• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Bangkalan Madura

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

2.2 Landasan Teor

2.2.8 Konsep Kesepadanan

Penerjemahan pada dasarnya merupakan pengalihan suatu pesan dan gaya bahasa suatu teks yang sepadan dari bahasa yang satu (bahasa sumber) ke bahasa yang lain (bahasa sasaran). Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan akhir penerjemahan (Zhu, 2004). Di dalam usaha mencari suatu padanan yang optimal bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Menurut Machali (2000, 106) kesepadanan bukanlah kesamaan. Hal ini karena bahasa berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk maupun kaidah yang mengatur konstruksi gramatikal. Hal senada disampaikan oleh Bassnett (2002:37) bahwa kesepadanan (equivalence) di dalam penerjemahan seharusnya tidak disebut dengan kesamaan (sameness) karena kesamaan tidak dapat muncul bersama antara dua bentuk Tsa dari teks yang sama, namun tetap berdiri sendiri antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, Pym (2007:2) mengatakan bahwa teks bahasa

commit to user

sumber dan teks bahasa sasaran tidak bisa disebut berpadanan karena konsep terjemahan itu sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep sendiri-sendiri.

Lebih lanjut, menurut Nababan (2008) suatu kesepadanan penerjemahan antara Tsa dengan Tsu sangatlah problematik, dalam arti bahwa kesepadanan mutlak sangatlah sulit dicapai. Hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin suatu teks memiliki interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang sama dalam kesempatan yang berbeda; penerjemahan merupakan interpretasi subjektif dari penerjemah (sama dengan pendapat William, 2001) ; dan tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana tanggapan pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali dibuat. Di dalam usaha mencari hubungan padanan ini, beberapa pakar penerjemahan (Catford (1974); House (1977:49); Newmark (1981); Nida and Taber (1982:200- 201); Bell (1991:6); Baker (1992:11-12); Vinay dan Darbelnet (1995:342);

Munday (2000); Jakobson (2000: 233))menyodorkan berbagai pendapat

mengenai konsep kepadanan dalam penerjemahan.

Vinay and Darbelnet (1995:342) memandang kesepadanan sebagai suatu

prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Menurut Vinay dan Darbelnet, apabila prosedur ini diterapkan dalam proses penerjemahan, prosedur tersebut mampu menjaga bentuk atau gaya dari Tsu ke dalam Tsa. Oleh karena itu, kesepadanan tersebut merupakan metode yang sangat ideal di dalam menerjemahkan peribahasa, idiom, frase nominal atau sifat, dan

commit to user juga onomatopi suara binatang.

Lebih lanjut Vinay dan Darbelnet mengatakan penciptaan kesepadanan

muncul dari suatu situasi, yaitu situasi di dalam Tsu yang akan dicarikan solusinya atau padanannya oleh penerjemah. Di dalam mencari padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama atau dalam istilah mereka di sebut dengan 'full equivalents'.

Kesepadanan menurut Jakobson (2000: 233) adalah penggunaan sinonim

untuk mendapatkan makna dari Tsu (hal yang sama juga disampaikan oleh

Amstrong, 2005:44). Hal ini berarti bahwa di dalam penerjemahan tidak ada yang namanya full equivalence antara fitur-fitur kebahasaaan di dalam Tsu dan Tsa. Di dalam konsep kesepadanan ini dapat dijelaskan bahwa penerjemahan melibatkan dua pengalihan pesan yang sepadan di dalam dua fitur kebahasaan yang berbeda. Lebih lanjut Jakobson mengatakan bahwa dari sudut pandang gramatikal bahasa pastilah berbeda satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berarti bahwa penerjemahan tidak dapat dilakukan, atau dengan kata lain bahwa penerjemahan tetap dapat dilakukan meskipun menghadapi masalah di dalam mencari padanan penerjemahan. Di dalam mencari padanan ini dapat dilakukan dengan cara

peminjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, atau penciptaan kata sendiri.

Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Jakobson ini dapat dijelaskan

bahwa di dalam hal-hal tertentu tidak ada kesepadanan literal untuk kata-kata atau kalimat tertentu atau khas di dalam Tsu dan oleh karena itu penerjemah harus memilih atau mencari cara yang paling sesuai atau memungkinkan diterapkan

commit to user

pada Tsa. Di sini nampak bahwa ada kesamaan antara konsep kesepadanan Vinay dan Darbelnet dengan konsep Jakobson. Kedua konsep kesepadanan tersebut menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, dan sebagainya. Kedua konsep tersebut menjelaskan keterbatasan teori linguistik dan menjelaskan bahwa penerjemahan tetap dapat dilakukan karena masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah.

Menurut Nida (1982:200-201) terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu

kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal mengacu pada kesepadanan maksimal pada kata atau frase bahasa sumber. Nida dan Taber memberikan kejelasan bahwa tidak selalu ada kesepadanan formal antara dua bahasa. Oleh karena itu, Nida dan Taber menyarankan bahwa kesepadanan formal dipakai apabila penerjemahan bertujuan untuk mendapatkan kesepadanan yang benar-benar formal daripada kesepadanan yang sifatnya dinamis. Penggunaan kesepadanan formal ini membawa implikasi yang cukup serius di dalam Tsa karena penerjemahan tersebut tidak akan mudah dipahami oleh pembaca (Fawcett, 1997). Nida dan Taber sendiri menyatakan bahwa kesepadanan formal pada umumnya menyimpangkan pola gramatikal dan gaya dari bahasa sasaran, dan oleh karenanya juga menyimpangkan pesan atau makna yang disampaikan kepada pembaca karena pembaca akan sangat sulit memahami pesan yang disampaikan.

Kesepadanan dinamis mengacu pada prinsip penerjemahan bahwa

commit to user

dalam Tsa akan membangkitkan pengaruh atau efek yang sama kepada pembaca sasaran sebagaimana pengaruh atau efek yang dibangkitkan Tsu terhadap

pembaca Tsu. Hal ini berarti bahwa bentuk atau gaya di dalam Tsu dapat diubah sepanjang perubahan tersebut mengacu pada konsistensi kontekstual dalam pengalihannya.

Konsep kesepadanan oleh Nida dan Taber ini menyiratkan secara jelas

bahwa kesepadanan dinamis lebih efektif (Ibrahim, 2008:1) daripada kesepadanan formal karena hal ini dapat dipahami bahwa konteks atau situasi jauh lebih akurat dan komunikatif daripada menggunakan pendekatan linguistik di dalam

menerjemahkan, atau dengan kata lain kualitas pragmatik-semantik lebih menjelaskan kesepadanan dalam penerjemahan daripada sekadar kesepadanan harfiah saja. Atau dalam pandangan Hatim dan Munday (2004:27) bahwa kesepadanan formal hanya melibatkan pendeskripsian sistem kebahasaan saja (langue) dan bukannya perbandingan dan kesepadanan antara Tsu dan Tsa.

Newmark (1981) membedakan konsep kesepadanan antara kesepadanan

semantik dan kesepadanan komunikatif. Sama halnya dengan konsep kesepadanan dinamis yang diberikan oleh Nida dan Taber, kesepadanan komunikatif juga berusaha menciptakan efek terhadap pembaca Tsa yang sama dengan apa yang diterima oleh pembaca Tsu.

Munday (2000) menggambarkan konsep kesepadanan dalam lima jenis

kesepadanan, yaitu: (1) kesepadanan denotatif, yaitu yang berhubungan dengan kesepadanan ekstralinguistik suatu teks, (2) kesepadanan konotatif, yaitu yang berhubungan dengan pilihan-pilihan leksikal, (3) kesepadanan teks-normatif, yaitu

commit to user

yang berhubungan dengan jenis-jenis teks, (4) kesepadanan pragmatik, atau kesepadanan komunikatif, yaitu kesepadanan yang ditujukan pada pembaca teks, dan (5) kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang berhubungan dengan bentuk atau gaya suatu teks.

Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Catford (1974) ini benar-benar

berbeda dengan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet, Jakobson, maupun Nida dan Taber karena Catford lebih menekankan pada pendekatan yang berbasis linguistik dengan kontribusi terbesarnya di dalam terjemahan yaitu mengenai pergeseran terjemahan (translation shift). Gagasan mengenai pergeseran terjemahan tersebut pada dasarnya berawal dari perbedaan antara kesepadanan formal dan kesepadanan tekstual. Di dalam terjemahan terikat (rank-bound translation), kesepadanan dilakukan secara kata per kata atau morfem per morfem di dalam Tsa. Sementara itu, di dalam terjemahan bebas (unbounded translation), kesepadanan tidak terikat pada tataran tertentu, dalam arti bahwa kesepadanan dapat ditemukan di dalam tingkat kalimat, klausa, ataupun tingkat yang lain.

Oleh karena itu, menurut Catford bahwa kesepadanan formal selalu ada

antara Tsu dan Tsa dan memiliki konfigurasi yang sama di dalam tataran (ranks) Tsu dan Tsa. Salah satu masalah yang nyata di dalam kesepadanan formal adalah meskipun bermanfaat di dalam perbandingan bahasa, namun tidak benar-benar sesuai di dalam memcari kesepadanan terjemahan antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, kesepadanan tekstual terjadi ketika teks di dalam bahasa sasaran diselaraskan supaya sepadan dengan teks yang ada di dalam bahasa sumber. Sejauh pergeseran terjemahan dapat dilakukan, maka kesepadanan terjemahan dapat dilakukan.

commit to user

Dengan alasan ini, Catford membedakan pergeseran terjemahan dengan pergeseran tingkat (level shifts) dan pergeseran kategori (category shifts).

Konsep kesepadanan Catford ini menuai banyak kritik. Salah satu kritik

yang paling tajam berasal dari Snell-Hornby (1988:19-20), yaitu yang mengatakan bahwa definisi kesepadanan tekstual Catford yang sangat bergantung pada faktor tekstual ‘benar-benar tidak cukup’ di dalam proses penerjemahan. Snell-Hornby menyatakan bahwa proses penerjemahan tidak cukup hanya dengan pengurangan atau pergeseran pada tataran linguistik saja, namun masih ada faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu aspek budaya dan konteks.

House (1977:49) lebih menekankan pada kesepadanan semantik dan

pragmatik dan menyatakan bahwa Tsu dan Tsa seharusnya memiliki fungsi dan dimensi situasional yang sama. Jadi, apabila Tsu dan Tsa secara substansial berbeda dimensi situasinya dan kemudian secara fungsinya tidak sepadan, maka terjemahan tersebut tidak memiliki kualitas terjemahan yang tinggi.

Sementara itu, Baker mengeksplorasi kesepadanan dalam berbagai

tingkatan di dalam proses penerjemahan. Menurut Baker (1992:11-12), kesepadanan dapat digolongkan ke dalam: (a) kesepadanan kata, yaitu kesepadanan antar kata, (b) kesepadanan gramatikal, yaitu mengacu pada

perbedaan-perbedaan kategori gramatikal bahasa sumber dengan bahasa sasaran, (c) kesepadanan tekstual, yaitu mengacu pada kesepadanan antara Tsu dan Tsa dalam hal makna dan kohesinya, dan (d) kesepadanan pragmatik, yaitu mengacu pada implikatur dan strategi yang digunakan selama proses penerjemahan.

commit to user

Bell (1991:6) membagi kesepadanan berdasar sifat bahasa itu sendiri, yaitu sebagai struktur formal dan sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai struktur formal terdiri dari unsur-unsur yang dikombinasikan dan yang memiliki makna. Bahasa sebagai sistem komunikasi dalam arti bahwa bentuk-bentuk struktur formal tersebut mengacu pada entitas dan disertai dengan sinyal-sinyal yang memiliki nilai komunikasi. Berdasarkan sifat bahasa ini kesepadanan terjemahan dibedakan atas kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang bebas konteks, dan kesepadanan fungsional, yaitu kesepadanan yang berorientasi pada nilai-nilai komunikasi teks.

Dari beberapa konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh para pakar

tersebut, secara substansial dapat dilihat bahwa beberapa pakar lebih berfokus pada aspek linguistik dan beberapa pakar lain lebih pada fungsinya. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Leonardi (2000:1) bahwa konsep kesepadanan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok pakar penerjemahan yang mendasarkan pada pendekatan linguistik di dalam upaya mencari

kesepadanan di dalam menerjemahkan, (2) kelompok pakar penerjemahan yang mendasarkan kesepadanan dengan melihat pada perbedaan aspek

pragmatik/semantik, fungsi, dan budaya, dan (3) kelompok pakar penerjemahan yang berdiri di tengah-tengah, yang menganggap bahwa penerjemahan dapat didasarkan pada pendekatan linguistik maupun dengan melihat pada perbedaan aspek semantik dan budaya.

Di dalam penelitian ini, konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet dan konsep kesepadanan oleh Jakobson digunakan sebagai

commit to user

landasan di dalam menentukan kesepadanan makna dan gaya. Kedua konsep tersebut dianggap mewakili dalam menentukan konsep kesepadanan di dalam penelitian ini, yaitu bahwa kesepadanan adalah sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Di dalam mencari padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama. Kedua konsep kesepadanan tersebut juga

menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, atau cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan

gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur (Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk

menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang

commit to user

sepadan makna dan gayanya. Sementara itu, menurut Aguardo (2005:294) strategi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesepadanan adalah dengan menggunakan berbagai strategi menerjemahkan dengan memperhatikan pada tataran kata, kalimat, dan pertanyaan-pertanyaan pada makna-makna leksikal.

Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan

budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan (Riazi, 2008). Penerjemah perlu mempertimbangkan secara mendalam penggunaan gaya di dalam Tsa. Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa, penerjemah dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam bahasa sasaran yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya (Pinto, 2001; House, 2001) dan juga tugas penerjemah perlu mengenali jenis-jenis teks sebelum memulai menerjemahkan (Nieminen, 2004).