• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan Keluarga

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 91-95)

V. Ketahanan Fisik 63

5.2. Kesehatan Keluarga

Kesehatan fisik merupakan modal dasar seseorang untuk hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan, serta kebahagiaan lahir dan batin. Fisik yang sehat dapat diterjemahkan sebagai kondisi jasmani yang terbebas dari penyakit dan gangguan fungsi tubuh. Orang yang sehat berpotensi lebih besar untuk dapat membangun ketahanan keluarga yang lebih baik daripada orang yang tidak sehat.

Angka kesakitan (morbidity rate) merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk menentukan derajat kesehatan seseorang. Angka ini diperoleh dengan menanyakan keberadaan keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Jika keluhan kesehatan tersebut sampai mengakibatkan aktivitas seseorang terganggu, seperti tidak dapat bekerja, tidak masuk sekolah atau tidak dapat melakukan kegiatan lain yang biasanya dilakukan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai sakit.

Secara nasional, pada tahun 2015, terdapat 30,34 persen penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, namun hanya 16,14 persen penduduk Indonesia yang terganggu aktivitasnya karena adanya keluhan kesehatan tersebut. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan di perkotaan tidak berbeda dengan penduduk di perdesaan (sekitar 30%). Akan tetapi penduduk perdesaan (16,89%) mempunyai angka morbiditas lebih tinggi daripada penduduk perkotaan (15,41%). Selanjutnya perbandingan angka morbiditas menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.4.

Gambar 5.6 Persentase Penduduk Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kesehatan Selama Sebulan Terakhir, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perdesaan + Perkotaan

69,67 69,64 69,65

14,93 15,41 13,46 16,89 14,20 16,14

Tidak Ada Keluhan Kesehatan

Ada Keluhan Kesehatan Tapi Tidak Terganggu Ada Keluhan Kesehatan dan Terganggu (Sakit) Gambar 5.5 Persentase Balita yang Mempunyai Status Gizi Baik Menurut

Provinsi, 2013

Sumber : Publikasi Riskesdas 2013

71,9

Indonesia : 75,9

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 71 5.2 KESEHATAN KELUARGA

Kesehatan fisik merupakan modal dasar seseorang untuk hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan, serta kebahagiaan lahir dan batin. Fisik yang sehat dapat diterjemahkan sebagai kondisi jasmani yang terbebas dari penyakit dan gangguan fungsi tubuh. Orang yang sehat berpotensi lebih besar untuk dapat membangun ketahanan keluarga yang lebih baik daripada orang yang tidak sehat.

Angka kesakitan (morbidity rate) merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk menentukan derajat kesehatan seseorang. Angka ini diperoleh dengan menanyakan keberadaan keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Jika keluhan kesehatan tersebut sampai mengakibatkan aktivitas seseorang terganggu, seperti tidak dapat bekerja, tidak masuk sekolah atau tidak dapat melakukan kegiatan lain yang biasanya dilakukan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai sakit.

Secara nasional, pada tahun 2015, terdapat 30,34 persen penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, namun hanya 16,14 persen penduduk Indonesia yang terganggu aktivitasnya karena adanya keluhan kesehatan tersebut. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan di perkotaan tidak berbeda dengan penduduk di perdesaan (sekitar 30%). Akan tetapi penduduk perdesaan (16,89%) mempunyai angka morbiditas lebih tinggi daripada penduduk perkotaan (15,41%). Selanjutnya perbandingan angka morbiditas menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.4.

Gambar 5.6 Persentase Penduduk Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kesehatan Selama Sebulan Terakhir, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perdesaan + Perkotaan

69,67 69,64 69,65

14,93 15,41 13,46 16,89 14,20 16,14

Tidak Ada Keluhan Kesehatan

Ada Keluhan Kesehatan Tapi Tidak Terganggu Ada Keluhan Kesehatan dan Terganggu (Sakit)

70 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 5.5 Persentase Balita yang Mempunyai Status Gizi Baik Menurut Provinsi, 2013

Sumber : Publikasi Riskesdas 2013

71,9

Indonesia : 75,9

Gambar 5.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah, Keberadaan KRT/Pasangan Penderita Penyakit Kronis, dan Disabilitas, 2014

Sumber : SPTK 2014

Pada tahun 2014, sekitar 86,21 persen rumah tangga di Indonesia, KRT atau pasangannya tidak mempunyai masalah penyakit kronis dan penyandang disabilitas.

Sedangkan sisanya sekitar 13,79 merupakan rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis, penyandang disabilitas, maupun keduanya.

Persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis di perkotaan lebih besar daripada perdesaan. Sebaliknya persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menyandang disabilitas di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Jika dilihat menurut wilayah, Provinsi Papua dan Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 96,17 persen dan 91,96 persen. Sementara itu Aceh dan Bengkulu adalah provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas terendah, yaitu masing-masing sebesar 79,44 persen dan 81,96 persen.

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

86,30 86,11 86,21

7,02 4,74 1,94 5,16 6,98 1,75 6,09 5,86 1,84

Tidak Kronis dan Disabilitas Kronis Tanpa Disabilitas Disabiltas Tanpa Kronis Kronis dan Disabilitas Selain kondisi fisik yang sakit, keberadaan penyakit kronis ataupun kesulitan

fungsional yang diderita oleh seseorang juga dapat menjadi hambatan untuk melaksanakan peran dan fungsi dalam keluarga. Tidak berarti penderita penyakit kronis ataupun kesulitan fungsional pasti mempunyai ketahanan keluarga yang rendah. Namun, keberadaan anggota keluarga yang menderita penyakit kronis dan kesulitan fungsional dapat meningkatkan peluang keluarga tersebut untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah. Oleh karena itu variabel pada dimensi ketahanan fisik selanjutnya adalah kesehatan keluarga yang diukur melalui keterbebasan dari penyakit dan disabilitas (kesulitan fungsional).

Penyakit kronis merupakan penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secara tiba‐tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna. Sedangkan kesulitan fungsional merupakan gangguan fungsi tubuh yang menjadi penghambat seseorang untuk beraktivitas secara normal. Kedua hal ini, penyakit kronis dan kesulitan fungsional, dapat menyebabkan ketahanan keluarga menjadi rendah. Penderita penyakit kronis tertentu akan disibukkan dengan berbagai pengobatan untuk bisa bertahan hidup dan melakukan aktivitas dengan normal, apalagi jika tingkat keparahan penyakitnya sudah lanjut. Keluarga dengan anggota penderita penyakit kronis akan semakin rentan jika mereka tidak mampu untuk melakukan tindakan pengobatan, baik medis maupun non medis.

Tidak banyak sumber data yang secara spesifik memberikan informasi mengenai keberadaan anggota rumah tangga penderita penyakit kronis sekaligus penyandang disabilitas (kesulitan fungsional). Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia dalam data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014.

Penyakit kronis yang dimaksud disini adalah penyakit kronis yang sudah pernah dinyatakan oleh dokter atau tenaga medis. Sedangkan disabilitas yang dimaksud merupakan penilaian responden atas beberapa kesulitan fungsi anggota tubuh responden. Dalam pembahasan ini, responden dikelompokkan sebagai penyandang disabilitas jika menderita disabilitas sedang atau berat menurut penilaian responden sendiri. Perlu diingat, responden SPTK 2014 adalah kepala rumah tangga atau pasangannya. Sehingga, ada tidaknya anggota rumah tangga yang menderita penyakit kronis atau disabilitas ditentukan berdasarkan kondisi kesehatan kepala rumah tangga atau pasangannya. Rumah tangga yang mempunyai kepala rumah tangga atau pasangan sebagai penderita penyakit kronis dan disabilitas cenderung memiliki ketahanan keluarga yang lebih rendah.

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 73 Gambar 5.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah,

Keberadaan KRT/Pasangan Penderita Penyakit Kronis, dan Disabilitas, 2014

Sumber : SPTK 2014

Pada tahun 2014, sekitar 86,21 persen rumah tangga di Indonesia, KRT atau pasangannya tidak mempunyai masalah penyakit kronis dan penyandang disabilitas.

Sedangkan sisanya sekitar 13,79 merupakan rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis, penyandang disabilitas, maupun keduanya.

Persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menderita penyakit kronis di perkotaan lebih besar daripada perdesaan. Sebaliknya persentase rumah tangga yang KRT atau pasangannya menyandang disabilitas di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Jika dilihat menurut wilayah, Provinsi Papua dan Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 96,17 persen dan 91,96 persen. Sementara itu Aceh dan Bengkulu adalah provinsi dengan persentase rumah tangga yang terbebas dari penyakit kronis dan disabilitas terendah, yaitu masing-masing sebesar 79,44 persen dan 81,96 persen.

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

86,30 86,11 86,21

7,02 4,74 1,94 5,16 6,98 1,75 6,09 5,86 1,84

Tidak Kronis dan Disabilitas Kronis Tanpa Disabilitas Disabiltas Tanpa Kronis Kronis dan Disabilitas

72 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Selain kondisi fisik yang sakit, keberadaan penyakit kronis ataupun kesulitan fungsional yang diderita oleh seseorang juga dapat menjadi hambatan untuk melaksanakan peran dan fungsi dalam keluarga. Tidak berarti penderita penyakit kronis ataupun kesulitan fungsional pasti mempunyai ketahanan keluarga yang rendah. Namun, keberadaan anggota keluarga yang menderita penyakit kronis dan kesulitan fungsional dapat meningkatkan peluang keluarga tersebut untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah. Oleh karena itu variabel pada dimensi ketahanan fisik selanjutnya adalah kesehatan keluarga yang diukur melalui keterbebasan dari penyakit dan disabilitas (kesulitan fungsional).

Penyakit kronis merupakan penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secara tiba‐tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna. Sedangkan kesulitan fungsional merupakan gangguan fungsi tubuh yang menjadi penghambat seseorang untuk beraktivitas secara normal. Kedua hal ini, penyakit kronis dan kesulitan fungsional, dapat menyebabkan ketahanan keluarga menjadi rendah. Penderita penyakit kronis tertentu akan disibukkan dengan berbagai pengobatan untuk bisa bertahan hidup dan melakukan aktivitas dengan normal, apalagi jika tingkat keparahan penyakitnya sudah lanjut. Keluarga dengan anggota penderita penyakit kronis akan semakin rentan jika mereka tidak mampu untuk melakukan tindakan pengobatan, baik medis maupun non medis.

Tidak banyak sumber data yang secara spesifik memberikan informasi mengenai keberadaan anggota rumah tangga penderita penyakit kronis sekaligus penyandang disabilitas (kesulitan fungsional). Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia dalam data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014.

Penyakit kronis yang dimaksud disini adalah penyakit kronis yang sudah pernah dinyatakan oleh dokter atau tenaga medis. Sedangkan disabilitas yang dimaksud merupakan penilaian responden atas beberapa kesulitan fungsi anggota tubuh responden. Dalam pembahasan ini, responden dikelompokkan sebagai penyandang disabilitas jika menderita disabilitas sedang atau berat menurut penilaian responden sendiri. Perlu diingat, responden SPTK 2014 adalah kepala rumah tangga atau pasangannya. Sehingga, ada tidaknya anggota rumah tangga yang menderita penyakit kronis atau disabilitas ditentukan berdasarkan kondisi kesehatan kepala rumah tangga atau pasangannya. Rumah tangga yang mempunyai kepala rumah tangga atau pasangan sebagai penderita penyakit kronis dan disabilitas cenderung memiliki ketahanan keluarga yang lebih rendah.

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 91-95)