• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP FORCE MAJEURE DALAM KITAB UNDANG-

B. Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Dalam Kitab Undang-

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

22 4. Syahmin AK

perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.61

Berdasarkan definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi unsur-unsur dalam suatu perjanjian adalah:62

1. Adanya para pihak.

2. Adanya kesepakatan dari para pihak.

3. Adanya objek dalam perjanjian.

4. Adanya suatu tujuan yang dilakukan.

5. Adanya bentuk tertentu baik secara lisan ataupun tulisan.

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berbicara mengenai perjanjian tidak terlepas dari masalah aspek keadilan.63 Fungsi dan tujuan hukum perjanjian tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.64 Jika diuraikan tiga tujuan hukum ini yakni intinya adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat,menjaga hak-hak manusia serta mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.65

61 Ratna Artha Windari, op.cit., hlm.2

62 Ibid., hlm.19

63 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 No. 01, Juli 2019, hlm. 13

64 Ibid

65Niru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Perjanjian”, Journal Hukum , Vol.7 No.2, Desember 2018, hlm. 2

23

Apabila dilakukan analisis tentang asas-asas dalam perjanjian harus dimulai dari filosofi keadilan dalam perjanjian.66 Berbicara tentang keadilan sering didengar, namun pemahaman yang tepat justru sangat rumit bahkan abstrak terlebih apabila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang demikian kompleks.67 Dalam perjanjian terkandung makna janji harus ditepati atau janji adalah hutang.68

Perjanjian ini pada dasarnya merupakan suatu jembatan yang akan membawa ataupun menghubungkan para pihak untuk merealisasikan apa yang menjadi tujuan dari pembuatan perjanjian tersebut yaitu tercapainya perlindungan dan keadilan bagi para pihak.69 Dengan perjanjian diharapkan masing-masing pihak akan menepati janji dan melaksanakannya. Karena itu untuk menjamin hal tersebut ada bebera asas-asas hukum mengenai perjanjian diantaranya adalah:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract).

Asas kebebasan berkontrak dapat kita lihat maupun kita analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Yang menyatakan bahwasannya

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”70 Asas ini jika kita lihat merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:71

1. Adanya suatu perjanjian yang dibuat.

2. Perjanjian tersebut diadakan kepada seseorang atau lebih.

66 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 289

67 Ibid

68 Hidayatullah, “Janji Kita Adalah Hutang”, https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/06/22/72663/janji-kita-adalah-hutang.html , diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 17.58 WIB

69 Komisi Yudisial, “Penegakan Hukum Wujud Kepastian, keadilan dan Kemanfaatan Hukum”, www.komisiyudisial.go.id, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.07 WIB

70 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

71 Salim H.S, Hukum Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2017), hlm. 9

24

3. Menentukan isi dari suatu perjanjian, pelaksanaan maupun persyaratan di dalam perjanjian.

4. Ditentukan bentuk perjanjian apakah tertulis ataupun tidak tertulis.

2. Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme dapat kita lihat maupun dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata, yang mana pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.72 Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.73 Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.74

Asas konsensualisme muncul dilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.75 Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).76 Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.77

72 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1320 ayat (1)

73 Salim S.H, op.cit., hlm.10

74 Ibid

75 M.Muhtarom, “ Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal SUHUF, Vol. 26 No. 1, Mei 2014, hlm. 49

76 Ibid

77 Ibid

25

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda).78

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.79 Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang yang mana Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.80 Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.81

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja dan dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah yang mana hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.82 Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.83

78 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 3

79Pengacara Muslim, “Asas-Asas dalam Hukum Kontrak”, https://pengacaramuslim.com/asas-asas-dalam-hukum-kontrak/, diakses pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 18.50 WIB

80 Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 5

81 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (1)

82 M.Muhtarom, op.cit., hlm. 52

83 Ibid

26 4. Asas Itikad Baik (good faith).84

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHP Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”85 Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.86 Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik subjektif dan itikad baik objektif.87

Pada itikad yang subjektif, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.88 Pada itikad yang kedua ini penilaian daripada syarat subjektif ini terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.89

5. Asas Kepribadian.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.90 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menyebutkan yakni “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”91 Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

84Dwi Ratna Indri Hapsari, Kontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Repertorium, Vol 1, Januari-Juni 2014, hlm. 88

85 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1338 ayat (3)

86 Dwi ratna Indri Hapsari, op.cit., hlm. 88

87 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 2006) hlm.

56

88 Ibid

89 Ibid., hlm. 61

90 Rahmani Timorita Yuliati, Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Kontrak Syariah,

“Jurnal Ekonomi islam”, Vol.2 No. 1, Juli 2018, hlm, 12

91 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1315

27

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”92 Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dilihat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”93

Pasal ini menyimpulkan bahwasannya seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.94

Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.95 Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

92 Ibid., Pasal 1340

93 Ibid., Pasal 1317

94 Ibid., Pasal 1318

95 Ibid.

28 3. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian.

Perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".96 Jadi dapat dilihat pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap dua orang atau lebih lainnya.97 Ketika telah mengikatkan diri antara pihak perjanjian tersebut melahirkan perikatan antara para pihak yang melakukan perjanjian, karena sumber dari perikatan salah satunya adalah perjanjian.98

Pada dasarnya dalam suatu perikatan terdapat dua pihak, yang mana pihak pertama adalah pihak yang berhak menuntut sesuatu atau prestasi yang dinamakan kreditur, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang selanjutnya dinamakan debitur dan tuntutan itu didalam hukum disebut sebagai prestasi.99 Jika dilihat dari ketentuan pasal 1234 KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa yakni menyerahkan suatu barang atau memberikan sesuatu, melakukan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu dan tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.100

Dalam melakukan perikatan ini perikatan tidak lahir begitu saja namun ada sebab-sebab yang melahirkan suatu perikatan, karena jika kita merujuk pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan/perjanjian dan undang-undang.101 Pasal 1352 KUH Perdata

96 Ibid., Pasal 1313

97 Ibid.

98 Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), hlm. 1

99 Ibid., hlm.2

100 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1234

101 Ibid., Pasal 1233

29

menyatakan lebih lanjut bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi menjadi perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang.102

Dalam Pasal 1353 KUH Perdata, menyatakan bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang terbagi lagi menjadi perbuatan yang lahir dari perbuatan yang diperbolehkan (Zaakwaarneming) dan perikatan yang lahir dari perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigedaad).103 Perikatan yang lahir karena undang-undang misalnya kewajiban orangtua untuk menafkahi dan mendidik anak yang dilahirkan oleh istrinya.104

Kemudian yang perlu diperhatikan dalam perjanjian ini ialah mengenai adanya suatu syarat sah dalam melakukan perjanjian Untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan 4 (empat) syarat, yaitu:105

1. Adanya kata sepakat.

Sepakat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang berupa kehendak untuk membuat perjanjian.106 Artinya adanya kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya dan kata sepakat harus diberikan secara bebas walaupun syarat kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah terpenuhi, mungkin terdapat suatu kekhilafan.107 dimana suatu perjanjian yang telah terjadi pada

102 Ibid., Pasal 1352

103 Ibid., Pasal 1353

104Tri Jata Ayu Pramesti, “Kewajiban Seorang Ayah Kepada Anak”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c59424b1aaf9/kewajiban-seorang-ayah-kepada-anak, diakses pada 08 Oktober 2020 pukul 21.01 WIB

105 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1320

106 Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hlm. 9

107 Ibid

30

dasarnya ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki sesuatu yang sama akan tetapi tidak.108

2. Cakap Hukum

Cakap Hukum menurut Pasal 1330 KUH Perdata ialah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin.109namun hal ini dikecualikan dengan tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau pemboros yang karena itu pengalihan diputuskan berada dibawah pengampuan dan seorang perempuan yang bersuami.110

3. Objek atau Hal Tertentu

Suatu objek perjanjian ataupun hal tertentu bermakna yakni adalah paling tidak dalam suatu perjanjian ada macam atau jenis benda yang ada dalam perjanjian sudah ditentukan sedangkan pengertian objek disini ialah apa yang diwajibkan kepada debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur.111

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal ialah apa yang menjadi isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.112

Dari ke-4 syarat tersebut dibagi dengan adanya syarat-syarat yakni meliputi kepada 2 hal:

1. Syarat subjektif

Syarat subjektif yakni syarat yang menyangkut subjek-subjek dari perjanjian atau dalam perspektif orang yang melakukan perjanjian tersebut yang

108 Ibid

109 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1330

110 Ibid., Pasal 433

111 Salim S.H, op.cit., hlm.10

112 Ibid., hlm. 33

31

melipunya adanya kesepakatan atau kecakapan daripada seseorang. 113 Artinya syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sepakat mereka mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.114 Apabila nantinya kedua syarat tersebut tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan. Artinya para pihak harus memenuhi unsur ini, dimana kesepakatan maupun unsur kecakapan harus dipenuhi.115

Yang mana dapat dibatalkan akan membawa konsekuensi kepada perjanjian itu sendiri. Konsekuensinya ialah terhadap para pihak bahwa terhadap perjanjiannya sejak adanya gugatan atau putusan pengadilan terhadap suatu perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan, karena adanya gugatan atau putusan pengadilan tersebut, dapat dimintakan pembatatalan oleh salah satu pihak, misalnya untuk yang belum cakap menurut hukum diajukan oleh orangtua atau walinya, atau ia sendiri apabila sudah cakap.116

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut objek perjanjian itu, meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.117 Syarat yang ketiga dan syarat yang keempat dalam pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat objektif, syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu akibatnya batal demi hukum.118 Ini membawa konsekuenksi bahwa dari sejak semula kontrak itu menjadi tidak

113 Novi Ratnasari, “Komparasi Syarat Sah nya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam”, jurnal repetorium, Vol. 4 No. 2, Juli-Desember 2017, hlm. 84

114 Ibid

115 Ibid

116 Fajaruddin, “Pembatalan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Akibat Adanya Unsur Khilaf”, Jurnal De lega Lata, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2017, hlm. 289

117 Ibid

118 Ibid

32

membawa akibat hukum apa-apa, karena kontrak ini telah bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.119

Jadi secara implikasi yuridisnya kesimpulannya adalah tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian. Dengan demikian tidaklah dapat pihak yang satu menuntut pihak lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada dikarenakan sebab syarat objektif tersebut tidak terpenuhi.

C. Force Majeur Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1. Pengertian force majeure.

Secara bahasa force majeure berasal dari bahasa Perancis yang berarti

“kekuatan yang lebih besar”.120 Sedangkan secara istilah force majure adalah suatu kejadian yang terjadi diluar kemampuan manusia yang tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.121 Force majeure ini juga lazim disebutkan menjadi overmacht atau banyak diterjemahkan dengan keadaan memaksa atau dengan sebab keadaan kahar.122

Menurut rumusan pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata force majeure dapat disimpulkan adalah suatu keadaan dimana tidak terpenuhinya perjajian dalam kontrak yang telah dijanjikan dan debitur tidak dapat berbuat banyak terhadap keadaan tersebut karena suatu hal yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh

119 Ibid

120 Anggi Khikmawati, op.cit., hlm. 20

121 Ibid

122 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: P.T.

Alumni, 2004), hlm. 232

33

debitur.123 Artinya force majeure merupakan suatu keadaan dimana debitur terhalang untuk memenuhi kewajibannya dan terjadi setelah dibuatnya suatu perjajian akibat adanya sebab-sebab keadaan memaksa yang diluar dugaan.124

Dalam hal terjadinya peristiwa force majeure, debitur tidak dapat menduga terjadinya sesuatu pada saat akad perjanjian di buat dan keadaan tersebut nasabah tidak harus menanggung risiko.125 Force majeure akibat kejadian tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.126

Dalam khazanah ilmu pengetahuan hukum di Indonesia, konsep dan juga pengertian force majeure lebih banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini :

1. R. Subekti

Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.127 Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya melainkan adanya suatu peristiwa yang menghambatnya sehingga tidak dapat melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.128 Ia tidak dapat dikatakan salah ataupun lalai

123 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1244 dan 1245

124 Ibid

125 Ceisa Shadarina Pranindira, Analisis Penyelesaian Force Majeure Dalam Produk Pembiayaan Pada Bank Syariah, (Jakarta: Skripsi UIN Jakarta, 2016), hlm. 31

126 Ibid., hlm. 25

127 Subekti, op.cit., hlm. 56

128 Ibid

34

dan orang yang tidak salah tentu tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian yang.129

2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan

Force majeure adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang.130

3. Setiawan

Force majeure adalah suatu peristiwa yang dapat menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian.131 Debitur tidak dapat dikatakan lalai untuk memenuhi prestasinya karena dalam hal tersebut debitur tidak dapat disalahkan, tidak harus menanggung risiko yang telah terjadi, dan tidak dapat menduga suatu peristiwa yang akan terjadi pada waktu persetujuan dibuat.132

4. Purwahid Patrik

Force majeure adalah bahwasannya para pihak baik debitur maupun kreditur tidak melaksanakan prestasi karena tidak adanya kesalahan dari para pihak maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya.133

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwasannya pengertian keadaan memaksa atau force majeure adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang telah

129 Ibid

130 Rahmat S.S Soemadipraja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa ( Jakarta:

PT.Gramedia,2010), hlm. 8

131 R. Setiawan, op.cit., hlm. 27

132 Ibid

133 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 18

35

diperjanjikan karena adanya suatu peristiwa yang tidak terduga, dimana pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya tidak harus menanggung risiko.

2. Dasar Hukum Force Majeure

Istilah ”keadaan memaksa”, berasal dari istilah overmacht atau force majeure, dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya secara khusus dalam undang-undang, tetapi disimpulkan dari beberapa pasal dalam KUH Perdata.134

Dari pasal-pasal KUH Perdata, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa force majeure adalah keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk di penuhinya berdasarkan suatu perikatan yakni si berutang atau debitur, yang tidak atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.135

Pengertian force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:

1. Pasal 1244 KUH Perdata :

Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus di hukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.136

134 Rahmat S.S Soemadipraja, op.cit., hlm. 3

135 Ibid

136 Lihat Indonesia (KUH Perdata), op.cit., Pasal 1244

36 2. Pasal 1245 KUH Perdata:

Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa/force majeure karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.137

3. Pasal 1444 KUH Perdata:

(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.138

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.139

(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.140

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.141

4. Pasal 1445 KUH Perdata:

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak