• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan Terhadap Hukum

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 131-0)

VII. Ketahanan Sosial Psikologi 101

7.2. Kepatuhan Terhadap Hukum

Menurut Prof Moeljanto dalam Wulandari (2013) memberi istilah lain tindak pidana sebagai “perbuatan pidana,” yang artinya perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar tersebut. Sehingga secara teoritis tindak pidana diartikan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Keluarga yang tidak pernah terlibat sebagai pelaku tindak pidana atau pelanggaran hukum merupakan keluarga yang memiliki kepatuhan terhadap hukum. Keluarga seperti itu pastinya memiliki ketahanan psikologi yang baik dan berpotensi membentuk ketahanan keluarga yang lebih kuat.

Sayangnya, informasi terkait jumlah pelaku kriminalitas atau pelanggaran hukum tidak mudah untuk dikumpulkan, sementara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) hanya mengeluarkan informasi terkait jumlah kasus kejahatan yang dilaporkan oleh korban. Untuk itu, variabel kepatuhan terhadap hukum akan dilihat dari sisi lain, yaitu rumah tangga sebagai korban tindak pidana.

Asumsi yang digunakan adalah rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang lebih baik karena mereka hidup dalam lingkungan yang jauh dari kerawanan sosial yang rentan terhadap penyimpangan dan pelanggaran hukum.

Informasi terkait rumah tangga sebagai korban tindak pidana selalu dikumpulkan melalui kegiatan Susenas. Jenis tindak pidana yang dikumpulkan adalah pencurian, penganiayaan, pencurian dengan kekerasan, dan pelecehan seksual, sedangkan jenis kategori tindak pidana lainnya, seperti penipuan, penculikan dan sebagainya dimasukkan ke dalam kategori lainnya. Informasi rumah tangga sebagai korban tindak pidana diperoleh berdasarkan pengakuan responden yang merupakan kepala rumah tangga atau pasangannya.

Gambar 7.8 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan ART yang Menjadi Korban Tindak Pidana, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015 Gambar 7.7 Persentase Rumah Tangga yang KRT/Pasangannya Tidak

Menggunakan Kekerasan dalam Mendidik Anak Umur 1-14 Tahun Menurut Provinsi, 2014

Sumber: Susenas Modul Hansos 2014

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 111 7.2 KEPATUHAN TERHADAP HUKUM

Menurut Prof Moeljanto dalam Wulandari (2013) memberi istilah lain tindak pidana sebagai “perbuatan pidana,” yang artinya perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar tersebut. Sehingga secara teoritis tindak pidana diartikan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Keluarga yang tidak pernah terlibat sebagai pelaku tindak pidana atau pelanggaran hukum merupakan keluarga yang memiliki kepatuhan terhadap hukum. Keluarga seperti itu pastinya memiliki ketahanan psikologi yang baik dan berpotensi membentuk ketahanan keluarga yang lebih kuat.

Sayangnya, informasi terkait jumlah pelaku kriminalitas atau pelanggaran hukum tidak mudah untuk dikumpulkan, sementara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) hanya mengeluarkan informasi terkait jumlah kasus kejahatan yang dilaporkan oleh korban. Untuk itu, variabel kepatuhan terhadap hukum akan dilihat dari sisi lain, yaitu rumah tangga sebagai korban tindak pidana.

Asumsi yang digunakan adalah rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang lebih baik karena mereka hidup dalam lingkungan yang jauh dari kerawanan sosial yang rentan terhadap penyimpangan dan pelanggaran hukum.

Informasi terkait rumah tangga sebagai korban tindak pidana selalu dikumpulkan melalui kegiatan Susenas. Jenis tindak pidana yang dikumpulkan adalah pencurian, penganiayaan, pencurian dengan kekerasan, dan pelecehan seksual, sedangkan jenis kategori tindak pidana lainnya, seperti penipuan, penculikan dan sebagainya dimasukkan ke dalam kategori lainnya. Informasi rumah tangga sebagai korban tindak pidana diperoleh berdasarkan pengakuan responden yang merupakan kepala rumah tangga atau pasangannya.

Gambar 7.8 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan ART yang Menjadi Korban Tindak Pidana, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015 110 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 7.7 Persentase Rumah Tangga yang KRT/Pasangannya Tidak Menggunakan Kekerasan dalam Mendidik Anak Umur 1-14 Tahun Menurut Provinsi, 2014

Sumber: Susenas Modul Hansos 2014

Gambar 7.10 Persentase Rumah Tangga Menurut Provinsi dan Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Tidak Pernah Menjadi Korban Tindak Pidana, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015 Pada tahun 2015, sekitar 3,48 persen rumah tangga menyatakan terdapat

anggota rumah tangga yang menjadi korban tindak pidana (Gambar 7.8). Kemudian, terdapat indikasi, rumah tangga di perkotaan (4,05%) lebih cenderung untuk menjadi korban tindak pidana daripada rumah tangga di perdesaan (2,90%). Selain itu, jika ditelisik lebih jauh, pencurian merupakan tindak pidana yang paling sering dialami oleh rumah tangga di Indonesia, dengan persentase sebesar 2,92% (Gambar 7.9).

Sementara persentase rumah tangga yang menyatakan terdapat ART yang menjadi korban tindak pidana selain pencurian tidak ada yang mencapai satu persen dan rumah tangga yang menyatakan terdapat ART yang mengalami pelecehan seksual sangat rendah, yaitu hanya sekitar 0,03 persen.

Gambar 7.9 Persentase Rumah Tangga yang Menjadi Korban Tindak Pidana Menurut Jenis Kejahatan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Dalam kaitannya dengan ketahanan keluarga maka rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana diharapkan memiliki ketahanan keluarga yang lebih baik. Atau dengan kata lain, keluarga yang seluruh anggota rumah tangganya tidak pernah menjadi korban tindak pidana akan mempunyai ketahanan keluarga yang lebih tinggi. Untuk itu, pada Gambar 7.10, disajikan persentase rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana menurut provinsi. Secara nasional, sekitar 96,52 persen rumah tangga tidak pernah menjadi korban tindak pidana. Bila dibandingkan dengan angka nasional, sebanyak 16 provinsi besarnya persentase tersebut berada di atas angka nasional, dengan persentase tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur (97,86%). Sementara itu, sebanyak 18 provinsi persentase tersebut berada di bawah angka nasional, dengan persentase terendah berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (94,18%).

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 7.10 Persentase Rumah Tangga Menurut Provinsi dan Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Tidak Pernah Menjadi Korban Tindak Pidana, 2015

Sumber: Susenas KOR 2015 112 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Pada tahun 2015, sekitar 3,48 persen rumah tangga menyatakan terdapat anggota rumah tangga yang menjadi korban tindak pidana (Gambar 7.8). Kemudian, terdapat indikasi, rumah tangga di perkotaan (4,05%) lebih cenderung untuk menjadi korban tindak pidana daripada rumah tangga di perdesaan (2,90%). Selain itu, jika ditelisik lebih jauh, pencurian merupakan tindak pidana yang paling sering dialami oleh rumah tangga di Indonesia, dengan persentase sebesar 2,92% (Gambar 7.9).

Sementara persentase rumah tangga yang menyatakan terdapat ART yang menjadi korban tindak pidana selain pencurian tidak ada yang mencapai satu persen dan rumah tangga yang menyatakan terdapat ART yang mengalami pelecehan seksual sangat rendah, yaitu hanya sekitar 0,03 persen.

Gambar 7.9 Persentase Rumah Tangga yang Menjadi Korban Tindak Pidana Menurut Jenis Kejahatan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Dalam kaitannya dengan ketahanan keluarga maka rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana diharapkan memiliki ketahanan keluarga yang lebih baik. Atau dengan kata lain, keluarga yang seluruh anggota rumah tangganya tidak pernah menjadi korban tindak pidana akan mempunyai ketahanan keluarga yang lebih tinggi. Untuk itu, pada Gambar 7.10, disajikan persentase rumah tangga yang tidak pernah menjadi korban tindak pidana menurut provinsi. Secara nasional, sekitar 96,52 persen rumah tangga tidak pernah menjadi korban tindak pidana. Bila dibandingkan dengan angka nasional, sebanyak 16 provinsi besarnya persentase tersebut berada di atas angka nasional, dengan persentase tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur (97,86%). Sementara itu, sebanyak 18 provinsi persentase tersebut berada di bawah angka nasional, dengan persentase terendah berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (94,18%).

KETAHANAN SOSIAL BUDAYA

Sejalan dengan kerangka kerja dan konsep ketahanan keluarga, ketahanan sosial budaya pada tataran keluarga menempati dimensi kelima dalam membangun ketahanan keluarga yang tangguh. Dimensi ketahanan sosial budaya diukur menggunakan tiga variabel, yaitu (1) variabel kepedulian sosial (dilihat dari penghormatan terhadap lansia), (2) variabel keeratan sosial (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan), dan (3) variabel ketaatan beragama (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan). Selanjutnya indikator terkait ketahanan sosial budaya ini, bersama dengan berbagai indikator yang ada pada variabel dan dimensi lain, akan mengukur tingkat ketahanan dari suatu keluarga secara utuh.

8.1 KEPEDULIAN SOSIAL

Salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya suatu keluarga adalah kepedulian sosial keluarga yang dipahami sebagai sikap kemanusiaan yang meliputi minat dan ketertarikan untuk membantu sesama manusia. Keluarga yang selalu memelihara hubungan baik dengan sesama anggota keluarga maupun orang lain akan menciptakan ikatan emosional untuk terus merespon kehadiran dan kebutuhan orang lain sebagai bentuk kepedulian mereka.

Dalam lingkup keluarga, kepedulian sosial dapat terlihat dari adanya kepedulian dan perhatian keluarga terhadap anggota keluarga yang telah berusia lanjut (kaum lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

Persentase penduduk lansia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Penuaan penduduk tersebut membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat, apalagi Indonesia masih menghadapi permasalahan kependudukan lainnya, seperti tingginya angka kelahiran dan kematian bayi. Pada tataran keluarga, keberadaan lansia terkadang dianggap sebagai beban karena lansia umumnya sudah tidak mampu lagi berpartisipasi secara aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi lansia yang tinggal sendirian, mereka terpaksa memenuhi kebutuhan makan, kesehatan maupun kebutuhan sosialnya secara mandiri. Oleh karena itu rumah tangga yang terdapat lansia dianggap memiliki kepedulian sosial

8

KETAHANAN SOSIAL BUDAYA

Sejalan dengan kerangka kerja dan konsep ketahanan keluarga, ketahanan sosial budaya pada tataran keluarga menempati dimensi kelima dalam membangun ketahanan keluarga yang tangguh. Dimensi ketahanan sosial budaya diukur menggunakan tiga variabel, yaitu (1) variabel kepedulian sosial (dilihat dari penghormatan terhadap lansia), (2) variabel keeratan sosial (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan), dan (3) variabel ketaatan beragama (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan). Selanjutnya indikator terkait ketahanan sosial budaya ini, bersama dengan berbagai indikator yang ada pada variabel dan dimensi lain, akan mengukur tingkat ketahanan dari suatu keluarga secara utuh.

8.1 KEPEDULIAN SOSIAL

Salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya suatu keluarga adalah kepedulian sosial keluarga yang dipahami sebagai sikap kemanusiaan yang meliputi minat dan ketertarikan untuk membantu sesama manusia. Keluarga yang selalu memelihara hubungan baik dengan sesama anggota keluarga maupun orang lain akan menciptakan ikatan emosional untuk terus merespon kehadiran dan kebutuhan orang lain sebagai bentuk kepedulian mereka.

Dalam lingkup keluarga, kepedulian sosial dapat terlihat dari adanya kepedulian dan perhatian keluarga terhadap anggota keluarga yang telah berusia lanjut (kaum lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

Persentase penduduk lansia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Penuaan penduduk tersebut membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat, apalagi Indonesia masih menghadapi permasalahan kependudukan lainnya, seperti tingginya angka kelahiran dan kematian bayi. Pada tataran keluarga, keberadaan lansia terkadang dianggap sebagai beban karena lansia umumnya sudah tidak mampu lagi berpartisipasi secara aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi lansia yang tinggal sendirian, mereka terpaksa memenuhi kebutuhan makan, kesehatan maupun kebutuhan sosialnya secara mandiri. Oleh karena itu rumah tangga yang terdapat lansia dianggap memiliki kepedulian sosial yang lebih baik daripada rumah tangga lansia yang tinggal sendirian.

8

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

KETAHANAN SOSIAL

BUDAYA

Sejalan dengan kerangka kerja dan konsep ketahanan keluarga, ketahanan sosial budaya pada tataran keluarga menempati dimensi kelima dalam membangun ketahanan keluarga yang tangguh. Dimensi ketahanan sosial budaya diukur menggunakan tiga variabel, yaitu (1) variabel kepedulian sosial (dilihat dari penghormatan terhadap lansia), (2) variabel keeratan sosial (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan), dan (3) variabel ketaatan beragama (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan). Selanjutnya indikator terkait ketahanan sosial budaya ini, bersama dengan berbagai indikator yang ada pada variabel dan dimensi lain, akan mengukur tingkat ketahanan dari suatu keluarga secara utuh.

8.1 KEPEDULIAN SOSIAL

Salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya suatu keluarga adalah kepedulian sosial keluarga yang dipahami sebagai sikap kemanusiaan yang meliputi minat dan ketertarikan untuk membantu sesama manusia. Keluarga yang selalu memelihara hubungan baik dengan sesama anggota keluarga maupun orang lain akan menciptakan ikatan emosional untuk terus merespon kehadiran dan kebutuhan orang lain sebagai bentuk kepedulian mereka.

Dalam lingkup keluarga, kepedulian sosial dapat terlihat dari adanya kepedulian dan perhatian keluarga terhadap anggota keluarga yang telah berusia lanjut (kaum lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

Persentase penduduk lansia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Penuaan penduduk tersebut membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat, apalagi Indonesia masih menghadapi permasalahan kependudukan lainnya, seperti tingginya angka kelahiran dan kematian bayi. Pada tataran keluarga, keberadaan lansia terkadang dianggap sebagai beban karena lansia umumnya sudah tidak mampu lagi berpartisipasi secara aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi lansia yang tinggal sendirian, mereka terpaksa memenuhi kebutuhan makan, kesehatan maupun kebutuhan sosialnya secara mandiri. Oleh karena itu rumah tangga yang terdapat lansia dianggap memiliki kepedulian sosial yang lebih baik daripada rumah tangga lansia yang tinggal sendirian.

8

KETAHANAN SOSIAL BUDAYA

Sejalan dengan kerangka kerja dan konsep ketahanan keluarga, ketahanan sosial budaya pada tataran keluarga menempati dimensi kelima dalam membangun ketahanan keluarga yang tangguh. Dimensi ketahanan sosial budaya diukur menggunakan tiga variabel, yaitu (1) variabel kepedulian sosial (dilihat dari penghormatan terhadap lansia), (2) variabel keeratan sosial (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan), dan (3) variabel ketaatan beragama (dilihat dari partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan). Selanjutnya indikator terkait ketahanan sosial budaya ini, bersama dengan berbagai indikator yang ada pada variabel dan dimensi lain, akan mengukur tingkat ketahanan dari suatu keluarga secara utuh.

8.1 KEPEDULIAN SOSIAL

Salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya suatu keluarga adalah kepedulian sosial keluarga yang dipahami sebagai sikap kemanusiaan yang meliputi minat dan ketertarikan untuk membantu sesama manusia. Keluarga yang selalu memelihara hubungan baik dengan sesama anggota keluarga maupun orang lain akan menciptakan ikatan emosional untuk terus merespon kehadiran dan kebutuhan orang lain sebagai bentuk kepedulian mereka.

Dalam lingkup keluarga, kepedulian sosial dapat terlihat dari adanya kepedulian dan perhatian keluarga terhadap anggota keluarga yang telah berusia lanjut (kaum lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

Persentase penduduk lansia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Penuaan penduduk tersebut membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat, apalagi Indonesia masih menghadapi permasalahan kependudukan lainnya, seperti tingginya angka kelahiran dan kematian bayi. Pada tataran keluarga, keberadaan lansia terkadang dianggap sebagai beban karena lansia umumnya sudah tidak mampu lagi berpartisipasi secara aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi lansia yang tinggal sendirian, mereka terpaksa memenuhi kebutuhan makan, kesehatan maupun kebutuhan sosialnya secara mandiri. Oleh karena itu rumah tangga yang terdapat lansia dianggap memiliki kepedulian sosial yang lebih baik daripada rumah tangga lansia yang tinggal sendirian.

8

Gambar 8.1 Rumah Tangga Lansia Indonesia, 2015

Su

Sumber : Susenas Kor 2015

Pada tahun 2015, tercatat sekitar 8,43 persen penduduk Indonesia termasuk dalam kategori lansia. Lansia tersebut tersebar di 25,14 persen rumah tangga (rumah tangga lansia) dimana 12,55 persen rumah tangga diantaranya terdapat lansia yang tinggal sendiri tanpa ditemani anggota rumah tangga lainnya, dan 87,45 persen rumah tangga lansia yang hidup bersama dengan anggota rumah tangga yang lain.

Bila dilihat berdasarkan klasifikasi wilayah, terlihat bahwa persentase rumah tangga lansia yang tinggal sendirian lebih banyak terdapat di wilayah perdesaan (13,80%)

% PENDUDUK LANSIA

2013 2014 2015

8,05 8,03

8,43

% RUMAH TANGGA LANSIA 2015 Persentase lansia di Indonesia terus meningkat

LANSIA adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

25,14% rumah tangga di Indonesia terdapat lansia (rumah tangga lansia) dimana 12,55% rumah tangga diantaranya terdapat lansia tinggal sendirian

Perkotaan Perdesaan

11,14 13,80

88,86 86,20

Tinggal bersama ART lain Tinggal sendiri

Lansia yang TINGGAL SENDIRIAN lebih tinggi di PERDESAAN

12,55

87,45

Tinggal sendirian Tinggal bersama ART lain Sikap dan cara keluarga menangani atau merawat lansia dengan baik dapat

menjadi pembelajaran bagi anggota keluarga yang masih muda untuk selalu memberikan penghargaan dengan menghormati orangtua lansia dengan cara merawat dengan sebaik-baiknya para lansia tersebut di rumah dan bukan dititipkan di panti jompo. Pelestarian budaya ini jika terus dapat dipertahankan maka berpotensi meningkatkan ketahanan keluarga. Bentuk perhatian dan perawatan yang diberikan kepada orangtua lansia mempunyai lingkup yang sangat luas. Oleh karena itu, ciri ini kemudian berusaha digambarkan melalui pendekatan keberadaan lansia di dalam rumah tangga. Dengan keberadaan lansia dalam rumah tangga dapat menunjukkan adanya kesediaan anggota rumah tangga untuk memberikan perhatian dan mengurus kebutuhan lansia. Sangat dipahami bahwa pendekatan ini sangat lemah karena tidak menjamin sepenuhnya bahwa lansia yang tinggal di rumah tangga akan mendapatkan perhatian dan dirawat sesuai dengan kebutuhannya.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 Gambar 8.1 Rumah Tangga Lansia Indonesia, 2015

Su

Sumber : Susenas Kor 2015

Pada tahun 2015, tercatat sekitar 8,43 persen penduduk Indonesia termasuk dalam kategori lansia. Lansia tersebut tersebar di 25,14 persen rumah tangga (rumah tangga lansia) dimana 12,55 persen rumah tangga diantaranya terdapat lansia yang tinggal sendiri tanpa ditemani anggota rumah tangga lainnya, dan 87,45 persen rumah tangga lansia yang hidup bersama dengan anggota rumah tangga yang lain.

Bila dilihat berdasarkan klasifikasi wilayah, terlihat bahwa persentase rumah tangga lansia yang tinggal sendirian lebih banyak terdapat di wilayah perdesaan (13,80%)

% PENDUDUK LANSIA

2013 2014 2015

8,05 8,03

8,43

% RUMAH TANGGA LANSIA 2015 Persentase lansia di Indonesia terus meningkat

LANSIA adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).

25,14% rumah tangga di Indonesia terdapat lansia (rumah tangga lansia) dimana 12,55% rumah tangga diantaranya terdapat lansia tinggal sendirian

Perkotaan Perdesaan

11,14 13,80

88,86 86,20

Tinggal bersama ART lain Tinggal sendiri

Lansia yang TINGGAL SENDIRIAN lebih tinggi di PERDESAAN

12,55

87,45

Tinggal sendirian Tinggal bersama ART lain

116 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Sikap dan cara keluarga menangani atau merawat lansia dengan baik dapat menjadi pembelajaran bagi anggota keluarga yang masih muda untuk selalu memberikan penghargaan dengan menghormati orangtua lansia dengan cara merawat dengan sebaik-baiknya para lansia tersebut di rumah dan bukan dititipkan di panti jompo. Pelestarian budaya ini jika terus dapat dipertahankan maka berpotensi meningkatkan ketahanan keluarga. Bentuk perhatian dan perawatan yang diberikan kepada orangtua lansia mempunyai lingkup yang sangat luas. Oleh karena itu, ciri ini kemudian berusaha digambarkan melalui pendekatan keberadaan lansia di dalam rumah tangga. Dengan keberadaan lansia dalam rumah tangga dapat menunjukkan adanya kesediaan anggota rumah tangga untuk memberikan perhatian dan mengurus kebutuhan lansia. Sangat dipahami bahwa pendekatan ini sangat lemah karena tidak menjamin sepenuhnya bahwa lansia yang tinggal di rumah tangga akan mendapatkan perhatian dan dirawat sesuai dengan kebutuhannya.

Sumber : Susenas KOR 2015

Gambar 8.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Provinsi dan Keberadaan Lansia yang Tinggal Bersama ART Lain, 2015

93,94

Indonesia : 87,45 daripada perkotaan (11,14%). Rumah tangga yang terdapat lansia yang tidak tinggal

sendirian di anggap memiliki ketahanan sosial budaya yang baik (Lampiran 8.2).

Jika dibandingkan antar provinsi, pada mayoritas rumah tangga, lansia tidak tinggal sendirian. Persentase rumah tangga lansia yang tidak tinggal sendirian bervariasi antar provinsi. Tiga provinsi dengan persentase tertinggi adalah Papua Barat (93,98%), Papua (93,94%), dan Maluku Utara (93,91%). Sementara Aceh, Jawa Barat dan Yogya merupakan tiga provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga lansia yang tidak tinggal sendirian (Gambar 8.2). Selain itu, masih terdapat 10 provinsi yang memiliki persentase rumah tangga di bawah angka nasional untuk rumah tangga lansia yang tidak tinggal sendirian, yakni Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Sumber : Susenas KOR 2015

Gambar 8.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Provinsi dan Keberadaan Lansia yang Tinggal Bersama ART Lain, 2015

93,94

Indonesia : 87,45

118 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

daripada perkotaan (11,14%). Rumah tangga yang terdapat lansia yang tidak tinggal sendirian di anggap memiliki ketahanan sosial budaya yang baik (Lampiran 8.2).

Jika dibandingkan antar provinsi, pada mayoritas rumah tangga, lansia tidak tinggal sendirian. Persentase rumah tangga lansia yang tidak tinggal sendirian bervariasi antar provinsi. Tiga provinsi dengan persentase tertinggi adalah Papua

Jika dibandingkan antar provinsi, pada mayoritas rumah tangga, lansia tidak tinggal sendirian. Persentase rumah tangga lansia yang tidak tinggal sendirian bervariasi antar provinsi. Tiga provinsi dengan persentase tertinggi adalah Papua

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 131-0)