• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Bangkalan Madura

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa menerjemahkan novel tidaklah mudah. Seorang penerjemah novel diharapkan untuk memahami bahasa sumber dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya karya susastra lebih mengandung unsur ekspresi pengarang dan kesan khusus yang ingin

ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya susastra juga mengandung unsur- unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya.

Penerjemahan karya susastra sebagai proses pengalihan pesan tidak hanya melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran, namun juga melibatkan kondisi sosiobudaya yang berbeda karena suatu teks dalam penerjemahan berada dalam konteks sosiobudaya yang terkait dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan karya susastra tidak bisa dilihat hanya sebagai upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke teks bahasa lain. Faktor lain yang sangat dibutuhkan adalah adanya suatu kompetensi mengenai suatu wacana untuk menghasilkan suatu terjemahan yang benar secara sintaktik, tepat makna, memenuhi unsur kewajaran, keterbacaan, dan secara sosial berterima di dalam suatu konteks yang didasari budaya. Apabila yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali pesan bahasa sumber dalam bahasa sasaran, maka teks sasaran (Tsa) haruslah sepadan

commit to user

dengan teks sumber (Tsu), yaitu dua teks yang isi dan gayanya dapat dipahami secara sama oleh penerima (pembaca) masing-masing teks dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari pesan teks bahasa sumber. Oleh sebab itu penerjemah karya susastra perlu mempunyai pengetahuan yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari bahasa sumber tersebut, memiliki pengetahuan dan kualitas khusus (kesusastraan dan estetika, dan artistika kebahasaan), harus dapat mengidentifikasi unsur-unsur susastra dan memiliki pemahaman budaya dan nilai-nilai karya susastra yang diterjemahkan, serta memahami karya susastra secara menyeluruh.

Di dalam menerjemahkan karya susastra, penerjemah perlu memahami karya itu secara keseluruhan dan harus mengetahui konsep-konsep dasar karya susastra dan analisis karya susastra (Suryawinata, 1982:85). Konsep dasar karya susastra adalah bahwa karya susastra sebaiknya dipandang dari fungsinya sebagai komunikasi. Dengan demikian, karya susastra dilihat sebagai suatu wacana, yaitu sebagai suatu keutuhan yang mengandung informasi, amanat, ekspresi pengarang, dan juga unsur fiksi. Kesemua unsur tersebut diserap dan dihayati di dalam kehidupan dan pengalaman pengarang yang kemudian disusun dan dijalin dengan imajinasinya dan dituangkan ke dalam cerita, drama, atau novel dengan

commit to user

menggunakan bahasa yang sederhana, segar, tepat, dan hidup sehingga karya yang dihasilkan tidak membosankan, dapat mengemukakan secara jelas apa yang dimaksud oleh pengarang sehingga pembaca dapat memahami makna dan pesan yang diinginkan, dan juga dapat menciptakan suasana yang diinginkan dengan cara memakai idiom yang sesuai, register yang sesuai, dan pemakaian bahasa yang benar-benar dapat menggambarkan watak dan kelas sosial. Kesemua unsur tersebut saling terkait di dalam teks secara keseluruhan. Di samping itu, secara praktis yang dibutuhkan seorang penerjemah karya susastra bukanlah untuk mendalami kritik susastra sebagai disiplin ilmu untuk kemudian menjadi seorang kritikus susastra, namun untuk menginterpretasikan suatu karya susastra dengan lebih baik dan menyeluruh. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh seorang penerjemah karya susastra adalah pendekatan analisis yang lebih praktis untuk tujuan pemahaman yang komprehensif dan memadai untuk digunakan di dalam menerjemahkan nantinya.

Suparman (2003: 142) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan karya susastra, misalnya novel bahasa Inggris, penerjemah membaca novel tersebut secara tuntas dari awal hingga akhir dengan maksud untuk menangkap ide global dan aspek-aspek yang ada dalam novel tersebut. Bentuk dan jenis kalimat dalam novel dapat menunjukkan keadaan isi cerita. Pengarang novel sengaja

menuangkan ide-idenya dalam novel dengan kalimat sederhana dan pendek pada halaman-halaman awal. Pada halaman-halaman tengah, kalimat cenderung lebih panjang dan kompleks yang mencerminkan bahwa cerita itu mulai problematik dan memunculkan adanya masalah yang cukup serius. Pengarang sengaja

commit to user

menunjukkan masalah yang cukup rumit dengan kalimat yang rumit juga. Dengan demikian, kalimat cenderung sulit dipahami sebagaimana sulitnya memahami permasalahan yang ditimbulkan. Pengarang sengaja menggunakan komposisi kalimat semacam itu untuk merefleksikan bahwa sederhana-rumitnya kalimat yang dipakai mencerminkan ide cerita.

Menerjemahkan karya susastra, dalam hal ini adalah novel, tidak dilakukan secara kata per kata, yang secara sepintas enak dibaca, tetapi secara keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Suatu kalimat di dalam novel tidak sekadar ujaran yang berdiri sendiri, namun berfungsi sebagai petunjuk akan hadirnya ide-ide yang akan menyusul (Basnett- McGuire,1980). Apabila penerjemah hanya menerjemahkan kata-kata tersebut sebagai kata-kata yang berdiri sendiri dan hanya berdasarkan makna dalam setiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan terasa dangkal dan kehilangan keseluruhan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang aslinya kepada para pembacanya.

Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya kesulitan penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel penerjemahan, maupun juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit.

commit to user

Untuk tujuan penelitian ini, peneliti mengkaji sebuah novel yang berjudul The Highest Tide karya Jim Lynch (2005) yang telah diterjemahkan oleh Arif Subiyanto. Novel tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan Februari 2007 dengan ukuran buku 13.5 x 20 cm dan tebal 328 halaman. Novel tersebut menarik perhatian peneliti untuk dianalisis karena novel tersebut

merupakan pemenang Pacific Northwest Booksellers Book Award 2006 dan telah

dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik. Novel The Highest Tide karya Jim Lynch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan

diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah bahasa saat ini, dan novel The Highest Tide ini merupakan sumber data penelitian yang dianggap sangat bermanfaat untuk menjawab semua permasalahan yang sudah dirumuskan dan target yang ingin dicapai oleh peneliti.

Novel The Highest Tide ini mengisahkan dua minggu musim panas

dalam kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan

sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles. Di dalam novel tersebut, penulis novel tidak hanya ingin menyampaikan kepeduliannya kepada lingkungan setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di dekat tempat tinggalnya, namun dia juga memberi porsi yang cukup untuk bagian- bagian lain yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi, pertemanan, dan problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun mendapatkan pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang

commit to user

mengasyikkan dan seringkali memaksa pembaca tertawa-tawa sendiri. Dalam kaitannya dengan kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan sebagai anak yang sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca buku-buku biologi laut Rachel Carson. Begitu bagusnya pemahaman Miles O’ Malley tentang perilaku makhluk laut, sampai-sampai Profesor Kramer

mengatakan “kau membuat ilmuwan dan orang-orang lain tampak bodoh”. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang bahwa buku ini

memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan.

Beberapa pemilihan diksi yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide tercermin dalam beberapa contoh penerjemahan dari Tsu ke dalam Tsa berikut:

(a) Tsu: The G-spot, Squid Boy.(page 30)

Tsa: G-spot, Dasar anak sotong! (halaman 45)

(b) Tsu: Angie sang in a band called “L.O.C.O.” You couldn’t call it “Loco” for some reasons. (page 18)

Tsa: Angie pernah menjadi vokalis untuk band bernama “L.O.C.O.” Entah kenapa bukan “Loco” saja. (halaman 31)

(c) Tsu: Part of the fuss had to be my appearance. I was a pink-skinned, four- foot-eight, seventy-eight-pound soprano. I came off as an innocent nine-year-old even though I was an increasingly horny, speed-reading thirteen-year-old insomniac.(page 2)

Tsa: Kehebohan itu sebagian dipicu oleh penampilanku. Aku hanyalah

bocah lelaki dengan kulit kemerahan, tinggi satu meter empat puluh enam, berat tiga puluh sembilan kilo, dan suaraku melengking. Penampilanku mirip bocah sembilan tahun yang masih polos, padahal sebenarnya aku sudah remaja, penderita insomnia tiga belas tahun yang mulai berahi dan kutu buku yang keranjingan membaca. (halaman 9).

Di dalam contoh penerjemahan novel tersebut dapat dilihat bahwa :

commit to user

istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang muncul dalam cerita, yaitu dengan sebutan ‘dasar anak sotong’. Padanan makna dari sebutan di atas sudah tepat dan berterima. Namun padanan gaya, dalam hal ini adalah padanan struktur kalimat mengalami perubahan, yaitu dari sebuah frasa dalam Tsu berubah menjadi kalimat eliptik dalam teks terjemahannya. Perubahan ini mungkin dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan, yaitu sekali pun dimungkinkan adanya terjemahan harfiah menurut struktur gramatikal, padanannya tidak wajar atau kaku dalam bahasa sasaran.

(b) Penerjemah menerjemahkan kata-kata khusus dalam Tsu (misalnya nama tertentu seperti loco) dengan padanan makna dan gaya yang tetap ke dalam bahasa dan budaya sasaran yaitu loco.

(c) Penerjemahan tokoh atau karakter di dalam teks novel asli di atas ke dalam karakterisasi yang disesuaikan dengan masyarakat pembaca novel terjemahan mengalami perbedaan, misalnya kulit badan tokoh pink-skinned diterjemahkan menjadi kulit kemerahan. Dalam bidang warna, pink memiliki makna yang berbeda dengan kemerahan. Warna pink terbentuk dari perpaduan antara warna merah dengan warna putih, sementara kemerahan merujuk pada objek yang mengarah ke atau menjadi merah. Padanan ini akan menjadi lebih berterima seandainya kata pink diterjemahkan dengan merah muda. Selain itu, kalimat I was a pink-skinned juga memiliki efek yang berbeda dengan kalimat aku hanyalah bocah lelaki dengan kulit kemerahan. Kata was di dalam kalimat sumber memiliki makna yang berbeda dengan kata hanyalah di dalam kalimat sasaran. Penerjemah di dalam mencari padanan makna dan gaya di dalam menggambarkan tokoh

commit to user

mengenai tinggi badan four-foot-eight di dalam kalimat sumber menjadi satu meter empat puluh enam, berat badan tokoh seventy-eight-pound menjadi tiga puluh sembilan kilodi dalam kalimat sasaran sudah benar dan berterima. Padanan istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang muncul dalam cerita, kata-kata khusus yang ada dalam Tsu, dan gaya yang muncul di dalam contoh di atas dan juga di dalam keseluruhan teks novel The Highest Tide perlu dikaji lebih mendalam, hal ini dimaksudkan untuk mencari hubungan padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa, apakah padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa tersebut untuk memenuhi tuntutan kewajaran atau dipaksakan oleh penerjemah yang disebabkan kekurangpahaman terhadap kedua bahasa.

Hal ini menarik untuk diteliti, karena analisis penerjemahan novel yang didasarkan pada analisis karya terjemahan semata dapat diduga bahwa kualitas terjemahan yang dihasilkan tidak akan memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, hal ini karena karya terjemahan dihasilkan melalui suatu proses penerjemahan dan baik-tidaknya karya terjemahan sangat tergantung pada kompetensi dan strategi penerjemah dalam melakukan proses penerjemahan, dan penerjemah adalah pelaku utama (main agent) proses penerjemahan, karenanya pembuatan keputusan penerjemah sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan kompetensinya. Dengan kata lain, penelitian penerjemahan haruslah dipandang secara menyeluruh (holistik) yang meliputi latar belakang dan kompetensi penerjemah, produk yang dihasilkan, dan tanggapan pembaca terhadap produk terjemahan yang dihasilkan.

commit to user 1.2 Pembatasan Masalah

Dengan bertitik tolak pada latar belakang di atas dan untuk menghasilkan pemahaman masalah secara lebih mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel Pasang Laut (PL) dengan analisis penerjemahan yang melibatkan kesepadanan antara Tsu dan Tsa (faktor objektif), penerjemah (faktor genetik), dan pembaca terjemahan (faktor afektif).

a) Kesepadanan antara Tsu dan Tsa sebagai faktor objektif dibatasi pada kesepadanan makna (leksikal, situasional, tekstual, sosiokultural, dan/atau implisit) antara tsu dan tsa yang berhubungan dengan penerjemahan bagian- bagian substansi di dalam novel HT, yaitu: (1) budaya materi, (2) istilah ekologi, (3) budaya sosial, dan (4) gaya bahasa ; dan kesepadanan gaya yang meliputi: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca yang digunakan dalam tsu dan tsa. Sedangkan kualitas terjemahan dikategorikan berdasarkan: terjemahan hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup, dan terjemahan kurang.

b) Penerjemah sebagai faktor genetik dibatasi pada masalah latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan bagian-bagian yang khas dalam novel HT. Penerjemah yang dimaksud adalah penerjemah profesional Indonesia yang karya terjemahannya telah diterbitkan.

commit to user

c) Pembaca sebagai faktor afektif dibatasi pada pemahaman pembaca terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan, yaitu novel terjemahan Pasang Laut. Pemahaman pembaca ini dilandasi dengan pertimbangan bahwa pemahaman terhadap sebuah teks dapat diukur secara empirik,yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu teks yang diterjemahkan.

Peneliti menyadari bahwa di dalam menganalisis penerjemahan suatu novel haruslah dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain: kepribadian penerjemah, latar belakang sosial dan budaya penerjemah, dan berbagai peristiwa di sekitar penerjemah yang berkaitan dengan proses penerjemahan. Namun dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti, beberapa aspek tersebut tidak diteliti. Di samping itu, peneliti tidak meneliti secara satu per satu kata yang terdapat di dalam novel sumber dan terjemahannya, namun dibatasi pada analisis penerjemahan bagian-bagian yang khas yang terdapat di dalam novel. Pembatasan ini selain pertimbangan

keterbatasan waktu, juga dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman masalah secara lebih khusus dan mendalam, yaitu tidak meneliti terjemahan novel secara harfiah dan umum saja, namun lebih pada bagian-bagian yang khas atau khusus di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya Pasang Laut.

commit to user 1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Bagaimanakah kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya

materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya?

b) Bagaimanakah latar belakang penerjemah dan keterkaitannya dengan

kualitas terjemahan yang dihasilkan?

c) Bagaimanakah pemahaman pembaca dan keterkaitannya dengan kualitas

terjemahan yang dihasilkan?