• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Bangkalan Madura

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

2.2 Landasan Teor

2.2.3 Makna dan Gaya dalam Penerjemahan

2.2.3.1. Definisi Meaning, Denotation, Reference , dan Sense

Kajian mengenai makna ini termasuk dalam ranah semantik. Dalam studi semantik, istilah makna bermacam-macam, yakni meaning, sense, denotation/ designation, dan reference (Edi Subroto, 1999:1). Menurut Edi Subroto, yang dimaksud dengan meaning (diterjemahkan menjadi arti) adalah bentuk

pengetahuan kognitif yang terdapat di dalam bahasa, yang terdapat dan

commit to user

oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar. Hal tersebut berarti bahwa arti itu dipahami oleh pengguna bahasa secara empirik berdasarkan kemampuan kognitifnya sejak mulai belajar dan menguasai bahasa. Dengan penguasaan arti secara empirik dan kognitif itu, seorang penutur mampu melakukan pembahasaan atau simbolisasi secara verbal akan sebuah referent yang ada disekitarnya. Sejumlah referent yang secara faktual barangkali berbeda-beda, namun memiliki sejumlah ciri konseptual yang sama akan dibahasakan dengan unit leksikal yang sama. Sebagai contoh, sebuah unit leksikal dengan nama ‘kursi’, meskipun secara empirik ditangkap adanya sejumlah benda yang disebut kursi yang memiliki ciri-ciri konseptual yang berbeda-beda baik dalam hal bahannya, wujudnya, jumlah kakinya, namun secara bersama dapat disimbolkan dengan unit leksikal yaitu ‘kursi’.

Kemudian yang dimaksud dengan designation (designasi) atau denotation (denotasi) adalah bagian dari arti yang ditentukan oleh sistem bahasa dan tidak bergantung pada situasi yang khas dari sebuah tuturan. Designasi atau denotasi ini mempunyai maksud yang serupa dengan istilah meaning di atas. Menurut Lyons (1995:79) bahwa denotasi atau designasi ini memiliki kesamaan dengan meaning, yaitu bahwa denotasi dari suatu leksem atau kalimat bersifat invarian dan tidak tergantung pada tuturan, sebagaimana dinyatakan berikut:”…that the denotation of an expression is invariant utterance-independent: it is part of the meaning which the expression has in the language-system, independently of its use on particular occasions of utterance.”

commit to user

Sementara itu, yang dimaksud dengan reference (referensi) adalah bagian dari arti yang bergantung pada situasi pemakaiannya dan bergantung pada wujud tuturannya. Dalam arti bahwa referensi adalah suatu bentuk penunjukan dalam kegiatan berbahasa yang nyata, yang bersifat tertentu, dan bergantung pada konteks. Misalnya, ‘kursi’ dan ‘kursi itu’ mengandung maksud yang berbeda. Yang pertama berkaitan dengan konsep denotasi, yaitu mengacu pada golongan entity (maujud) yang dipersepsikan sama sebagai kursi, dan sebaliknya, ‘kursi itu’ termasuk proses referensi karena hanya menunjuk pada ‘kursi’ tertentu saja.

Hal berikutnya adalah sense. Edi Subroto memadankan istilah sense ini dengan makna, yaitu arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya, dan intonasinya.

Menurut Allan (1986: 68) yang dimaksud dengan sense adalah makna sebuah unit leksikal atau tuturan sebuah kalimat dalam pemakaian yang konkret dalam situasi tertentu. Tuturan sebuah kalimat itu terikat oleh latar pembicaraan, lingkungan tekstual, dan dunia nyata yang dituturkan. Makna sebuah unit leksikal ini biasanya ditunjukkan di dalam sebuah kamus. Dengan demikian, kalau arti (sebagai

padanan meaning) itu bersifat dasar, maka makna itu sudah bersifat spesifik karena dirambu-rambui oleh struktur, oleh konteks pemakaian, oleh intonasi, dan oleh latar yang melingkupinya. Misalnya kata baru. Untuk mengetahui makna baru ini harus dikaji kemungkinannya berkombinasi atau disubstitusi dengan leksem-leksem lain, misalnya lama, usang, tua, dan sebagainya.

Sementara itu, Lyons (1995:124) menyatakan bahwa sense hanya dapat diterangkan dalam konteks hubungan makna antara leksem yang satu dengan

commit to user

leksem yang lain, atau antara ekspresi yang satu dengan ekspresi yang lain di dalam sistem bahasa yang sama. Berkaitan dengan itu, Lyons menggunakan konsep hubungan kombinatorial dan substitusional untuk menentukan makna sebuah leksem. Hubungan tersebut sering disebut dengan hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.

Hubungan sintakmatik merupakan hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu; misal hubungan antara saya, bermain, dan kelereng dalam kalimat: Saya bermain kelereng. Hubungan itu dikatakan hubungan in

praesentia. Di dalam pola kalimat bahasa Indonesia, pola sintakmatik tersebut dapat dilihat di dalam bagan sebagai berikut:

S P O

Saya Bermain Kelereng

Bagan 2.3 Hubungan Sintakmatik

Sementara itu, hubungan paradigmatik merupakan hubungan antara unsur- unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan; misal dalam kalimat saya bermain kelereng. Antara saya dan dia, mereka,Tuan Kate, dapat dipertukarkan. Hubungan antara unsur-unsur itu

commit to user

dikatakan hubungan in absentia. Hubungan pertukaran tersebut dapat dilihat di dalam bagan sebagai berikut:

S P O

Saya Bermain Kelereng

Bagan 2.4 Hubungan Paradigmatik

Dengan melihat pada pendefinisian di atas, nampak bahwa yang dapat dialihbahasakan dalam penerjemahan terutama adalah sense atau maknanya. Dengan kata lain, sense atau makna memiliki peran yang penting di dalam penerjemahan. Saya Pak Udin Mereka Menteri Tuan Kate Menendang Menanam Bermain Memberikan Menjual Bola Jagung Kartu Hadiah Ikan Hias

commit to user 2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif

Pengertian makna literal dan makna figuratif pada dasarnya mengarah pada pembedaan di dalam sistem kebahasaan untuk menganalisis makna suatu bahasa. Contoh dari pembedaan makna di atas dapat dilihat di dalam kalimat berikut: The ground is thirsty. Kalimat ini memiliki makna berkias. Kata ground sendiri memiliki makna literal, namun kata ground atau tanah dapat dipahami bahwa ground itu tidaklah hidup, oleh karenanya ground tidak memerlukan minuman atau merasakan haus. Pembaca kalimat tersebut akan secara langsung menolak suatu interpretasi literal dan secara pasti akan menginterpretasikan bahwa kata-kata tersebut yang dimaksud adalah The ground is dry, suatu analogi yang mengarah pada kondisi yang menimbulkan rasa haus pada manusia atau binatang. Begitu pula di dalam contoh kalimat yang diucapkan sebagai berikut: “It’s raining cats and dogs”. Kalimat ini memiliki makna literal pada masing- masing katanya, namun bagi pendengar akan secara langsung menolak interpretasi literal tersebut karena dirasakan tidak sesuai, namun pendengar akan memilih interpretasi figuratif dari tuturan tersebut, yang dibantu oleh suatu konteks, bahwa yang dimaksud di dalam tuturan tersebut adalah kondisi atau keadaan hujan deras.

Menurut Motsch & Pasch (1987:35), makna harfiah ialah makna ujaran yang konteks ujarannya tidak membawa kepada penafsiran semula terhadap makna tertentu dari segi tatabahasa bagi kata atau ungkapan itu. Disini juga makna harfiah itu berada pada suatu konteks namun tidak dipengaruhi oleh konteks tersebut. Sementara itu, Searle (1979: 132) membuat perbedaan antara makna penutur, makna kalimat, dan makna harfiah. Menurut Searle, makna

commit to user

harfiah berada dalam domain makna kalimat dan makna penutur bergantung pada makna kalimat. Searle mengungkapkan bahwa makna harfiah berada pada suatu konteks.

Menurut Israel (2004:1), makna literal merupakan makna lugas dan termasuk ke dalam jenis makna yang paling sederhana, yang bersifat langsung, harfiah, dan menerapkan aturan tatabahasa sewajarnya (ordinary rules of grammar), dalam arti bahwa makna leksikal tersebut tidak memerlukan penambahan imajinasi, inferensi, maupun gaya bahasa. Makna literal tersebut terletak di dalam kata itu sendiri. Sementara itu, Turner (1991:147) memberikan konsep pemahaman makna literal di dalam hubungan antara bahasa, pemikiran, dan realitas. Menurut Turner, makna leksikal mengabaikan peranan imajinasi di dalam konstruksi makna keseharian, berhubungan dengan suatu kebenaran dan pemikiran di satu sisi, dan bertentangan dengan kebohongan dan khayalan di sisi yang lain, sebagaimana yang dinyatakan sebagai berikut:

The real world is exhaustively literal: literal language refers to it; literal concepts mirror the literal world; literal language evokes literal concepts... Separate from all this, so the folk theory runs, there are mental imaginative connections that are false; they are expressed in figurative, non-literal language or literally false language; we must transform the meaning of this language in order to arrive at interpretations of it that can be literal and true. Makna leksikal tersebut tidak secara tiba-tiba berdiri sendiri, namun

keberadaannya tetap di dalam suatu kalimat atau paragraf, namun memiliki makna yang terbebas dari konteks atau tidak dipengaruhi oleh suatu konteks. Di dalam suatu tuturan yang panjang, misalnya di dalam sebuah novel, makna literal mungkin berupa suatu cerita narasi biasa saja, yang terbebas atau tidak memiliki asosiasi moral, politik, estetik, atau asosiasi simbolik lain yang ingin disampaikan.

commit to user

Saeed (2000:15-17) menyatakan bahwa perbedaan antara makna literal dan makna figuratif dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa yang literal dan non-literal. Penggunaan bahasa yang literal mengarah pada suatu keadaan, yaitu pembicara yang mengungkapkan tuturan secara netral dan secara faktual tepat, sedangkan penggunaan bahasa yang non-literal mengacu pada suatu keadaan, yaitu pembicara secara berlebih-lebihan menggambarkan sesuatu dengan istilah- istilah atau kata-kata yang tidak benar (untrue) dan tidak mungkin (impossible) yang tujuannya untuk mendapatkan efek khusus. Lebih lanjut, Saeed memberikan contoh sebagai berikut:

a. I’m hungry. b. I’m starving. c. I could eat a horse.

Di dalam contoh tersebut, bahwa pada kondisi atau keadaan lapar,

pembicara mungkin secara literal akan mengungkapkan tuturan sebagaimana poin a, atau juga secara non-literal seperti pada poin b dan c. Di sini nampak bahwa di dalam penggunaan bahasa non-literal, pembicara menggeser makna suatu kata untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang baru. Pergeseran atau penyimpangan bentuk ungkapan bahasa ini, menurut Gorys Keraf (2002:113) disebut dengan gaya bahasa (figures of speech), yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pengguna bahasa. Pemakaian dengan cara yang khas tersebut ditandai oleh adanya penyimpangan dari pemakaian bahasa lumrah.

commit to user

Penggunaan gaya bahasa sering terjadi di dalam dunia sastra sebab kata- kata harfiah memiliki keterbatasan. Dengan mengandalkan makna harfiah semata dalam mendeskripsikan suatu objek atau ide, seorang pengarang akan menemui halangan. Dengan gaya bahasa seorang pengarang dapat memperkaya makna sehingga pengarang dapat menyampaikan pesan yang diinginkan secara lebih leluasa.

Sementara itu, menurut Ratna (2009:164) figures of speech disebut juga dengan majas, yaitu pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Menurut Ratna, secara umum majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c) pertentangan, d) dan majas sindiran. Beberapa jenis majas dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Secara tradisional bentuk-bentuk tersebut disebut dengan gaya bahasa. Namun demikian, di dalam perkembangan kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya bahasa. Majas dengan demikian merupakan penunjang, unsur-unsur yang

berfungsi untuk melengkapi gaya bahasa. Dengan kalimat lain, gaya bahasa jauh lebih luas daripada majas. Pada saat menganalis sebuah karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul yang harus dibicarakan, seperti panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-kata serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya. Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti: plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang. Tidak ada suatu pemahaman apa pun tanpa adanya

commit to user

cara-cara tertentu yang berbeda. Demikian juga tidak ada karya sastra tertentu tanpa gaya bahasa tertentu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum dapat dipahami bahwa makna leksikal atau sering disebut dengan makna harfiah adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa adanya, atau makna kalimat yang bebas dari konteks yang melatarinya, sedangkan makna figuratif atau makna kiasan adalah makna bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Makna figuratif ini merujuk pada kata atau kelompok kata yang dilebih-lebihkan atau diubah makna sebenarnya yang dibantu oleh suatu konteks. Makna figuratif ini dapat berupa suatu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdot, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, ataupun paradoks.