• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. GAMBARAN UMUM PENDAMPING PIA DALAM

D. Pembahasan Hasil Penelitian Peran Pendamping PIA dalam

3. Peran Pendamping

a) Pengajaran sederhana oleh pendamping kepada anak tentang Perayaan Ekaristi

Menurut Prasetya (2008), seorang pendamping PIA harus memenuhi kualifikasi sebagai pendamping, yaitu diantaranya harus paham dan mengerti mengenai pengetahuan atau pemahaman iman Katolik yang cukup. Selain itu, Goretti (1999) juga memaparkan dalam bukunya bahwa pemahaman dini mengenai Ekaristi bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua saja, melainkan lingkup Gereja juga ikut bertanggung jawab. Salah satunya adalah terlibatnya pendamping dalam sebuah kategorial seperti PIA untuk memberikan pemahaman sederhana kepada anak usia dini mengenai Ekristi. Pemahaman sederhana tersebut juga menjadi bahan atau sarana yang diolah dalam kegiatan PIA sehingga anak mengerti mengenai Ekaristi.

Prasetya (2008) dalam bukunya juga mengemukakan lewat liturgi, anak-anak diperkenalkan dengan perayaan-perayaan iman yang dilangsungkan dalam kebersamaan. Anak-anak diajak memahami imannya

secara sederhana, misalnya mengenal susunan Perayaan Ekaristi, benda-benda yang digunakan dalam Ekaristi, warna liturgi, tahun liturgi, hari-hari besar Katolik, dan petugas liturgi. Karena anak-anak cenderung suka dengan hal-hal yang konkret, maka pengenalannya dapat menggunakan contoh, gerak, sikap, alat peraga, dan sebagainya.

Pandangan para ahli tersebut bertolak belakang dengan data yang ditemukan penulis melalui wawancara dengan ketiga pendamping. Ketiga pendamping mengatakan hal yang sama, bahwa selama ini pengajaran sederhana mengenai Ekaristi tidak pernah dilakukan. P1 menyatakan:

“Selama ini nggak ada sih kak pengajaran khusus tentang Ekaristi. Kita biasanya Cuma ikutin tema mingguan, misalnya tentang Kitab Suci ya kita bahas tentang Kitab Suci, itu pun pengetahuan yang dasar-dasarnya aja”.

Begitu juga dengan P3 menyatakan:

“Kalau dari aku sih lebih ke pengertian tentang sikap. Jadi adik-adik kita ingatin, kita kasih tau kalau sekarang sedang ada Ekaristi, jadi sikapnya yang baik, duduknya yang tenang. Yaa kita juga sekalian mencontohkan sikap yang baik itu kayak apa”.

Bahkan P2 menyatakan bahwa:

“Untuk pemahaman tentang alat-alat liturgi dan sebagainya belumsih, soalnya kita lihat juga usia anak-anak yang ikut PIA ini, kebanyakan yang duduk di TK atau Paud, yang sekolah dasar pun cuma sedikit. Jadi masih susah kalau diberi pengajaran kaya gitu, takutnya gak bisa dimengerti anak”.

Dari pernyataan ke tiga pendamping tersebut, penulis juga mempertegas lewat hasil observasi yang telah penulis lakukan, yaitu bahwa sebagian besar pendamping hanya mengajarkan dan mencontohkan sikap

yang baik kepada anak ketika Perayaan Ekaristi. Dalam pengamatan tentang kegiatan Sekolah Minggu pun, anak-anak tidak diajarkan mengenai Perayaan Ekaristi, hanya membaca Kitab Suci, membacakan cerita Alkitab, tanya jawab, dan lain-lain.

b) Pengadaan Perayaan Ekaristi bagi anak

Program Perayaan Ekaristi bagi anak tentunya sudah menjadi program yang rutin diselenggarakan oleh kategorial PIA. Hal ini tampak dalam hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan ketiga pendamping. Dari hasil wawancara pun, ketiganya mengatakan bahwa program tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan sekolah-sekolah atau kelompok yang ada di Yogyakarta sebagai petugas Perayaan Ekaristi. Berikut pernyataan salah seorang pendamping:

“Dari kita para pendamping, selalu mengadakan rapat pada hari Jumat. Dalam rapat itu, kita bahas macam-macam termasuk tentang Perayaan Ekaristi untuk anak itu. Sebagai usaha dari kita, kita udah berusaha mengajak kelompok atau sekolah-sekolah untuk diberi penjelasan mengenai pelaksanaan Perayaan Ekaristi untuk anak. tapi nggak hanya itu, kita juga memberi pelatihan kepada anak yang nantinya bertugas saat misa, terus ada gladi kotor lalu gladi bersih. Kami juga berusaha mencari romo jika seandainya dari pihak sekolah belum menemukan romo untuk memimpin misa,” kata P1.

Hal ini sejalan dengan salah satu ciri PIA menurut Prasetya (2008) yaitu PIA merupakan wadah mengembangkan kepribadian dan iman bagi anak yang bisa terjadi melalui pengenalan Kitab Suci, Liturgi Gereja, Ajaran Gereja, hidup menggereja, hidup bermasyarakat, dan sebagainya. Bahan yang akan dipikirkan dan yang mau disampaikan dalam kegiatan PIA

hendaknya ditempatkan dalam kerangka berpikir demi menjaga kedalaman dan keutuhan materi. Bahan ini dikemas sederhana dan sesuai dengan pola pikir anak sehingga mudah dipahami.

Hal ini juga ditegaskan dalam Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Liturgi yang menyatakan bahwa Liturgi harus disesuaikan dengan bermacam-macam kelompok orang. Maka Gereja sangat diharapkan mengadakan Perayaan Ekaristi khusus untuk anak-anak, sama seperti yang sudah dilakukan oleh para pendamping PIA Kotabaru.

c) Menjalin kerjasama dengan orang tua dan pihak Gereja

Landasasan mengenai kerja sama ini ini tercantum dalam pernyataan Prasetya dalam bukunya bahwa pendamping PIA diharapkan mengembangkan sikap dan semangat mau bekerja sama dengan berbagai pihak. Kerja sama yang harus dibangun dan dilakukan antara lain bekerja sama dengan orang tua agar mereka mau menyertakan anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan PIA, bekerja sama dengan Pastor Paroki serta pengurus dewan, bekerja sama dengan pengurus lingkungan dan stasi, serta bekerja sama antar pendamping PIA.

Melihat landasan kerja sama tersebut, dari hasil observasi dan wawancara, penulis menemukan bahwa dari hasil observasi yang diamati penulis secara langsung, ditemukan bahwa pendamping memang sudah mengadakan kerja sama baik dengan orang tua maupun pastor paroki. Hal ini tampak dari kehadiran orang tua yang menghantar bahkan menemani

anaknya mengikuti Perayaan Ekaristi bagi anak. Pastor paroki pun turut serta membantu sebagai imam yang memimpin jalannya Perayaan Ekaristi.

Dari hasil wawancara juga penulis menemukan pernyataan yang sejalan dengan landasan serta hasil observasi. Berikut pernyataan dari pendamping:

“Kalau soal konfirmasi dengan orang tua misalnya mengenai misa, itu sudah pasti kita lakukan, mba. Kita juga berkoordinasi dengan pihak paroki mengenai romo yang akan memimpin Perayaan Ekaristi. Jika romonya belum jelas, kita dibantu sama paroki untuk mencari romo yang akan memimpin misa”, kata P1 dan P2.

Dari pernyataan tersebut, P3 mempunyai pandangannya sendiri terkait dengan kerjasama, tetapi pernyataan ini masih termasuk dalam landasan utama mengenai kerja sama. Berikut pemaparan dari P3:

“Menurut saya, orang tua itu mempunyai andil yang penting juga dalam pendampingan iman anak, karena kan mereka yang akan bertemu dengan anak itu dalam waktu yang lama. Mereka yang akan membimbing dan membantu anak-anak pada proses perkembangannya, proses perkembangan mengenal Tuhan. Dan kalau misalnya masalah pihak Gereja, menurut saya juga membantu. Membantunya tuh dalam hal mis’alnya kaya membantu kegiatan pelaksanaan Perayaan Ekaristi, seperti kaya membantu membuat, mencetak doa-doa untuk PIA. Ada kegiatan-kegiatan PIA dibantu. Jadi kalau menurut saya sih bukan hanya pendamping yang mempunyai peran gitu. Orang tua juga punya peran yang sangat besar, karena mereka yang setiap hari berinteraksi dengan anak-anak. Jangan sampai materi yang kakak-kakak pendampingnya berikan itu hanya jalan di tempat, stuck sampai hari itu, tidak dikembankan. Seperti itu.”

d) Membantu anak untuk terlibat dalam Perayaan Ekaristi

Dari hasil penelitian baik itu lewat observasi maupun wawancara, pendamping telah menemukan bahwa sosok pendamping PIA yang ada di Paroki St. Antonius Padua Kotabaru ini sudah menjalankan perannya sebaik mungkin untuk membantu anak terlibat dalam Perayaan Ekaristi.

Dari hasil observasi, penulis melihat bahwa pendamping membantu anak terlibat dalam Perayaan Ekaristi seperti menyambut kedatangan anak untuk memasuki gereja. Dalam penyambutan ini, pendamping secara tidak langsung menyambut kehadiran anak yang mau mengikuti Perayaan Ekaristi. Hal lain yang penulis temukan iyalah pendamping mendampingi anak yang bertugas dan pendamping ikut duduk bersama dengan anak-anak. Ketika duduk bersama anak, pendamping secara tidak langsung juga membantu anak untuk terlibat dalam Perayaan Ekaristi seperti mencontohkan sikap dan lafal saat menjawab seruan imam.

Dalam wawancara juga, ketiga pendamping menyatakan bahwa mereka telah berperan dalam membantu anak terlibat dalam Perayaan Ekaristi. Berikut pernyataan dari para pendamping:

“Kalau petugas misa dari kelompok PIA, berarti petugasnya kita yang tunjuk langsung. Nanya dulu keanak-anaknya. Pertama sih dari kita nih, kita uda memperikarakan misalnya untuk lektor, berartikan yang sudah bisa baca. Yang sekiranya percaya diri. Intinya punya kriteria tertentu kalau lektor karena kita juga nggak bisa asal pilih. Nah, dari kriteria itu kita lihat anaknya, kita butuh lektor tapi kita milihnya anak kelas 1 SD, belum bisa baca atau mungkin anak TK kan nggak mungkin juga. Kebetulan karena kemarin ini lektornya aku yang milih, aku tanyain satu-satu ‘waktu natal di Jogja nggak?, bisa jadi lektor nggak?’ dan ternyata mereka mau. Ya sudah, selesai sekolah Minggu aku bilang ke orang tuanya, terus kalau bisa orang tuanya ikut bergabung. Kenapa saya lebih suka bertanya (menyampaikan kepada orang tua) karena tugas itu bukan karena paksaan, benar-benar dari mereka sendiri yang mau. Nah kalau yang komuni pertama guru katekisnya yang berwenang. Selanjutnya kita jelas ngadain latihan, harus latihan, soalnya kalau nggak latihan nanti pas hari-Hnya bingung atau pas gladi bingung”. (P1)

“Tergantung yang bertugas siapa sih mbak. Kalau sekolah, ya sekolah yang bersangkutan langsung menunjuk. Tapi kalau petugasnya diminta dari sekolah Minggu, ya kita yang milih anak. Kita lihat karakter anak, terus kita hubungi orang tuanya untuk minta

persetujuan, abis itu kita latihan sesuai dengan tugasnya. Gitu sih mba”. (P2)

P3 mempunyai pandangan sendiri dalam membantu anak terlibat dalam Perayaan Ekarisiti, yaitu:

“Kalau saya dan kakak-kakak yang lain itu biasanya punya trik-trik sendiri ya untuk menarik perhatian adik karena kan emang adik-adik itu kadang fokusnya terpecah apalagi bareng teman-teman. Mereka cenderung lebih senang ngobrol. Jadi kadang-kadang tuh disiasati dengan biasanya kalau homili diberikan hadiah, diberikan pertanyaan/kuis supaya mereka tuh lebih tertantang, mereka mau untuk mendengarkan Romo saat berkotbah, mau mendengarkan kakak-kakaknya. Karena kan diiming-imingi dengan hadiah. Jadi kalau menurut saya upaya yang kakak-kakaknya lakukan itu (memberikan hadiah) supaya adik-adiknya tuh bisa mendengarkan Romo saat berkotbah seperti itu. Partisipasi langsungnya itu ya mungkin kaya menjawab pertanyaan Romo. Jadi di setiap bangku itu biasanya ada satu atau dua pendamping. Jadi kita ngarahin adik-adiknya kalau misalnya kurang fokus, kita bilangin, pada saat berdoa ya berdoa, pada saat baca Alkitab membaca Alkitab, pada saat mendengarkan kotbah mendengarkankotbah gitu. Jadi kita berusaha ngarahin mereka, berusaha untuk ngomongin terus kalau pun emang kadang kaya ngerasa capek mungkin karena kalau kita ngomong mereka nggak dengar, kita ngomong mereka nggak dengar, tapi ya gitu resiko kita sebagai pendamping, kita harus terus ngomong, menasihati adik-adiknya supaya adik-adik itu tetap pada jalur yang benar. Seperti itu. Tidak ngobrol, tidak asyik sendiri”.

Pernyataan P3 ini sesuai dengan kualifikasi sebagai seorang pendamping yang terdapat dalam buku Dasar-Dasar Pendampingan Iman Anak (Prasetyo, 2009=8:30) yang menegaskan bahwa sebagai seorang pendamping harus mempunyai kemampuan mengolah pendampigan, baik menyangkut bahan, sarana, metode, maupun pendamping, agar kegiatan dapat berjalan dengan baik, lancar, dan menarik.

Dari keseluruhan hasil pengamatan melalui observasi dan wawancara mengenai peran pendamping dalam membantu anak terlibat dalam Perayaan

Ekaristi, penulis menemukan bahwa semuanya sejalan dengan pemahaman yang ada dalam buku KAS yang menyatakan bahwa sebagai seorang pendamping, pendekatan yang bisa digunakan untuk mengenal Perayaan Ekaristi dan nantinya membantu anak terlibat dalam Perayaan Ekaristi adalah pengajaran sederhana (Katekese Anak) mengenai Ekaristi, makna Perayaan Ekaristi, sikap dalam mengikuti Perayaan Ekaristi, simbol, serta peralatan yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi, dan sebagainya.

e) Pembiasaan sikap yang baik kepada anak saat Perayaan Ekaristi

Mengenai peran pendamping ini, hanya dua pendamping, yakni P1 dan P2 yang berpendapat sama, yaitu memberikan contoh sikap yang baik pada anak, sedangkan P3 berpendapat bahwa cara membantu anak memahami sikap yang baik saat Perayaan Ekaristi adalah dengan menasihati dan mengingatkan anak terus-menerus jika mulai tidak fokus sehingga anak dapat bersikap baik dan perayaan Ekaristi berjalan dengan lancar. Tidak hanya itu, P1 juga menambahkan bahwa kebiasaan tersebut dapat dilatih dari kebiasaan doa setiap minggunya (dalam kegiatan PIA) dan juga sebelum Perayaan Ekaristi dimulai, pendamping mengadakan kesepakatan dengan anak yang isinya bahwa tidak boleh bermain saat Perayaan Ekaristi sedang berlangsung.

Dari hasil observasi di lapangan, penulis juga menemukan hal serupa, yakni sebagian besar dari pendamping PIA hanya menegur jika ada anak-anak yang kurang fokus serta tetap mencontohkan sikap doa yang baik seperti saatnya berdoa tangan dikatup dan mata dipejamkan, saat umat

berdiri, berlutut dan duduk, pendamping pun berdiri, berlututm dan duduk dan anak mengikuti gerak-gerik pendamping.

Dari hasil pengamatan dan wawancara, pendamping bisa menyimpulkan sementara bahwa para pendamping sudah melaksanakan