• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG-

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang-

5. Akibat Force Majeure

43

prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu gugur.171

Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.

Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).172 Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.173

3. Teori peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld)

Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa dengan adanya force majeure maka terhapuslah kesalahan debitur. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias dipertangungjawabkan.174

5. Akibat Force Majeure.

Terjadinya peristiwa force majeure menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian. Pengaturan akibat terjadinya force majeure dapat ditemukan di dalam berbagai doktrin yang dikemukakan oleh para ahli. Berikut ini pendapat ahli akibat dari force majeure:

1. R. Setiawan

171 Ibid

172 Rahmat S.S Soemadipraja, opcit hlm. 44

173 Ibid

174 Ceisa Shadarina Pranindira, op.cit., hlm. 33

44

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu:175

1. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi karena adanya suatu hal.

2. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai karena tidak melakukan prestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.

3. risiko tidak dibebankan kepada debitur.

4. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik.

2. Hartono Hadisoeprapto

Hartono Hadisoeprapto mengemukakan tentang beberapa akibat dari timbulnya force majeure terhadap perikatan. Dengan adanya overmacht maka akibat yang timbul ialah :176

1. kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.

2. debitur tidak dapat dinyatakan lalai, dan oleh karenanya debitur tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian.

3. risiko tidak beralih kepada debitur.

4. Sehubungan dengan terjadinya overmacht itu, perikatannya sendiri sebenarnya masih ada, tetapi berlakunya perikatan itu saja yang berhenti.

3. Mariam Darus Badrulzaman.

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat keadaan memaksa terhadap perikatan. Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan

175 R. Setiawan, op.cit., hlm. 28

176 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 49

45

tersebut tidak lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka:177

1. kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;

2. tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut;

3. kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

4. M. Yahya Harahap

Yahya Harahap juga memberikan pendapatnya mengenai 2 akibat dari force majeure yakni:178

1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding

Dalam hal ini hak kreditur untuk menuntut adanya suatu prestasi ialah gugur untuk selalama-lamanya.179

2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi (nakoming)

Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pembebasan itu pada umumnya hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi.180

Berdasarkan atas aturan-aturan dalam KUH Perdata yang disebutkan dan juga penjelasan dari berbagai pendapat ahli sejatinya force majeure ini dapat menggugurkan suatu kewajiban dari para pihak dan juga tidak dapat menggugurkan kewajiban para pihak dalam melaksanakan suatu prestasi

177 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 26-29

178 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm.95

179 Ibid

180 Ibid

46

sebagaimana yang di perjanjikan. Penentuan ini didasarkan pada suatu kasus-kasus yang menimpa para pihak yang berkontrak apakah peristiwa tersebut dapat menghapus seluruh kewajiban dalam melaksanakan prestasi ataupun hanya sebagian ataupun diwajibkan memenuhi prestasinya secara menyeluruh.

47 BAB III

PENERAPAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK KREDIT/PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN

A. Tinjauan Hukum Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan 1. Pengertian Kontrak Kredit/Pembiayaan

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni “credere”

yang berarti kepercayaan.181 Karena, misalkan seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari bank karena itu arti kredit secara bahasa adalah kepercayaan.182 Hal tersebut artinya menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah ialah trust atau kepercayaan.183

Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan tidak memberikan batasan arti mengenai pengertian kontrak/perjanjian kredit.184 Istilah perjanjian kredit ini terdapat dalam Instruksi Presiden yang ditunjukkan kepada masyarakat bank, yang mana di instruksikan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit.185

Namun jika kita merujuk kepada Pasal 1 angka 11 UU Perbankan bahwasannya kredit adalah:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

181 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.

57

182 Ibid

183 Ibid

184 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1982), hlm.19

185 Ibid., hlm. 19

48

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.186

Sedangkan Menurut para ahli pengertian perjanjian kredit juga memang pada hakikatnya belum dirumuskan secara definitif dan juga banyak ahli yang memberikan pengertian mengenai perjanjian kredit secara khusus. Subekti berpendapat bahwasannya pada hakikatnya perjanjian kredit ini merupakan sama dengan pengertian perjanjian meminjam sebagaimana yang diatur oleh KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.187 Yang mana pengertian perjanjian kredit menurut subekti tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pasal 1754 KUH Perdata:

Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.188

2. Pasal 1755 KUH Perdata:

Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam dan jika barang musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggunganya.189

Berdasarkan kedua pasal tersebut subekti menitik beratkan perjanjian kredit ini sama dengan artian pinjam meminjam yang ada di KUH Perdata pada BAB ketiga belas tentang pinjam meminjam.

186 Lihat Indonesia (UU Perbankan), loc.cit.

187 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 3.

188 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1754

189 Ibid., Pasal 1755

49

Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian kredit memiliki arti khusus, yakni:

Perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitor untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.190

Jika kita simpulkan bahwasannya kredit ialah pinjaman yang diberikan oleh bank kepada seseorang ataupun badan hukum untuk digunakan dan dikembalikan bersama bunga dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah di perjanjikan.

2. Jenis-Jenis Kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan

Pada dasarnya jenis kontrak kredit/pembiayaan yang ada didalam perbankan syariah dan juga konvensional memimiliki perbedaan. Jenis kontrak kredit yang ada didalam perbankan konvensional ini dibagi berdasarkan berbagai keperluan usaha serta berbagai unsur ekonomi yang mempengaruhi bidang usaha para nasabah diantaranya sebagai berikut :

1. Jenis kredit dilihat dari segi tujuan penggunaannya.

1. Kredit konsumtif.

Kredit ini merupakan kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiaya kebutuhan atau konsumsi dalam skala rumah tangga yang pelunasannya berasal dari penghasilan bulanan debitur.191 Artinya kredit konsumsi ini merupakan kredit

190 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993) hlm. 158

191 Hermansyah, op.cit., hlm. 61

50

perorangan yang tujuannya ialah non bisnis seperti kredit rumah atau membeli mobil.192

2. Kredit produktif.

Kredit ini ditujukan untuk keperluan produksi dalam arti luas. Kredit produktif digunakan untuk peningkatan usaha baik usaha-usaha produksi.193

2. Jenis kredit dilihat dari segi kegunaannya.

1. Kredit investasi.

Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek baru, seperti pembelian tanah untuk perluasan usaha.194

2. Kredit modal kerja.

Kredit modal kerja merupakan kredit yang diberikan dalam bentuk rupiah ataupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan jangka waktu minimal 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan antara pihak-pihak yang berkontrak.195

192 Ibid

193 Victoria Bank, “Kredit Produktif”, https://www.victoriabank.co.id/page/produk-layanan/pinjaman/kredit-produktif/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020.

194 Hermansyah, loc.cit

195 Ibid

51 3. Jenis kredit dilihat dari jangka waktu.

1. Kredit jangka pendek.

Kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya utuk modal kerja misal seperti untuk peternakan, yakni kredit peternakan ayam.196

2. Kredit jangka menengah.

Kredit yang memiliki jangka waktunya berkisar 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi yakni sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk, atau peternakan kambing.197

3. Kredit jangka panjang.

Kredit yang masa pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun.

Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapasawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.198

4. Jenis kredit menurut cara pemakaian 1. Kredit rekening koran bebas.

Debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan kepadanya diberikan blanko cek dan rekening koran pinjamannya di isi menurut besarnya kredit yang diberikan. Dimana debitur atau nasabah bebas melakukan penarikan-penarikan ke dalam rekening bersangkutan selama kredit berjalan.199

196 Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, (Malang: Setara Press, 2017), hlm. 68

197 Ibid

198 Ibid

199Ibid., hlm. 70

52 2. Kredit berulang-ulang

Dalam sistem ini kredit yang diberikan kepada debitur yang tidak memerlukan kredit secara sekaligus, melainkan pemberian kredit yang berulang-ulang.200 Penarikan kredit yang dilakukan oleh nasabah dilakukan selama plafon kredit masih tersedia dilakukan dengan melalui pemindahbukuan, penarikan cek, bilyet giro atau pemindahbukuan yang lainnya.201

3. Kredit bertahap.

Penarikan kredit ini merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa kali pencairan.202

4. Kredit tiap transaksi.

Kredit ini diberikan untuk satu transaksi tertentu dimana pengembalian kredit diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan.203

5. Jenis kredit menurut jaminannya.

1. Unsecured loans.

Yaitu kredit yang diberikan” tanpa jaminan”. Dalam dunia perbankan di Indonesia bentuk ini belum lazim dan malahan dilarang oleh Bank Sentral.204

2. Secured loans.

200 Ibid

201 Ibid

202 Ibid

203 Ibid

204 HSBC, “Unsecured loans”, https://www.hsbc.co.id/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 20.05 WIB

53

Yaitu kredit yang diberikan” memakai jaminan”. Dalam dunia perbankan di Indonesia bentuk ini lazim digunakan di perbankan yang ada di Indonesia.205

Sedangkan di dalam perbankan syariah memiliki jenis-jenis perjanjian kredit yang berbeda pula dari bank konvensional. Jenis-jenis kredit pada perbankan syariah dibagi kedalam beberapa jenis yang mana hal ini disesuaikan dengan akad pengembangan produk yang mana pengelompokan produk ini dibagi ke beberapa kelompok :206

1. Pembiayaan menurut tujuan 1. Modal kerja

Yaitu pembiayaan yang dimaksudkan seseorang atau badan hukum untuk mendapatkan modal guna mengembangkan usahanya.207

2. Pembiayaan Investasi

Yakni pembiayaan yang ditujukan untuk melakukan investasi dan pengembangan barang konsumtif.208

2. Pembiayaan menurut jangka waktu 1. Pembiayaan jangka pendek

Yakni pembiayaan yang dilakukan dalam waktu 1 bulan sampai dengan 1 tahun.209

2. Pembiayaan jangka menengah yakni pembiayaan yang dilakukan dalam waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun.210

205 DBS, “Secured loans”, https://www.dbs.id/id/personal/loans/loans/secured-loan, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 20.06 WIB

206 Rivai Veithzal dan Arviyan Arifin, Islamic Banking, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010, hlm. 686

207 Ibid

208 Ibid

209 Ibid

54

3. Pembiayaan jangka panjang yakni pembiayaan yang dilakukan dalam waktu lebih dari 5 tahun.211

Jenis-jenis pembiayaan diatas tersebut nantinya akan di wujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan juga aktiva tidak produktif yakni meliputi :

1. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil meliputi : 1. Pembiayaan mudharabah

Pembiayaan mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya.212

2. Pembiayaan musyarakah

Pembiayaan musyarakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak sesuai nisbah yang telah disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.213

2. Pembiayaan dengan prinsip jual beli meliputi : 1. Pembiayaan bai’ al-murabahah

Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai al-murabahah,

210 Ibid

211 Ibid

212 A Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 192

213 Ibid hlm.196

55

penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.214

2. Pembiayaan salam

Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.215

3. Pembiayaan Istishna

Transaksi bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.216

3. Pembiayaan dengan prinsip sewa meliputi : 1. Pembiayaan ijarah

Pembiayaan ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.217 2. Pembiayaan ijarah muntahiya biltamlik/Wa Iqtina

Pembiayaan ijarah muntahiya biltamlik/wa iqtina adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang yang diakhiri dengan perpindahan

214 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 101

215 Ibid hlm. 108

216 Ibid hlm. 113

217 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 239

56

kepemilikan barang dari pihak yang memberikan sewa kepada pihak penyewa.218

B. Standar Penyelesaian Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan 1. Jalur Mediasi

Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang mana proses mediasi ini sudah dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia yang merupakan salah satu pilihan terbaik dalam penyelesaian sengketa di bidang kontrak.219 Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini harus didahului dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mediasi.220

Kesepakatan untuk melakukan mediasi tersebut dapat dilakukan sebelum timbulnya suatu sengketa dengan memasukkan klausul mediasi dalam proses penyelesaian sengketa dan juga kesepakatan melalui mediasi ini juga dapat dilakukan setelah terjadinya sengketa yang timbul antara para pihak.221 Dalam mediasi peran daripada mediator ialah menolong bagi para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi, sehingga hasil penyelesaian bergantung dari para pihak ataupun itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan permasalahannya.222

218 Ibid

219 Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 117

220Ibid., hlm. 118

221 Ibid

222 Ibid., hlm. 119-120

57

Agar mediasi tersebut berjalan dengan baik ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pihak yakni:223

1. Melakukan perkenalan antara para pihak dan juga mediator mengenai tujuan, peran dan juga fungsi dari mediator.

2. Penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi antara para pihak yang sehingga bisa timbul suatu sengketa.

3. Pencatatan isu-isu yang berkenaan dengan permasalahan yang terjadi.

4. Penelusuran dengan cara mediator membantu para pihak untuk berbicara langsung kepada pihak lain dan membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi

5. Pertemuan khusus antara mediator dan para pihak didalam suatu ruangan yang khusus.

6. Tawar menawar antara para pihak terkait dengan solusi-solusi penyelesaian permasalahan yang dihadapi.

7. Kesepakatan antara para pihak yang sedang melakukan mediasi.

8. Pernyataan penutup dari para pihak.

Kemudian untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang (selanjutnya disebut sebagai “PERMA Mediasi”) menyebutkan bahwa mediasi menurut mediasi Menurut Pasal 1 angka 1 adalah “cara penyelesaian

223 Achmad Romsan, Alternative Dispute Resolution, (Malang: Setara Press, 2016), hlm.

47-50

58

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh mediator.”224

Upaya mediasi dilakukan dengan meminta pihak lain untuk memediatori permasalahan yang bersangkutan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa, dimana para pihak yang bertikai memilih untuk berdamai melalui penengah yang mereka sepakati bersama.225 Tujuan mediasi adalah untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.226

Mediasi di dalam dunia perbankan telah diatur sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang mediasi perbankan, yang mana penyelenggaran mediasi ini dilakukan apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.227

Dalam pelaksanaan mediasi ini bank Indonesia juga ikut turut andil yang mana bank Indonesia dalam proses mediasi hanya sebatas untuk membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.228 Bank Indonesia dalam hal ini tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank.229 Proses mediasi ini dapat dilakukan di kantor bank Indonesia terdekat dengan domisili nasabah.

224 Indonesia (Perma Mediasi), Peraturan Mahkamah Agung Prosedur Mediasi di Pengadialan, Perma No. 1 Tahun 2016, BN No. 175 Tahun 2016, Pasal 1 angka (1)

225 Ahmadi Miru., loc.cit.

226 Ibid

227 HSBC, ”Mediasi Perbankan”, https://www.hsbc.co.id/1/2/id/misc/mediasi-perbankan, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 20.53 WIB.

228 Ibid.

229 Ibid.

59

Namun dalam perkembangannya setelah berdirinya lembaga otoritas jasa keuangan sejak januari 2014 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan mediasi perbankan dialihkan kepada otoritas jasa keuangan.230

2. Jalur Negosiasi

Negosiasi pada dasarnya merupakan suatu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi/musyawarah secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh pihak-pihak tersebut, yang mana syarat-syarat bernegosiasi ada beberapa hal yakni:231

1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran yang penuh.

2. Mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.

3. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat saling menciptakan

ketergantungan antara para pihak.

4. Adanya itikad baik para pihak untuk menyelesaikan masalah.

Hasil dari negosiasi yang tercipta antara para pihak antara debitur dan kreditur perbankan akan menghasilkan beberapa pilihan yakni :

1. Reschedulling

Rescheduling adalah suatu upaya penyelamatan kredit dengan melakukan perubahan syarat–syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu, juga grace period baik

230Ibrahim Sjarief Assegaf, “Prosedur Mediasi Perbankan di Era Otoritas Jasa Keuangan”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53156814aa258/prosedur-mediasi-perbankan-di-era-otoritas-jasa-keuangan/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 20.57 WIB.

231 Ceisa Shadarina Pranindira, Opcit Hlm.51

60

termasuk besarnya jumlah angsuran maupun tidak.232 2. Reconditioning

Reconditioning merupakan suatu upaya penyelamatan kredit dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian kredit yang tidak terbatas, hanya kepada perubahan jadwal angsuran atau jangka waktu kredit saja, namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.233

3. Resctucturing

Restructuring merupakan suatu upaya penyelamatan dengan melakukan perubahan syarat – syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan dan equity bank yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan/atau reconditioning.234

3. Jalur Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.235 Dalam kontrak perjanjian kredit antara debitur dan kreditur sangat dimungkinkan para pihak mengkehendaki penyelesaian sengketa

232 Muchdarsah Sinungan, Dasar-Dasar Teknik Manajemen Kredit, ( Jakarta: Bina Aksara 2003), hlm. 3

233 Ibid

234 Ibid

235 Miru Ahmadi, op.cit., hlm.114

61 melalui jalur arbitrase.236

Saat ini dalam mengakomodir penyelesaian sengketa kontrak antara debitur dan kreditur dalam perbankan dapat menyelesaikannya lewat arbitrase biasa bagi bank konvensional dan juga bagi bank syariah telah diakomodir Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).237 yang diharapkan mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa muamalat dan perdata yang muncul dikalangan umat muslim, sebagai alternatif penyelesaian sengketa pada dasarnya mempunyai tujuan :238

1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa- sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain.

2. Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

4. Jalur Litigasi

Jalur litigasi merupakan penyelesaia sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.239 Apabila para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka Bank dan Nasabah harus menyepakati dalam kontrak bahwa kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak ini diselesaikan melalui pengadilan agama jika kontrak tersebut kontrak

236 Ibid.

237 OJK, “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, https://ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, diakses pada

237 OJK, “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, https://ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, diakses pada