• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK)

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 53-0)

III. Indeks Ketahanan Keluarga 27

3.3. Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK)

Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK) memiliki nilai skala antara 0 sampai dengan 100. Semakin tinggi tingkat ketahanan keluarga maka semakin besar nilai indeksnya hingga mendekati 100. Tingkat ketahanan keluarga yang rendah diindikasikan dengan nilai indeks yang semakin menurut mendekati nilai 50.

Sebaliknya nilai indeks dibawah 50 dan semakin kecil mendekati nilai 0 menunjukkan terjadinya kerentanan keluarga. Pembahasan terkait tingkat ketahanan keluarga dilakukan dengan membagi nilai indeks menjadi 5 (lima) kategori ketahanan keluarga, yaitu: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) cukup, (4) tinggi, dan (5) sangat tinggi.

Eksplorasi penentuan nilai batas kelompok (cutting point) pada setiap kategori dilakukan dengan memanfaatkan distribusi data, diantaranya berdasarkan: (1) rentang data yang sama, (2) frekuensi (persentil), atau (3) standar deviasi. Ketiga skenario pengklasifikasian tersebut menghasilkan nilai batas yang berbeda-beda seperti tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 3.4 Nilai Batas Kelompok Menurut Skenario Pengklasifikasian R-IKK Kategori R-IKK Rentang Data Sama Persentil Standar Deviasi

(1) (2) (3) (4)

Sangat Rendah Kurang Dari 61,16 Kurang Dari 68,59 Kurang Dari 62,96 Rendah 61,16 - 65,76 68,59 - 71,17 62,96 - 67,41

Cukup 65,76 - 70,36 71,17 - 72,81 67,41 - 76,30 Tinggi 70,36 - 74,96 72,81 - 74,81 76,30 - 80,75 Sangat Tinggi Lebih Dari Atau Sama

Dengan 74,96 Lebih Dari Atau Sama

Dengan 74,81 Lebih Dari Atau Sama Dengan 80,75 Terdapat perbedaan signifikan diantara ketiga skenario pengklasifikasian yang digunakan. Pengelompokkan dengan menggunakan persentil dan standar deviasi sangat tergantung pada distribusi data yang digunakan, sementara itu dengan skenario rentang data yang sama, nilai batas kelompok (cutting point) R-IKK yang dihasilkan mempunyai panjang interval yang relatif sama. Selanjutnya, nilai batas yang dihasilkan dari skenario rentang data yang sama dimodifikasi dengan pembulatan, namun dengan tetap mengutamakan keterseimbangan panjang interval pada tiap kelompok. Hasil modifikasi batas skenario ini menjadi sebagai berikut: (1) ketahanan keluarga kategori Sangat Rendah adalah wilayah yang memiliki R-IKK kurang dari 60; (2) ketahanan keluarga kategori Rendah merupakan wilayah dengan R-IKK kurang dari 65 dan lebih dari atau sama dengan 60; (3) ketahanan keluarga kategori Cukup adalah wilayah dengan R-IKK kurang dari 70 dan lebih dari atau sama dengan 65; (4) ketahanan keluarga kategori Tinggi adalah wilayah dengan R-IKK Tabel 3.3 Bobot/Kontribusi Dimensi, Variabel, dan Indikator Penyusun Rintisan

Indeks Ketahanan Keluarga

Dimensi Variabel Indikator Bobot

(1) (2) (3) (4)

(0,121) 1. Legalitas Perkawinan 0,07307

2. Legalitas Kelahiran 0,04807

Keutuhan Keluarga

(0,037) 3. Keutuhan Keluarga 0,03782

Kemitraan Gender (0,150)

4. Kebersamaan Dalam Keluarga 0,04119 5. Kemitraan Suami-Istri 0,04599 6. Keterbukaan Pengelolaan Keuangan 0,02829 7. Pengambilan Keputusan Keluarga 0,03435

Ketahanan Fisik (0,196)

Kecukupan Pangan dan Gizi (0,120)

8. Kecukupan Pangan 0,05057

9. Kecukupan Gizi 0,06924

Kesehatan Keluarga

(0,047) 10. Keterbebasan dari Penyakit Kronis dan

Disabilitas 0,04728

Ketersediaan Tempat/Lokasi Tetap Untuk Tidur (0,029)

11. Ketersediaan Lokasi Tetap Untuk Tidur 0,02897

Ketahanan Ekonomi

(0,231)

Tempat Tinggal

Keluarga (0,020) 12. Kepemilikan Rumah 0,02014 Pendapatan

Keluarga (0,038)

13. Pendapatan Perkapita Keluarga 0,01116 14. Kecukupan Pendapatan Keluarga 0,02673 Pembiayaan

Pendidikan Anak (0,123)

15. Kemampuan Pembiayaan Pendidikan

Anak 0,05866

16. Keberlangsungan Pendidikan Anak 0,06455 Jaminan Keuangan

Keluarga (0,050)

17. Tabungan Keluarga 0,01876

18. Jaminan Kesehatan Keluarga 0,03147

Ketahanan

19. Sikap Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan 0,06610

20. Perilaku Anti Kekerasan Terhadap Anak 0,06802 Kepatuhan Terhadap

Hukum (0,044) 21. Penghormatan Terhadap Hukum 0,04413

Ketahanan Sosial Budaya

(0,085)

Kepedulian Sosial

(0,042) 22. Penghormatan Terhadap Lansia 0,04210 Keeratan Sosial

(0,019) 23. Partisipasi dalam Kegiatan Sosial di

Lingkungan 0,01868

Ketaatan Beragama

(0,025) 24. Partisipasi dalam Kegiatan Keagamaan

di Lingkungan 0,02468

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 33 3.3 Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK)

Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK) memiliki nilai skala antara 0 sampai dengan 100. Semakin tinggi tingkat ketahanan keluarga maka semakin besar nilai indeksnya hingga mendekati 100. Tingkat ketahanan keluarga yang rendah diindikasikan dengan nilai indeks yang semakin menurut mendekati nilai 50.

Sebaliknya nilai indeks dibawah 50 dan semakin kecil mendekati nilai 0 menunjukkan terjadinya kerentanan keluarga. Pembahasan terkait tingkat ketahanan keluarga dilakukan dengan membagi nilai indeks menjadi 5 (lima) kategori ketahanan keluarga, yaitu: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) cukup, (4) tinggi, dan (5) sangat tinggi.

Eksplorasi penentuan nilai batas kelompok (cutting point) pada setiap kategori dilakukan dengan memanfaatkan distribusi data, diantaranya berdasarkan: (1) rentang data yang sama, (2) frekuensi (persentil), atau (3) standar deviasi. Ketiga skenario pengklasifikasian tersebut menghasilkan nilai batas yang berbeda-beda seperti tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 3.4 Nilai Batas Kelompok Menurut Skenario Pengklasifikasian R-IKK Kategori R-IKK Rentang Data Sama Persentil Standar Deviasi

(1) (2) (3) (4)

Sangat Rendah Kurang Dari 61,16 Kurang Dari 68,59 Kurang Dari 62,96 Rendah 61,16 - 65,76 68,59 - 71,17 62,96 - 67,41

Cukup 65,76 - 70,36 71,17 - 72,81 67,41 - 76,30 Tinggi 70,36 - 74,96 72,81 - 74,81 76,30 - 80,75 Sangat Tinggi Lebih Dari Atau Sama

Dengan 74,96 Lebih Dari Atau Sama

Dengan 74,81 Lebih Dari Atau Sama Dengan 80,75 Terdapat perbedaan signifikan diantara ketiga skenario pengklasifikasian yang digunakan. Pengelompokkan dengan menggunakan persentil dan standar deviasi sangat tergantung pada distribusi data yang digunakan, sementara itu dengan skenario rentang data yang sama, nilai batas kelompok (cutting point) R-IKK yang dihasilkan mempunyai panjang interval yang relatif sama. Selanjutnya, nilai batas yang dihasilkan dari skenario rentang data yang sama dimodifikasi dengan pembulatan, namun dengan tetap mengutamakan keterseimbangan panjang interval pada tiap kelompok. Hasil modifikasi batas skenario ini menjadi sebagai berikut: (1) ketahanan keluarga kategori Sangat Rendah adalah wilayah yang memiliki R-IKK kurang dari 60; (2) ketahanan keluarga kategori Rendah merupakan wilayah dengan R-IKK kurang dari 65 dan lebih dari atau sama dengan 60; (3) ketahanan keluarga kategori Cukup adalah wilayah dengan R-IKK kurang dari 70 dan lebih dari atau sama dengan 65; (4) ketahanan keluarga kategori Tinggi adalah wilayah dengan R-IKK 32 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Tabel 3.3 Bobot/Kontribusi Dimensi, Variabel, dan Indikator Penyusun Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga

Dimensi Variabel Indikator Bobot

(1) (2) (3) (4)

(0,121) 1. Legalitas Perkawinan 0,07307

2. Legalitas Kelahiran 0,04807

Keutuhan Keluarga

(0,037) 3. Keutuhan Keluarga 0,03782

Kemitraan Gender (0,150)

4. Kebersamaan Dalam Keluarga 0,04119 5. Kemitraan Suami-Istri 0,04599 6. Keterbukaan Pengelolaan Keuangan 0,02829 7. Pengambilan Keputusan Keluarga 0,03435

Ketahanan Fisik (0,196)

Kecukupan Pangan dan Gizi (0,120)

8. Kecukupan Pangan 0,05057

9. Kecukupan Gizi 0,06924

Kesehatan Keluarga

(0,047) 10. Keterbebasan dari Penyakit Kronis dan

Disabilitas 0,04728

Ketersediaan Tempat/Lokasi Tetap Untuk Tidur (0,029)

11. Ketersediaan Lokasi Tetap Untuk Tidur 0,02897

Ketahanan Ekonomi

(0,231)

Tempat Tinggal

Keluarga (0,020) 12. Kepemilikan Rumah 0,02014 Pendapatan

Keluarga (0,038)

13. Pendapatan Perkapita Keluarga 0,01116 14. Kecukupan Pendapatan Keluarga 0,02673 Pembiayaan

Pendidikan Anak (0,123)

15. Kemampuan Pembiayaan Pendidikan

Anak 0,05866

16. Keberlangsungan Pendidikan Anak 0,06455 Jaminan Keuangan

Keluarga (0,050)

17. Tabungan Keluarga 0,01876

18. Jaminan Kesehatan Keluarga 0,03147

Ketahanan

19. Sikap Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan 0,06610

20. Perilaku Anti Kekerasan Terhadap Anak 0,06802 Kepatuhan Terhadap

Hukum (0,044) 21. Penghormatan Terhadap Hukum 0,04413

Ketahanan Sosial Budaya

(0,085)

Kepedulian Sosial

(0,042) 22. Penghormatan Terhadap Lansia 0,04210 Keeratan Sosial

(0,019) 23. Partisipasi dalam Kegiatan Sosial di

Lingkungan 0,01868

Ketaatan Beragama

(0,025) 24. Partisipasi dalam Kegiatan Keagamaan

di Lingkungan 0,02468

Gambar 3.1 Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK) Menurut Provinsi dan Kategori Tingkat Ketahanan Keluarga

50 55 60 65 70 75 80

Papua Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua Barat Sumatera Utara Kalimantan Barat Banten Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Sulawesi Tengah Maluku Utara Jawa Barat Gorontalo Bengkulu Lampung Sulawesi Selatan INDONESIA Sumatera Selatan Riau Aceh Sumatera Barat Sulawesi Utara Jawa Timur Kalimantan Utara Jambi DKI Jakarta Kep. Bangka Belitung Kalimantan Tengah Jawa Tengah Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kepulauan Riau DI Yogyakarta

Sangat rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat tinggi kurang dari 75 dan kurang dari atau sama dengan 70; dan (5) ketahanan keluarga

kategori Sangat Tinggi merupakan wilayah dengan R-IKK minimal 75. Dengan nilai batas kelompok (cutting point) tersebut, maka diharapkan perubahan indeks akibat dari adanya perubahan kondisi sosial dan ekonomi dapat lebih mudah dibandingkan antar waktu.

Terkait bahwa R-IKK masih dalam proses pengembangan, maka dalam publikasi ini nilai R-IKK pada masing-masing provinsi masih disajikan dalam kategori sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, atau sangat tinggi. Penyajian tingkat ketahanan keluarga yang lebih detil membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut pada kegiatan pengukuran di masa mendatang.

Rintisan Indeks Ketahanan keluarga menurut provinsi dan kategori tingkat ketahanan keluarga dapat dilihat pada Gambar 3.1. Agar grafik lebih terlihat jelas, maka grafik ditampilkan dengan skala nilai R-IKK 50 sampai 80. Menarik untuk diketahui bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, setengahnya (tujuh belas provinsi) memiliki nilai R-IKK di atas rata-rata nasional, dan sebaliknya. Dua puluh tiga diantara provinsi-provinsi di Indonesia tampaknya sudah masuk dalam kategori tingkat ketahanan keluarga “tinggi” atau “sangat tinggi”. Provinsi dengan R-IKK tertinggi terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya, provinsi dengan R-IKK terendah terdapat di Papua.

Selanjutnya, terdapat dua provinsi yang masuk dalam kategori R-IKK rendah, yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, sebanyak delapan provinsi termasuk ke dalam kelompok yang memiliki ketahanan keluarga kategori cukup.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 35 Gambar 3.1 Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga (R-IKK) Menurut Provinsi dan

Kategori Tingkat Ketahanan Keluarga

50 55 60 65 70 75 80

Papua Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua Barat Sumatera Utara Kalimantan Barat Banten Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Sulawesi Tengah Maluku Utara Jawa Barat Gorontalo Bengkulu Lampung Sulawesi Selatan INDONESIA Sumatera Selatan Riau Aceh Sumatera Barat Sulawesi Utara Jawa Timur Kalimantan Utara Jambi DKI Jakarta Kep. Bangka Belitung Kalimantan Tengah Jawa Tengah Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kepulauan Riau DI Yogyakarta

Sangat rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat tinggi

34 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

kurang dari 75 dan kurang dari atau sama dengan 70; dan (5) ketahanan keluarga kategori Sangat Tinggi merupakan wilayah dengan R-IKK minimal 75. Dengan nilai batas kelompok (cutting point) tersebut, maka diharapkan perubahan indeks akibat dari adanya perubahan kondisi sosial dan ekonomi dapat lebih mudah dibandingkan antar waktu.

Terkait bahwa R-IKK masih dalam proses pengembangan, maka dalam publikasi ini nilai R-IKK pada masing-masing provinsi masih disajikan dalam kategori sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, atau sangat tinggi. Penyajian tingkat ketahanan keluarga yang lebih detil membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut pada kegiatan pengukuran di masa mendatang.

Rintisan Indeks Ketahanan keluarga menurut provinsi dan kategori tingkat ketahanan keluarga dapat dilihat pada Gambar 3.1. Agar grafik lebih terlihat jelas, maka grafik ditampilkan dengan skala nilai R-IKK 50 sampai 80. Menarik untuk diketahui bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, setengahnya (tujuh belas provinsi) memiliki nilai R-IKK di atas rata-rata nasional, dan sebaliknya. Dua puluh tiga diantara provinsi-provinsi di Indonesia tampaknya sudah masuk dalam kategori tingkat ketahanan keluarga “tinggi” atau “sangat tinggi”. Provinsi dengan R-IKK tertinggi terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya, provinsi dengan R-IKK terendah terdapat di Papua.

Selanjutnya, terdapat dua provinsi yang masuk dalam kategori R-IKK rendah, yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, sebanyak delapan provinsi termasuk ke dalam kelompok yang memiliki ketahanan keluarga kategori cukup.

Penyajian peta tematik R-IKK Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.2. Terlihat bahwa umumnya provinsi dengan kategori IKK sangat tinggi berbatasan dengan R-IKK yang juga berkategori sangat tinggi atau tinggi, kecuali Provinsi Bali. Provinsi Bali dengan R-IKK sangat tinggi ini selain berbatasan dengan provinsi dengan R-IKK kategori tinggi (Jawa timur), ternyata juga berbatasan provinsi dengan R-IKK yang sangat rendah, yaitu Nusa Tenggara Barat.

Pada Pulau Sumatera, terlihat bahwa hampir seluruh provinsi memiliki R-IKK yang terkategori tinggi (atau bahkan sangat tinggi), kecuali di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki R-IKK kategori cukup. Pola yang sama juga terjadi di Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten yang memiliki R-IKK kategori cukup. Demikian pula untuk pulau Kalimantan dimana hampir semua provinsi memiliki R-IKK kategori tinggi atau sangat tinggi, kecuali Provinsi Kalimantan Barat yang masih memiliki R-IKK kategori cukup.

Pada Pulau Sulawesi berimbang antara provinsi dengan nilai R-IKK kategori tinggi dan provinsi dengan kategori cukup, masing-masing tiga provinsi. Sementara itu, di Pulau Maluku dan Papua, nilai R-IKK provinsinya memiliki nilai dengan kategori beragam yaitu kategori tinggi pada Maluku Utara, kategori cukup pada Maluku dan Papua Barat, dan kategori sangat rendah pada Papua. Di sini terlihat bahwa Provinsi Papua dapat dikatakan memiliki nilai R-IKK yang relatif timpang dibandingkan R-IKK provinsi-provinsi di sekitarnya, bahkan bila dibandingkan dengan R-IKK seluruh provinsi di Indonesia.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 36 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Penyajian peta tematik R-IKK Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.2. Terlihat bahwa umumnya provinsi dengan kategori IKK sangat tinggi berbatasan dengan R-IKK yang juga berkategori sangat tinggi atau tinggi, kecuali Provinsi Bali. Provinsi Bali dengan R-IKK sangat tinggi ini selain berbatasan dengan provinsi dengan R-IKK kategori tinggi (Jawa timur), ternyata juga berbatasan provinsi dengan R-IKK yang sangat rendah, yaitu Nusa Tenggara Barat.

Pada Pulau Sumatera, terlihat bahwa hampir seluruh provinsi memiliki R-IKK yang terkategori tinggi (atau bahkan sangat tinggi), kecuali di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki R-IKK kategori cukup. Pola yang sama juga terjadi di Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten yang memiliki R-IKK kategori cukup. Demikian pula untuk pulau Kalimantan dimana hampir semua provinsi memiliki R-IKK kategori tinggi atau sangat tinggi, kecuali Provinsi Kalimantan Barat yang masih memiliki R-IKK kategori cukup.

Pada Pulau Sulawesi berimbang antara provinsi dengan nilai R-IKK kategori tinggi dan provinsi dengan kategori cukup, masing-masing tiga provinsi. Sementara itu, di Pulau Maluku dan Papua, nilai R-IKK provinsinya memiliki nilai dengan kategori beragam yaitu kategori tinggi pada Maluku Utara, kategori cukup pada Maluku dan Papua Barat, dan kategori sangat rendah pada Papua. Di sini terlihat bahwa Provinsi Papua dapat dikatakan memiliki nilai R-IKK yang relatif timpang dibandingkan R-IKK provinsi-provinsi di sekitarnya, bahkan bila dibandingkan dengan R-IKK seluruh provinsi di Indonesia.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 37

Gambar 3.2 Peta Rintisan Indeks Ketahanan Keluarga 95 95

100 100

105 105

110 110

115 115

120 120

125 125

130 130

135 135

140 140

-10-10

-5-5

00

55 Keterangan: < 60 60 - 65 65 - 70 70 - 75 > 75

U nesia

LANDASAN LEGALITAS DAN KEUTUHAN KELUARGA

Dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga terdiri dari 3 variabel, yaitu (1) landasan legalitas, (2) keutuhan keluarga, dan (3) kemitraan gender. Masing-masing dari variabel tersebut dinilai dengan beberapa indikator. Pertama, landasan legalitas dinilai dengan 2 indikator, yaitu legalitas perkawinan dan legalitas kelahiran.

Kedua, keutuhan keluarga dinilai dengan indikator keutuhan keluarga. Sedangkan yang ketiga, kemitraan gender dinilai dengan 4 indikator, yaitu kemitraan suami-istri, kebersamaan dalam keluarga, keterbukaan pengelolaan keuangan, dan pengambilan keputusan keluarga.

4.1 LANDASAN LEGALITAS

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, sesuai yang tercantum dalam Pasal 28B ayat 1, Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa pembangunan keluarga bertujuan meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Kemudian, disebutkan pula bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bertolak dari penjelasan di atas, tercermin bahwa landasan legalitas perkawinan merupakan salah satu landasan penting bagi keluarga untuk membentuk sebuah keluarga harmonis yang sejahtera lahir dan batin. Perkawinan yang tidak sah akan menjadi hambatan dalam mencapai kesejahteraan dan ketahanan keluarga yang kuat karena perkawinan yang tidak sah mengandung resiko tidak terpenuhinya hak-hak anak dan isteri. Dalam pembahasan selanjutnya, landasan legalitas akan menyajikan dua topik yang saling berkaitan, yaitu legalitas perkawinan dan legalitas kelahiran.

4

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 39 39

LANDASAN LEGALITAS DAN

KEUTUHAN KELUARGA

Dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga terdiri dari 3 variabel, yaitu (1) landasan legalitas, (2) keutuhan keluarga, dan (3) kemitraan gender. Masing-masing dari variabel tersebut dinilai dengan beberapa indikator. Pertama, landasan legalitas dinilai dengan 2 indikator, yaitu legalitas perkawinan dan legalitas kelahiran.

Kedua, keutuhan keluarga dinilai dengan indikator keutuhan keluarga. Sedangkan yang ketiga, kemitraan gender dinilai dengan 4 indikator, yaitu kemitraan suami-istri, kebersamaan dalam keluarga, keterbukaan pengelolaan keuangan, dan pengambilan keputusan keluarga.

4.1 LANDASAN LEGALITAS

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, sesuai yang tercantum dalam Pasal 28B ayat 1, Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa pembangunan keluarga bertujuan meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Kemudian, disebutkan pula bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bertolak dari penjelasan di atas, tercermin bahwa landasan legalitas perkawinan merupakan salah satu landasan penting bagi keluarga untuk membentuk sebuah keluarga harmonis yang sejahtera lahir dan batin. Perkawinan yang tidak sah akan menjadi hambatan dalam mencapai kesejahteraan dan ketahanan keluarga yang kuat karena perkawinan yang tidak sah mengandung resiko tidak terpenuhinya hak-hak anak dan isteri. Dalam pembahasan selanjutnya, landasan legalitas akan menyajikan dua topik yang saling berkaitan, yaitu legalitas perkawinan dan legalitas kelahiran.

4

Pada tahun 2015 tercatat sekitar 74 persen kepala rumah tangga dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional berstatus kawin, dimana sekitar 84 persen rumah tangga diantaranya memiliki buku nikah (Gambar 4.1). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia telah memiliki landasan legalitas perkawinan dalam membangun ketahanan keluarga.

Meskipun demikian, masih terdapat sekitar 16 persen rumah tangga yang tidak memiliki buku nikah. Banyak faktor yang dapat menyebabkan mengapa mereka tidak mencatatkan perkawinan mereka di KUA ataupun Kantor Catatan Sipil, diantaranya yaitu keperluan poligami, adanya keyakinan bahwa pencatatan tidak diwajibkan agama, dan ketidaktahuan fungsi dari surat nikah. Faktor penyebab lain dari perkawinan tidak tercatat adalah karena sudah berumur, perkawinan di bawah umur, dan untuk menutupi aib (Kustini, 2013).

Jika diperhatikan menurut provinsi, Papua menempati posisi terendah dan menjadi satu-satunya provinsi yang persentase rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional yang memiliki buku nikah kurang dari 50 persen, yaitu sebesar 21,53 persen (Gambar 4.2). Rendahnya persentase di Provinsi Papua ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional tersebut memiliki ketahanan keluarga masih rendah. Selanjutnya, empat provinsi berikutnya dengan persentase terendah untuk rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional yang mempunyai buku nikah adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali dan Papua Barat.

40 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 4.1.1 Legalitas Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; dan disamping itu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Setelah melakukan pencatatan perkawinan, masing-masing suami dan isteri akan memperoleh kutipan akta perkawinan yang menjadi alat bukti perkawinan yang sah, yaitu berupa buku nikah isteri dan buku nikah suami. Oleh karena itu, legalitas perkawinan dapat dilihat dari kepemilikan buku nikah dari pasangan suami dan istri.

Informasi terkait kepemilikan buku nikah dapat diambil dari data Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015. Namun, PBDT 2015 hanya mencakup 40 persen rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terbawah secara nasional. Walaupun begitu, informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pendekatan kasar mengenai kepemilikan buku nikah secara nasional. Asumsinya, apabila sebagian besar rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah telah memiliki buku nikah, maka rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan di atas mereka kemungkinan akan lebih banyak lagi yang memiliki buku nikah.

Gambar 4.1 Persentase Rumah Tangga dengan Tingkat Kesejahteraan 40 persen Terbawah Secara Nasional Menurut Kepemilikan Buku Nikah, 2015

Sumber : PBDT 2015

84,21 15,79

Memiliki Tidak Memiliki

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 41 41 Pada tahun 2015 tercatat sekitar 74 persen kepala rumah tangga dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional berstatus kawin, dimana sekitar 84 persen rumah tangga diantaranya memiliki buku nikah (Gambar 4.1). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia telah memiliki landasan legalitas perkawinan dalam membangun ketahanan keluarga.

Meskipun demikian, masih terdapat sekitar 16 persen rumah tangga yang tidak memiliki buku nikah. Banyak faktor yang dapat menyebabkan mengapa mereka tidak mencatatkan perkawinan mereka di KUA ataupun Kantor Catatan Sipil, diantaranya yaitu keperluan poligami, adanya keyakinan bahwa pencatatan tidak diwajibkan agama, dan ketidaktahuan fungsi dari surat nikah. Faktor penyebab lain dari perkawinan tidak tercatat adalah karena sudah berumur, perkawinan di bawah umur, dan untuk menutupi aib (Kustini, 2013).

Jika diperhatikan menurut provinsi, Papua menempati posisi terendah dan menjadi satu-satunya provinsi yang persentase rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional yang memiliki buku nikah kurang dari 50 persen, yaitu sebesar 21,53 persen (Gambar 4.2). Rendahnya persentase di Provinsi Papua ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional tersebut memiliki ketahanan keluarga masih rendah. Selanjutnya, empat provinsi berikutnya dengan persentase terendah untuk rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional yang mempunyai buku nikah adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali dan Papua Barat.

40 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 4.1.1 Legalitas Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; dan

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 53-0)