• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Konteks

EVALUASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

7.1 Evaluasi Konteks

Evaluasi konteks merupakan upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, serta tujuan proyek. Evaluasi konteks fokus pada evaluasi tujuan program, aksi, dan kesepakatan kolektif rumah tangga.

7.1.1 Tujuan Program

Tabel 28 menunjukkan perbandingan antara tujuan khusus program yang dalam kerangka acuan dengan hasil yang telah dicapai. Kerangka acuan kerja tujuan pertama yakni berkurangnya sampah dari RW percontohan yang harus dibuang ke TPS. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah sampah yang dibuang ke TPS berkurang, hal ini didasarkan pada keterangan petugas pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan Bapak HS:

“Biasanya saya ngambil sampah di TPS kompleks ini hari rabu atau jumat, seminggu sekali mbak, tapi semenjak jadi RW percontohan, jumlah sampahnya berkurang mbak, biasanya kan sampai numpuk-numpuk gitu. Saya juga jadi enak,

ngangkut sampah dari TPS ini jadi dua minggu sekali, malah pernah sebulan sekali.”

Berdasarkan pernyataan diatas maka terdapat kesesuaian antara tujuan dengan implementasi di lapang, artinya tujuan pertama tercapai dengan baik.

Tabel 28. Perbandingan Tujuan Program Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009

Fokus

Evaluasi Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai

Tujuan

Berkurangnya sampah dari RW percontohan yang harus dibuang ke TPS

Jumlah sampah yang dibuang ke TPS berkurang

Terbangunnya modal sosial warga di RW percontohan untuk secara kolektif dan mandiri mengelola sampah di lingkungannya

Warga mengelola sampah secara kolektif dan mandiri dimulai dari skala rumah tangga

Terbentuknya kelembagaan di tingkat RW untuk menjamin keberlanjutan program

Terbentuknya kelompok kerja (Pokja) RW Hijau

Kerangka acuan untuk tujuan kedua adalah terbangunnya modal sosial warga di RW percontohan untuk secara kolektif dan mandiri mengelola sampah di lingkungannya. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan yakni warga mengelola sampah secara kolektif dan mandiri, hal ini didasarkan pada pernyataan kader yang memantau kegiatan pengelolaan sampah di masing- masing rumah tangga, Ibu DS:

“ Semenjak ada program komposting warga jadi termotivasi untuk mengelola sampah, ya bikin kompos pakai Takakura, ngumpulin sampah kemasan yang nantinya dikumpulkan secara kolektif oleh kader untuk dijual ke lapak bahkan ada yang membuat kreasi dari sampah, serti kader di RT 3 itu lho mbak yang bikin tas, dompet, dari sedotan bekas aqua gelas.”

Pernyataan kader didukung dengan pernyataan responden, Ibu TY:

“ Biasanya saya kalau ada sampah ya langsung dibuang gitu aja mbak, nggak pakai dipilah atau diolah dulu. Tapi semenjak ada program ini, setiap habis masakn kan banyak tu sampah sayurannya, ya saya masukin ke Takakura ajah biar jadi kompos, kan lumayan buat pupuk tanaman hias di halam rumah saya, jadi nggak perlu beli pupuk di luar. Saya juga suka ngumupulin sampah yang plastiknya mbak, kan lumayan kalau dijual masuk ke kas RT daripada dikasih pemulung.”

Pernyaataan kedua responden diatas menunjukkan bahwa tujuan kedua tercapai dengan baik.

Tujuan ketiga kerangka acuannya adalah terbentuknya kelembagaan di tingkat RW untuk menjamin keberlanjutan program. Tujuan ini terwujud dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) RW Hijau yang bertugas untuk mewadahi semua kegiatan dalam program. Ketika ada surat keputusan mengenai rencana pelaksanaan Program Komposting Rumah Tangga di RW 14, maka warga berinisiatif membentuk lembaga untuk mewadahi pelaksanaan program. yang dinamakan Pokja RW Hijau. Berikut pernyataan Bapak MN selaku inisiator Pokja RW Hijau:

“ Begitu tahu akan ada program ini, saya langsung rembug dengan RW, namun peran RW yang menjabat saat itu kurang maksimal. Jadi, saya bersama para ketua RT dan perwakilan warga inisiatif membentuk kelembaagaan ini, supaya pelaksanaan program terkoordinasi dengan baik. Kemudian kami mengajukan proposal kepada DKLH (saat itu belum berganti nama menjadi DKP) untuk melegalkan kelembagaan ini hingga akhirnya SK turun dan sayalah yang diberi amanah oleh warga untuk mengetuai Pokja RW Hijau.”

Berdasarkan pernyataan Bapak MN, maka tujuan ketiga tercapai dengan baik karena pembentukan Pokja RW Hijau atas dasar inisiatif warga bukan karena intervensi dari pemerintah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan).

7.1.2 Aksi Kolektif

Aksi individu sebagai bagian dari rumah tangga untuk mencapai tujuan program dibingkai dalam aksi kolektif karena aksi individu tidak akan mampu mengurangi sampah tanpa didukung oleh aksi kolektif. Tabel 29 menunjukkan perbandingan antara aksi kolektif yang terdapat dalam kerangka acuan dengan hasil yang telah dicapai.

Tabel 29 menunjukkan bahwa secara garis besar hasil yang dicapai sesuai dengan kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan. Namun, pada kerangka acuan yang ketiga, hasil yang dicapai menujukkan bahwa Tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura ataupun Biopori. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk membuat kompos dengan Takakura atau Biopori dan keterbatasan lahan yang dimiliki untuk membuat lubang resapan Biopori. Hal ini didukung oleh pernyataan responden, Ibu SP sebagai berikut:

“Saya dan suami kan sama-sama kerja mbak, jadi nggak ada waktu untuk ngolah sampah gitu, apalagi bikin kompos, sibuk banget apalagi nggak ada pembantu! Akhirnya sampah langsung dibuang gitu ajah nggak dipilah dulu, habisnya mau gimana lagi mbak.”

Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan responden di RT 05 (Ibu AF) yang tidak memiliki lahan untuk Biopori:

“Saya kan nggak punya halaman rumah mbak,jadi mau bikin lubang Biopori dimana kan nggak ada lahannya. Tapi biasanya Pak RT suka bikin lubang Biopori di sepanjang jalan kompleks khususnya di RT ini mbak.”

Berdasarkan kedua pernyataan responden, maka hasil yang dicapai dari aksi kolektif kerangka acuan ketiga kurang maksimal, karena tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura atau Biopori.

Tabel 29. Perbandingan Aksi Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009

Fokus

Evaluasi Kerangka Acuan

Hasil yang Dicapai

Aksi Kolektif

Tiap rumah tangga membuang sampah di tempat sampah di rumahnnya masing-masing

Sampah sisa dibuang ke tempat sampah yang terletak di depan rumah masing-masing rumah tangga

Tiap rumah tangga berupaya mengurangi sampah yang keluar dari persil lahannya masing- masing

Sebagian besar rumah tangga sudah berusaha meminimalisir sampah domestik

Tiap rumah tangga mengelola sampah organik di rumahnya masing-masing dengan Keranjang Takakura dan komposter resapan Biopori

Tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura ataupun Biopori

Tiap rumah tangga

mengumpulkan sampah anorganik yang masih dapat dijual dan menjualnya secara kolektif ke lapak

Hampir setiap rumah tangga mengumpulkan sampah anorganik yang dapat dijual

Tiap rumah tangga membuang sampah sisa untuk diangkut oleh gerobak pengangkut sampah

Rumah tangga membuang sampah sisa ke bak sampah yang terletak di depan rumah

7.1.3 Kesepakatan Kolektif

Aksi kolektif dilakukan melalui kesepakatan kolektif komunitas di tingkat lokal tentang bagaimana pengelolaan sampah di masing-masing rumah tangga.

Tabel 30 menunjukkan perbandingan antara kesepakatan kolektif menurut kerangka acuan dengan hasil yang dicapai. Kesepakatan pertama mengenai pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dengan gerobak pengangkut sampah terpilah yang dikoordinir RT atau RW berjalan dengan baik. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pengurus RT mengkoordinir pengangkutan sampah melalui petugas kebersihan yang bertugas untuk mengangkut sampah dari masing-masing rumah tangga dengan gerobak sampah terpilah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petugas kebersihan yang mengangkut sampah di RT 03 dan RT 05:

“Saya ngangkut sampah di dua RT mbak, RT 03 dan 05. Temen saya juga sama, tapi ada yang megang tiga RT. Petugas kebersihan diurusin sama masing-masing RT, termasuk gaji petugas. Kalau darimana uang gajinya saya kurang tahu mbak, mungkin dari iuran warga di RT yang sampahnya kita ambilin rutin setiap pagi.”

Berdasarkan pernyataan petugas kebersihan diatas maka hasil yang dicapai oleh kesepakatan pertama sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan.

Kesepakatan kedua mengenai pemanfaatan kompos hasil pengomposan sampah organik secara kolektif tidak tercapai karena hasil pengomposan sampah dimanfaatkan sendiri oleh rumah tangga, belum ada yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif. Hal ini didukung oleh pernyataan salah satu responden dari RT 01:

“Kompos dari Takakura kalau sudah jadi saya pakai sendiri mbak untuk pupuk tanaman hias saya. Sampai saat ini belum ada kader atau Pokja yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif, jadi ya dipakai sendiri, lumayan kan mbak ngurangin biaya pembelian pupuk.”

Berdasarkan pernyataan responden RT 01, maka hasil dari kesepakatan kedua tidak tercapai, karena hasil yang dicapai tidak sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan.

Kesepakatan ketiga dan keempat mengenai dana hasil penjualan sampah anorganik secara kolektif dan besar iuran sampah yang harus dibayar tercapai dengan baik yaitu uang hasil penjualan sampah masuk ke kas masing-masing RT dan iuran yang dibayar oleh warga tiap bulan meliputi iuran kebersihan dan

keamanan masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000 setiap bulannya. Hal ini didasarkan pada pernyataan salah satu kader RT 03 (Ibu NS):

“Sampah yang dijual ke lapak, uangnya masuk ke kas RT mbak, kalau iuran per bulan yang Rp 35.000 itu biasanya juga kader yang narikin ke warga, tapi ada juga sih warga yang inisiatif bayar tanpa perlu ditagih. Laporan keuangan hasil penjualan sampah dan iuran juga ada per bulannya, nanti baru dilaporkan ke RT dan warga biasanya saat arisan, biar transparan gitu, jadi warga nggak curiga dan tahu dikemanakan uangnya.”

Pernyataan kader RT 03 menunjukkan bahwa hasil yang dicapai pada kesepakatan ketiga dan keempat sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan

Tabel 30. Perbandingan Kesepakatan Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009

Fokus

Evaluasi Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai

Kesepakatan kolektif

Pengangkutan sampah dilakukan oleh gerobak pengangkut sampah yang dikoordinir RT atau RW

Pengangkutan sampah dikoordinir oleh masing-masing RT melalui petugas kebersihan yang mengangkut sampah sisa dengan gerobak untuk dibawa ke TPS

Komunitas RT menyepakati pemanfaatan kompos hasil pengomposan sampah organik secara kolektif

Hasil pengomposan sampah organik dimanfaatkan sendiri tidak secara kolektif

Komunitas RT menyepakati dana hasil penjualan sampah anorganik secara kolektif.

Uang hasil penjualan sampah anorganik masuk ke kas RT Menyepakati besar iuran sampah

yang harus dibayar tiap rumah tangga

Iuran yang dibayar oleh warga tiap bulan meliputi iuran kebersihan dan keamanan berbeda masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000/bulan