• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: FAIQ HISYAM NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: FAIQ HISYAM NIM :"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS IMPLIKASI PEMBERLAKUAN KEPPRES 12 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN BENCANA NON ALAM CORONA VIRUS

DISEASE 2019 SEBAGAI BENCANA NASIONAL BAGI KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK

( STUDI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PT. BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG MEDAN )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

FAIQ HISYAM NIM : 170200456

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

i

(3)

ii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Faiq Hisyam NIM : 170200456

Adalah mahasiswa pada Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul:

“KAJIAN YURIDIS IMPLIKASI PEMBERLAKUAN KEPPRES 12 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN BENCANA NON ALAM CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAI BENCANA NASIONAL BAGI KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK ( STUDI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PT. BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG MEDAN )”

Adalah hasil penulisan saya sendiri. Apabila ternyata terbukti bahwa saya melakukan kecurangan ataupun pelanggaran sebagaimana yang tidak sesuai dengan tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Medan, 20 November 2020

(Faiq Hisyam) NIM. 170200456

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunianya serta perlindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Implikasi Pemberlakuan Keppres 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Bagi Klausula Force Majeure Dalam Kontrak ( Studi Terhadap Perjanjian Kredit PT. Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan. )”. Skripsi ini ditulis untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini menguraikan mengenai implikasi Keppres 12 Tahun 2020 bagi klausula force majeure dalam kontrak. Pada skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam pemaparannya sehingga masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentu sangat diharapkan demi perbaikan kepada penulis di kemudian hari.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada para pihak yang turut memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, terkhusus kepada Kedua orangtua penulis, yaitu Ayah tercinta, Muhammad Arif dan Bunda tercinta Muhariani, serta saudara kandung yang penulis sayangi Adik Fatimah Hanuun, Fatinah Ruqayyah dan Faiqah Shawuumi. Penulis juga berterimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

iv

2. Bapak Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Tri Murti Lubis, SH, MH., selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan bimbingan serta mengajarkan banyak hal kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

8. Ibu Dr. Detania Sukarja, SH., LLM., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan maupun bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

9. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah banyak membimbing dan membantu penulis.

10. Babo Tercinta Alm. Thamrin Kaymar Piliang dan Nenek Tercinta Siti Balkis yang selama ini telah banyak membimbing dan membantu penulis.

11. Seluruh Paman dan Sepupu Tercinta yang selama ini telah banyak membimbing dan membantu penulis

(6)

v

12. Keluarga Besar Meriam Debating Club Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Organisasi Debat Hukum yang menghantarkan penulis memenangkan berbagai kejuaraan Debat Hukum Regional dan Nasional, Organisasi yang mempertemukan dengan sahabat-sahabat baik (Boy, Dina, Agatha, Petra, Dorkas, dan semua yang tersayang);

13. Sahabat-sahabat seperjuangan Lapet grup (Boy, Izza, Auria, Qhasmal) 14. Maghfirah Izzatul Jannah yang telah membantu dan mensupport penulis

untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

15. Serta semua para pihak yang telah membantu dengan memberikan motivasi, dorongan, dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi bahan yang berguna bagi pembaca dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai Implikasi Keppres 12 Tahun 2020 bagi klausula force majeure dalam kontrak. Dan semoga ilmu yang penulis dapat selama belajar di Universitas Sumatera Utara menjadi ilmu yang berkah dan bermanfaat. Atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, November 2020

Penulis,

(Faiq Hisyam) NIM. 170200456

(7)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA... 16

A. Force Majeure Dalam Konsep Negara Hukum ... 16

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ... 20

1. Pengertian Perjanjian ... 20

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 22

3. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian... 28 C. Force Majeure Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . 32

(8)

vii

1. Pengertian Force Majeure... 32

2. Dasar Hukum Force Majeure ... 35

3. Jenis-Jenis Force Majeure ... 38

4. Teori-Teori Force Majeure ... 42

5. Akibat Force Majeure ... 43

BAB III PENERAPAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK KREDIT/PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN... 46

A. Tinjauan Hukum Kontrak Kredit/Pembiayaan ... 46

1. Pengertian Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan .... 46

2. Jenis-Jenis Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan ... 48

B. Standar Penyelesaian Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan ... 55

1. Jalur Mediasi ... 55

2. Jalur Negosiasi ... 58

3. Jalur Arbitrase ... 59

4. Jalur Litigasi ... 60

5. Penyitaan Dan Pelelangan Jaminan ... 61

C. Kasus Force Majeure Pada Perjanjian Kredit/Pembiayaan Perbankan... ... 61

D. Penerapan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan ... 64

1. Landasan Hukum Penerapan Klausula Force Majeure Dalam Perbankan ... 64

(9)

viii

2. Fungsi Klausula Force Majeure Dalam Kontrak

Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan ... 67

BAB IV IMPLIKASI KEPPRES NOMOR 12 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN BENCANA NON ALAM CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAI BENCANA NASIONAL BAGI KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK KREDIT/PEMBIAYAAN BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG MEDAN A. Implikasi Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Sebagai Dasar Hukum UntukMenyatakanForce ... MajeureDalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan ... 69

B. Syarat Debitur Yang Memperoleh Klausula Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Akibat Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Pada Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan ... 73

C. Covid 19 Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Pemberian Stimulus Kredit Pada Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(10)

ix ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS IMPLIKASI PEMBERLAKUAN KEPPRES 12 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN BENCANA NON ALAM CORONA VIRUS

DISEASE 2019 SEBAGAI BENCANA NASIONAL BAGI KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK

( STUDI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PT. BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG MEDAN )

Faiq Hisyam*

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.**

Dr. Detania Sukarja, SH., LLM.***

Konsep force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara implisit terkandung pada pasal 1244, 1245, 1444, 1445, 1545 dan 1553.

Pada intinya force majeure merupakan suatu keadaan yang dapat menghambat adanya suatu pelaksanaan kontrak bagi para pihak yang disebabkan adanya peristiwa-peristiwa yang tidak diduga sebelumnya. Peristiwa-peristiwa tersebut salah satunya dapat berupa bencana nasional yang baru-baru ini terjadi yakni bencana nasional non alam corona virus disease 2019.

Klausula force majeure ini dapat diterapkan pada kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan manakala debitur menderita suatu peristiwa force majeure atau keadaan memaksa yang menyebabkan debitur terhambat dalam melaksanakan kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan. Dalam hal ini debitur harus membuktikan adanya peristiwa force majeure atau keadaan memaksa yang menderitanya sehingga tidak dapat melaksanakan kontrak sebagaimana mestinya.

Hasil penelitian ini pada kesimpulannya pada bank BTN Syariah Cabang Medan bahwasannya peristiwa bencana nasional non alam corona virus disease 2019 tidak bisa serta merta atau langsung menjadi alasan force majeure dalam kontrak sehingga debitur dapat meminta keringanan ataupun menghapus segala kewajibannya kepada kreditur. Peristiwa bencana nasional non alam corona virus disease 2019 pada Bank BTN Syariah Cabang Medan bisa menjadi alasan force majeure jika memang debitur terdampak bencana nasional non alam corona virus disease 2019.

Kata Kunci: Force majeure, Kontrak Kredit/Pembiayaan, Corona Virus Disease 2019

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat pada saat ini telah menggiring masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat di segala bidang, seperti dalam bidang ekonomi.1 Kebutuhan akan hal tersebut salah satunya dengan melakukan atau mengajukan kredit/pembiayaan.2 Dalam hal untuk melakukan kredit/pembiayaan setiap subjek hukum baik masyarakat ataupun badan hukum membutuhkan suatu dana baik untuk kelangsungan usahanya maupun untuk memenuhi keperluan pribadinya yang bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang.3

Konsekensi logis untuk memenuhi kelangsungan usaha ataupun kebutuhan pribadi dari pada subjek hukum ini, sering kali membutuhkan pihak lain untuk menunjang adanya suatu dana untuk mencukupi kebutuhan usaha maupun kebutuhan pribadi suatu subjek hukum. Salah satu penunjang dana dalam memenuhi suatu kebutuhan masyarakat ialah bank konvensional maupun bank syariah.4

1 Dofanadi Pratama, “Kondisi Ekonomi dalam Dinamika Keadilan Sosial di Indonesia”, https://geotimes.co.id/kondisi-ekonomi-dalam-dinamika-keadilan-sosial-diindonesia, diakses pada 05 Oktober 2020, pukul 06.22 WIB.

2 Sahabat Pegadaian, “Jenis-Jenis Kredit Berdasarkan Pengelompokannya”, https://sahabatpegadaian.com/, diakses pada 05 Oktober 2020 pukul 07.48 WIB

3 Dety Mulyanti, ”Manajemen Keuangan Perusahaan”, jurnal Ilmiah Akuntansi, Vol 8 No 2, Agustus 2017, hlm 62-63.

4 OJK, “Perbankan Syariah”, https://ojk.go.id/id/kanal/syariah/Pages/Perbankan- Syariah.aspx, diakses pada 05 Oktober 2020 pukul 06.17 WIB.

(12)

2

Peranan bank dalam kehidupan bermasyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting dalam membangun ekonomi negara.5 Hal ini dapat dilihat didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ( selanjutnya disebut “UU Perbankan”).

Bahwasannya dikatakan dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan bahwasannya bank adalah:

bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.6

Selain bank konvensional adapula perbankan syariah yang sama-sama memiliki peran penting dalam masyarakat. Perbankan syariah sendiri menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ( selanjutnya disebut “UU Perbankan Syariah”) “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.”7

Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sering kali melakukan kontrak kredit maupun kontrak pembiayaan pada perbankan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Agar tercapainya hal tersebut harus adanya kesepakatan bagi para pihak baik debitur maupun pihak kreditur, hal ini dilandasi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan

“KUH Perdata”) bahwasannya kontrak tersebut harus dibuat berdasarkan

5 Direktori Training Indonesia, “Peranan Bank dalam Perekonomian suatu Negara”, http://direktoritraining.com/peranan-bank-dalam-perekonomian-suatu-negara/, diakses pada 05 Oktober 2020, pukul 06.22 WIB.

6 Indonesia (Perbankan), Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, UU Nomor 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790. Pasal 1 Angka (2).

7 Indonesia ( Perbankan Syariah), Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867. Pasal 1 ayat (1).

(13)

3

kesepakatan antara para pihak baik debitur maupun kreditur dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang berkontrak.8

Dalam menjalankan suatu pelaksaan kontrak kredit ataupun juga kontrak pembiayaan akan sangat dimungkinkan terjadinya suatu peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan yang berimplikasi terhambatnya suatu kelancaran dalam memenuhi suatu prestasi dalam kontrak yang telah disepakati.9 Peristiwa terhambatnya pelaksanaan prestasi dalam suatu kontrak antara debitur dan kreditur sangat dapat disebabkan oleh adanya peristiwa force majeure.10

Peristiwa force majeure atau keadaan memaksa ini dapat berupa bencana alam maupun bencana non alam seperti banjir, kebakaran hutan, tsunami dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat menghambat pelaksanaan pemenuhan prestasi dalam suatu kontrak.11 Salah satu peristiwa force majeure yang menimpa sektor ekonomi masyarakat baru-baru ini yakni karena adanya bencana nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yakni corona virus disease 2019 (“selanjutnya disebut dengan “covid 19”) yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 selanjutnya disebut “Keppres 12 2020 Penetapan Bencana Alam Covid 19”.12

8 Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1320 ayat (1).

9 Aminah, Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian, Diponegoro private law review, Vol. 7 No. 1, Februari 2020, hlm 650.

10 Ibid

11 Diana Kusumasari, “Banjir dan Gempa Bumi dari Kacamata Hukum”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4320/peristiwa-hukum-dan-subjek-hukum/, diakses pada 05 Oktober 2020 pukul 08.37 WIB.

12 Putra Siregar, “Bencana Nasional Penyebab Covid 19 Sebagai Alasan Force Majeure, Apakah Bisa ?”, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13037/Bencana-Nasional- Penyebaran-COVID-19-sebagai-Alasan-Force-Majeure-Apakah-Bisa.html, diakses pada 05 oktober 2020 pukul 08.56 WIB.

(14)

4

Covid 19 ini adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis Covid 19 diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).13

Dengan adanya covid 19 ini membuat pemerintah harus menerapkan langkah-langkah strategis untuk melakukan pencegahan penyebaran Covid 2019.14 Yakni melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19 (selanjutnya disebut dengan “PP Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan covid 19”).

Pembatasan sosial berskala besar ini menurut Pasal 1 PP Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19 adalah:

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-191 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).15

Adanya pembatasan sosial berskala besar menurut penjelasan pasal diatas akan berakibat tiap-tiap daerah dapat membatasi kegiatan penduduk untuk mencegah penyebaran covid 19 yang salah satunya adalah pada sektor usaha.

13 AloDokter, “COVID 19”, https://www.alodokter.com/covid-19, diakses pada 05 Oktober 2020 pukul 21.19 WIB.

14 Vincntius Gitiarko, “Upaya dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Menangani Pandemi Covid 19”, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah- indonesia-menangani-pandemi-covid-19, diakses pada 05 Oktober 2020 pada pukul 20.48 WIB.

15 Indonesia (PP PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19), Peraturan Pemerintah Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19, PP NO. 21 Tahun 2020, LN No. 91 Tahun 2020.

(15)

5

Sebagai contoh DKI Jakarta melalui Pasal 10 ayat 1 Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur nomor 33 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar yang hanya memperbolehkan 11 sektor usaha yang dapat beroperasi seperti biasa.16

Selain itu pandemi Covid 19 ini menyebabkan menurunnya pada semua lini sektor perekonimian yakni pariwisata, UMKM dan Perdagangan.17 Hal tersebutlah yang menimbulkan terjadinya dampak perekonomian masyarakat yang terhambat karena dengan adanya hal-hal tersebut diatas mengakibatkan 15 juta lebih pekerja dilakukan pemutusan hubungan kerja.18

Dampak dari penurunan ekonomi dan juga adanya pemutusan hubungan kerja memberikan dampak salah satunya terjadinya kegagalan bayar dalam memenuhi suatu prestasi dalam kontrak kredit ataupun kontrak pembiayaan pada kreditur perbankan.19 Hal tersebut terbukti dengan data diatas bahwasannya dengan adanya pandemi Covid 19 yang menyebabkan jutaan pekerja dilakukan pemutusan hubungan kerja dan juga penurunan sektor lini ekonomi juga berdampak kepada kemampuan debitur yakni nasabah perbankan dengan kreditur

16 Jakarta (Pergub PSBB Penanganan Covid 19) Peraturan Gubernur Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pergub No. 88 Tahun 2020, BD Nomor 75012 Tahun 2020.

17 Michael dan Firman Hidayat, “Dampak Corona Virus Terhadap Ekonomi Global”, www.bi.go.id, diakses pada tanggal 05 Oktober 2020 pukul 21.42 WIB.

18 CNN Indonesia, “Bukan 2 Juta, Kadin Sebut Korban PHK 15 Juta”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200501181726-92-499298/bukan-2-juta-kadin-sebut- korban-phk-akibat-corona-15-juta, diakses pada 05 Okober 2020 Pukul 19.47 WIB.

19 Ibid

(16)

6

yakni perbankan dalam memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan prestasi yang disepakati.

Hal tersebut terbukti pada bank Tabungan Negara syariah dengan adanya pandemi Covid 19 menyebabkan naiknya angka kredit macet dari 1,8 % menjadi 2,96 %.20 Sedangkan di bank lain pada Bank Mandiri dengan adanya pandemi Covid 19 menyebabkan naiknya angka kredit macet menjadi 3,29 % dengan total nilai mencapai 851,1 triliun.21

Dapat dilihat dengan adanya peristiwa pandemi Covid 19 ini yang menyebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan juga penurunan lini sektor ekonomi berdasarkan data diatas, yang berimplikasi juga terhadap kemampuan subjek hukum dalam memenuhi prestasinya dalam kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan. Sehingga apakah bencana non alam Covid 19 yang ditetapkan oleh pemerintah yang menyebabkan seseorang ataupun debitur tidak mampu memenuhi suatu prestasinya dapat menjadi alasan force majeure untuk tidak melaksanakan suatu prestasi sehingga seorang kreditur dapat memberikan opsi yakni pengakhiran kewajiban atau dilakukan penundaan.

Atas dasar pembahasan latar belakang diatas tersebut penulis tertarik melakukan suatu penelitian apakah Keppres 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 dapat dijadikan suatu dasar ataupun suatu pijakan untuk membatalkan suatu kontrak ataupun tidak

20 Sylke Febrina, “Strategi Bank Selamat dari Ancaman Kredit Macet di Tengah Corona”, https://finance.detik.com/moneter/d-5007212/strategi-bank-selamat-dari-ancaman-kredit-macet-di- tengah-corona, diakses pada tanggal 05 Oktober 2020 pada pukul 20.19 WIB.

21 Iwan Supriatna, “Laba Anjlok Kredit Bank Mandiri di Level 3,28%”, https://www.suara.com/bisnis/2020/08/19/140358/laba-anjlok-kredit-macet-bank-mandiri-di-level- 328-persen, diakses pada tanggal 05 Oktober 2020 Pukul 20.29 WIB.

(17)

7

melaksanakan suatu kontrak atau menyimpangi suatu kontrak ataupun menunda suatu kontrak yang telah dibuat sebelumnya di dalam perjanjian Kredit PT.Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Force Majeure Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

2. Bagaimana Penerapan Klausula Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Perbankan ?

3. Apakah Pemberlakuan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Dapat Menjadi Dasar Hukum Untuk Menyatakan Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Bank Tabungan Syariah Negara Cabang Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam pembahasan skripsi ini yang berjudul “Kajian Yuridis Implikasi Pemberlakuan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Bagi Klausula Force Majeure Dalam Kontrak : Studi Terhadap Perjanjian Kredit PT.Bank Tabungan Negara Syariah cabang Medan.”, adalah sebagai berikut:

(18)

8

1. Untuk Mengetahui Konsep Force Majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk Mengetahui Penerapan Klausula Force Majeure dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Pada Perbankan.

3. Untuk Mengetahui Apakah Pemberlakuan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Dapat Menjadi Dasar Hukum Untuk Menyatakan Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Bank Tabungan Syariah Negara Cabang Medan.

D. KEASLIAN PENULISAN

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan dan juga penelusuran melalui uji bersih di perpustakaan FH USU, penelitian terhadap judul

“Kajian Yuridis Implikasi Pemberlakuan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Bagi Klausula Force Majeure Dalam Kontrak : Studi Terhadap Perjanjian Kredit PT.Bank Tabungan Negara Syariah cabang Medan.”

Belum pernah dilakukan penelitian.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mengantarkan kepada pemahaman yang benar mengenai skripsi ini maka terlebih dahulu akan diuraikan dalam tinjauan kepustakaan yang akan mengantarkan kepada pengertian umum atau gambaran tentang isi skripsi ini.

(19)

9

Dalam penelitian terhadap skripsi yang berjudul tentang Kajian Yuridis Implikasi Pemberlakuan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Bagi Klausula Force Majeure Dalam Kontrak : Studi Terhadap Perjanjian Kredit PT.Bank Tabungan Negara Syariah cabang Medan ini akan dibahas dan diteliti bagaimana suatu penerapan klausula force majeure itu dapat digunakan dalam kontrak kredit atau pembiayaan didalam perbankan.

Adapun yang menjadi penelitian secara etimologis dari pada judul skripsi ini adalah:

1. Perjanjian/Kontrak

Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".22 Sedangkan menurut Subekti bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan satu hal.”23

Jika kita lihat pengertian pendapat maupun pasal yang ada di atas bahwasannya unsur-unsur perjanjian ialah:24

1. Adanya perbuatan hukum.

2. Adanya kesepakatan.

3. Adanya objek yang diperjanjikan.

4. Adanya para pihak.

22 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1313

23 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2007), hlm.1

24 Nur Syarifah dan Reghi Perdana, “Hubungan Perikatan, Perjanjian dan Kontrak”, Repository.ut.ac.id, diakses pada tanggal 06 Oktober 2020 pukul 09.47 WIB.

(20)

10 5. Adanya akibat hukum.

2. Kredit/Pembiayaan

Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan bahwasannya pengertian kredit ialah sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.25

Sedangkan menurut Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”) kredit adalah:

fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan dengan dikenakan bunga.26

Artinya kredit ini merupakan suatu fasilitas keuangan yang diberikan oleh perbankan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.

Dalam bank syariah sendiri pembiayaan menurut Pasal 1 angka 12 UU Perbankan pembiayaan ialah:

Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyedian uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.27

25 Lihat Indonesia (UU Perbankan), op.cit., Pasal 1 angka (11).

26OJK, “Apa Itu Kredit ?”, https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/316, diakses pada tanggal 06 Oktober 2020 pukul 19.31 WIB.

27 Lihat Indonesia (UU Perbankan), op.cit., Pasal 1 angka (12).

(21)

11

Sedangkan pembiayaan menurut pasal 1 angka 25 UU Perbankan Syariah adalah:

penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

A. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah

B. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalambentuk ijarah muntahiyah bit tamlik

C. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan isthisna

D. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh,

E. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa.28

3. Force Majeure

Secara bahasa force majeure berasal dari bahasa Perancis yang berarti

“kekuatan yang lebih besar”.29 Sedangkan secara istilah force majure adalah

“suatu kejadian yang terjadi diluar kemampuan manusia yang tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya”.30

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif atau lebih dikenal dengan istilah penelitian hukum

28 Lihat Indonesia, ( UU Perbankan Syariah), op.cit., Pasal 1 angka (25)

29 Anggi Khikmawati, Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Murabahah Di Bank Jateng Syariah Cabang Surakarta, (Surakarta: Skripsi IAIN Surakarta, 2020), hlm.20

30 Ibid

(22)

12

kepustakaan.31 Penelitian hukum normatif mengandung arti bahwasannya dalam meninjau ataupun menganalisa suatu permasalahan dipergunakan pendekatan dengan menganalisa suatu peraturan perundang-undangan.32

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan pada penelitian ini ialah melalu data sekunder. Data sekunder ini terdiri atas:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah-kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, trakat dan juga bahan hukum dari zaman penjajahan.33 Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (“UU Perbankan”).

3. Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”).

4. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 selanjutnya disebut (Keppres 2020 Penetapan Bencana Alam Corona Virus Disease 2019)

31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan Singkat ,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1994) hlm.13

32 Zulfi Diane Zaini, “Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum”, https://media.neliti.com/, diakses pada tanggal 06 Oktober 2020 Pukul 11.18 WIB

33 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008) hlm.52

(23)

13

5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan covid 19 (“PP Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan covid 19”).

6. Pergub 88 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur nomor 33 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

7. POJK No 11 tahun 2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019.

8. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum, dan lain-lain.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah yang menjadi tambahan bagi penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penelitian ini.

(24)

14

Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan staff PT. Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan yang fungsinya untuk mendapat data yang berguna untuk mengkonfirmasi bahan hukum sekunder.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan atau library research yaitu teknik pengumpulan data yang berwujud sumber data tertulis atau gambar. Sumber data tertulis atau gambar berbentuk dokumen resmi, buku, majalah, arsip, dokumen resmi terkait permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data–data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet).

Selain itu, teknik pengumpulan data ini didukung juga dengan wawancara dengan staff PT. Bank Tabungan Negara Syariah cabang medan. Tujuannya untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data yang diperoleh dari Studi Kepustakaan (Library research).

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

Bab I merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi

(25)

15

penelitian, dan sistematika penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Bab II membahas mengenai konsep force majeure dalam KUH Perdata.

Bab ini berisi tinjauan hukum mengenai force majeure dalam konsep negara hukum, pengertian perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, dasar-dasar hukum perjanjian, pengertian force majeure, dasar hukum force majeure, jenis-jenis force majeure, teori-teori force majeure dan akibat-akibat force majeure.

Bab III membahas mengenai penerapan klausula force majeure dalam kontrak kredit atau pembiayaan pada perbankan. Bab ini mecakup tinjauan hukum mengenai kontrak kredit atau pembiayaan, standar penyelesaian kontrak kredit/pembiayaan, kasus force majeure dalam kontrak kredit atau pembiayaan pada perbankan dan penerapan klausula dalam kontrak kredit/pembiayaan pada perbankan.

Bab IV membahas mengenai Implikasi Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional Sebagai Dasar Hukum Untuk Menyatakan Force Majeure Dalam Kontrak Kredit/Pembiayaan Bank Tabungan Syariah Negara Cabang Medan.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan intisari dari bab-bab terdahulu, serta saran menyangkut rumusan masalah.

(26)

16 BAB II

KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Force Majeure Dalam Konsep Negara Hukum

Negara hukum adalah salah satu konsep yang merupakan suatu istilah konsep sederhana namun mengandung adanya muatan filosofis di dalamnya.34 Pemikiran atau konsep negara hukum ini muncul jauh sebelum terjadi revolusi di Inggris pada tahun 1688.35 Sejarah atau latar belakang timbulnya negara hukum ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau, oleh kerena itu negara hukum mempunyai hubungan kausalitas yang erat dengan sejarah peradaban suatu bangsa.36

Negara hukum ini pada awalnya di cetuskan atau di konsepsikan oleh Plato kemudian dikuatkan kembali oleh Aristoteles.37 Yang mana pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya yakni “bahwasannya penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik”.38 Kemudian di perkuat kembali oleh Aristoteles yang berpendapat berpendapat bahwasannya pengertian negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk

34 Majda El. Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm.1

35 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm. 2

36Ibid

37Damang Averroes Al-Khawarizmi,“Konsep Negara Hukum”, https://www.negarahukum.com/hukum/konsep-negara-hukum.html, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 10.12 WIB

38 Ibid

(27)

17

sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dan berpenduduk banyak (vlakte staat). 39

Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah (ecclesia), dimana seluruh warga negaranya ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara.40 Bahwasannya pada hakikatnya yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang dibangun atau di konstruksikan di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Hal ini bertujuan agar terciptanya keteraturan di dalam masyarakat.

Dalam perkembangannya konsep negara hukum menurut Tahir Azhary ini memiliki perumusan yang berbeda-beda atau jenis yang berbeda-beda seperti :41

1. Negara hukum menurut nomokrasi islam

2. Negara hukum menurut eropa continental atau lebih dikenal dengan istilah rechsstaat.

3. Negara hukum menurut anglo saxon atau lebih dikenal dengan rule of law.

4. Negara sosialis dan komunis.

5. Negara Hukum Pancasila.

Pada hakikatnya hampir semua negara di dunia menyebut dirinya negara hukum, sehingga dapat disimpulkan tidak populer lagi mengaku negaranya sebagai negara totaliter atau negara kekuasaan, sekalipun bentuk negara itu adalah monarki.42 Namun untuk melihat hal tersebut apakah suatu negara tersebut menganut negara yang berdasarkan hukum ada 3 ciri yang dapat dilihat apakah

39 Patawari, Konsep Negara Hukum dan Keterwakilan Rakyat, (Jakarta : KDT, 2015), hlm. 1

40 Moh. Kusnardi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Sinar Bakti, 1987), hlm. 153

41 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 85-86

42 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta : Sekrertariat Jenderal dam Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 8

(28)

18

negara tersebut merupakan negara hukum yakni supremacy of the law equality, before the law serta constitution based on the human rights. 43

Ketiga ciri tersebutlah yang dapat meyatakan bahwasannya suatu negara dikategorikan sebagai negara hukum. Konsep negara hukum ini pada hakikatnya mengatur segala lini kehidupan bermasyarakat dalam berbagai askpek baik aspek hukum public yang mengatur antara negara dengan masyarakat, aspek private yang mengatur individu dengan individu dan juga berbagai aspek-aspek lainnya yang mana segala sesuatunya diatur oleh hukum.44 Karena menurut itu suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan berkonstitusi dan berkedaulatan hukum.45 Terdapat tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang dilaksanakan:46

1. Untuk kepentingan umum.

2. Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.

3. Atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Indonesia sendiri yang menganut negara hukum hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”) yang berbunyi bahwasannya

43 PTUN Jakarta, “Negara Hukum Demokrasi”, https://ptun-jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 10.39 WIB.

44 Ibid

45 Ibid

46 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm.2

(29)

19

“Indonesia adalah negara hukum”.47 Salah satu implementasi dari konsep negara hukum ini ialah berkaitan dengan hubungan private antara individu dengan individu salah satunya di bidang perjanjian.

Namun ada kalanya perjanjian yang telah terbentuk tersebut menimbulkan kelalaian dari satu pihak akibat hal-hal tertentu salah satunya ialah akibat adanya keadaan memaksa atau force majeure.48 Dalam negara hukum juga diatur mengenai force majeure tersebut pada hakikatnya force majeure merupakan suatu peristiwa yang tidak terduga sebelumnya serta tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh salah satu pihak yang berkontrak dikarenakan adanya peristiwa yang tidak terduga bukan dikarenakan adanya itikad buruk satu pihak untuk tidak melaksanakan suatu kontrak. 49

Dalam konsep negara hukum ini tentunya melindungi hal tersebut yang berkaitan dengan force majeure atau keadaan memaksa karena pada hakikatnya negara hukum yang menganut ciri perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum mulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 UUD NRI 1945.50 Tentunya hal inilah yang melindungi tiap-tiap individu dalam hal perjanjian atau kontrak ketika terjadinya suatu keadaan yang memaksa dalam hal melindungi hak ekonomi seseorang yang di jamin oleh pasal 33 UUD NRI 1945.51

47Indonesia (UUD NRI), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, LN No. 14 Tahun 2006, Pasal 1 ayat (3)

48 Irma Devita, “Mengetahui Akibat dan Risiko Perjanjian Force Majeure”, https://irmadevita.com/2020/mengetahui-akibat-dan-risiko-perjanjian-force-majeure/, diakses pada tanggal 07 Oktober 2020 pukul 11.04 WIB

49 Ibid

50Lihat Indonesia (UUD NRI), op.cit., Pasal 27-33

51 Ibid., Pasal 33

(30)

20

Karena itu Indonesia sebagai negara hukum memberikan perlindungan atas adanya keadaan memaksa atau force majeure yang timbul dari perjanjian atau kontrak yang mana hal ini diatur didalam Kuh Perdata mulai dari pasal 1244,

1245, 1545, 1553, 1444, dan 1445.52 Hal ini membuktikan bahwasannya dengan

memberikan perlindungan dengan adanya pengaturan terkait force majeure atau keadaan memaksa Indonesia telah menerapkan suatu konsep negara hukum yang memberikan perlindungan hak asasi manusia terkait keadaan-keadaan yang mengharuskan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya oleh karena adanya keadaan memaksa atau force majeure.

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Pengertian perjanjian

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan suatu kesepadanan dari istilah “overeenkomst” dalam bahasa belanda atau “agreement” dalam bahasa inggris.53 Dalam KUH Perdata sendiri perjanjian terdapat di dalam pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.54 Maksud dari pasal ini ialah bahwasannya suatu perjanjian adalah

52 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1244,1245, 1444, 1445, 1545, 1553

53 Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 2

54 Lihat Indonesia (KUH Perdata), loc.cit.

(31)

21

suatu recht handeling yang berarti perbuatan dimana oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar nantinya timbul suatu akibat hukum.55

Dengan demikian, suatu perjanjian merupakan hubungan timbal balik atau bilateral antar pihak yang mengingaktkan diri didalamnya.56 Perjanjian ini juga pada dasarnya mengandung arti yaitu merupakan suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.57

Selain itu beberapa ahli hukum perdata juga mengemukakan definisi- definisi perjanjian sebagai berikut:

1. Subekti

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang telah diperjanjikan.58

2. Wierjono Rodjodikoro

perjanjian, yaitu suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.59

3. Setiawan

perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.60

55 Ibid

56 Ibid

57 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), hlm. 6

58 R. Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), hlm. 1

59 Wirjono Rodjodikoro, Asas - Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mazdar Madju, 2004), hlm. 4

60 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hlm.

27

(32)

22 4. Syahmin AK

perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.61

Berdasarkan definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi unsur-unsur dalam suatu perjanjian adalah:62

1. Adanya para pihak.

2. Adanya kesepakatan dari para pihak.

3. Adanya objek dalam perjanjian.

4. Adanya suatu tujuan yang dilakukan.

5. Adanya bentuk tertentu baik secara lisan ataupun tulisan.

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berbicara mengenai perjanjian tidak terlepas dari masalah aspek keadilan.63 Fungsi dan tujuan hukum perjanjian tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.64 Jika diuraikan tiga tujuan hukum ini yakni intinya adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat,menjaga hak-hak manusia serta mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.65

61 Ratna Artha Windari, op.cit., hlm.2

62 Ibid., hlm.19

63 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 No. 01, Juli 2019, hlm. 13

64 Ibid

65Niru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Perjanjian”, Journal Hukum , Vol.7 No.2, Desember 2018, hlm. 2

(33)

23

Apabila dilakukan analisis tentang asas-asas dalam perjanjian harus dimulai dari filosofi keadilan dalam perjanjian.66 Berbicara tentang keadilan sering didengar, namun pemahaman yang tepat justru sangat rumit bahkan abstrak terlebih apabila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang demikian kompleks.67 Dalam perjanjian terkandung makna janji harus ditepati atau janji adalah hutang.68

Perjanjian ini pada dasarnya merupakan suatu jembatan yang akan membawa ataupun menghubungkan para pihak untuk merealisasikan apa yang menjadi tujuan dari pembuatan perjanjian tersebut yaitu tercapainya perlindungan dan keadilan bagi para pihak.69 Dengan perjanjian diharapkan masing-masing pihak akan menepati janji dan melaksanakannya. Karena itu untuk menjamin hal tersebut ada bebera asas-asas hukum mengenai perjanjian diantaranya adalah:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract).

Asas kebebasan berkontrak dapat kita lihat maupun kita analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Yang menyatakan bahwasannya

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”70 Asas ini jika kita lihat merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:71

1. Adanya suatu perjanjian yang dibuat.

2. Perjanjian tersebut diadakan kepada seseorang atau lebih.

66 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 289

67 Ibid

68 Hidayatullah, “Janji Kita Adalah Hutang”, https://www.hidayatullah.com/kajian/oase- iman/read/2015/06/22/72663/janji-kita-adalah-hutang.html , diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 17.58 WIB

69 Komisi Yudisial, “Penegakan Hukum Wujud Kepastian, keadilan dan Kemanfaatan Hukum”, www.komisiyudisial.go.id, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.07 WIB

70 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

71 Salim H.S, Hukum Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2017), hlm. 9

(34)

24

3. Menentukan isi dari suatu perjanjian, pelaksanaan maupun persyaratan di dalam perjanjian.

4. Ditentukan bentuk perjanjian apakah tertulis ataupun tidak tertulis.

2. Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme dapat kita lihat maupun dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata, yang mana pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.72 Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.73 Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.74

Asas konsensualisme muncul dilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.75 Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).76 Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.77

72 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1320 ayat (1)

73 Salim S.H, op.cit., hlm.10

74 Ibid

75 M.Muhtarom, “ Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal SUHUF, Vol. 26 No. 1, Mei 2014, hlm. 49

76 Ibid

77 Ibid

(35)

25

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda).78

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.79 Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang yang mana Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.80 Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.81

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja dan dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah yang mana hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.82 Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.83

78 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 3

79Pengacara Muslim, “Asas-Asas dalam Hukum Kontrak”, https://pengacaramuslim.com/asas-asas-dalam-hukum-kontrak/, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.50 WIB

80 Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 5

81 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

82 M.Muhtarom, op.cit., hlm. 52

83 Ibid

(36)

26 4. Asas Itikad Baik (good faith).84

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHP Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”85 Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.86 Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik subjektif dan itikad baik objektif.87

Pada itikad yang subjektif, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.88 Pada itikad yang kedua ini penilaian daripada syarat subjektif ini terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.89

5. Asas Kepribadian.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.90 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menyebutkan yakni “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”91 Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

84Dwi Ratna Indri Hapsari, Kontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Repertorium, Vol 1, Januari-Juni 2014, hlm. 88

85 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (3)

86 Dwi ratna Indri Hapsari, op.cit., hlm. 88

87 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 2006) hlm.

56

88 Ibid

89 Ibid., hlm. 61

90 Rahmani Timorita Yuliati, Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Kontrak Syariah,

“Jurnal Ekonomi islam”, Vol.2 No. 1, Juli 2018, hlm, 12

91 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1315

(37)

27

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”92 Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dilihat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”93

Pasal ini menyimpulkan bahwasannya seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.94

Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.95 Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

92 Ibid., Pasal 1340

93 Ibid., Pasal 1317

94 Ibid., Pasal 1318

95 Ibid.

(38)

28 3. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian.

Perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".96 Jadi dapat dilihat pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap dua orang atau lebih lainnya.97 Ketika telah mengikatkan diri antara pihak perjanjian tersebut melahirkan perikatan antara para pihak yang melakukan perjanjian, karena sumber dari perikatan salah satunya adalah perjanjian.98

Pada dasarnya dalam suatu perikatan terdapat dua pihak, yang mana pihak pertama adalah pihak yang berhak menuntut sesuatu atau prestasi yang dinamakan kreditur, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang selanjutnya dinamakan debitur dan tuntutan itu didalam hukum disebut sebagai prestasi.99 Jika dilihat dari ketentuan pasal 1234 KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa yakni menyerahkan suatu barang atau memberikan sesuatu, melakukan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu dan tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.100

Dalam melakukan perikatan ini perikatan tidak lahir begitu saja namun ada sebab-sebab yang melahirkan suatu perikatan, karena jika kita merujuk pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan/perjanjian dan undang-undang.101 Pasal 1352 KUH Perdata

96 Ibid., Pasal 1313

97 Ibid.

98 Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), hlm. 1

99 Ibid., hlm.2

100 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1234

101 Ibid., Pasal 1233

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Dari hasil dalam Tabel 6 dan Tabel 7, terlihat bahwa aplikasi ini dapat menghasilkan peningkatan deteksi kanker ganas lebih baik dibandingkan model hasil uji data

Dalam perkara ini, perbuatan terdakwa didakwa dengan dakwaan pertama yaitu dalam Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Pasal ini mengenai pembayaran ganti kerugian, juga terkait dengan masalah beban pembuktian, yaitu apabila terjadi wanprestasi, debitur dihukum membayar ganti

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Persekongkolan tender merupakan kegiatan dilarang karena menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Akibatnya