• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Bangkalan Madura

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

2.2 Landasan Teor

2.2.6 Teori Polisistem

Even-Zohar (1997:9-45) di dalam model yang dikembangkannya, yaitu teori polisistem, melihat penerjemahan karya susastra sebagai bagian dari sistem budaya, susastra, dan sejarah dari bahasa sasaran (Munday, 2000:108). Karya susastra tidaklah dilihat sebagai karya yang dipelajari secara terpisah namun sebagai bagian dari sistem susastra yang dinamis di dalam polisistem secara

commit to user

keseluruhan dengan menekankan bahwa penerjemahan karya susastra bekerja pada sistem: (1) bahasa sasaran memilih karya untuk penerjemahannya, dan (2) norma, tingkah laku, dan kebijakan penerjemahan dipengaruhi oleh sistem yang lain (co-system).

Sebagaimana dinyatakan oleh Shuttleworth and Cowie (dalam Munday, 2000: 109) bahwa: ”The polysystem is conceived as a heterogeneous, hierarchized conglomerate (or system) of systems which interact to bring about an ongoing, dynamic process of evolution within the polysystem as a whole”. Pernyataan tersebut mengandung dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu hirarki dan proses evolusi yang dinamis. Yang dimaksud dengan hirarki adalah mengacu pada posisi dan interaksi dari strata yang berbeda dari polisistem. Bila posisi tertinggi diduduki oleh jenis karya susastra inovatif, maka strata yang lebih rendah diduduki oleh jenis karya susastra konservatif, begitu pula sebaliknya. Proses evolusi yang dinamis menunjukkan bahwa hubungan antara sistem inovatif dan konservatif suatu karya susastra tidaklah tetap atau statis, namun mungkin menempati posisi utama atau kedua di dalam polisistem. Bila karya susastra terjemahan menempati posisi utama berarti bahwa karya susastra tersebut memberi pengaruh yang sangat kuat dalam polisistem dan sebaliknya bahwa karya susastra yang menempati posisi kedua berarti bahwa karya susastra tersebut sangat lemah dan tidak memiliki pengaruh yang berarti.

Di dalam polisistem nampak bahwa posisi yang diduduki oleh karya terjemahan di dalam polisistem menentukan strategi penerjemahan. Apabila karya terjemahan merupakan karya utama, penerjemah tidak akan merasa terbatasi

commit to user

untuk mengikuti model susastra sasaran dan lebih siap untuk berekspresi, dan penerjemah seringkali menghasilkan Tsa yang sangat sepadan atau berkecukupan (adequacy) dengan bahasa sumber. Sebaliknya, bila karya terjemahan menempati posisi kedua, penerjemah cenderung menggunakan model budaya sasaran yang sudah ada untuk Tsa dan menghasilkan penerjemahan yang tidak berkecukupan (non-adequate).

Dengan dasar pada teori Even-Zohar, Toury (1995) mengembangkan suatu teori penerjemahan umum yang dikenal dengan Descriptive Translation Studies dengan mengusulkan tiga fase metodologi, yaitu:

a) Menempatkan teks di dalam sistem budaya sasaran dengan melihat

kepentingan dan keberterimaannya.

b) Membandingkan Tsu dan Tsa, mengidentifikasi hubungan antara pasangan

segmen-segmen Tsu dan Tsa, dan berusaha memberikan generalisasi konsep penerjemahannya.

c) Membuat gambaran pembuatan keputusan untuk penerjemahan berikutnya.

Menilik pada metodologi di atas, tampak bahwa salah satu langkah penting di dalam penerjemahan adalah kemungkinan pengulangan pada fase pertama dan fase kedua bagi pasangan teks yang sama lainnya untuk memperluas dan membangun profile penerjemahan sesuai dengan jenis teks, pengarang,

pembaca, dan sebagainya (Pym, 2005:16-21). Dengan cara ini, norma-norma yang menyinggung masing-masing jenis penerjemahan dapat diidentifikasi dengan tujuan akhir penetapan penerjemahan secara umum.

commit to user 2.2.7 Konsep Norma

Tujuan utama konsep norma yang diusulkan oleh Toury (1995) adalah untuk membedakan kecenderungan perilaku penerjemahan, membuat generalisasi yang berhubungan dengan proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh penerjemah dan kemudian merekonstruksi norma-norma yang telah bekerja di dalam penerjemahan dan membuat hipotesis yang dapat diuji melalui kajian deskriptif berikutnya. Definisi yang dinyatakan oleh Toury adalah sebagai berikut: ”the translation of general values or ideas shared by a community-as to what is right or wrong, adequate or inadequate-into performance instructions

appropriate for and applicable to particular situations”.

Menurut Toury, semua manusia memiliki kecenderungan untuk

bersosialisasi dan diterima secara sosial, dan sebagai akibatnya bahwa di bawah kondisi yang normal manusia cenderung menghindari perilaku yang dilarang dan mengadopsi tingkah laku yang dianggap sesuai di dalam kelompok tempat mereka tinggal. Terdapat adanya suatu pengetahuan yang secara sosial sama antara anggota masing-masing komunitas yang dianggap sebagai hal yang baik atau pantas di dalam perilaku komunikatif. Pengetahuan tersebut muncul dalam bentuk norma-norma. Norma-norma di dalam penerjemahan sebagaimana yang ditentukan oleh Toury erat sekali hubungannya dengan suatu ideologi, dengan kata lain bahwa norma-norma dapat dipahami sebagai perwujudan ideologi dari konsep kebersesuaian dan keberterimaan.

Menurut Toury bahwa norma mengatur setiap langkah pengambilan keputusan di dalam proses penerjemahan mulai dari pilihan teks yang akan

commit to user

diterjemahkan sampai pada pilihan paling akhir dalam proses strategi

penerjemahannya. Lebih lanjut, Toury memperkenalkan tiga jenis norma: a) initial norm; b) preliminary norms; dan c) operational norms.

Initial norm (Bagan 2.3) mengacu pada pemilihan secara umum yang dilakukan oleh penerjemah. Di dalam norma ini penerjemah dapat memusatkan diri mereka sendiri ke dalam norma-norma yang diwujudkan di dalam Tsu atau norma-norma dari bahasa dan budaya sasaran. Apabila diwujudkan ke dalam Tsu, maka Tsa akan menjadi mencukupi (adequate); dan apabila di dalam norma budaya sasaran, maka Tsa akan menjadi berterima (acceptable). Kutub dari kebercukupan dan keberterimaan adalah pada suatu rangkaian kesatuan karena pada dasarnya tidak ada penerjemahan yang secara penuh berkecukupan atau berterima dan pergeseran-pergeseran di dalam penerjemahan adalah hal yang tidak terelakkan.

Bagan 2.5 Initial Norm

Initial norm

Subjection to target culture norms Subjection to source norms

Adequate translation

commit to user

Preliminary norms (Bagan 2.4) mengatur semua keputusan yang

dilakukan yang berkaitan dengan translation policy dan translation directness. Translation policy mengacu pada faktor-faktor yang menentukan dan mengatur semua keputusan pemilihan jenis teks untuk diterjemahkan ke dalam budaya atau bahasa tertentu dalam kurun waktu tertentu, sedangkan directness of translation berhubungan dengan apakah penerjemahan terjadi melalui bahasa perantara, dan juga pada ambang toleransi mengenai bahasa apa yang digunakan dalam

menerjemahkan ke budaya sasaran.

Bagan 2.6 Preliminary Norms

Operational norms (Bagan 2.5) mengacu pada keputusan langsung yang

diambil selama kegiatan penerjemahan. Keputusan ini digolongkan ke dalam matricial norms dan textual-linguistic norms. Matricial norms mengatur

segmentasi dan distribusi materi tekstual di dalam Tsa. Textual-linguistic norms mengatur pemilihan materi untuk membuat Tsa ataupun mengganti materi Tsu.

Preliminary norms

Directness of translation Translation policy

commit to user

Bagan 2.7 Operational Norms

Dengan pengaruh karya Even-Zohar dan Toury, beberapa pakar

memberikan paradigma baru mengenai penerjemahan susastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hermans dalam Munday (2000: 120) sebagai berikut:

What they have in common is a view of literature as a complex and dynamic system: a conviction that there should be a continual interplay between theoretical models and practical case studies: an approach to literary translation which is descriptive, target-organized, functional and systemic; and an interest in the norms and constraints that govern the production and reception of translations, in the relation between translation and other types of text processing, and in the place and role of translations both within a given literature and in the interaction between literatures.

Dari pernyataan Hermans di atas tampak jelas bahwa terdapat suatu hubungan yang sangat kuat antara teori polisistem dan Descriptive Translation Studies, suatu hubungan yang saling berkesinambungan antara teori dan praktek penerjemahan. Lebih lanjut, Lambert dan Hendrik van Gorb (dalam Munday, 2000:120) membuat suatu skema yang dapat digunakan untuk membandingkan sistem kesusastraan dalam Tsu dengan Tsa dan penggambaran hubungan antara

Operational norms

commit to user

keduanya. Lambert dan van Gorb membagi skema tersebut ke dalam empat bagian:

a) Preliminary data: pada tahap ini peneliti mengidentifikasi informasi pada halaman judul, metateks (pendahuluan, dan sebagainya), dan strategi umum (apakah terjemahan tersebut sebagian atau lengkap). Hasilnya akan mengarah pada hipotesis yang berkaitan dengan level 2 dan 3 berikut ini.

b) Macro-level: pada tahap ini peneliti melihat pada pembagian teks, judul dan penyajian bab, struktur naratif internal dan komentar penulis. Tingkat ini akan memunculkan hipotesis pada level 3 berikut ini.

c) Micro-level: yaitu peneliti mengidentifikasi pergeseran pada tingkat kebahasaan yang berbeda yang meliputi tingkat leksikal, pola gramatikal, narasi, sudut pandang dan modalitas. Hasil dari tingkat ini akan berinteraksi dengan tingkat makro (level 2) dan mengarah pada konteks sistemik yang lebih luas.

d) Sistemic context: pada tahap ini tingkat mikro dan makro, teks dan teori dibandingkan dan norma-norma diidentifikasi. Hubungan intertekstual (hubungan dengan teks-teks yang lain di dalam penerjemahan) dan hubungan intersistemik (hubungan dengan tipe teks yang lain) juga digambarkan.

Sementara itu, Suryawinata (1982: 83) dan Suparman (2003: 143) menyatakan bahwa penerjemah karya susastra harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

a) Memahami bahasa sumber secara hampir sempurna. Dalam tingkat rekognisi

commit to user

b) Menguasai dan mampu memakai bahasa sasaran dengan baik dan efektif.

c) Mengetahui dan memahami susastra, apresiasi susastra, serta teori terjemahan.

d) Mempunyai kepekaan terhadap karya susastra.

e) Memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural. f) Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.