• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat Tinggal Keluarga

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 99-103)

V. Ketahanan Fisik 63

6.1. Tempat Tinggal Keluarga

Tempat tinggal keluarga merupakan salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi yang diukur dengan status kepemilikan rumah. Indikator ini dapat digunakan sebagai ukuran ketahanan ekonomi suatu rumah tangga karena rumah tangga yang telah memiliki rumah sendiri berarti dia telah mampu memenuhi salah satu kebutuhan primernya sehingga berpotensi untuk membangun keluarga dengan ketahanan keluarga yang lebih baik. Kepemilikan tempat tinggal akan diukur dengan indikator status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang dihasilkan dari data rumah tangga Susenas 2015. Rumah tangga yang telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik dibandingkan rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri.

Mayoritas rumah tangga di Indonesia telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri (82,63%), sedangkan sisanya menempati bangunan tempat tinggal dengan membayar kontrak atau sewa, menumpang (bebas sewa), rumah dinas, dan lainnya (17,37%). Persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan.

Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya ketersediaan lahan untuk tempat tinggal di wilayah perkotaan. Berdasarkan klasifikasi wilayah, dalam data BPS 2015 menunjukkan bahwa secara nasional persentase penduduk di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan (53,3%). Hal inilah yang menjadi salah satu

6

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 79

KETAHANAN EKONOMI

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ketahanan keluarga juga mengandung makna kemampuan materil keluarga untuk hidup mandiri dan mengembangkan keluarga (Undang-undang Nomor 52 tahun 2009). Kemampuan materil keluarga ini dapat dipahami sebagai ketahanan ekonomi keluarga dalam mengatasi permasalahan ekonomi berdasarkan sumber daya yang mereka miliki.

Untuk itu, pembahasan ketahanan ekonomi akan menyajikan beberapa variabel yang berpotensi mempengaruhi tingkat ketahanan ekonomi keluarga. Dimensi tersebut dibangun dari empat variabel, antara lain (1) tempat tinggal keluarga, (2) pendapatan keluarga, (3) pembiayaan pendidikan anak, dan (4) jaminan keuangan keluarga.

6.1 TEMPAT TINGGAL KELUARGA

Tempat tinggal keluarga merupakan salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi yang diukur dengan status kepemilikan rumah. Indikator ini dapat digunakan sebagai ukuran ketahanan ekonomi suatu rumah tangga karena rumah tangga yang telah memiliki rumah sendiri berarti dia telah mampu memenuhi salah satu kebutuhan primernya sehingga berpotensi untuk membangun keluarga dengan ketahanan keluarga yang lebih baik. Kepemilikan tempat tinggal akan diukur dengan indikator status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang dihasilkan dari data rumah tangga Susenas 2015. Rumah tangga yang telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik dibandingkan rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri.

Mayoritas rumah tangga di Indonesia telah menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri (82,63%), sedangkan sisanya menempati bangunan tempat tinggal dengan membayar kontrak atau sewa, menumpang (bebas sewa), rumah dinas, dan lainnya (17,37%). Persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan.

Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya ketersediaan lahan untuk tempat tinggal di wilayah perkotaan. Berdasarkan klasifikasi wilayah, dalam data BPS 2015 menunjukkan bahwa secara nasional persentase penduduk di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan (53,3%). Hal inilah yang menjadi salah satu

6

Gambar 6.2 Persentase Rumah Tangga yang Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggalnya Milik Sendiri Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

81,69

Indonesia : 82,63 sebab mengapa ketersediaan lahan untuk bangunan tempat tinggal di wilayah

perkotaan lebih sedikit dibandingkan di perdesaan.

Gambar 6.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggal, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri cenderung lebih tinggi daripada bukan milik sendiri. Namun untuk DKI Jakarta, persentase rumah tangga yang menempati bangunan milik sendiri (51,09%) hampir berimbang dengan rumah tangga yang menempati bangunan bukan milik sendiri (48,91%). Seperti diketahui, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, dimana pada tahun 2015, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.328 jiwa/Km2 (BPS, 2016). Hal ini menyebabkan tingginya permintaan akan bangunan tempat tinggal yang kemudian berimbas pada mahalnya harga rumah. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian penduduk DKI Jakarta tidak mampu untuk memiliki rumah sendiri. Selain DKI Jakarta, masih terdapat 18 provinsi lain yang mempunyai persentase rumah tangga dengan status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri masih berada di bawah angka nasional, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

Milik Sendiri Bukan Milik Sendiri

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 81 Gambar 6.2 Persentase Rumah Tangga yang Status Kepemilikan Bangunan

Tempat Tinggalnya Milik Sendiri Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

81,69

Indonesia : 82,63

80 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

sebab mengapa ketersediaan lahan untuk bangunan tempat tinggal di wilayah perkotaan lebih sedikit dibandingkan di perdesaan.

Gambar 6.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggal, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri cenderung lebih tinggi daripada bukan milik sendiri. Namun untuk DKI Jakarta, persentase rumah tangga yang menempati bangunan milik sendiri (51,09%) hampir berimbang dengan rumah tangga yang menempati bangunan bukan milik sendiri (48,91%). Seperti diketahui, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, dimana pada tahun 2015, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.328 jiwa/Km2 (BPS, 2016). Hal ini menyebabkan tingginya permintaan akan bangunan tempat tinggal yang kemudian berimbas pada mahalnya harga rumah. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian penduduk DKI Jakarta tidak mampu untuk memiliki rumah sendiri. Selain DKI Jakarta, masih terdapat 18 provinsi lain yang mempunyai persentase rumah tangga dengan status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri masih berada di bawah angka nasional, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

Milik Sendiri Bukan Milik Sendiri

Gambar 6.3 memperlihatkan besarnya persentase rumah tangga berdasarkan empat kelompok pengeluaran perkapita per bulan. Sekitar 42,04 persen rumah tangga termasuk dalam Kelompok IV (pengeluaran perkapita lebih dari Rp 750.000,00) dan hanya sekitar 3,54 persen rumah tangga yang termasuk dalam kelompok I (pengeluaran perkapita kurang dari Rp 250.000,00), sementara mayoritas rumah tangga lainnya termasuk dalam kelompok II dan III. Sedangkan jika dilihat per provinsi terlihat bahwa mayoritas pengeluaran perkapita per bulan rumah tangga di Indonesia telah lebih dari Rp 250.000,00 di seluruh provinsi (Gambar 6.5). Bahkan di provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Utara persentase rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulannya kurang dari Rp 250.000,00 boleh dikatakan sudah tidak ada. Selain itu, data kemiskinan BPS juga telah menetapkan bahwa garis kemiskinan nasional di Indonesia pada tahun 2015 semester 2 untuk daerah perkotaan adalah sebesar Rp 356.378,00 dan daerah perdesaan adalah sebesar Rp 333.034,00. Garis kemiskinan merupakan batas minimum besarnya pengeluaran perkapita per bulan sebelum seseorang dikategorikan miskin. Untuk DKI Jakarta garis kemiskinan tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp. 503.038,00, selain itu DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin paling kecil, yaitu 3,61 persen (BPS, 2015). Sehingga sangat wajar jika persentase rumah tangga yang pengeluaran perkapita per bulannya di bawah Rp 250.000,00 mencapai nol persen.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa nilai batas (cutting point) pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan sebesar Rp 250.000,00 kurang tepat digunakan sebagai pembeda ketahanan ekonomi rumah tangga. Sebagai alternatif, disajikan pula garis kemiskinan sebagai nilai batas (cutting point) pengganti, dimana pengeluaran perkapita per bulan akan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu 1) kelompok rumah tangga miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang atau sama dengan garis kemiskinan; 2) kelompok rumah tangga hampir miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara garis kemiskinan sampai dengan 1,2 kali garis kemiskinan; 3) kelompok rumah tangga rentan miskin lainnya yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara 1,2 garis kemiskinan sampai dengan 1,6 garis kemiskinan; dan 4) kelompok rumah tangga tidak miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran lebih dari 1,6 garis kemiskinan.

Keunggulan dari nilai batas (cutting point) dengan menggunakan garis kemiskinan adalah nilai batas (cutting point) ini akan terus dapat digunakan pada tahun-tahun selanjutnya karena besaran garis kemiskinan ini akan terus diperbaharui sesuai dengan besaran pengeluaran penduduk referensi yang sudah mempertimbangkan pula nilai barang konsumsi pada masing-masing provinsi.

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 99-103)