• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG-

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang-

2. Dasar Hukum Force Majeure

35

diperjanjikan karena adanya suatu peristiwa yang tidak terduga, dimana pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya tidak harus menanggung risiko.

2. Dasar Hukum Force Majeure

Istilah ”keadaan memaksa”, berasal dari istilah overmacht atau force majeure, dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya secara khusus dalam undang-undang, tetapi disimpulkan dari beberapa pasal dalam KUH Perdata.134

Dari pasal-pasal KUH Perdata, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa force majeure adalah keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk di penuhinya berdasarkan suatu perikatan yakni si berutang atau debitur, yang tidak atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.135

Pengertian force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:

1. Pasal 1244 KUH Perdata :

Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus di hukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.136

134 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 3

135 Ibid

136 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1244

36 2. Pasal 1245 KUH Perdata:

Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa/force majeure karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.137

3. Pasal 1444 KUH Perdata:

(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.138

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.139

(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.140

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.141

4. Pasal 1445 KUH Perdata:

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.142

5. Pasal 1545 KUH Perdata:

Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar.143

137 Ibid., Pasal 1245

138 Ibid., Pasal 1444 ayat (1)

139Ibid., Pasal 1444 ayat (2)

140Ibid., Pasal 1444 ayat (3)

141Ibid., Pasal 1444 ayat (4)

142 Ibid., Pasal 1545

143 Ibid., Pasal 1545

37 6. Pasal 1553 KUH Perdata:

(1) Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.144

(2) Jika barangnya hanya sebagian yang musnah, si penyewa dapat memilih, menuntut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataupun ia akan meminta pembatalan perjanjian sewanya, tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itu pun ia berhak atas suatu ganti rugi.145

Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unsur-unsur force majeure atas keadaan memaksa meliputi:

1. peristiwa yang tidak terduga.

2. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

3. tidak ada itikad buruk dari debitur.

4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur.

5. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi.

6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan.

7. Keadaan diluar kesalahan debitur.

8. Debitur tidak gagal berprestasi.

9. Kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan oleh siapapun.

10. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.146

Selain KUH Perdata terdapat juga peraturan yang berkaitan dengan penanganan masalah force majeure dalam skripsi ini, yakni:

1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 tahun 2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019.147

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.148

144 Ibid., Pasal 1553 ayat (1)

145 Ibid., Pasal 1553 ayat (2)

146 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 5

147 Indonesia, (POJK SPNSKCDP Covid 19), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan countercylical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019, POJK No.11/POJK.03/2020, LN No. 76 TLN No. 6480 Tahun 2020

148 Indonesia, (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 TLN No. 3821 Tahun 1999

38 3. Jenis-Jenis Force Majeure

Pada perkembangannya secara umum force majeure dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Berdasarkan penyebab.

Force majeure berdasarkan penyebab ini dikarenakan adanya suatu keadaan alam, yaitu keadaan memaksa yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang tidak dapat diduga dan dihindari sebelumnya oleh setiap orang karena bersifat alamiah tanpa unsur kesengajaan, misalnya banjir, longsor, gempa bumi, badai, gunung meletus, dan sebagainya.149 2. Force majeure karena keadaan darurat.

Yaitu keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat, tanpa dapat diprediksi sebelumnya, misalnya peperangan, blokade, pemogokan, epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya adanya kerusakan suatu alat yang menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perikatan.150

3. Force majeure karena musnahnya atau hilangnya barang objek perjanjian.151

4. Force majeure karena kebijakan atau peraturan pemerintah.152

Yaitu keadaan memaksa yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan yang baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang

149 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 9

150 Ibid

151 Ibid

152 Ibid

39

berlangsung, misalnya terbitnya suatu peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyebabkan suatu objek perjanjian/perikatan menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.

5. Berdasarkan sifat

1. Force majeure tetap.

Yaitu keadaan memaksa yang mengakibatkan suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan atau tidak dapat dipenuhi sama sekali.153

2. Force majeure sementara

Adalah keadaan memaksa yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda daripada waktu yang ditentukan semula dalam.

perjanjian dan dalam keadaan yang demikian perikatan tersebut tidak berhenti, tetapi hanya pemenuhan prestasinya yang tertunda.154

6. Berdasarkan objek.

1. Force majeure lengkap, artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak dapat dipenuhi oleh debitur.155

2. Force majeure sebagian, artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang tidak dapat dipenuhi oleh debitur.156

7. Berdasarkan subjek

1. Force majeure objektif adalah keadaan memaksa yang menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan oleh

153 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 27-28

154 Ibid., hlm.28

155 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 9

156 Ibid

40

siapa pun, hal ini didasarkan pada teori ketidakmungkinan (imposibilitas).157

2. Force majeure subjektif adalah keadaan memaksa yang terjadi apa- bila pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan pelaksanaan bagi debitur tertentu dan dalam hal ini, debitur masih mungkin memenuhi prestasi, tetapi dengan pengorbanan yang besar yang tidak seimbang, atau menimbulkan bahaya kerugian yang besar sekali bagi debitur.158.

8. Berdasarkan ruang lingkup.

1. Force majeure umum.

Yakni keadaan memaksa yang dapat berupa perubahan iklim, kehilangan, dan pencurian, yang menyebabkan tidak dapat nya memenuhi suatu prestasi yang disepakati.159

2. Force majeure khusus

Yakni keadaan memaksa berupa berlakunya suatu peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah dan dalam hal ini, tidak berarti prestasi tidak dapat dilakukan, tetapi prestasi tidak boleh dilakukan160

9. Berdasarkan segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak.

1. Force Majeure yang Absolut

Yang dimaksud dengan force majeure yang absolut adalah suatu force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan misalnya, barang yang merupakan objek dari

157Ibid, hlm. 27

158 Ibid

159 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,( Bandung : Alumni, 1994) hlm. 30

160 Ibid

41

kontrak musnah.161 Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak mungkin (impossible) untuk dilaksanakan.162

2. Force Majeure yang Relatif

Sementara itu, yang dimaksud dengan force majeure yang bersifat relatif adalah suatu force majeure di mana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan.163 Misalnya harga barang yang didatangkan oleh penjual dengan tiba-tiba dikeluarkan oleh pemerintah peraturan yang melarang barang tersebut masuk ke suatu daerah sehingga salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya.164

10. Berdasarkan jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya force majeure.

1. Force Majeure Permanen

Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi, misalnya, jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan debitur.165

2. Force Majeure Temporer

Sebaliknya, suatu force majeure dikatakan bersifat temporer bilamana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu,misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, di mana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut

161 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 150-151

162 Ibid

163 Ibid

164 Ibid

165Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 40

42

dapat dipenuhi kembali.166 Contoh: jika barang objek dari kontrak tersebut tidak mungkin dikirim ke tempat kreditur karena terjadinya pergolakan sosial di tempat kreditur tersebut, akan tetapi, nantinya ketika keadaan sudah menjadi aman, tentunya barang tersebut masih mungkin dikirim kembali.167

4. Teori-Teori Force Majeure

Teori dalam force majeure salah satunya teori ketidakmungkinan yang menyatakan bahwasannya keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi sebagaimana yang diperjanjikan dalam kontrak.

168 Ketidakmungkinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Teori ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute onmogelijkheid)

Adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur, dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah.169 2. Teori ketidakmungkinan relatif atau subjektif (relative onmogelijkheid)

Ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasinya tertunda.170 Jika kesulitan sudah tidak ada lagi makapemenuhan prestasi diteruskan. Akan tetapi, jika

166 Ibid

167 Ibid

168 Ceisa Shadarina Pranindira, op.cit., hlm. 31

169 Ratna Artha Windari, op.cit., hlm.37

170Ibid

43

prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu gugur.171

Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.

Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).172 Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.173

3. Teori peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld)

Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa dengan adanya force majeure maka terhapuslah kesalahan debitur. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias dipertangungjawabkan.174

5. Akibat Force Majeure.

Terjadinya peristiwa force majeure menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian. Pengaturan akibat terjadinya force majeure dapat ditemukan di dalam berbagai doktrin yang dikemukakan oleh para ahli. Berikut ini pendapat ahli akibat dari force majeure:

1. R. Setiawan

171 Ibid

172 Rahmat S.S Soemadipraja, opcit hlm. 44

173 Ibid

174 Ceisa Shadarina Pranindira, op.cit., hlm. 33

44

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu:175

1. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi karena adanya suatu hal.

2. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai karena tidak melakukan prestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.

3. risiko tidak dibebankan kepada debitur.

4. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik.

2. Hartono Hadisoeprapto

Hartono Hadisoeprapto mengemukakan tentang beberapa akibat dari timbulnya force majeure terhadap perikatan. Dengan adanya overmacht maka akibat yang timbul ialah :176

1. kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.

2. debitur tidak dapat dinyatakan lalai, dan oleh karenanya debitur tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian.

3. risiko tidak beralih kepada debitur.

4. Sehubungan dengan terjadinya overmacht itu, perikatannya sendiri sebenarnya masih ada, tetapi berlakunya perikatan itu saja yang berhenti.

3. Mariam Darus Badrulzaman.

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat keadaan memaksa terhadap perikatan. Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan

175 R. Setiawan, op.cit., hlm. 28

176 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 49

45

tersebut tidak lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka:177

1. kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;

2. tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut;

3. kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

4. M. Yahya Harahap

Yahya Harahap juga memberikan pendapatnya mengenai 2 akibat dari force majeure yakni:178

1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding

Dalam hal ini hak kreditur untuk menuntut adanya suatu prestasi ialah gugur untuk selalama-lamanya.179

2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi (nakoming)

Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pembebasan itu pada umumnya hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi.180

Berdasarkan atas aturan-aturan dalam KUH Perdata yang disebutkan dan juga penjelasan dari berbagai pendapat ahli sejatinya force majeure ini dapat menggugurkan suatu kewajiban dari para pihak dan juga tidak dapat menggugurkan kewajiban para pihak dalam melaksanakan suatu prestasi

177 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 26-29

178 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm.95

179 Ibid

180 Ibid

46

sebagaimana yang di perjanjikan. Penentuan ini didasarkan pada suatu kasus-kasus yang menimpa para pihak yang berkontrak apakah peristiwa tersebut dapat menghapus seluruh kewajiban dalam melaksanakan prestasi ataupun hanya sebagian ataupun diwajibkan memenuhi prestasinya secara menyeluruh.

47 BAB III

PENERAPAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK KREDIT/PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN

A. Tinjauan Hukum Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan 1. Pengertian Kontrak Kredit/Pembiayaan

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni “credere”

yang berarti kepercayaan.181 Karena, misalkan seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari bank karena itu arti kredit secara bahasa adalah kepercayaan.182 Hal tersebut artinya menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah ialah trust atau kepercayaan.183

Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan tidak memberikan batasan arti mengenai pengertian kontrak/perjanjian kredit.184 Istilah perjanjian kredit ini terdapat dalam Instruksi Presiden yang ditunjukkan kepada masyarakat bank, yang mana di instruksikan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit.185

Namun jika kita merujuk kepada Pasal 1 angka 11 UU Perbankan bahwasannya kredit adalah:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

181 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.

57

182 Ibid

183 Ibid

184 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1982), hlm.19

185 Ibid., hlm. 19

48

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.186

Sedangkan Menurut para ahli pengertian perjanjian kredit juga memang pada hakikatnya belum dirumuskan secara definitif dan juga banyak ahli yang memberikan pengertian mengenai perjanjian kredit secara khusus. Subekti berpendapat bahwasannya pada hakikatnya perjanjian kredit ini merupakan sama dengan pengertian perjanjian meminjam sebagaimana yang diatur oleh KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.187 Yang mana pengertian perjanjian kredit menurut subekti tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pasal 1754 KUH Perdata:

Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.188

2. Pasal 1755 KUH Perdata:

Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam dan jika barang musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggunganya.189

Berdasarkan kedua pasal tersebut subekti menitik beratkan perjanjian kredit ini sama dengan artian pinjam meminjam yang ada di KUH Perdata pada BAB ketiga belas tentang pinjam meminjam.

186 Lihat Indonesia (UU Perbankan), loc.cit.

187 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 3.

188 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1754

189 Ibid., Pasal 1755

49

Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian kredit memiliki arti khusus, yakni:

Perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitor untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.190

Jika kita simpulkan bahwasannya kredit ialah pinjaman yang diberikan oleh bank kepada seseorang ataupun badan hukum untuk digunakan dan dikembalikan bersama bunga dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah di perjanjikan.

2. Jenis-Jenis Kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan

Pada dasarnya jenis kontrak kredit/pembiayaan yang ada didalam perbankan syariah dan juga konvensional memimiliki perbedaan. Jenis kontrak kredit yang ada didalam perbankan konvensional ini dibagi berdasarkan berbagai keperluan usaha serta berbagai unsur ekonomi yang mempengaruhi bidang usaha para nasabah diantaranya sebagai berikut :

1. Jenis kredit dilihat dari segi tujuan penggunaannya.

1. Kredit konsumtif.

Kredit ini merupakan kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiaya kebutuhan atau konsumsi dalam skala rumah tangga yang pelunasannya berasal dari penghasilan bulanan debitur.191 Artinya kredit konsumsi ini merupakan kredit

190 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993) hlm. 158

191 Hermansyah, op.cit., hlm. 61

50

perorangan yang tujuannya ialah non bisnis seperti kredit rumah atau membeli mobil.192

2. Kredit produktif.

Kredit ini ditujukan untuk keperluan produksi dalam arti luas. Kredit produktif digunakan untuk peningkatan usaha baik usaha-usaha produksi.193

2. Jenis kredit dilihat dari segi kegunaannya.

1. Kredit investasi.

Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek baru, seperti pembelian tanah untuk perluasan usaha.194

2. Kredit modal kerja.

Kredit modal kerja merupakan kredit yang diberikan dalam bentuk rupiah ataupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan jangka waktu minimal 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan antara pihak-pihak yang berkontrak.195

192 Ibid

193 Victoria Bank, “Kredit Produktif”, https://www.victoriabank.co.id/page/produk-layanan/pinjaman/kredit-produktif/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020.

194 Hermansyah, loc.cit

195 Ibid

51 3. Jenis kredit dilihat dari jangka waktu.

1. Kredit jangka pendek.

Kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya utuk modal kerja misal seperti untuk peternakan, yakni kredit peternakan ayam.196

2. Kredit jangka menengah.

Kredit yang memiliki jangka waktunya berkisar 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi yakni sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk, atau peternakan kambing.197

3. Kredit jangka panjang.

Kredit yang masa pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun.

Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapasawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.198

4. Jenis kredit menurut cara pemakaian 1. Kredit rekening koran bebas.

Debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan kepadanya diberikan blanko cek dan rekening koran pinjamannya di isi menurut besarnya kredit yang diberikan. Dimana debitur atau nasabah bebas melakukan penarikan-penarikan ke dalam rekening bersangkutan selama kredit berjalan.199

196 Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, (Malang: Setara Press, 2017), hlm. 68

197 Ibid

198 Ibid

199Ibid., hlm. 70

52 2. Kredit berulang-ulang

Dalam sistem ini kredit yang diberikan kepada debitur yang tidak memerlukan kredit secara sekaligus, melainkan pemberian kredit yang berulang-ulang.200 Penarikan kredit yang dilakukan oleh nasabah dilakukan selama plafon kredit masih tersedia dilakukan dengan melalui pemindahbukuan, penarikan cek, bilyet giro atau pemindahbukuan yang lainnya.201

3. Kredit bertahap.

Penarikan kredit ini merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa kali pencairan.202

4. Kredit tiap transaksi.

Kredit ini diberikan untuk satu transaksi tertentu dimana pengembalian kredit diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan.203

5. Jenis kredit menurut jaminannya.

1. Unsecured loans.

Yaitu kredit yang diberikan” tanpa jaminan”. Dalam dunia perbankan di Indonesia bentuk ini belum lazim dan malahan dilarang oleh Bank Sentral.204

2. Secured loans.

200 Ibid

201 Ibid

202 Ibid

203 Ibid

204 HSBC, “Unsecured loans”, https://www.hsbc.co.id/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 20.05 WIB

53

Yaitu kredit yang diberikan” memakai jaminan”. Dalam dunia perbankan di Indonesia bentuk ini lazim digunakan di perbankan yang

Yaitu kredit yang diberikan” memakai jaminan”. Dalam dunia perbankan di Indonesia bentuk ini lazim digunakan di perbankan yang