• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. GAMBARAN UMUM PENDAMPING PIA DALAM

A. Gambaran Umum Pendampingan PIA di Paroki St. Antonius Padua

1. Gambaran Umum Paroki St. Antonius Padua Kotabaru a) Sejarah Paroki St. Antonius Padua Kotabaru

Awal kegiatan misi Katolik di sekitar Kotabaru mulai seputar dasa warsa ke dua abad ke XX. Pastor F. Strater, SJ menerima perutusan untuk memulai karya misi di sekitar Kotabaru pada tahun 1918. Pada waktu itu,

Kotabaru merupakan wilayah pinggiran ‘kota’ Ngayogyakarto yang masih berupa kampung dan hutan belukar yang belum banyak berpenghuni. Pemerintah Belanda berencana membangun kompleks perumahan bagi orang-orang Belanda yang bekerja di Yogyakarta.

1) Tahap Awal Perintisan

Langkah pertama yang dilakukan oleh Pastor Strater adalah menyewa rumah milik Tuan Perquin yang terletak di seberang masjid Syuhada sekarang. Rumah itu dipergunakan untuk pastoran, tempat mengajar agama dan juga tempat beribadah. Saat itu di sekitar Kotabaru dapat dikatakan belum ada umat Katolik.

Perhatian Pastor Strater selanjutnya memikirkan perlunya dibangun tempat untuk menyiapkan dan mendidik orang-orang yang nantinya dapat melanjutkan dan mengembangkan Gereja di wilayah ini. Maka dibelinya tanah yang letaknya di sebelah selatan dari tempat yang disewanya, yang masih berupa tanah kosong dan kuburan. Di tempat itu kemudian didirikan rumah pendidikan yang sekarang dikenal sebagai Kolese St. Ignatius (Kolsani), IPPAK (dulu AKKI/STKat; dulu Seminari Tinggi) dan Gereja St. Antonius Kotabaru. Kompleks itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 18 Februari 1923, dengan pemberkatan oleh Pastor J. Hoeberechts, SJ, Provinsial Serikat Yesus. Novisiat yang sudah dimulai sejak 18 Agustus 1922, sebelum gedung selesai dibangun, sejak 16 Juni 1923 mulai menempati gedungnya.

Tempat pendidikan inilah yang nantinya melahirkan gembala-gembala yang menaburkan iman Kristiani di wilayah sekitar Yogyakarta.

Sebelum gereja St. Antonous berdiri, Kolsani mempunyai kapel yang terbuka juga untuk umum. Tetapi karena jumlah umat yang mengikuti misa terus bertambah, maka tidak dapat dihindarkan kebutuhan membangun tempat ibadah yang lebih besar. Jumlah umat yang dipermandikan di kapel Kolsani sudah mencapai 360 orang. Maka demi penghuni kolese dan demi umat pada umumnya harus dibangun gereja yang lebih besar. Pastor J. Hoeberechts, Provinsial SJ berhasil memperoleh dana dari seorang nyonya di negeri Belanda dengan syarat gereja harus diberi nama St. Antonius Padua. Gereja selesai dibangun dan diberkati oleh Mgr. A. Van Velsen, SJ, Uskup Jakarta, yang membawahi juga Jawa Tengah dan Yogyakarta, pada tanggal 26 September 1926.

2) Tahap Pertumbuhan

Gereja sudah lebih besar sehingga mampu lebih banyak menampung umat yang datang. Namun gereja itu tetaplah milik Kolsani, maka rektor kolese ext officio adalah juga pastor kepala. Karena itu gereja Kotabaru sering juga disebut gereja rektorat.

Selain sebagai tempat ibadah umat, gereja St. Antonius Kotabaru juga berfungsi sebagai tempat latihan para “calon imam”. Mereka melatih diri berkotbah, belajar melayani umat dalam upacara liturgi,

melatih misdinar, mengordinasi koor dan sebagainya. Di gereja ini pula setiap tahun diselenggarakan upacara tahbisan imam dari Serikat Yesus.

Sampai dengan tahun 1933, gereja St. Antonius Kotabaru masih berstatus sebagai stasi dari paroki pertama di Yogyakarta yang berkedudukan di Jl. Senopati. Maka semua permandian maupun perkawinan masih dicatat di Senopati.

Sejak 1 Januari 1934, menjelang diberkatinya gereja Bintaran Kotabaru menjadi paroki sendiri, dipisah dari Senopati. Dengan demikian mulai saat itu gereja Kotabaru mempunyai buku permandian dan perkawinan sendiri, namun secara resmi tetap masih menjadi milik Kolsani.

Dalam membangun gereja dan mengembangkan umat sangat besar jasa Pastor J. Engbers, SJ sebagai pastor pembantu Pastor Strater. Dalam penyebaran dan pengembangan iman, Pastor Strater mempunyai pandangan bahwa sekolah adalah media kontak yang paling baik antara gembala dan calon umat. Lewat anak-anak didik, para pastor dapat menyapa orang tuanya, sekaligus memperkenalkan ajaran Kristiani. Salah satu sekolah yang berada di wilayah paroki Kotabaru adalah Sekolah Melania (sekarang SDK Gayam), yang didirikan oleh sekelompok wanita Belanda berkat dorongan Pastor Strater.

3) Tahap Pergumulan

Dalam usaha untuk memperkuat iman mereka yang telah menjadi Katolik, pada tanggal 1 Juli 1932, Pastor Strater memulai Maria

Konggregasi (dulu dikenal sebagai MC) untuk bapak-bapak. Penganut agama Katolik untuk sebagian besar berasal dari kalangan menengah atau rakyat jelata di lingkungan masyarakat Jawa. Mereka sering disebut kalangan ‘abangan’.

Mereka yang sudah dibaptis ada yang tidak pernah pergi ke gereja pada hari Minggu atau tidak menjalankan kewajiban yang lain, karena mereka mau menjadi Katolik sekedar untuk dapat diterima bekerja di pabrik cerutu Negresco (sekarang Tarumartani), sehingga mereka ini mendapat sebutan Katolik Negresco. Banyak pekerja Negresco berasal dari wilayah paroki Kotabaru.

Pertambahan jumlah umat semakin banyak membuka kesempatan bagi para frater untuk belajar berpastoral dengan mengunjungi keluarga-keluarga Katolik agar dapat menguatkan iman mereka. Kunjungan itu bukan hanya terbatas untuk keluarga-keluarga yang ada di dalam kota saja, tetapi juga mereka yang tinggal di stasi-stasi yang bernaung di bawah paroki Kotabaru seperti Mlati, Somohitan, Sedayu, Ganjuran, Wonosari dan Kalasan yang dikemudian hari berkembang menjadi paroki sendiri.

Namun keadaan yang menggembirakan itu tidak bisa bertahan terus. Tahun 1942 Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Akibatnya orang-orang Belanda dimasukkan ke dalam kamp interniran, termasuk juga para pastor serta biarawan-biarawati. Kompleks Kolese diduduki oleh Jepang. Seminari Tinggi (AKKI/STKat) dipakai sebagai Kantor Pemerintahan

Jepang. Gereja bukan lagu sebagai tempat suci untuk ibadah melainkan dijadikan gudang. Sedangkan Kolsani dipakai sebagai tempat penampungan para suster dan wanita-wanita Belanda interniran.

Karena gereja St. Antonius tidak dapat dipakai sebagai tempat ibadah, terpaksa dicari tempat lain. Akhirnya ditemukan rumah kuno di Kumetiran dengan halaman yang cukup luas. Setelah dibersihkan dan dibenahi maka dapat dipergunakan sebagai gereja. Pada tahun 1945 Kumetiran sudah bisa menjadi paroki sendiri.

Karena para imam dan biarawan-biarawati diinternir maka pelayanan umat juga harus diusahakan sendiri oleh awam. Pengalaman ini membuat umat menjadi semakin dewasa, “blessing in disguise”. Umat berkumpul dalam kring dan sering kali ketua kring juga merangkap menjadi katekis dan pemimpin ibadat.

4) Tahap Perjuangan

Setelah Jepang kalah dan menyerah kepada Sekutu (karena bom di Hiroshima dan Nagasaki), Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Bangunan-bangunan yang semula diduduki pihak militer pemerintahan dikembalikan kepada pemilik semula dalam keadaan yang masih utuh. Setelah dibersihkan seperlunya, Kolsani dan gereja St. Antonius dapat difungsikan kembali. Sedangkan gedung Seminari Tinggi yang semula dipakai sebagai kantor pemerintahan Jepang, diambil alih menjadi kantor pemerintahan RI. Ketika pusat pemerintahan RI pindah

ke Yogyakarta, gedung itu dipakai sebagai kantor Departemen Penerangan dan Pertahanan.

Pada masa revolusi, keadaan masih sulit untuk perkembangan Gereja. Di satu pihak tenaga imam masih kurang, di lain pihak masih terdapat rasa khawatir untuk terang-terangan mengakui beragama Katolik karena adanya pihak-pihak yang mencurigai orang Katolik sebagai kaki tangan Belanda. Maklum orang Katolik sering bergaul dengan imam-imam Belanda.

Selama masa pendudukan Belanda, di gereja Kotabaru, pada hari Minggu diadakan dua kali misa kudus. Pagi hari untuk orang Indonesia, dan siang hari pukul 11.00 untuk tentara dan orang-orang Belanda Katolik. Kendati tidak saling bertegur sapa (karena dalam suasana konfrontasi) tetapi mereka tetap menghormati hari Minggu sebagai Hari Tuhan.

Setelah proklamasi kemerdekaan, para imam Belanda yang tinggal di Kolsani juga menyadari bahwa keadaan sudah berubah, mereka tidak lagi hidup di Hindia-Belanda melainkan di Indonesia, yang sudah merdeka, hal itu mendorong mereka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Di samping itu, setelah zaman Jepang banyak orang Katolik yang tidak pergi ke gereja lagi, hal ini bukan disebabkan karena mereka murtad, melainkan karena tidak mempunyai pakaian yang pantas dipakai mengikuti misa di gereja. Terbukti setelah keadaan normal mereka

kembali rajin ke gereja. Bukan hanya kehidupan umat yang sulit, para imam pun mengalami kesulitan yang dirasakan sebagian besar rakyat. 5) Tahap Konsolidasi

Setelah pengakuan kemerdekaan pada tahun 1949, keadaan mulai berangsur ‘normal’. Mulai tahun 1950 Gereja dapat merasakan ketenangan dalam berkarya sehingga mengalami perkembangan yang sangat berarti, baik melalui sekolah-sekolah maupun melalui pelajaran baptis.

Banyak usaha pengembangan pendidikan diadakan di Kotabaru misalnya SD Kanisius Kotabaru, SD Kanisius Demangan, SD Kanisius Sosrowijayan, SD dan SMP Baciro; masih ada lagi SMA dan SPG Stella Duce serta SMA Kolese de Brito. Pada tahun 1955 IKIP Sanata Dharma juga mengambil tempat di Kotabaru untuk mengawali kiprahnya di bidang pendidikan. Demikian juga Skolastikat MSF dan SCJ, yang kemudian bersama dengan Seminari Tinggi St. Palulus menempati kompleks Kentungan.

6) Tahap Perkembangan

Jumlah umat yang terus bertambag mendorong berdirinya paroki baru. Namun untuk mendirikan paroki baru memerlukan persiapan yang cukup lama disertai dengan semangat yang tak kenal menyerah. Berkat perjuangan dan kerja keras Pastor J. Strommesand, SJ stasi Baciro dapat mendirikan gereja pada tahun 1961. Pada bulan Oktober 1963 diresmikan sebagai paroki baru, lepas dari Kotabaru. Sedangkan di wilayah Jetis

sudah cukup lama umat Katolik menyelenggarakan misa pada hari Minggu secara berpindah-pindah tempat. Pastor C. Carri, SJ merintis usaha mendirikan paroki di wilayah itu. Mulai tahun 1961, sejak suster-suster Darah Mulia mempunyai rumah di Jetis maka misa mingguan diadakan di kapel susteran. Tahun 1965 Jetis diresmikan menjadi paroki baru dan memiliki gereja yang berasal dari rumah Ibu Adeline yang diubah menjadi gereja setelah dibenahi sesuai kebutuhan. Sebagai pastor paroki pertama diemban oleh Pastor H. Notosusilo, Pr. Paroki lain yang dilahirkan oleh paroki Kotabaru adalah paroki Banteng. Yang menjadi perintis pendirian paroki Banteng adalah Pastor T. Wiyono, SJ. Setelah diresmikan, penggembalaannya diserahkan kepada imam-imam MSF.

Sampai tahun 1965 paroki Kotabaru sudah ‘melahirkan’ beberapa paroki baru seperti Kumetiran, Baciro, Jetis dan Banteng, tetapi paroki Kotabaru masih merupakan paroki Rektorat Kolsani, berarti segala urusan paroki diurus dan ditangani oleh Rektor Kolsani. Maka sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, agar paroki-paroki bisa benar-benar berdikari, pada tahun 1966 dibelilah sebuah rumah dari Asuransi Bumi Putera 1912 yang terletak di Jl. I Dewa Nyoman Oka on, 18 yang kemudian dipergunakan sebagai pastoran sampai saat ini. Dengan demikian mulai tahun 1967 para imam paroki bertempat tinggal di pastoran tersebut.

Sedikit demi sedikit urusan paroki mulai dilepaskan dari Kolsani. Pemisahan sepenuhnya dari Kolsani terjadi pada awal tahun 1975. Paroki

Kotabaru dapat dikatakan paroki yang sangat beruntung karena menadapat ‘gereja tiban’ yang dialihkan sepenuhnya di bawah tanggung jawab paroki, tinggal memakai dan memelihara dan mengembangkan.

Ketika Pastor C. Carri, SJ menjadi rektor Kolsani dan itu juga berarti menjadi pastor kepala (1962-1964), koor-koor yang biasanya diisi oleh frater-frater Kolsani mulai dialihkan kepada koor-koor lingkungan. Pada waktu Pastor W. Van Heusden, SJ menjadi pastor kepala (1965-1972), rumah yang sekarang dipakai sebagai pastoran dibeli, dengan demikian dapat dikatakan bahwa beliaulah yang menjadi pastor kepala pertama ketika lepas dari Kolsani.

Atas prakarsa Pastor A. Prajasuto, SJ yang menjadi pastor pembantu tahun 1969-1972, tikar-tikar yang dipakai di gereja diganti dengan bangku. Pada tahun 1972 Pastor Van Heusden memindahkan tempat koor dari balkon ke samping altar seperti sekarang. Tujuannya agar koor lebih dekat dengan umat dan lebih bisa mengajak umat untuk menyanyi bersama.

Tahun 1976, pada usia emas – 50 tahun gereja St. Antonius Kotabaru, tercatat yang dibaptis di gereja Kotabaru berjumlah 18.246 orang. Sedangkan yang menerima perkawinan di gereja Kotabaru berjumlah 1984.

Dalam sambutan yang diberikan untuk memperingati Pesta Emas gereja St. Antonius Kotabaru, Bapak Justinus Cardinal Darmoyuwono antara lain menulis demikian: “Kotabaru menjadi buah bibir orang

Katolik dan calon Katolik di luar kota Yogyakarta. Kotabaru adalah pusat pelayanan dan kara ke luar kota, ke seluruh daerah: dari daerah Wonosari sampai daerah Wates, dan dari daerah Ganjuran sampai daerah Somohotan. Dan pelayanan ini meliputi persekolahan, penyuluhan, pelajaran agama, tenaga dan biaya. Itu semua merupakan kebanggaan Kotabaru, yang dapat diibaratkan api dengan percikannya ke segala penjuru, mengasyikkan bagi yang menyaksikannya.” Catatan itu menunjukkan bahwa sudah dalam kurun waktu yang cukup lama, karya pelayanan paroki Kotabaru tidak hanya meliputi wilayah yang menjadi teritorialnya saja tetapi jauh melampaui batas-batas teritorialnya, karena pada saat itu memang dibutuhkan pelayanan tersebut.

7) Tahap Pemantapan

Setelah dilepaskan sepenuhnya dari Kolsani, paroki Kotabaru semakin tumbuh dan berkembang. Banyak umat yang senang mengikuti misa di gereja Kotabaru. Pastor P. Kijm, SJ menjadi pastor kepala tahun 1977-1980. Digantikan oleh Pastor FX. Wiryapranata, SJ (1980-1986). Pada waktu Pastor Wirya menjadi pastor kepala pernah diadakan angket terhadap mereka yang mengikuti misa di Kotabaru. Dari 6011 angket yang diisi, 3296 (54,8%) berasal dari luar paroki; dan 2715 (45,2%) berasal dari Kotabaru. Ini mengindikasikan bahwa gereja St. Antonius Kotabaru diminati oleh umat dari luar paroki Kotabaru.

Karena banyak umat dari luar paroki Kotabaru yang senang mengikuti misa di Kotabaru, maka wajar kalau mereka juga diajak ikut

terlibat dalam kegiatan yang diadakan di Kotabaru, bukan hanya ikut misa lalu pulang. Pastor Wiryapranata, SJ sebagai pastor paroki mencanangkan kotabaru sebagai Gereja terbuka, artinya paroki Kotabaru membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejani. Menurut Pastor Wirya, hal itu sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II.

Selain karena umat yang mengikuti misa di gereja Kotabaru sangat banyak, juga dalam beberapa kesempatan penyelenggaraan misa tahbisan imam, kalau yang ditahbiskan lebih dari 5 orang, gereja tidak dapat menampung umat yang hadir, diperluas dengan menambahkan sayap utara, yang dapat menampung sekitar 700 umat (di dalam gereja dan di bagian luar gereja). Sebenarnya gagasan untuk memperluas gereja sudah muncul sejak awal yaitu dengan membuka sayap utara dan selatan, tetapi baru terlaksana pada tahun 1986, dan itupun hanya bagian sayap utara yang memungkinkan. Selain membuka sayap utara, juga membuat pagar mengelilingi halaman gereja.

Pastor Wiryapranata diganti oleh Pastor Thoe Prayitna, SJ (1986-1988). Beberapa perubahan yang dibuat adalah: altar yang dahulu berada di bagian atas, dipindahkan ke bawah agar lebih dekat dengan umat. Baptisan bayi yang dulu biasa diselenggarakan di kapel Panti Rapih ditiadakan dan dipindahkan ke gereja paroki.

Pastor Theo berusaha memperkenalkan kelompok Marriage Encounter (ME), dengan harapan dapat memperoleh bibit-bibit panggilan

dari keluarga-keluarga. Sayangnya, karena masa pengutusan Pastor Theo hanya sebentar, maka beliau dipindahkan, ME meredup pelan-pelan.Pastor M. Windyatmaka, SJ (1988-1990) menggantikan Pastor Theo Prayitna, SJ. Gedung paroki Widyamandala dibongkar dan dibangun gedung baru 2 lantai. Sebutan yang dipakai tetap, yaitu gedung Karya Sosial Widyamandala. Prasasti peresmian gedung baru ditandai oleh kunjungan Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus ke Yogyakarta, pada bulan Oktober 1989). Para donatur yang mendukung pembangunan GKS Widyamandala membentuk kelompok yang dinamai Komunitas Penyegaran Hidup (KPH), yang masih aktif sampai sekarang dan bergerak dalam bidang sosial.

Pastor Windyatmaka digantikan oleh Pastor H. Gundhart Gunarto, SJ (1990-1995). Bekerja sama dengan Studio Audio-Visual (SAV-PusKat), dinding gereja digambar dengan pokok tema dari Injil Yohanes. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu cara berkatekese kepada umat. Misa dengan iringan gamelan juga mulai dikembangkan. Untuk itu dibelilah seperangkat gamelan pelog.

Pastor Gundhart digantikan oleh Pastor YR. Widadaprayitna, SJ (1996-2002). Gereja Terbuka yang pernah dicanangkan satu dekade sebelumnya diberi penekanan-penekanan baru. Paroki yang biasanya berkaitan dengan teritorial tertentu diganti dengan sebutan Gereja (Umat Allah) yang tidak lagi dibatasi oleh lingkungan-lingkungan teritorial. Siapa saja dan dari mana saja boleh ikut terlibat dalam kegiatan di gereja

Kotabaru. Dampaknya istilah-istilah yang terkait dengan teritorial seperti lingkungan, wilayah, ibu-ibu paroki dihapus.

Status lingkungan sejajar dengan komunitas-komunitas lain yang kemudian bermunculan. Semua diberi kesempatan yang sama, yang tidak mau terlibat ditinggal. Akibatnya semua kegiatan teritorial macet. Muncul kekecewaan umat terhadap pastor parokinya karena merasa kurang diperhatikan.

Gebrakan lainnya adalah dimunculkannya istilah Gereja Kaum Muda. Hal itu merupakan akibat yang wajar karena sebagian besar yang datang ke gereja Kotabaru untuk mengikuti Ekaristi adalah kaum muda. Mereka tertarik antara lain karena homilinya atau karena lagu-lagunya yang variatif, bukan hanya dari Madah Bakti atau Puju Syukur, umat yang berminat diajak terlibat menciptakan lagu-lagu untuk Ekaristi. Muncul banyak komunitas yang beranggotakan kaum muda, mulai dari yang liturgi sampai yang hobi. Misalnya Komunitas HOMBY (Himpunan Orang Muda Bekerja Yogyakarta) atau Komunitas 2535 (Kelompok yang berusia antara 25-35 yang masih single), dll. Hanya sayangnya tidak adanya pendampingan yang terarah untuk komunitas-komunitas itu sehingga satu demi satu mulai tidak aktif atau bubar. Sedangkan kaum muda yang berasal dari lingkungan kurang mendapat perhatian. Akibatnya muncul gejilak dan protes dari umat.

Pastor M. Sriyanto, SJ (2002-2006) menerima tugas perutusan untuk menggantikan Pastor Widada. Fokus pastoralnya berusaha

meredakan gejolak ketegangan yang ada dengan memberi perhatian kembali kepada lingkungan, wilayah, ibu-ibu paroki maupun mudik lingkungan yang pernah ditinggalkan, agar dapat terwujud suasana guyub rukun dan damai.

Usaha itu diwujudkan dengan menyelenggarakan Festival Paduan Suara antar Lingkungan, tujuannya agar lingkungan semakin terlibat dengan kegiatan paroki. Menghidupkan Sekolah Minggu di lingkungan-lingkungan. Menggerakkan kembali Mudika Lingkungan. Dewan paroki mengadakan kunjungan ke lingkungan-lingkungan agar dapat melihat situasi nyata lingkungan dan bisa tercipta komunikasi dengan lingkungan-lingkungan sehingga paroki mendapatkan masukan dari lingkungan dan program-program paroki dapat dipahami dan dilaksanakan oleh lingkungan.

Pangruktilaya dihidupkan kembali agar dapat membantu pelayanan kematian bagi umat yang membutuhkan. Memberi perhatian dan pendampingan serta peminjaman modal bagi usaha kecil. Memberi bantuan bea siswa dengan membentuk Komunitas OTAPePen (Orang Tua Asuh Peduli Pendidikan). Ekaristi Kaum Muda (EKM) digiatkan kembali.

Karena semakin banyak umat yang ke gereja dibutuhkan tempat parkir yang lebih luas juga. Untuk menanggapi kebutuhan itu pada tahun 2003 seluruh halaman pastoran di paving supaya dapat dipakai untuk parkir sepeda motor. Setelah itu seluruh halaman gereja juga di paving

agar dapat menampung lebih banyak umat yang mengikuti Ekaristi setiap hari Minggu.

Berhubungan bagian atap pastoran sudah banyak yang keropos dimakan rayap, mendesak untuk segera diganti. Tahun 2004 diadakan renovasi pastoran dengan mengganti kuda-kuda, busuk dan reng serta genteng.

Karena banyaknya komunitas yang sering berkumpul diperlukan tempat untuk berkumpul, GKS Widyamandala tidak mencukupi lagi, maka mulai Juni 2005 gedung pastoran bagian belakang dibongkar dan dibangun menjadi 2 tingkat untuk menambah ruangan agar bisa dipakai untuk rapat atau acara lain. Pada tanggal 23 Mei 2006 bangunan baru diresmikan dan diberkati oleh Pastor Tom Jacobs, SJ.

Bangunan baru dapat kokoh bertahan, tetapi gereja mengalami kerusakan yang cukup parah, terutama bagian menara lonceng dan balkon serta dinding sebelah barat di atas altar rontok dan retak. Tim renovasi gereja segera mengadakan rapat darurat untuk merencanakan pemulihan bagian-bagian yang rusak dengan segera. Karena bila tidak segera diperbaiki akan membahayakan umat yang mengikuti misa. Dukungan dari umat terwujud lewat bantuan dana yang dikumpulkan sehingga restorasi segera bisa dilaksanakan, sehingga kendati belum selesai, pada bulan Juli 2006 sudah dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan tahbisan imam seperti biasa.

Mulai 1 Oktober 2006 Pastor M. Sriyanto, SJ menerima tugas pengutusan ke paroki Tangerang dan digantikan oleh Pastor R.M. Wisnumurti, SJ. Restorasi gereja dilanjutkan dan selesai dengan ditandatanganinya prasasti oleh Bapak Uskup Mgr. Ign. Suharyo pada tanggal 26 Juli, setelah perayaan tahbisan iman.

Kunjungan pengurus dewan paroki ke lingkungan dilanjutkan. Pada kesempatan tertentu seperti Natal dan Paskah, pastor paroki mengunjungi umat sudah tua, jompo dan sakit. Kebijakan memberi kepercayaan kepada kaum muda menjadi panitia Natal tetap dipertahankan, sebagai sarana untuk melibatkan kaum muda dalam kegiatan paroki.

b) Sejarah Terbentuknya Tim Liturgi

Gereja St. Antonius Padua Yogyakarta awalnya gereja Rektorat dengan Rektor Kolose sebagai Pastor Kepala. Selain untuk ibadat, gereja juga berfungsi sebagai tempat latihan pelayanan bagi calon imam. Sebagian besar umat berasal dari kalangan menengah, bahkan rakyat Jawa.

Setelah masa penjajahan Jepang, Kolsani dan gereja St. Antonius Padua Yogyakarta kembali berfungsi seperti sediakala. Umat berkumpul dalam kring dan ketua kring sering kali merangkap peran sekaligus katekis dan pemimpin ibadat. Selama masa pendudukan Belanda, gereja menyelenggarakan Ekaristi pada hari Minggu sebanyak dua kali. Ekaristi pada pagi hari melayani umat Indonesia, dan Ekaristi pada siang hari melayani umat Belanda.

Setelah pengakuan kemerdekaan, Gereja mengalami perkembangan yang sangat berarti, baik melalui sekolah-sekolah, maupun kelas katekumen.