• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Bangkalan Madura

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

2.2 Landasan Teor

2.2.3 Makna dan Gaya dalam Penerjemahan

2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan

Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.1 mengenai definisi meaning, denotation, reference, dan sense bahwa di dalam penerjemahan yang dapat dialihbahasakan adalah sense atau makna. Oleh karena itu, makna atau sense ini memegang peranan penting di dalam penerjemahan. Lebih lanjut, makna dalam penerjemahan tidak hanya bisa dirunut dari kata per kata secara individual, tetapi makna dalam penerjemahan harus dilihat dari rangkaian antarkata yang saling berkaitan secara utuh yang terbungkus dalam suatu prosodi atau dengan situasi tempat kata-kata itu digunakan (Soemarno, 1999:2). Dengan kata lain

commit to user

bahwa makna yang dibahas di dalam penerjemahan adalah makna-makna yang langsung berhubungan dengan makna yang terdapat dalam teks.

Di dalam praktek menerjemahkan, perhatian seorang penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata, namun meluas ke masalah

pengalihan pesan atau message (Nababan, 2003: 48). Pesan merupakan

keseluruhan makna atau isi suatu wacana yang hendak disampaikan oleh penulis atau pembicara untuk dimengerti dan diterima oleh pembaca atau pendengar. Jadi, pesan terdiri dari serangkaian kata atau lambang yang mempunyai makna, yang kemudian dituturkan atau dituliskan untuk menyampaikan informasi kepada pembaca atau pendengar. Misalnya, belajar adalah suatu kata. Kata belajar itu mempunyai arti tetapi belum dapat dikatakan sebagai suatu pesan karena informasi yang ada pada kata tersebut belum lengkap. Namun, kata belajar tersebut akan memiliki pesan apabila dituliskan dengan rangkaian kalimat Naura dan Najwa belajar membuat kue pastel kemarin. Rangkaian kata tersebut

mengandung pesan karena disusun secara logis dan memiliki informasi yang cukup lengkap untuk diterima oleh pembaca.

a) Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem di dalam suatu teks yang bersifat tetap. Makna tersebut dapat berupa makna literer maupun makna non-literer (Saeed, 2000: 15-17). Di dalam proses penerjemahan, penerjemah bisa mencari padanan makna yang mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dalam bahasa sasaran. Tetapi dalam penerjemahan seringkali para

commit to user

penerjemah mendapat kesulitan untuk menemukan padanan yang betul-betul sama persis. Hal ini disebabkan karena makna dalam suatu bahasa yang selalu

mengikuti perkembangan budaya suatu bangsa.

Dalam kaitannya dengan penerjemahan, Soemarno (1999:3)

mengelompokkan kata-kata bermakna leksikal ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) kata-kata dalam Bsu yang dengan mudah dapat dicari padanannya dalam Bsa, misalnya kata-kata seperti radio = radio, computer = computer, book = buku, gold = emas, dan sebagainya, (2) kata-kata bermakna leksikal Bsu yang mempunyai padanan dalam Bsa, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal tersebut (dalam Bsu dan Bsa) masih dianggap padanan, sehingga penerjemah masih bisa menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan, misalnya kata ‘rich’ (Ing) dan ‘kaya’ (Ind). Kata itu masih bisa digunakan sebagai padanan walaupun ukuran ‘kaya’ antara negara satu dengan lainnya berbeda-beda, (3) kata- kata dalam Bsu yang sulit dicari padanannya dalam Bsa, bahkan ada kata-kata tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa (untranslatable), dan ketakterjemahan ini bisa dilihat dari faktor linguistik maupun kultural. Misalnya kata ‘thanksgiving’ dalam bahasa Inggris sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, sebaliknya kata ‘permisi’ (yang diucapkan sewaktu seseorang yang akan meninggalkan rumah) sulit dicari padanannya dalam bahasa Inggris, karena kebiasaan itu tidak ada dalam bahasa Inggris.

commit to user b) Makna Situasional atau Kontekstual

Setiap kata dalam suatu bahasa sering sekali mempunyai makna lebih dari satu. Makna apa yang ada dalam satu kata itu sangat dipengaruhi oleh konteks di mana kata itu digunakan dalam proses komunikasi. Makna suatu kata akan mempunyai arti sebanyak situasi atau konteks yang menyertainya

(Soemarno,1999:5). Dengan demikian kemampuan penerjemah dalam memahami situasi di mana kata itu digunakan menjadi sangat penting, sehingga ia mampu menemukan padanan makna yang sesuai dalam bahasa sasaran. Konteks sering kali terikat oleh tempat dan juga waktu yang menyertainya. Sebagaimana contoh berikut:

a. The prisoner thought that the policeman would not have the heart to fine him.

b. The rescue team hopes that the weather will be fine soon. c. Do you think the victims of the earthquake will be fine soon.

Fine pada ketiga kalimat tersebut tampaknya tidak mempunyai makna yang

benar-benar sama, walaupun bentuk kata tersebut benar-benar sama. Makna kata fine dalam masing-masing kalimat tersebut sudah sangat dipengaruhi oleh konteks di mana kalimat tersebut digunakan. Pada kalimat 1, fine berhubungan dengan konteks hukum yang berarti ‘mendenda’. Hal ini berbeda dengan kalimat 2, fine berarti ‘cerah’ karena berkaitan dengan kontek cuaca, sedangkan kalimat 3, fine berarti ‘sehat’ karena berkaitan dengan kesehatan.

c) Makna Tekstual

Makna tekstual adalah makna yang berkaitan erat dengan suatu teks atau wacana (Soemarno,1999:6). Kadang-kadang suatu bentuk kata yang sama akan

commit to user

mempunyai makna yang berbeda apabila kata itu digunakan dalam wacana yang membicarakan bidang kajian yang berbeda. Misalnya kata morfologi yang digunakan di dalam wacana biologi akan berbeda maknanya dengan morfologi yang digunakan di dalam wacana linguistik. Makna instrumen dalam wacana penelitian berbeda dengan instrumen dalam wacana musik. Perbedaan makna itu dikarenakan adanya perbedaan konteks.

Sebenarnya makna tekstual masih ada kaitannya dengan makna

kontekstual. Bedanya adalah kalau makna kontekstual hanya sekadar dipengaruhi oleh satu atau dua kalimat saja, sedangkan makna tekstual sangat dipengaruhi oleh seluruh wacana yang menjadi latar belakang di mana kata itu digunakan. Kedua pengertian ini masih sering dicampuradukkan oleh beberapa kalangan, karena kedua hal tersebut dianggap suatu hal yang sama.

d) Makna Sosiokultural

Makna suatu bahasa sangat berkaitan erat dengan situasi sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat

(Soemarno,1999:7). Kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya sebagai pengguna bahasa tentu saja mempunyai istilah-istilah budaya yang bersifat unik yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan padanannya dalam bahasa yang lain.

Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat sebagai pengguna bahasa itu. Makna ini, selain sering ditemukan dalam bentuk kata-kata istilah budaya, seperti thanksgiving, labamba, mitoni, dan sebagainya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang

commit to user

tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu, seperti miss the boat, feel like a million buck, black sheep dan sebagainya.

Seorang penerjemah harus peka terhadap kata-kata yang erat kaitannya dengan istilah-istilah sosiokultural itu. Penerjemah harus mampu mengidentifikasi apakah istilah-istilah itu ada kemiripan atau padanannya dalam bahasa sasaran atau tidak, sehingga penerjemah dapat menentukan apa yang harus diperbuat ketika mengalihkan makna yang berkaitan dengan sosial budaya suatu masyarakat tertentu.

e) Makna Implisit

Makna implisit adalah makna yang tidak diungkapkan secara nyata atau tertulis oleh penulis atau pembicara karena pembaca atau lawan bicara/pendengar sebagai interlocutor (teman bicara) telah memahami maksud dari tulisan atau pembicaraan itu (Soemarno, 1999:8).

Di dalam bahasa pragmatik penutur tidak mengungkapkannya melalui eksplikatur, tetapi melalui implikatur. Istilah implikatur ini diciptakan oleh Grice (1975), yang semula membedakan makna ujaran menjadi dua, yakni makna natural dan makna non-natural. Makna natural adalah makna yang muncul bila ujaran yang sama muncul. Jadi makna natural suatu ujaran selalu sama. Makna non-natural adalah makna yang berubah-ubah tergantung pada konteks

percakapannya. Makna non-natural inilah yang kemudian menjurus ke apa yang disebut oleh Grice sebagai implikatur, yaitu yang mengacu ke makna yang tersirat: yang tidak dikatakan oleh penutur, tetapi dikomunikasikan juga. Dengan

commit to user

implikatur, petutur menerka-nerka yang mana sebenarnya yang dimaksud oleh penutur.

Makna implisit sering kali tersembunyi di balik gramatika bahasa, intonasi bahasa, dan juga tersembunyi dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat kiasan. Agar mampu memahami makna yang ada dibalik gramatika bahasa itu,

penerjemah harus paham mengenai sistem yang ada pada bahasa tersebut. Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca hasil terjemahan, penerjemah boleh saja mengalihkan makna yang implisit itu menjadi eksplisit sehingga pembaca terjemahan tidak mengalami salah persepsi. Sebagai contoh dapat diamati dialog berikut:

i. :What are you eating? ii. :Bread

Dalam menjawab pertanyaan di atas, B tidak perlu mengucapkan kata-kata ‘I am eating’ karena B menganggap bahwa A pasti mengetahui apa isi kata-kata yang tidak diucapkan itu. Bagian makna yang tidak diucapkan itu disebut makna implisit.

2.2.3.4 Gaya

Konsep gaya (style) menurut Leech and Short (1981:10) adalah suatu sistem pilihan penggunaan bahasa. Secara lebih khusus Leech and Short menjelaskan bahwa gaya merupakan sistem pilihan penggunaan bahasa secara individu yang dilakukan oleh penulis dan gaya tidak digunakan sebagai suatu

commit to user

sistem pemakaian bahasa yang melibatkan tingkat sosial suatu kelompok, yaitu pemakaian bentuk bahasa yang berhubungan dengan situasi sosial tertentu.

Clifford (2001: 90) mendefinisikan gaya sebagai berikut: “Style can be defined as a characteristic mode of expression, and consciously or unconsciously the translator displays one. In this respect, style is inextricably intertwined with one’s idiolect, the way an individual normally speaks”. Definisi ini selaras dengan yang dinyatakan Wales dalam kamusnya Dictionary of Stylistics (2001:371) bahwa gaya pada dasarnya merupakan manner of expression dari seorang penulis atau consistent way of such choosing yang dilakukan secara nyata oleh penulis (Sandell, 1977:15).

Sementara itu di dalam kamus bahasa Inggris Encarta (2004) disebutkan bahwa gaya merupakan way of writing or performing, yaitu cara bagaimana suatu kata atau kalimat ditulis atau diucapkan yang secara nyata dibedakan dengan kandungan atau isi tulisan atau ucapan. Lebih lanjut, Lynch (2001) memberikan konsep gaya yang lebih luas bahwa gaya berarti sesuatu mengenai cara bagaimana kita menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan yang membedakan tulisan yang baik dengan tulisan yang jelek. Di sini jelas bahwa gaya digunakan sebagai suatu istilah yang menekankan pada bentuk atau format dan membedakannya dengan isi tulisan. Dengan kata lain, bahwa gaya adalah bagaimana (how) cara menyajikan atau mengkomunikasikan sesuatu sedangkan isi atau makna mengacu pada apa (what) yang disajikan atau dikomunikasikan. Gaya juga merupakan jembatan individu yang membedakan seorang penulis yang baik dengan penulis biasa (Chandler, 2004:1).

commit to user

Di dalam karya susastra, gaya adalah penggunaan bahasa yang dilakukan oleh pengarang yang berbeda dengan penggunaan bahasa secara umum (Toolan, 1990: 3). Gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan paragraf. Misalnya, seorang penulis mungkin menggunakan kata-kata sederhana dan kalimat langsung, sementara penulis yang lain mungkin menggunakan kosakata yang sulit dan mengelaborasi struktur kalimatnya (Encarta, 2004).

Lebih jauh, gaya dalam karya susastra tidak dapat dipisahkan dengan makna atau pesan yang ada di dalam karya tersebut. Sebagaimana yang

dinyatakan oleh Saad (2003:6) bahwa karya susastra, misalnya puisi atau prosa tidak dapat menyampaikan pesan yang terpisah dengan bentuknya, keduanya baik pesan dan bentuk harus seiring sejalan.

Enkvist (1964:15) menyatakan bahwa gaya adalah suatu efek emosi tertentu di dalam karya susastra yang dicapai melalui penggunaan unsur bahasa. Penggunaan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan bahasa yang rapi, indah, yang biasa saja, ataupun dengan

menggunakan bahasa yang buruk. Dengan kata lain, penggunaan unsur bahasa yang berbeda-beda tersebut dilakukan dengan menggunakan kosakata denotatif maupun konotatif untuk menimbulkan suatu efek keindahan. Sementara itu, Junus (1989: 101) menyatakan bahwa gaya tidak bisa dilepaskan dari makna, karena gaya berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Oleh karena itu, apabila berhadapan dengan sebuah teks atau wacana, maka kita dapat

commit to user

memberikan interpretasi terhadap penggunaan gaya tersebut. Dengan kata lain, gaya adalah sesuatu yang dapat diinterpretasikan.

Gaya di dalam penerjemahan karya susastra merupakan potret dari wajah si pengarang. Gaya seorang pengarang menentukan pilihan katanya dan

penerjemah menjadi seorang mediator yang harus memberikan berbagai pilihan padanan. Jadi, pilihan kata yang menurut pengarang benar juga akan menjadi benar menurut penerjemah.

Di dalam menerjemahkan karya susastra, memahami fitur-fitur kebahasaan sangatlah penting, dan penerjemah seharusnya memiliki kemampuan

mengapresiasi dan menganalisis unsur seni dan pencitraan yang disajikan. Penguasaan bahasa asing saja tidaklah mencukupi, namun penguasaan bahasa asing ini penting sebagai landasan atau dasar yang baik untuk menerjemahkan. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa salah satu faktor penting di dalam menerjemahkan karya susastra adalah kealamian karya tersebut dan penggunaan sifat-sifat kebahasaan di dalam susastra tersebut. Bahasa susastra melibatkan serangkaian fitur-fitur kebahasaan tertentu dan cara bagaimana fitur-fitur kebahasaan tersebut digunakan. Memahami karya susastra berarti melibatkan pemahaman dan penganalisisan fitur-fitur bahasa susastra tersebut. Oleh karena itu, memahami karya susastra merupakan syarat mutlak dalam menerjemahkan karya susastra, sebagaimana dinyatakan oleh Said Shiyab and M. Stuart Lynch (2003:4) berikut:

commit to user

What translators need, in this respect, is not only to analyze words and concepts, but to create the artistic representations that affect the audience. The audience through the poetic images and the artistic representations conveyed in the original text and manifested in the translation must feel such ‘art’. In this respect, translating a text means creating a work of art in another language, this kind of work requiring the translator to be sensitive and imaginatively creative. The study of style, therefore, is the most fundamental issue in the translation of literary texts, playing an important role in literary translation,

particularly the work that embodies such artistic devices as metaphor, symbolism, and even repetition.

Duff ( 1981: 7) menyatakan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mempertimbangkan, misalnya, untuk siapa karya atau terjemahannya itu diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca. Itu berarti dia harus menentukan ragam bahasa terjemahannya dan mempertahankan ragam bahasa itu secara ajeg. Bila kita cermati pendapat Duff ini, maka seorang penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah, dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal sama berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan sebuah prosa, maka penerjemah harus memunculkan gaya prosa tersebut dalam terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa prosa tersebut tidak seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah.

Di dalam mempertahankan gaya, di samping tentunya kesetiaan pada isi pesan, maka pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara tepat. Penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembacanya. Hal ini perlu karena kemampuan seorang ahli akan berbeda dari kemampuan seorang yang belum ahli dalam memahami isi

commit to user

teks terjemahan yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para pembaca yang bukan ahli dalam disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa mengaburkan atau menghilangkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Kata-kata yang masih asing bagi mereka perlu dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran yang

memungkinkan pembaca dapat memahami konsep yang terkandung dalam kata- kata tersebut. Sebaliknya, pembaca yang profesional tidak begitu mengalami kesulitan dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah yang rumit dan konseptual.

Juga, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya saja tetapi lebih dari satu gaya, maka penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, gaya menunjukkan keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam Tsu.

Gaya dapat diukur secara kuantitatif dengan cara menentukan frekuensi unsur-unsur gaya tersebut (Leech and Short, 1981:42). Unsur-unsur gaya tersebut dapat dilihat dari sudutpandang kebahasaan (Xiaoshu, 2003: 2; Shiyab, 2003:4). Di dalam sudut pandang kebahasaan ini, di dalam proses penerjemahan, semua paragraf, kalimat, dan kata harus betul-betul diperhatikan sehingga pemilihan terbaik dapat diambil untuk menghasilkan pemikiran, perasaan, dan gaya yang

commit to user

alami. Dari sudutpandang ini, gaya dibentuk dengan penggabungan paragraf, kalimat, dan kata. Oleh karena itu, beberapa kalimat atau kata-kata tunggal yang tidak diterjemahkan dengan baik, kalimat atau kata-kata tersebut tidak akan mempengaruhi gaya secara keseluruhan dari karya yang diterjemahkan.

Di sini jelas bahwa paragraf, kalimat, dan kata benar-benar penting di dalam gaya. Paragraf, kalimat, dan kata merupakan dasar utama dari gaya. Kalimat dibentuk dari kata-kata, paragraf dibentuk dari kalimat-kalimat, dan keseluruhan karya dibentuk dari paragraf-paragraf. Karya yang sangat baik

dihasilkan melalui kesempurnaan paragraf, paragraf dihasilkan melalui pemakaian kalimat yang sempurna, dan kalimat dihasilkan melalui pemilihan kata yang benar-benar sesuai. Ke semua hal tersebut adalah yang ingin dicapai oleh penulis dan penerjemah dalam usahanya membuat hasil terjemahan yang benar-benar sepadan gayanya. Dengan demikian, di dalam proses penerjemahan, penerjemah harus melihat keseluruhan karya melalui kata-kata, kalimat dan paragraf dan menentukan gaya yang bagaimana yang akan dipakai. Kemudian penerjemah mulai menerjemahkan secara kalimat per kalimat dan paragraf per paragraf mulai dari awal sampai akhir dengan terus memperhatikan pada reproduksi gaya yang digunakan.

Bolaños (2008: 212) menyatakan bahwa gaya merupakan karakteristik tekstual dari semua jenis teks yang menunjukkan bentuk verbalisasi penulis sesuai dengan maksud komunikatifnya. Lebih lanjut Bolaños menyebutkan lima

parameter untuk menjelaskan gaya. Pertama adalah mendramatisir pergeseran gaya, yaitu penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah

commit to user

atau menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada di dalam Tsa. Kedua adalah penggunaan ekspresi idiomatik, yaitu

menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu. Ketiga adalah penggunaan gaya bahasa, yaitu penggunaan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber. Keempat adalah penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya. Kelima adalah penggunaan tanda baca, yaitu penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.

Dari paparan yang disajikan di dalam sub-bab 2.1.3.1 mengenai jenis-jenis makna dan sub-bab 2.1.3.2 mengenai parameter gaya, keseluruhan jenis-jenis makna tersebut, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, makna implisit, dan parameter yang digunakan untuk menjelaskan gaya sebagaimana disampaikan di atas, dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.