• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keutuhan Keluarga

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 67-0)

IV. Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga 39

4.2. Keutuhan Keluarga

Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai sejumlah fungsi, seperti fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, pembinaan lingkungan (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994). Keluarga dapat terpecah atau tidak berfungsi secara normal apabila salah satu atau lebih anggota keluarga tidak atau gagal menjalankan tugas dan fungsinya. Salah satu contohnya adalah hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis atau ikatan emosi antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik.

Kondisi seperti ini sangat berpengaruh pada kesinambungan fungsi sosial keluarga dan akhirnya berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan keluarga. Dalam banyak kasus, fungsi sosialisasi tersebut harus diambil alih oleh orang lain atau lembaga lain.

Untuk menjamin keberlangsungan fungsi sosial tersebut maka setiap anggota keluarga harus tinggal bersama dalam satu atap, dengan ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya. Itulah alasan mengapa keutuhan keluarga menjadi salah satu komponen dari ketahanan keluarga.

Peluang terjadinya kegagalan fungsi keluarga akan semakin besar ketika salah satu anggota keluarga, terutama suami atau istri tidak tinggal bersama dalam satu rumah. Namun sering kali terdapat suatu kondisi yang memaksa pasangan suami-istri untuk tinggal terpisah. Contohnya, suami-istri yang harus tinggal terpisah karena tuntutan pekerjaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Suami-istri yang tinggal terpisah dalam waktu cukup lama beresiko tinggi untuk mengalami rasa curiga dan pertengkaran yang lebih sering dan berujung pada kehidupan keluarga yang tidak harmonis.

Pada tahun 2015, tercatat 81,45 persen rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berstatus kawin dan hampir semua kepala rumah tangga yang berstatus kawin tersebut tinggal bersama dalam satu rumah dengan pasangannya (Lampiran 4.5). Pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam satu rumah memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak daripada mereka yang tidak tinggal serumah.

Sehingga, pasangan suami-istri yang tinggal serumah memiliki ketahanan keluarga yang lebih kuat daripada mereka yang tidak tinggal serumah. Oleh karena 95 persen rumah tangga di Indonesia kepala rumah tangga dan pasangannya tinggal bersama dalam satu rumah, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki ketahanan keluarga yang kuat (Gambar 4.6).

Apabila dilihat menurut klasifikasi wilayahnya, ternyata di perkotaan persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap lebih tinggi daripada di perdesaan. Meskipun demikian, perbedaan persentase antara perdesaan dan perkotaan ini tidak besar. Pada tahun 2015, persentase rumah 46 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 4.5 Persentase Rumah Tangga yang Semua ART Berumur 0-17 Tahun Memiliki Akte Kelahiran Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

37,46

Indonesia : 78,03

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 47 47 4.2 KEUTUHAN KELUARGA

Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai sejumlah fungsi, seperti fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, pembinaan lingkungan (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994). Keluarga dapat terpecah atau tidak berfungsi secara normal apabila salah satu atau lebih anggota keluarga tidak atau gagal menjalankan tugas dan fungsinya. Salah satu contohnya adalah hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis atau ikatan emosi antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik.

Kondisi seperti ini sangat berpengaruh pada kesinambungan fungsi sosial keluarga dan akhirnya berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan keluarga. Dalam banyak kasus, fungsi sosialisasi tersebut harus diambil alih oleh orang lain atau lembaga lain.

Untuk menjamin keberlangsungan fungsi sosial tersebut maka setiap anggota keluarga harus tinggal bersama dalam satu atap, dengan ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya. Itulah alasan mengapa keutuhan keluarga menjadi salah satu komponen dari ketahanan keluarga.

Peluang terjadinya kegagalan fungsi keluarga akan semakin besar ketika salah satu anggota keluarga, terutama suami atau istri tidak tinggal bersama dalam satu rumah. Namun sering kali terdapat suatu kondisi yang memaksa pasangan suami-istri untuk tinggal terpisah. Contohnya, suami-istri yang harus tinggal terpisah karena tuntutan pekerjaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Suami-istri yang tinggal terpisah dalam waktu cukup lama beresiko tinggi untuk mengalami rasa curiga dan pertengkaran yang lebih sering dan berujung pada kehidupan keluarga yang tidak harmonis.

Pada tahun 2015, tercatat 81,45 persen rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berstatus kawin dan hampir semua kepala rumah tangga yang berstatus kawin tersebut tinggal bersama dalam satu rumah dengan pasangannya (Lampiran 4.5). Pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam satu rumah memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak daripada mereka yang tidak tinggal serumah.

Sehingga, pasangan suami-istri yang tinggal serumah memiliki ketahanan keluarga yang lebih kuat daripada mereka yang tidak tinggal serumah. Oleh karena 95 persen rumah tangga di Indonesia kepala rumah tangga dan pasangannya tinggal bersama dalam satu rumah, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki ketahanan keluarga yang kuat (Gambar 4.6).

Apabila dilihat menurut klasifikasi wilayahnya, ternyata di perkotaan persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap lebih tinggi daripada di perdesaan. Meskipun demikian, perbedaan persentase antara perdesaan dan perkotaan ini tidak besar. Pada tahun 2015, persentase rumah 46 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 4.5 Persentase Rumah Tangga yang Semua ART Berumur 0-17 Tahun Memiliki Akte Kelahiran Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

37,46

Indonesia : 78,03

Gambar 4.7 Persentase Kepala Rumah Tangga Yang Tinggal Serumah Dengan Pasangan Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

96,22

Indonesia : 95,28 48 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap di perkotaan sebesar 95,5 persen (Gambar 4.6). Sedangkan, di perdesaan persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap sebesar 95,1 persen (Gambar 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa baik di wilayah perkotaan maupun di perdesaan, sebagian besar rumah tangganya memiliki ketahanan keluarga yang kuat.

Gambar 4.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Tempat Tinggal Kepala Rumah Tangga dan Pasangannya, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015

Jika dibandingkan antar provinsi, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi provinsi yang memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 88,64 persen (Gambar 4.7). Seperti diketahui, sekitar 96 persen desa di NTB menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014). Di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 92,15 persen (Gambar 4.7). Persentase ini juga sejalan dengan banyaknya desa di Jawa Tengah yang menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia, dimana sekitar 84,74 persen desa terdapat warga yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

95,49 95,09 95,28

4,51 4,91 4,72

KRT tinggal serumah dengan pasangan KRT tidak tinggal serumah dengan pasangan

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 49 49 Gambar 4.7 Persentase Kepala Rumah Tangga Yang Tinggal Serumah Dengan

Pasangan Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

96,22

Indonesia : 95,28 48 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap di perkotaan sebesar 95,5 persen (Gambar 4.6). Sedangkan, di perdesaan persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap sebesar 95,1 persen (Gambar 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa baik di wilayah perkotaan maupun di perdesaan, sebagian besar rumah tangganya memiliki ketahanan keluarga yang kuat.

Gambar 4.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Tempat Tinggal Kepala Rumah Tangga dan Pasangannya, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015

Jika dibandingkan antar provinsi, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi provinsi yang memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 88,64 persen (Gambar 4.7). Seperti diketahui, sekitar 96 persen desa di NTB menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014). Di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 92,15 persen (Gambar 4.7). Persentase ini juga sejalan dengan banyaknya desa di Jawa Tengah yang menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia, dimana sekitar 84,74 persen desa terdapat warga yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

95,49 95,09 95,28

4,51 4,91 4,72

KRT tinggal serumah dengan pasangan KRT tidak tinggal serumah dengan pasangan

Gambar 4.8 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kecukupan Waktu Luang Bersama Keluarga, 2014

Sumber : SPTK 2014

Mayoritas rumah tangga di Indonesia mempunyai waktu kebersamaan dengan keluarga yang cukup, ini berarti bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia tersebut berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Data SPTK 2014 menunjukkan lebih dari 75 persen rumah tangga mempunyai waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu atau rata-rata minimal 2 jam per hari. Ini berarti dari 100 rumah tangga terdapat 75 rumah tangga yang memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga lebih dari 14 jam seminggu. Bahkan terdapat sebanyak 27,14 persen rumah tangga yang mempunyai waktu luang bersama keluarga lebih dari 28 jam seminggu (Gambar 4.8). Meskipun demikian, masih terdapat 23,12 persen rumah tangga yang hanya memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga kurang dari 14 jam seminggu.

Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, ternyata persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu lebih besar di perkotaan (77,36%) daripada perdesaan (76,41%). Hal ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia (Lampiran 4.6.1 dan 4.6.2). Jika dibandingkan antar provinsi, Papua menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam dalam seminggu terendah yakni sebesar 56,92% (Gambar 4.9).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

22,64 23,59 23,12

48,87 50,61 49,74

28,49

25,80 27,14

Kurang (< 14 Jam) Cukup (14 - 28 Jam) Lebih dari Cukup (> 28 Jam)

50 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 4.3 KEMITRAAN GENDER

Gender menyangkut perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab, kebutuhan dan status sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan bentukan/konstruksi dari budaya masyarakat. Kemitraan gender merupakan kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri serta anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dalam melakukan semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik peran publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan (Puspitawati, 2013). Kemitraan dalam pembagian peran suami dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, rasa saling ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati sehingga terselenggaranya kehidupan keluarga yang harmonis. Dalam pembahasan selanjutnya kemitraan gender dalam keluarga dijelaskan melalui kemitraan suami-istri, keterbukaan pengelolaan keuangan, serta pengambilan keputusan keluarga.

4.3.1 Kebersamaan dalam Keluarga

Herien Puspitawati (2012) menyatakan pembagian peran suami-istri dalam menjalankan fungsi keluarga berkaitan dengan komponen perilaku mulai dari perhatian, bantuan moril dan material, sampai dengan bantuan tenaga dan waktu.

Sehingga kemitraan gender dalam mengurus rumah tangga tidak hanya mencakup pekerjaan membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian dan sejenisnya, namun termasuk pula pengasuhan anak, seperti menemani anak belajar, dan bermain.

Perhatian, kasih sayang dan pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak-anak akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara suami dan istri dalam meluangkan waktu bersama dengan anak, agar kebersamaan dengan anak selalu terjalin dan pengasuhan anak tidak terhambat sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta.

Waktu luang bersama keluarga dikelompoknya kedalam 3 kategori, yaitu lebih dari cukup (lebih dari 28 jam dalam seminggu), cukup (14 sampai 28 jam dalam seminggu), dan kurang (kurang dari 14 jam dalam seminggu). Waktu luang sebanyak 14 jam selama seminggu dianggap mencukupi untuk mengasuh anak (Parker dan Wang, 2013). Selanjutnya, data yang spesifik memberikan informasi jumlah waktu yang dihabiskan orang tua untuk bercengkrama dengan anak, menemani anak belajar dan sejenisnya tidak tersedia. Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia dari data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014 adalah waktu luang yang digunakan bersama keluarga, dimana keluarga yang dimaksud tidak hanya anak namun termasuk pula pasangan atau lainnya yang dianggap keluarga.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 51 51 Gambar 4.8 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan

Kecukupan Waktu Luang Bersama Keluarga, 2014

Sumber : SPTK 2014

Mayoritas rumah tangga di Indonesia mempunyai waktu kebersamaan dengan keluarga yang cukup, ini berarti bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia tersebut berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Data SPTK 2014 menunjukkan lebih dari 75 persen rumah tangga mempunyai waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu atau rata-rata minimal 2 jam per hari. Ini berarti dari 100 rumah tangga terdapat 75 rumah tangga yang memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga lebih dari 14 jam seminggu. Bahkan terdapat sebanyak 27,14 persen rumah tangga yang mempunyai waktu luang bersama keluarga lebih dari 28 jam seminggu (Gambar 4.8). Meskipun demikian, masih terdapat 23,12 persen rumah tangga yang hanya memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga kurang dari 14 jam seminggu.

Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, ternyata persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu lebih besar di perkotaan (77,36%) daripada perdesaan (76,41%). Hal ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia (Lampiran 4.6.1 dan 4.6.2). Jika dibandingkan antar provinsi, Papua menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam dalam seminggu terendah yakni sebesar 56,92% (Gambar 4.9).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

22,64 23,59 23,12

48,87 50,61 49,74

28,49

25,80 27,14

Kurang (< 14 Jam) Cukup (14 - 28 Jam) Lebih dari Cukup (> 28 Jam)

50 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 4.3 KEMITRAAN GENDER

Gender menyangkut perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab, kebutuhan dan status sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan bentukan/konstruksi dari budaya masyarakat. Kemitraan gender merupakan kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri serta anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dalam melakukan semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik peran publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan (Puspitawati, 2013). Kemitraan dalam pembagian peran suami dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, rasa saling ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati sehingga terselenggaranya kehidupan keluarga yang harmonis. Dalam pembahasan selanjutnya kemitraan gender dalam keluarga dijelaskan melalui kemitraan suami-istri, keterbukaan pengelolaan keuangan, serta pengambilan keputusan keluarga.

4.3.1 Kebersamaan dalam Keluarga

Herien Puspitawati (2012) menyatakan pembagian peran suami-istri dalam menjalankan fungsi keluarga berkaitan dengan komponen perilaku mulai dari perhatian, bantuan moril dan material, sampai dengan bantuan tenaga dan waktu.

Sehingga kemitraan gender dalam mengurus rumah tangga tidak hanya mencakup pekerjaan membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian dan sejenisnya, namun termasuk pula pengasuhan anak, seperti menemani anak belajar, dan bermain.

Perhatian, kasih sayang dan pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak-anak akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara suami dan istri dalam meluangkan waktu bersama dengan anak, agar kebersamaan dengan anak selalu terjalin dan pengasuhan anak tidak terhambat sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta.

Waktu luang bersama keluarga dikelompoknya kedalam 3 kategori, yaitu lebih dari cukup (lebih dari 28 jam dalam seminggu), cukup (14 sampai 28 jam dalam seminggu), dan kurang (kurang dari 14 jam dalam seminggu). Waktu luang sebanyak 14 jam selama seminggu dianggap mencukupi untuk mengasuh anak (Parker dan Wang, 2013). Selanjutnya, data yang spesifik memberikan informasi jumlah waktu yang dihabiskan orang tua untuk bercengkrama dengan anak, menemani anak belajar dan sejenisnya tidak tersedia. Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia dari data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014 adalah waktu luang yang digunakan bersama keluarga, dimana keluarga yang dimaksud tidak hanya anak namun termasuk pula pasangan atau lainnya yang dianggap keluarga.

4.3.2 Kemitraan Suami-Istri

Konsep keluarga konvensional, memiliki struktur atau pola relasi dimana suami sebagai pemberi nafkah (peran produktif) dan pelindung keluarga (peran publik), sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah tangga (peran domestik), yaitu mencuci, memasak, mengasuh anak dan lain-lain. Konsep pola relasi tersebut telah mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial budaya masyarakat. Melalui kemitraan dan relasi gender yang harmonis, mereka dapat merencanakan dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga sehingga anggota keluarga mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktivitas (domestik, publik, dan kemasyarakatan) dalam rangka menjembatani permasalahan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga (sosial, ekonomi, psikologi, spiritual) yang berkeadilan dan berkesetaran gender (Puspitawati, 2012). Apalagi saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah istri yang berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga yang membantu mencari nafkah. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional dalam publikasi Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita meningkat dari 48,08 persen pada 2006 menjadi 52,71 persen pada 2016.

Data Susenas 2015 menunjukkan terdapat 81,45 persen rumah tangga mempunyai kepala rumah tangga berstatus kawin, dimana 68,95 persen rumah tangga masih mempercayakan urusan pekerjaan rumah tangga kepada pasangannya, yang umumnya adalah perempuan. Kegiatan yang dimaksud mencakup berbagai kegiatan sehari-hari untuk mengurus rumah tangga, seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, mengantar anak ke sekolah dan sebagainya. Lebih jauh, hanya 23,48 persen rumah tangga yang KRT dan pasangannya menyatakan mengurus rumah tangga bersama selama seminggu terakhir (Gambar 4.9). Angka ini diperoleh berdasarkan kegiatan mengurus rumah tangga selama seminggu terakhir yang dilakukan KRT berstatus kawin atau pasangannya. Hasil tersebut menunjukkan kemitraan gender dalam keluarga Indonesia masih rendah dan berpotensi memicu konflik peran suami-istri yang akhirnya mengganggu ketahanan keluarga. Apalagi diantara rumah tangga dengan KRT berstatus kawin terdapat 52,11 persen istri yang bekerja (Lampiran 4.8). Seorang istri yang bekerja akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengurus rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan kemitraan gender dalam rumah tangga untuk mencapai keharmonisan dan kesejahteraan keluarga sehingga tercipta ketahanan keluarga yang kuat.

52 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 4.9 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Waktu Luang Bersama Keluarga Minimal 14 Jam dalam Seminggu Menurut Provinsi, 2014

Sumber : SPTK 2014

56,92

Indonesia : 76,88

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 53 53 4.3.2 Kemitraan Suami-Istri

Konsep keluarga konvensional, memiliki struktur atau pola relasi dimana suami sebagai pemberi nafkah (peran produktif) dan pelindung keluarga (peran publik), sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah tangga (peran domestik), yaitu mencuci, memasak, mengasuh anak dan lain-lain. Konsep pola relasi tersebut telah mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial budaya masyarakat. Melalui kemitraan dan relasi gender yang harmonis, mereka dapat merencanakan dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga sehingga anggota keluarga mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktivitas (domestik, publik, dan kemasyarakatan) dalam rangka menjembatani permasalahan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga (sosial, ekonomi, psikologi, spiritual) yang berkeadilan dan berkesetaran gender (Puspitawati, 2012). Apalagi saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah istri yang berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga yang membantu mencari nafkah. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional dalam publikasi Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita meningkat dari 48,08 persen pada 2006 menjadi 52,71 persen pada 2016.

Data Susenas 2015 menunjukkan terdapat 81,45 persen rumah tangga mempunyai kepala rumah tangga berstatus kawin, dimana 68,95 persen rumah tangga masih mempercayakan urusan pekerjaan rumah tangga kepada pasangannya, yang umumnya adalah perempuan. Kegiatan yang dimaksud mencakup berbagai kegiatan sehari-hari untuk mengurus rumah tangga, seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, mengantar anak ke sekolah dan sebagainya. Lebih jauh, hanya 23,48 persen rumah tangga yang KRT dan pasangannya menyatakan mengurus rumah tangga bersama selama seminggu terakhir (Gambar 4.9). Angka ini diperoleh berdasarkan kegiatan mengurus rumah tangga selama seminggu terakhir yang dilakukan KRT berstatus kawin atau pasangannya. Hasil tersebut menunjukkan kemitraan gender dalam keluarga Indonesia masih rendah dan berpotensi memicu konflik peran suami-istri yang akhirnya mengganggu ketahanan keluarga. Apalagi diantara rumah tangga dengan KRT berstatus kawin terdapat 52,11 persen istri yang bekerja (Lampiran 4.8). Seorang istri yang bekerja akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengurus rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan kemitraan gender dalam rumah tangga untuk mencapai keharmonisan dan kesejahteraan keluarga sehingga tercipta ketahanan keluarga yang kuat.

52 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 4.9 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Waktu Luang Bersama Keluarga Minimal 14 Jam dalam Seminggu Menurut Provinsi, 2014

Sumber : SPTK 2014

56,92

Indonesia : 76,88

Gambar 4.11 Persentase Rumah Tangga yang Kepala Rumah Tangga dan Pasangan Melakukan Kegiatan Mengurus Rumah Selama Seminggu Terakhir Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

18,32

Indonesia : 23,48 54 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 4.10 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Orang yang Mengurus Rumah Tangga Selama Seminggu Terakhir, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, persentase rumah tangga yang masih menyerahkan urusan rumah tangga hanya kepada pasangannya lebih tinggi di perdesaan (70,45%) daripada perkotaan (67,40%). Sebaliknya persentase rumah tangga yang KRT dan pasangan mengurus rumah tangga bersama-sama ternyata lebih tinggi di perkotaan (24,83%) daripada di perdesaan (22,17%). Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan gender di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan.

Jika dilihat pola per provinsi terdapat 2 (dua) provinsi yang mempunyai persentase lebih dari 50 persen untuk rumah tangga yang KRT dan pasangannya mengurus rumah tangga secara bersama-sama. Kedua provinsi tersebut adalah Bali, dengan persentase sebesar 70,45 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan persentase sebesar 55,32 persen (Gambar 4.11). Persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga bersama pasangan yang mengurus rumah tangga dari kedua provinsi ini jauh melebihi persentase rata-rata nasional (23,48%). Sebaliknya, terdapat pula provinsi yang mempunyai persentase jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu

Jika dilihat pola per provinsi terdapat 2 (dua) provinsi yang mempunyai persentase lebih dari 50 persen untuk rumah tangga yang KRT dan pasangannya mengurus rumah tangga secara bersama-sama. Kedua provinsi tersebut adalah Bali, dengan persentase sebesar 70,45 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan persentase sebesar 55,32 persen (Gambar 4.11). Persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga bersama pasangan yang mengurus rumah tangga dari kedua provinsi ini jauh melebihi persentase rata-rata nasional (23,48%). Sebaliknya, terdapat pula provinsi yang mempunyai persentase jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 67-0)