• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

14

Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan staff PT. Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan yang fungsinya untuk mendapat data yang berguna untuk mengkonfirmasi bahan hukum sekunder.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan atau library research yaitu teknik pengumpulan data yang berwujud sumber data tertulis atau gambar. Sumber data tertulis atau gambar berbentuk dokumen resmi, buku, majalah, arsip, dokumen resmi terkait permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data–data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet).

Selain itu, teknik pengumpulan data ini didukung juga dengan wawancara dengan staff PT. Bank Tabungan Negara Syariah cabang medan. Tujuannya untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data yang diperoleh dari Studi Kepustakaan (Library research).

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

Bab I merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi

15

penelitian, dan sistematika penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Bab II membahas mengenai konsep force majeure dalam KUH Perdata.

Bab ini berisi tinjauan hukum mengenai force majeure dalam konsep negara hukum, pengertian perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, dasar-dasar hukum perjanjian, pengertian force majeure, dasar hukum force majeure, jenis-jenis force majeure, teori-teori force majeure dan akibat-akibat force majeure.

Bab III membahas mengenai penerapan klausula force majeure dalam kontrak kredit atau pembiayaan pada perbankan. Bab ini mecakup tinjauan hukum mengenai kontrak kredit atau pembiayaan, standar penyelesaian kontrak kredit/pembiayaan, kasus force majeure dalam kontrak kredit atau pembiayaan pada perbankan dan penerapan klausula dalam kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan.

Bab IV membahas mengenai Implikasi Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Sebagai Dasar Hukum Untuk Menyatakan Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Bank Tabungan Syariah Negara Cabang Medan.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan intisari dari bab-bab terdahulu, serta saran menyangkut rumusan masalah.

16 BAB II

KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Force Majeure Dalam Konsep Negara Hukum

Negara hukum adalah salah satu konsep yang merupakan suatu istilah konsep sederhana namun mengandung adanya muatan filosofis di dalamnya.34 Pemikiran atau konsep negara hukum ini muncul jauh sebelum terjadi revolusi di Inggris pada tahun 1688.35 Sejarah atau latar belakang timbulnya negara hukum ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau, oleh kerena itu negara hukum mempunyai hubungan kausalitas yang erat dengan sejarah peradaban suatu bangsa.36

Negara hukum ini pada awalnya di cetuskan atau di konsepsikan oleh Plato kemudian dikuatkan kembali oleh Aristoteles.37 Yang mana pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya yakni “bahwasannya penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik”.38 Kemudian di perkuat kembali oleh Aristoteles yang berpendapat berpendapat bahwasannya pengertian negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk

34 Majda El. Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm.1

35 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm. 2

36Ibid

37Damang Averroes Al-Khawarizmi,“Konsep Negara Hukum”, https://www.negarahukum.com/hukum/konsep-negara-hukum.html, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 10.12 WIB

38 Ibid

17

sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dan berpenduduk banyak (vlakte staat). 39

Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah (ecclesia), dimana seluruh warga negaranya ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara.40 Bahwasannya pada hakikatnya yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang dibangun atau di konstruksikan di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Hal ini bertujuan agar terciptanya keteraturan di dalam masyarakat.

Dalam perkembangannya konsep negara hukum menurut Tahir Azhary ini memiliki perumusan yang berbeda-beda atau jenis yang berbeda-beda seperti :41

1. Negara hukum menurut nomokrasi islam

2. Negara hukum menurut eropa continental atau lebih dikenal dengan istilah rechsstaat.

3. Negara hukum menurut anglo saxon atau lebih dikenal dengan rule of law.

4. Negara sosialis dan komunis.

5. Negara Hukum Pancasila.

Pada hakikatnya hampir semua negara di dunia menyebut dirinya negara hukum, sehingga dapat disimpulkan tidak populer lagi mengaku negaranya sebagai negara totaliter atau negara kekuasaan, sekalipun bentuk negara itu adalah monarki.42 Namun untuk melihat hal tersebut apakah suatu negara tersebut menganut negara yang berdasarkan hukum ada 3 ciri yang dapat dilihat apakah

39 Patawari, Konsep Negara Hukum dan Keterwakilan Rakyat, (Jakarta : KDT, 2015), hlm. 1

40 Moh. Kusnardi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Sinar Bakti, 1987), hlm. 153

41 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 85-86

42 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta : Sekrertariat Jenderal dam Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 8

18

negara tersebut merupakan negara hukum yakni supremacy of the law equality, before the law serta constitution based on the human rights. 43

Ketiga ciri tersebutlah yang dapat meyatakan bahwasannya suatu negara dikategorikan sebagai negara hukum. Konsep negara hukum ini pada hakikatnya mengatur segala lini kehidupan bermasyarakat dalam berbagai askpek baik aspek hukum public yang mengatur antara negara dengan masyarakat, aspek private yang mengatur individu dengan individu dan juga berbagai aspek-aspek lainnya yang mana segala sesuatunya diatur oleh hukum.44 Karena menurut itu suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan berkonstitusi dan berkedaulatan hukum.45 Terdapat tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang dilaksanakan:46

1. Untuk kepentingan umum.

2. Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.

3. Atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Indonesia sendiri yang menganut negara hukum hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”) yang berbunyi bahwasannya

43 PTUN Jakarta, “Negara Hukum Demokrasi”, https://ptun-jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 10.39 WIB.

44 Ibid

45 Ibid

46 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm.2

19

“Indonesia adalah negara hukum”.47 Salah satu implementasi dari konsep negara hukum ini ialah berkaitan dengan hubungan private antara individu dengan individu salah satunya di bidang perjanjian.

Namun ada kalanya perjanjian yang telah terbentuk tersebut menimbulkan kelalaian dari satu pihak akibat hal-hal tertentu salah satunya ialah akibat adanya keadaan memaksa atau force majeure.48 Dalam negara hukum juga diatur mengenai force majeure tersebut pada hakikatnya force majeure merupakan suatu peristiwa yang tidak terduga sebelumnya serta tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh salah satu pihak yang berkontrak dikarenakan adanya peristiwa yang tidak terduga bukan dikarenakan adanya itikad buruk satu pihak untuk tidak melaksanakan suatu kontrak. 49

Dalam konsep negara hukum ini tentunya melindungi hal tersebut yang berkaitan dengan force majeure atau keadaan memaksa karena pada hakikatnya negara hukum yang menganut ciri perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum mulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 UUD NRI 1945.50 Tentunya hal inilah yang melindungi tiap-tiap individu dalam hal perjanjian atau kontrak ketika terjadinya suatu keadaan yang memaksa dalam hal melindungi hak ekonomi seseorang yang di jamin oleh pasal 33 UUD NRI 1945.51

47Indonesia (UUD NRI), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, LN No. 14 Tahun 2006, Pasal 1 ayat (3)

48 Irma Devita, “Mengetahui Akibat dan Risiko Perjanjian Force Majeure”, https://irmadevita.com/2020/mengetahui-akibat-dan-risiko-perjanjian-force-majeure/, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 11.04 WIB

49 Ibid

50Lihat Indonesia (UUD NRI), op.cit., Pasal 27-33

51 Ibid., Pasal 33

20

Karena itu Indonesia sebagai negara hukum memberikan perlindungan atas adanya keadaan memaksa atau force majeure yang timbul dari perjanjian atau kontrak yang mana hal ini diatur didalam Kuh Perdata mulai dari pasal 1244,

1245, 1545, 1553, 1444, dan 1445.52 Hal ini membuktikan bahwasannya dengan

memberikan perlindungan dengan adanya pengaturan terkait force majeure atau keadaan memaksa Indonesia telah menerapkan suatu konsep negara hukum yang memberikan perlindungan hak asasi manusia terkait keadaan-keadaan yang mengharuskan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya oleh karena adanya keadaan memaksa atau force majeure.

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Pengertian perjanjian

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan suatu kesepadanan dari istilah “overeenkomst” dalam bahasa belanda atau “agreement” dalam bahasa inggris.53 Dalam KUH Perdata sendiri perjanjian terdapat di dalam pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.54 Maksud dari pasal ini ialah bahwasannya suatu perjanjian adalah

52 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1244,1245, 1444, 1445, 1545, 1553

53 Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 2

54 Lihat Indonesia (KUH Perdata), loc.cit.

21

suatu recht handeling yang berarti perbuatan dimana oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar nantinya timbul suatu akibat hukum.55

Dengan demikian, suatu perjanjian merupakan hubungan timbal balik atau bilateral antar pihak yang mengingaktkan diri didalamnya.56 Perjanjian ini juga pada dasarnya mengandung arti yaitu merupakan suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.57

Selain itu beberapa ahli hukum perdata juga mengemukakan definisi-definisi perjanjian sebagai berikut:

1. Subekti

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang telah diperjanjikan.58

2. Wierjono Rodjodikoro

perjanjian, yaitu suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.59

3. Setiawan

perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.60

55 Ibid

56 Ibid

57 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), hlm. 6

58 R. Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), hlm. 1

59 Wirjono Rodjodikoro, Asas - Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mazdar Madju, 2004), hlm. 4

60 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hlm.

27

22 4. Syahmin AK

perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.61

Berdasarkan definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi unsur-unsur dalam suatu perjanjian adalah:62

1. Adanya para pihak.

2. Adanya kesepakatan dari para pihak.

3. Adanya objek dalam perjanjian.

4. Adanya suatu tujuan yang dilakukan.

5. Adanya bentuk tertentu baik secara lisan ataupun tulisan.

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berbicara mengenai perjanjian tidak terlepas dari masalah aspek keadilan.63 Fungsi dan tujuan hukum perjanjian tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.64 Jika diuraikan tiga tujuan hukum ini yakni intinya adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat,menjaga hak-hak manusia serta mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.65

61 Ratna Artha Windari, op.cit., hlm.2

62 Ibid., hlm.19

63 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 No. 01, Juli 2019, hlm. 13

64 Ibid

65Niru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Perjanjian”, Journal Hukum , Vol.7 No.2, Desember 2018, hlm. 2

23

Apabila dilakukan analisis tentang asas-asas dalam perjanjian harus dimulai dari filosofi keadilan dalam perjanjian.66 Berbicara tentang keadilan sering didengar, namun pemahaman yang tepat justru sangat rumit bahkan abstrak terlebih apabila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang demikian kompleks.67 Dalam perjanjian terkandung makna janji harus ditepati atau janji adalah hutang.68

Perjanjian ini pada dasarnya merupakan suatu jembatan yang akan membawa ataupun menghubungkan para pihak untuk merealisasikan apa yang menjadi tujuan dari pembuatan perjanjian tersebut yaitu tercapainya perlindungan dan keadilan bagi para pihak.69 Dengan perjanjian diharapkan masing-masing pihak akan menepati janji dan melaksanakannya. Karena itu untuk menjamin hal tersebut ada bebera asas-asas hukum mengenai perjanjian diantaranya adalah:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract).

Asas kebebasan berkontrak dapat kita lihat maupun kita analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Yang menyatakan bahwasannya

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”70 Asas ini jika kita lihat merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:71

1. Adanya suatu perjanjian yang dibuat.

2. Perjanjian tersebut diadakan kepada seseorang atau lebih.

66 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 289

67 Ibid

68 Hidayatullah, “Janji Kita Adalah Hutang”, https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/06/22/72663/janji-kita-adalah-hutang.html , diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 17.58 WIB

69 Komisi Yudisial, “Penegakan Hukum Wujud Kepastian, keadilan dan Kemanfaatan Hukum”, www.komisiyudisial.go.id, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.07 WIB

70 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

71 Salim H.S, Hukum Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2017), hlm. 9

24

3. Menentukan isi dari suatu perjanjian, pelaksanaan maupun persyaratan di dalam perjanjian.

4. Ditentukan bentuk perjanjian apakah tertulis ataupun tidak tertulis.

2. Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme dapat kita lihat maupun dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata, yang mana pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.72 Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.73 Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.74

Asas konsensualisme muncul dilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.75 Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).76 Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.77

72 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1320 ayat (1)

73 Salim S.H, op.cit., hlm.10

74 Ibid

75 M.Muhtarom, “ Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal SUHUF, Vol. 26 No. 1, Mei 2014, hlm. 49

76 Ibid

77 Ibid

25

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda).78

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.79 Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang yang mana Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.80 Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.81

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja dan dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah yang mana hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.82 Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.83

78 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 3

79Pengacara Muslim, “Asas-Asas dalam Hukum Kontrak”, https://pengacaramuslim.com/asas-asas-dalam-hukum-kontrak/, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.50 WIB

80 Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 5

81 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

82 M.Muhtarom, op.cit., hlm. 52

83 Ibid

26 4. Asas Itikad Baik (good faith).84

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHP Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”85 Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.86 Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik subjektif dan itikad baik objektif.87

Pada itikad yang subjektif, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.88 Pada itikad yang kedua ini penilaian daripada syarat subjektif ini terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.89

5. Asas Kepribadian.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.90 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menyebutkan yakni “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”91 Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

84Dwi Ratna Indri Hapsari, Kontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Repertorium, Vol 1, Januari-Juni 2014, hlm. 88

85 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (3)

86 Dwi ratna Indri Hapsari, op.cit., hlm. 88

87 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 2006) hlm.

56

88 Ibid

89 Ibid., hlm. 61

90 Rahmani Timorita Yuliati, Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Kontrak Syariah,

“Jurnal Ekonomi islam”, Vol.2 No. 1, Juli 2018, hlm, 12

91 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1315

27

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”92 Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dilihat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”93

Pasal ini menyimpulkan bahwasannya seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.94

Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.95 Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

92 Ibid., Pasal 1340

93 Ibid., Pasal 1317

94 Ibid., Pasal 1318

95 Ibid.

28 3. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian.

Perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".96 Jadi dapat dilihat pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap dua orang atau lebih lainnya.97 Ketika telah mengikatkan diri antara pihak perjanjian tersebut melahirkan perikatan antara para pihak yang melakukan perjanjian, karena sumber dari perikatan salah satunya adalah perjanjian.98

Pada dasarnya dalam suatu perikatan terdapat dua pihak, yang mana pihak pertama adalah pihak yang berhak menuntut sesuatu atau prestasi yang dinamakan kreditur, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang selanjutnya dinamakan debitur dan tuntutan itu didalam hukum disebut sebagai prestasi.99 Jika dilihat dari ketentuan pasal 1234 KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa yakni menyerahkan suatu barang atau memberikan sesuatu, melakukan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu dan tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.100

Dalam melakukan perikatan ini perikatan tidak lahir begitu saja namun ada sebab-sebab yang melahirkan suatu perikatan, karena jika kita merujuk pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan/perjanjian dan undang-undang.101 Pasal 1352 KUH Perdata

96 Ibid., Pasal 1313

97 Ibid.

98 Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), hlm. 1

99 Ibid., hlm.2

100 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1234

101 Ibid., Pasal 1233

29

menyatakan lebih lanjut bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi menjadi perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang.102

Dalam Pasal 1353 KUH Perdata, menyatakan bahwa perikatan yang lahir

Dalam Pasal 1353 KUH Perdata, menyatakan bahwa perikatan yang lahir