku Formatio Iman Berjenjang yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Semarang memaparkan bahwa pandangan anak mengenai agama pada usia ini masih bersifat terpisah-pisah, antropormofis (konkret) belum mampu memikirkan yang bersifat abstrak. Meskipun sudah mengikuti kepercayaan dari orang tua, anak cenderung mempercayai cerita dan simbol religius secara literal. Mereka dapat mempercayai pandangan tentang Tuhan dan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci seperti yang dibaca atau dikisahkan orang tua/guru/pendamping. Anak-anak masih cenderung percaya bahwa Allah itu adil dalam memberikan sesuatu yang pantas bagi manusia.

Dalam usia ini, anak diharapkan mengikuti proses persiapan penerimaan Sakramen Inisiasi, khususnya Sakramen Ekaristi. Anak diharapkan sudah memahami pokok-pokok iman secara sederhana. Diharapkan pula dalam usia ini anak mulai bangga sebagai orang Katolik.

Menumbuhkan iman secara alami pada usia dini secara terstruktur melalui pendampingan iman yang menyapa aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Pendekatan yang digunakan adalah pengajaran sederhana seperti nyanyian, gerak dan lagu, cerita, dll. Untuk itu dibutuhkan pendamping PIA yang bisa mendampingi anak menurut silabus yang telah ditentukan. Pendamping bisa orang tua, guru, atau tim pendamping PIA. Perhatian orang tua juga turut menjadi faktor kunci sukses perkembangan iman anak.

2. Pengertian PIA

Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (CT 18) menegaskan bahwa katekese adalah “pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam imam, khususnya menyampaikan ajaran Kristen pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (Rukiyanto, 2012:59).

Dengan demikian, katekese dapat diartikan sebagai usaha Gereja untuk membantu umat agar semakin berkembang dalam iman serta dapat mewujudkan iman itu dalam hidup sehari-hari. Pembinaan iman ini diberikan baik untuk anak-anak, kaum muda, maupun orang dewasa. Usaha pembinaan iman dengan menyampaikan ajaran Kristiani bagi umat ini merupakan tanggung jawab Gereja yang penting (Rukiyanto, 2012:59).

Anak-anak yang lahir dalam keluarga Katolik pada umumnya telah menerima sakramen baptis sejak bayi dan orang tua memegang peran utama dalam pendampingan dan perkembangan iman anak. Tidak hanya dalam lingkup keluarga, namun iman juga tumbuh dan mekar di dalam lingkup jemaat beriman, maka dari itu diadakanlah kegiatan pendampingan iman anak, untuk melengkapi pendampingan iman yang telah terjadi di lingkup keluarga dan tentunya bekerja sama dengan pihak orang tua. Kegiatan ini biasa diadakan pada hari Minggu dan biasa juga disebut dengan istilah “Sekolah Minggu”. Namun, kegiatan ini tidak perlu harus terjadi pada hari Minggu saja namun bisa dilaksanakan pada hari lain.

Istilah “sekolah” pada umumnya terkesan dengan pertemuan yang formal, sehingga terkadang muncul gagasan yang berhubungan dengan sekolah formal. Dengan istilah “sekolah” pun terkadang terkesan membosankan bagi anak, sehingga memberi dampak yang kurang menyenangkan bagi anak. Maka dari itu, muncullah istilah PIA (Pendampingan Iman Anak).

Kegiatan ini pada awalnya adalah kegiatan yang sifatnya menampung anak-anak kecil selama orang tua mereka mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari Minggu. Jadi, dengan kata lain, PIA (Pendampingan Iman Anak) dapat diartikan sebuah kegiatan bagi anak-anak (di luar kewajiban orang tua untuk mengembangkan iman anak di dalam keluarga) usia dini untuk membantu mengembangkan iman mereka dengan berbagai macam kegiatan dalam kelompok PIA tersebut.

3. Tujuan PIA

Dalam Konsili Vatikan II, khususnya di dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani ditegaskan bahwa orang tua mengemban tugas mulia untuk mendidik putra dan putri mereka termasuk dalam hal iman, karena orang tua merupakan pendidik pertama dan utama pagi anak-anak mereka. Tentu dalam hal ini, orang tua juga dibantu oleh masyarakat dan Gereja. Masih dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani, artikel 3 menyatakan bahwa tugas mendidik juga ada pada Gereja, bukan saja karena Gereja dianggap oleh masyarakat sebagai instansi (kelompok) yang mampu mendidik, akan tetapi

terutama karena Gereja wajib menuturkan jalan keselamatan kepada semua orang, makin memperkenalkan Kristus kepada orang beriman.

Dari uraian di atas, maka tujuan utama dari kelompok PIA itu sendiri adalah membantu orang tua Kristiani dalam usaha mendampingi anak-anak yang sedang berkembang menuju masa remaja, di dalam iman dan di dalam kepribadian mereka.

Selain tujuan utama, kelompok PIA sebagai salah satu sarana pastoral Gereja juga mempunyai tujuan lain yang mendukung tujuan utama, yaitu menciptakan iklim yang baik bagi anak-anak yang sedang berkembang menuju ke masa remaja; memungkinkan mekarnya benih iman yang sedang tumbuh di dalam pribadi anak; meningkatkan dan memperdalam pemahaman agama Kristiani ke arah penghayatan iman yang nyata sesuai dengan perkembangan jiwa anak dengan mengacu pada sikap dan pribadi Yesus; menghidupkan penghayatan iman anak melalui komunikasi iman dengan orang lain, teman sebayam dan di dalam peristiwa-peristiwa yang dijumpai; meningkatkan dan memperdalam pemahaman anak tentang ibadat ke arah penghayatan yang menyentuh hati; membantu persiapan anak untuk menerima komuni pertama; memupuk sikap kerja sama, saling menolong, saling menghargai, dan sikap kritis menanggapi sesuatu; meningkatkan bakat atau keterampilan anak; menumbuhkan harga diri yang sehat dan wajar; menumbuhkan dan meningkatkan sikap kepedulian terhadap penderitaan orang lain; menumbuhkan keterlibatan di dalam menciptakan suasana yang baik bagi semua orang; menumbuhkan sikap rukun dan gembira di dalam kehidupan;

serta menumbuhkan sikap senang membaca dan mempelajari Kitab Suci. Rumusan-rumusan tujuan tersebut sifatnya “terbuka’, artinya tidak mengikat dan dapat diperkembangkan.

B. Kegiatan Pia Dan Ciri-Ciri Pia