• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAUR ULANG SAMPAH ANORGANIK

Bagian I * diisi oleh peneliti 1 Usia :

DAUR ULANG SAMPAH ANORGANIK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling luas perkotaannya yaitu mencapai 65 persen dengan jumlah penduduk perkotaan mencapai 78 juta jiwa (URDI dalam Suyoto, 2008). Perkembangan sebuah kota selalu diikuti dengan proses pembangunan berbagai fasilitas, seperti pusat bisnis, komersial, dan industri yang umumnya dapat menyediakan lapangan kerja. Hal ini menyebabkan masyarakat tertarik hidup di perkotaan guna mencari nafkah dan meningkatkan taraf hidupnya. Kenyataan ini berakibat pada proses urbanisasi yang sulit diatasi sehingga terjadi peningkatan kepadatan penduduk di perkotaan.

Pesatnya pertumbuhan penduduk kota juga diikuti dengan peningkatan berbagai aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat yang kemudian memunculkan masalah-masalah perkotaan. Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan sumber daya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menangani permasalahan tersebut. Secara umum kondisi ini menjadi tantangan bagi pengelola kota untuk menciptakan lingkungan kota yang dapat mendukung kehidupan seluruh warganya. Persoalan lain yang timbul sebagai akibat semakin padatnya jumlah penduduk kota adalah meningkatnya volume sampah. Sampah merupakan sisa hasil kegiatan produksi dan konsumsi manusia yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas serta dapat berpotensi menjadi pencemar (polutan) lingkungan. Sampah dan pengelolaannya saat ini menjadi masalah yang semakin mendesak di perkotaan karena apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dapat mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan sehingga mencemari lingkungan tanah, air, dan udara.

Sampah perkotaan merupakan salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi negara-negara berkembang. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertumbuhan penduduk, hampir setiap ibukota dan kota-kota besar di Indonesia mengalami masalah pengelolaan sampah. Produksi

sampah meningkat di sejumlah negara berkembang dikarenakan jumlah limbah (sampah) yang dihasilkan oleh manusia terus bertambah. Hal ini berdampak pada perluasan lahan untuk mengolah sampah, seperti Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kedua hal tersebut sulit dipenuhi mengingat kebutuhan lahan untuk pemukiman juga meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Keterbatasan lainnya yaitu kurangnya jumlah alat angkut sampah dan sarana-sarana pendukung yang juga akan berdampak pada pelayanan pengolahan sampah. Bencana ekologis yang ditimbulkan akibat buruknya pengelolaan sampah adalah longsor sampah dan banjir yang selalu menjadi masalah kota-kota besar yang memproduksi banyak sampah, seperti yang terjadi di Leuwigajah dan Bantar Gebang. Realitas ini semakin menunjukkan buruknya pengelolaan sampah di Indonesia, yang tidak hanya terkait dengan persoalan lingkungan hidup, melainkan juga dengan persoalan kemanusiaan.

Kota Depok sebagai daerah penyangga Jakarta yang tumbuh dan berkembang cukup pesat menjadi kota metropolitan juga mengalami permasalahan serupa akibat proses pembangunan dan pertumbuhan kota. Pertumbuhan penduduk Depok akibat urbanisasi, kelahiran, aktivitas konsumsi dan pertumbuhan berbagai sektor pembangunan memberikan dampak langsung pada bertambahnya buangan atau limbah yang dihasilkan. Limbah yang dihasilkan akibat aktivitas dan konsumsi masyarakat perkotaan atau lebih dikenal sebagai limbah perkotaan telah menjadi permasalahan lingkungan yang harus segera ditangani oleh Pemerintah Kota Depok. Data non fisik Adipura Kota Depok menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 1.369.461 jiwa dan 1.420.480 jiwa (DKP, 2007). Peningkatan jumlah penduduk sebesar 51.019 jiwa dari tahun 2006 ke 2007 juga diikuti dengan meningkatnya volume rata-rata timbunan sampah harian Kota Depok dari 3.580 m3/hari (tahun 2006) menjadi 3.764 m3/hari (tahun 2007) sebesar 184 m3/hari (DKP, 2007). Persentase terbesar dari komposisi sampah Kota Depok yaitu 62 persen bersumber dari rumah tangga. Hal ini menyebabkan Depok mendapatkan predikat sebagai kota metropolitan terkotor dalam penilaian Adipura tahun 2005 (Suyoto, 2008).

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok tahun 2010 menyebutkan beberapa isu dan permasalahan lingkungan kota, yaitu pengelolaan limbah cair, pengelolaan sampah, dan penanganan situ-situ di Kota Depok (Suyoto, 2008). Pengelolaan sampah menjadi isu utama karena selama ini pengelolaan sampah masih berlandaskan paradigma konvensional dimana pengelolaan sampah menggunakan pendekatan kumpul-angkut-buang yaitu memindahkan sampah dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah hanya ditumpuk hingga menjadi gunungan sampah. Hal ini mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berkaitan dengan lingkungan yakni daya dukung lingkungan perkotaan akan menurun seiring dengan terus meningkatnya volume sampah.

Berdasarkan kebutuhan sistem pengelolaan sampah perkotaan, maka beberapa tahun terakhir pemerintah daerah kota-kota besar di Indonesia mulai mencanangkan program pengelolaan sampah terpadu yang dinilai dapat mengatasi permasalahan sampah yang semakin kompleks. Keberadaan program pengelolaan sampah terpadu tidak hanya menyangkut masalah kebersihan dan lingkungan, tetapi juga menyimpan potensi manfaat ekonomi dan sosial. Masuknya unsur teknologi, sumber daya manusia, sistem, hukum, sosial, dan finansial dalam suatu program pengelolaan sampah akan menjadikan sampah tidak lagi dianggap sebagai sumber masalah, namun dipandang sebagai sumber daya yang dapat diolah dan dikelola untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, yaitu menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan produk yang memiliki nilai jual. Melihat potensi tersebut, Pemerintah Kota Depok telah menetapkan pengelolaan persampahan menjadi salah satu program utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang diajukan pada tahun 2006 (Oktamanjaya dalam

Dewi, 2008). Program pengelolaan sampah yang dicanangkan Pemerintah Kota Depok dimplementasikan melalui Program Komposting Rumah Tangga. Program alternatif ini dilaksanakan untuk mengatasi masalah persampahan di Kota Depok dengan cara mengelola sampah mulai dari skala rumah tangga. Program Komposting Rumah Tangga bersifat top down, artinya program disusun oleh Pemerintah Kota Depok melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk diimplementasikan di wilayah percontohan. Merujuk fenomena tersebut, maka

perlu diteliti efektivitas Program Komposting Rumah Tangga dengan melihat tingkat partisipasi peserta program dan hubungannya dengan perilaku mengelola sampah domestik sebagai indikator keberhasilan program.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Tinjauan terhadap kompleksitas permasalahan sampah kota beserta upaya pengelolaannya menunjukkan bahwa pengelolaan sampah tidak terbatas pada tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab komunitas, khususnya rumah tangga, sebagai penyumbang terbesar 62 persen sampah Kota Depok (DKP, 2007). Partisipasi masyarakat sebagai sasaran program adalah salah satu indikator keberhasilan program karena suatu program pembangunan tidak akan dapat berjalan tanpa partisipasi masyarakat. Permasalahan utama yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah efektivitas Program Komposting Rumah Tangga, permasalahan tersebut secara khusus dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat partisipasi peserta Program Komposting Rumah Tangga?

2. Bagaimana perilaku mengelola sampah domestik dihubungkan dengan tingkat partisipasi peserta Program Komposting Rumah Tangga?

3. Bagaimana tingkat keberhasilan implementasi Program Komposting Rumah Tangga dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis tingkat partisipasi peserta Program Komposting Rumah. 2. Menganalisis perilaku mengelola sampah domestik dihubungkan dengan

tingkat partisipasi peserta Program Komposting Rumah Tangga.

3. Menganalisis tingkat keberhasilan implementasi Program Komposting Rumah Tangga dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Kota Depok dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta Badan Lingkungan Hidup, masyarakat, akademisi serta penulis sendiri. Bagi pemerintah Kota Depok, penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dalam penyusunan kerangka acuan untuk menentukan kebijakan dalam program lanjutan Komposting Rumah Tangga di kelurahan lain. Bagi masyarakat, khususnya komunitas RW Hijau, penelitian ini dapat memberikan gambaran keberhasilan program yang telah dilakukan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademisi sebagai referensi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bagi penulisan ilmiah terkait. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu proses pembelajaran dan penerapan keilmuan.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian, Jenis, dan Sumber Sampah

Berdasarkan ciri-cirinya, sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan,baik karena telah diambil bagian utamanya, karena pengolahan atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang jika ditinjau dari segi sosial ekonomis sudah tidak memiliki nilai dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian (Hadiwiyoto, 1983). Sampah merupakan limbah padat, terdiri atas zat atau bahan organik dan anorganik yang dianggap sudah tidak memiliki manfaat dan harus dikelola dengan baik sehingga tidak membahayakan lingkungan (Kastaman dan Kramadibrata, 2007). Menurut UDSP Kota Depok (2004) dalam Astuti (2005), sampah adalah limbah padat yang dianggap tidak berguna dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang mudah membusuk yang terdiri atas sisa sayuran dan atau makanan serta sampah sapuan halaman. Sampah anorganik merupakan sampah yang tidak mudah membusuk, seperti kaca, logam, dan plastik.

Menurut data Dinas Pekerjaan Umum (1986) dalam Kastaman dan Kramadibrata (2007) berdasarkan cara pengelolaan dan pemanfaatannya, maka jenis sampah secara umum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Sampah Basah (Garbage), yaitu sampah yang susunannya terdiri atas bahan organik yang mempunyai sifat mudah membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah, seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dan dedaunan.

b. Sampah Kering (Rubbish), yaitu sampah yang terdiri atas bahan anorganik yang sebagian besar atau seluruh bagiannya sulit membusuk. Sampah kering terdiri dari sampah kering logam dan non logam. Sampah kering logam, terdiri dari kaleng, pipa besi tua, mur, baut, seng, dan segala jenis logam yang sudah usang, sedangkan sampah kering non logam terdiri dari

sampah kering mudah terbakar (kertas, karton, kayu, kain, kulit) dan sampah kering sulit terbakar (pecahan gelas, botol, dan kaca).

c. Sampah Lembut, yaitu sampah yang susunannya terdiri atas partikel- partikel kecil dan memiliki sifat mudah berterbangan serta membahayakan atau mengganggu pernafasan dan mata, seperti debu dan abu.

Sumber sampah yang utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri, serta jalan-jalan dan tempat umum atau tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik yang jauh lebih besar. Sampah organik umumnya terdiri atas sisa sayur-sayuran, buah- buahan, dan biji-bijian.

2.1.2 Pengelolaan Sampah dan Dampak yang Ditimbulkan

Hadiwiyoto (1983) mendefinisikan pengelolaan sampah identik dengan penanganan, yakni perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan lingkungan. Menurut UDSP Kota Depok (2004) yang dikutip olehAstuti (2005), pengelolaan sampah meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Pemilahan, yaitu pemisahan sampah atas sampah organik dan sampah anorganik yang dimulai dari sumbernya.

2. Pewadahan, yaitu penampungan sampah sementara di tempat sumbernya, baik sumber masing-masing (individual) maupun secara bersama-sama pada suatu tempat (komunal).

3. Pengumpulan, yaitu penanganan sampah dengan cara mengumpulkan dari tiap-tiap sumber sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan sementara atau diangkut langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa melalui proses pemindahan.

4. Pemindahan, yaitu upaya memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke TPAS.

5. Pengolahan, yaitu upaya untuk mengurangi volume sampah atau mengubah sampah menjadi benda yang bermanfaat, antara lain dengan

pembakaran, pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan, dan pendaurulangan serta penggunaan kembali sampah (wadah) tanpa daur ulang.

6. Pengangkutan, yaitu tahap membawa sampah dari lokasi pemindahan atau langsung dari sumber sampah menuju TPAS.

7. Tempat Pembuangan Akhir Sampah yaitu tempat untuk mengkarantina sampah yang telah diangkut.

Saat ini beberapa elemen masyarakat sudah mulai tanggap terhadap permasalahan sampah yang semakin kompleks , yaitu dengan dikembangkannya konsep penanggulangan sampah “3R+1P” yang meliputi Reduce, Reuse, Recycle, and Participation. Konsep ini merupakan pedoman sederhana untuk membantu masyarakat dalam meminimumkan sampah, baik di tempat kerja, sekolah, maupun di rumah. Orientasi penerapan konsep “3R+1P” lebih ditekankan pada penanganan sampah anorganik, sedangkan untuk sampah organik dikembangkan dalam bentuk pengolahan kompos. Berikut dijabarkan secara jelas definisi dari masing-masing konsep tersebut (DKP Depok, 2007).

a) Reduce, masyarakat diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan yang dapat menimbulkan sampah terutama sampah anorganik, sehingga dapat membiasakan diri hidup dengan penuh ketelitian, kehati-hatian, dan cermat agar sampah yang dihasilkan dapat ditekan seminimal mungkin.

b) Reuse, masyarakat diharapkan untuk menggunakan kembali artinya memakai bahan yang sama lebih dari sekali daripada harus membuangnya setelah sekali pakai. Konsep memakai kembali ini dapat menghemat energi dan sumber daya untuk membuat produk baru.

c) Recycle, masyarakat diharapkan dapat mendaur ulang, yaitu mengembalikan sampah ke pabrik sehingga dapat digunakan kembali sebagai bahan baku untuk membuat produk yang sama atau sedapat mungkin barang-barang yang sudah tidak terpakai didaur ulang, walaupun tidak semua barang dapat didaur ulang.

d) Participation, keikutsertaan masyarakat dalam program pembangunan. Konsep ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab 2.1.3 mengenai Konsep Partisipasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan untuk mengurangi masalah yang berkaitan dengan lingkungan yang meliputi tiga kegiatan yaitu, pengumpulan atau penyimpanan, pengangkutan, dan pemusnahan atau pembuangan.

Sampah sebagai salah satu wujud permasalahan lingkungan yang kompleks turut andil dalam kerusakan lingkungan hidup. Minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah dan kebiasaan masyarakat yang tidak disiplin dalam membuang sampah mengakibatkan meningkatnya jumlah timbunan sampah yang tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah tepat guna sehingga mengakibatkan dampak ekologis yang cukup serius yakni mencakup dampak sosial dan dampak terhadap lingkungan. Dampak sosial yang ditimbulkan akibat pengelolaaan sampah yang tidak tepat guna adalah munculnya konflik sosial yakni konflik antara pemerintah dengan masyarakat (konflik vertikal) dan konflik antarkelompok masyarakat (konflik horizontal), sedangkan dampak lingkungan yang muncul, yaitu pencemaran udara akibat bau sampah, pencemaran air tanah akibat air lindi yang merembes ke tanah, dan bencana banjir tahunan yang terus terjadi terutama di kota-kota besar di Indonesia.

2.1.3 Konsep Partisipasi

Pengertian partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip oleh Makmur (2005) adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat pula diartikan keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa. Menurut Sastropoetro (1988), partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan. Rusidi (1990) menyatakan bahwa partisipasi sebagai keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan yang diadakan pihak lain (kelompok, asosiasi, organisasi pemerintahan, dan sebagainya), dimana keikutsertaannya itu diwujudkan dalam bentuk pencurahan tenaga, pikiran, dan atau dana (material). Tjokroamidjojo (1977) yang dikutip oleh Bakri (1992) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijaksanaan kegiatan, memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil dan manfaat kegiatan secara adil.

Koentjaraningrat (1974) berpendapat bahwa partisipasi berarti memberi sumbangan dalam turut menentukan arah atau tujuan pembangunan, dimana ditekankan bahwa partisipasi itu adalah hak dan kewajiban bagi setiap masyarakat. Undang-undang nomor 4 tahun 1982 dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah, serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi sebagai sesuatu keterlibatan seseorang atau masyarakat untuk berperanserta secara aktif dalam suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan untuk menciptakan, melaksanakan serta memelihara lingkungan yang bersih dan sehat.

Cohen dan Uphoff (1997) yang dikutip oleh Pratiwi (2008) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap Pengambilan Keputusan, diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan rapat.

2. Tahap Pelaksanaan, merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, materi, dan keterlibatan sebagai anggota proyek.

3. Tahap Menikmati Hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap Evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberikan masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang menurut Pangestu yang dikutip oleh Pratiwi (2008) terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Faktor internal dari individu, mencakup ciri-ciri atau karakteristik individu yang meliputi umur, pendidikan formal, pendapatan, status pekerjaan, lama tinggal, status tempat tinggal.

b. Faktor eksternal, merupakan faktor diluar karakteristik individu yang meliputi hubungan antara pengelola dengan masyarakat, kebutuhan masyarakat, pelayanan pengelola, dan kegiatan penyuluhan.

Angell (1967) seperti dikutip oleh Bakri (1992) menyatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya antara lain:

(1) Usia, individu yang berusia menengah ke atas cenderung untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya.

(2) Pekerjaan, individu yang mempunyai pekerjaan tetap cenderung aktif berpartisipasi.

(3) Penghasilan, semakin tinggi penghasilan maka semakin banyak partisipasi yang diberikan, sebab jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya maka tingkat partisipasinya cenderung rendah. (4) Pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan induvidu maka semakin

luas pengetahuannya, dan kesadarannya terhadap lingkungan. Hal ini mendorong individu tersebut untuk terlibat pada masalah-masalah kemasyarakatan.

(5) Lama tinggal, semakin lama tinggal di suatu tempat maka semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai bagian dari lingkungannya sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan memelihara lingkungan tempat tinggalnya.

Hasil penelitian Bakri (1992) mengenai pengelolaan sampah pemukiman dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya di Kota Depok, menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program kebersihan lingkungan antara lain: usia, tingkat pendidikan, pendapatan, keadaan lingkungan pemukiman, lama tinggal, luas halaman, serta bimbingan dan penyuluhan.

Dalam menerapkan konsep Reduce, Reuse, dan Recycle diperlukan partisipasi atau keterlibatan masyarakat guna mengatasi permasalahan sampah beserta cara pengelolaannya. Pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat yang sesungguhnya sangat murah dan dapat dilakukan secara kolektif oleh masyarakat,

seperti dengan model pengelolaan komposting atau daur ulang. Partisipasi aktif masyarakat dalam segala bentuk program yang dicanangkan oleh pemerintah sangat dibutuhkan sebagai upaya mengatasi permasalahan sampah sehingga dapat tercipta lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan.

2.1.4 Konsep Perilaku

Menurut Walgito (1999) perilaku atau aktivitas yang ada pada individu itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun stimulus internal, namun sebagian besar perilaku individu merupakan respons terhadap perilaku eksternal. Jenis perilaku menurut Skinner (1976) yang dikutip oleh Walgito (1999) yaitu:

a. Perilaku yang Alami (innate behaviour), merupakan perilaku yang dibawa sejak individu dilahirkan berupa refleks dan insting,

b. Perilaku Operaan (operant behaviour), merupakan perilaku yang dibentuk melalui proses belajar

c. Perilaku Refleksif, merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai individu yang bersangkutan.

Menurut Walgito (1999) perilaku mengandung tiga komponen yang membentuk struktur perilaku, yaitu:

a. Komponen Pengetahuan (kognitif), merupakan komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan terhadap suatu objek

b. Komponen Sikap (afektif), merupakan komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap suatu objek

c. Komponen Tindakan (konatif), merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap suatu objek

Proses terbentuknya perilaku manusia, baik berupa pengetahuan, sikap maupun tindakan dipengaruhi oleh banyak faktor yang salah satunya adalah karakteristik individu baik secara internal maupun eksternal. Menurut Nelly yang dikutip oleh Sepdianti (2007) karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang individu yang ditampilkan melalui pola pikir, pola

sikap, dan pola tindak terhadap lingkungan hidupnya, sedangkan Newcomb, Turner, dan Converse dalam Kusmiati (2001), karakteristik individu adalah sifat- sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya. Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, dan agama termasuk karakteristik individu.

2.1.5 Evaluasi Program

Secara umum, evaluasi dapat diartikan sebagai upaya seksama untuk mengumpulkan, menyusun, mengolah, dan menganalisa fakta, data, dan informasi untuk menyimpulkan harga, nilai, kegunaan, kinerja mengenai sesuatu (barang, hal, organisasi, pekerjaan, dan sebagainya) yang kemudian dapat dibuat kesimpulan sebagai proses pengambilan keputusan (Musa, 2005). Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2004) mengemukakan bahwa evaluasi program upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Namun, Cronbach (1982) seperti dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2004) menegaskan bahwa walaupun evaluator menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan tentang suatu program. Evaluasi program sangat bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan karena dengan masukan hasil evaluasi program itulah pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Klausmeier dan Goodwin sebagaimana dikutip Fauzia (2008) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses yang berkelanjutan dalam memperoleh dan mengintrepretasikan informasi untuk menentukan kualitas dan kuantitas kemajuan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan, yaitu perubahan perilaku dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan atau penerapan.

Musa (2005) mengemukakan unsur-unsur pokok yang harus ada dalam kegiatan evaluasi adalah obyek yang dinilai, tujuan evaluasi, alat evaluasi, proses evaluasi, hasil evaluasi, standar yang dijadikan pembanding dan proses perbandingan antara hasil evaluasi dengan standar. Saat kita melakukan evaluasi program, ada tiga tujuan yang dapat diperoleh, yaitu mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan atau ketercapaian apabila dibandingkan dengan rencana yang