• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan Keuangan Keluarga

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 113-0)

V. Ketahanan Fisik 63

6.4. Jaminan Keuangan Keluarga

Selain kecukupan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, ketahanan ekonomi keluarga juga perlu mempertimbangkan kesiapan keluarga tersebut dalam menghadapi kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Sehingga kepemilikan jaminan terhadap resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi di masa depan menjadi salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi keluarga. Jaminan terhadap resiko tersebut diukur dengan variabel jaminan keuangan yang terdiri dari dua indikator, yaitu tabungan keluarga, dan asuransi keluarga.

0,97

4,37

10,96

0,84

3,23

7,54

0,91

3,81

9,32

7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun

Laki-laki Perempuan Total 6.3.2 Keberlangsungan Pendidikan Anak

Keberlangsungan pendidikan anak akan digambarkan melalui besarnya persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga yang putus sekolah.

Putus sekolah adalah suatu kondisi dimana seseorang yang berusia sekolah (7-18 tahun) tidak dapat menamatkan jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Dalam hal ini, mereka yang telah menamatkan sekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu tetapi tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak termasuk sebagai putus sekolah. Selain tidak ada anak yang putus sekolah, rumah tangga yang mempunyai ketahanan ekonomi yang baik juga harus dapat menjamin anggota rumah tangganya untuk memperoleh pendidikan sehingga tidak ada anak yang tidak pernah sekolah.

Keberadaan anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah merupakan salah satu indikasi adanya masalah ekonomi dalam rumah tangga tersebut. Dari 54,52 persen rumah tangga yang memiliki ART usia 7-18 tahun, sekitar 2,67 persen rumah tangga di antaranya terdapat ART yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase rumah tangga yang terdapat ART putus sekolah atau tidak pernah bersekolah di perdesaan (3,41%) lebih tinggi daripada di perkotaan (1,92%). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih rendah sehingga berpotensi untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah pula (Gambar 6.12).

Gambar 6.12 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan ART Umur 7-18 Tahun yang Putus Sekolah atau Tidak Pernah Bersekolah, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

3,63 6,10 2,67

96,37 93,90 97,33

Ada ART Putus Sekolah Tidak Ada ART Putus Sekolah

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 93

Penduduk yang putus sekolah dan tidak pernah sekolah mempunyai kecenderungan yang berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Jika dilihat menurut kelompok umur, semakin tua usia penduduk maka semakin tinggi persentase mereka yang putus sekolah atau tidak pernah sekolah (Gambar 6.13). Lebih jauh, pada kelompok umur 7-12 tahun, perbedaan persentase antara anak laki-laki dan perempuan yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah masih dapat dikatakan seimbang. Namun pada kelompok umur selanjutnya, perbedaan persentase tersebut semakin nyata.

Gambar 6.13 Persentase Penduduk Putus Sekolah atau Tidak Pernah Bersekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

6.4 JAMINAN KEUANGAN KELUARGA

Selain kecukupan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, ketahanan ekonomi keluarga juga perlu mempertimbangkan kesiapan keluarga tersebut dalam menghadapi kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Sehingga kepemilikan jaminan terhadap resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi di masa depan menjadi salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi keluarga. Jaminan terhadap resiko tersebut diukur dengan variabel jaminan keuangan yang terdiri dari dua indikator, yaitu tabungan keluarga, dan asuransi keluarga.

0,97

4,37

10,96

0,84

3,23

7,54

0,91

3,81

9,32

7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun

Laki-laki Perempuan Total

92 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 6.3.2 Keberlangsungan Pendidikan Anak

Keberlangsungan pendidikan anak akan digambarkan melalui besarnya persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga yang putus sekolah.

Putus sekolah adalah suatu kondisi dimana seseorang yang berusia sekolah (7-18 tahun) tidak dapat menamatkan jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Dalam hal ini, mereka yang telah menamatkan sekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu tetapi tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak termasuk sebagai putus sekolah. Selain tidak ada anak yang putus sekolah, rumah tangga yang mempunyai ketahanan ekonomi yang baik juga harus dapat menjamin anggota rumah tangganya untuk memperoleh pendidikan sehingga tidak ada anak yang tidak pernah sekolah.

Keberadaan anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah merupakan salah satu indikasi adanya masalah ekonomi dalam rumah tangga tersebut. Dari 54,52 persen rumah tangga yang memiliki ART usia 7-18 tahun, sekitar 2,67 persen rumah tangga di antaranya terdapat ART yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase rumah tangga yang terdapat ART putus sekolah atau tidak pernah bersekolah di perdesaan (3,41%) lebih tinggi daripada di perkotaan (1,92%). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih rendah sehingga berpotensi untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah pula (Gambar 6.12).

Gambar 6.12 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Keberadaan ART Umur 7-18 Tahun yang Putus Sekolah atau Tidak Pernah Bersekolah, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

3,63 6,10 2,67

96,37 93,90 97,33

Ada ART Putus Sekolah Tidak Ada ART Putus Sekolah

perkotaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya dalam bentuk produk bank dan non bank.

Jika dilihat menurut provinsi, persentase rumah tangga berdasarkan kepemilikan tabungan dapat dilihat pada Gambar 6.15. Bali menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan tertinggi yakni 87,82 persen.

Sebaliknya, Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Papua merupakan provinsi-provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki tabungan dengan masing-masing persentase rumah tangga yang memiliki tabungan sebesar 47,32 persen, 42,84 persen, 49,83 persen, dan 42,91 persen. Sedangkan jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki, seluruh provinsi di Indonesia memiliki pola yang sama dengan pola nasional yakni persentase terbesarnya ada di jenis tabungan lainnya.

6.4.1 Tabungan Keluarga

Rumah tangga yang memiliki tabungan berpotensi memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Informasi terkait tabungan yang dimiliki oleh rumah tangga terdapat dalam data Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2015. Informasi yang dikumpulkan mencakup akses finansial rumah tangga antara lain, kepemilikan tabungan dan jenis tabungan. Namun dalam pembahasan ini, tabungan yang dimiliki rumah tangga dikelompok dalam 3 jenis, yaitu produk bank (tabungan/asuransi/deposito/giro), produk non-bank (koperasi/kantor pos/sekolah), dan lainnya (tabungan di lemari/dompet/celengan/dan sebagainya).

Gambar 6.14 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Jenis Tabungan yang Dimiliki, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

Secara nasional, 62,97 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki tabungan, dimana setiap rumah tangga bisa memiliki lebih dari satu jenis tabungan (Gambar 6.15). Kemudian, jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki maka rumah tangga yang mempunyai tabungan, lebih senang menyimpan tabungannya di rumah, seperti di lemari, dompet, celengan dan sebagainya (89,58%). Sedangkan rumah tangga yang memiliki tabungan dalam bentuk produk non-bank hanya sekitar 11,75 persen dan rumah tangga memiliki tabungan dalam bentuk produk bank sekitar 56,74 persen. Gambar 6.14 juga menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya di rumah, sementara rumah tangga di

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perkotaan

69,08

40,95

56,74

13,10

10,01 11,75

88,28 91,24 89,58

Produk Bank Produk NonBank Lainnya

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 95

perkotaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya dalam bentuk produk bank dan non bank.

Jika dilihat menurut provinsi, persentase rumah tangga berdasarkan kepemilikan tabungan dapat dilihat pada Gambar 6.15. Bali menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan tertinggi yakni 87,82 persen.

Sebaliknya, Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Papua merupakan provinsi-provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki tabungan dengan masing-masing persentase rumah tangga yang memiliki tabungan sebesar 47,32 persen, 42,84 persen, 49,83 persen, dan 42,91 persen. Sedangkan jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki, seluruh provinsi di Indonesia memiliki pola yang sama dengan pola nasional yakni persentase terbesarnya ada di jenis tabungan lainnya.

94 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 6.4.1 Tabungan Keluarga

Rumah tangga yang memiliki tabungan berpotensi memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Informasi terkait tabungan yang dimiliki oleh rumah tangga terdapat dalam data Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2015. Informasi yang dikumpulkan mencakup akses finansial rumah tangga antara lain, kepemilikan tabungan dan jenis tabungan. Namun dalam pembahasan ini, tabungan yang dimiliki rumah tangga dikelompok dalam 3 jenis, yaitu produk bank (tabungan/asuransi/deposito/giro), produk non-bank (koperasi/kantor pos/sekolah), dan lainnya (tabungan di lemari/dompet/celengan/dan sebagainya).

Gambar 6.14 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Jenis Tabungan yang Dimiliki, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

Secara nasional, 62,97 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki tabungan, dimana setiap rumah tangga bisa memiliki lebih dari satu jenis tabungan (Gambar 6.15). Kemudian, jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki maka rumah tangga yang mempunyai tabungan, lebih senang menyimpan tabungannya di rumah, seperti di lemari, dompet, celengan dan sebagainya (89,58%). Sedangkan rumah tangga yang memiliki tabungan dalam bentuk produk non-bank hanya sekitar 11,75 persen dan rumah tangga memiliki tabungan dalam bentuk produk bank sekitar 56,74 persen. Gambar 6.14 juga menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya di rumah, sementara rumah tangga di

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perkotaan

69,08

40,95

56,74

13,10

10,01 11,75

88,28 91,24 89,58

Produk Bank Produk NonBank Lainnya

Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

42,91

Indonesia : 62,97 Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah

Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

42,91

Indonesia : 62,97

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 96 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

42,91

Indonesia : 62,97

96 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 6.15 Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Anggota Rumah Tangga yang Mempunyai Tabungan/Simpanan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas MSBP 2015

42,91

Indonesia : 62,97

Gambar 6.17 Persentase Rumah Tangga Menurut Status dalam Pekerjaan dan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Jika dilihat menurut karakteristik kepala rumah tangga maka rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga berstatus buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan rumah tangga yang seluruh ART tidak mempunyai jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (Gambar 6.17). Jika dilihat menurut provinsi diketahui bahwa Bali merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling tinggi yakni sebesar 80,68 persen. Sebaliknya, Jambi menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling rendah yakni sebesar 27,70 persen. Selain itu, terdapat tiga provinsi yang mempunyai persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan di atas 70 persen, yaitu Aceh (75,29%), Sumatera Selatan (76,27%), dan Bali (80,68%).

49,53 49,26 54,58 34,65 45,49 46,73

13,81 13,51 15,08

16,59

15,30 14,40

36,66 37,23 30,33

48,76

39,21 38,86

Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh

tidak tetap/tidak dibayar Berusaha dibantu buruh

tetap/dibayar Buruh/karyawan/pegawai Pekerja bebas Pekerja keluarga/tidak dibayar

Tidak Ada Sebagian Semua 6.4.2 Jaminan Kesehatan Keluarga

Indikator lainnya yang dapat menggambarkan ketahanan ekonomi adalah kepemilikan berbagai asuransi, seperti asuransi kesehatan, asuransi ketenagakerjaan dan sebagainya. Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebenarnya telah mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Usaha untuk menyediakan sistem jaminan sosial tersebut telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Sedangkan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah telah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, masih terdapatnya beberapa masalah seperti terfragmentasinya mutu pelayanan yang diberikan berdasarkan jenis jaminan kesehatan yang dimiliki membuat sebagian keluarga di Indonesia belum berkeinginan secara mandiri mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS.

Gambar 6.16 menunjukkan masih terdapat 42,88 persen rumah tangga di Indonesia yang seluruh ART-nya tidak memiliki jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang dimaksud mencakup berbagai asuransi kesehatan seperti BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, askes/asabri/jamsostek, jamkesmas/PBI, jamkesda, asuransi swasta, serta jaminan kesehatan dari perusahaan/kantor. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran rumah tangga untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam rumah tangga lebih baik di perkotaan daripada di perdesaan.

Gambar 6.16 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

39,38 46,39 42,88

16,72 14,35 15,54

43,89

39,26 41,58

Tidak Ada Sebagian Semua

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 99 Gambar 6.17 Persentase Rumah Tangga Menurut Status dalam Pekerjaan dan

Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Jika dilihat menurut karakteristik kepala rumah tangga maka rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga berstatus buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan rumah tangga yang seluruh ART tidak mempunyai jaminan kesehatan cenderung adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (Gambar 6.17). Jika dilihat menurut provinsi diketahui bahwa Bali merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling tinggi yakni sebesar 80,68 persen. Sebaliknya, Jambi menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang seluruh anggota rumah tangganya memiliki jaminan kesehatan paling rendah yakni sebesar 27,70 persen. Selain itu, terdapat tiga provinsi yang mempunyai persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan di atas 70 persen, yaitu Aceh (75,29%), Sumatera Selatan (76,27%), dan Bali (80,68%).

49,53 49,26 54,58 34,65 45,49 46,73

13,81 13,51 15,08

16,59

15,30 14,40

36,66 37,23 30,33

48,76

39,21 38,86

Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh

tidak tetap/tidak dibayar Berusaha dibantu buruh

tetap/dibayar Buruh/karyawan/pegawai Pekerja bebas Pekerja keluarga/tidak dibayar

Tidak Ada Sebagian Semua

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 97 6.4.2 Jaminan Kesehatan Keluarga

Indikator lainnya yang dapat menggambarkan ketahanan ekonomi adalah kepemilikan berbagai asuransi, seperti asuransi kesehatan, asuransi ketenagakerjaan dan sebagainya. Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebenarnya telah mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Usaha untuk menyediakan sistem jaminan sosial tersebut telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Sedangkan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah telah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, masih terdapatnya beberapa masalah seperti terfragmentasinya mutu pelayanan yang diberikan berdasarkan jenis jaminan kesehatan yang dimiliki membuat sebagian keluarga di Indonesia belum berkeinginan secara mandiri mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS.

Gambar 6.16 menunjukkan masih terdapat 42,88 persen rumah tangga di Indonesia yang seluruh ART-nya tidak memiliki jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang dimaksud mencakup berbagai asuransi kesehatan seperti BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, askes/asabri/jamsostek, jamkesmas/PBI, jamkesda, asuransi swasta, serta jaminan kesehatan dari perusahaan/kantor. Jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, persentase rumah tangga yang seluruh ART-nya memiliki jaminan kesehatan cenderung lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran rumah tangga untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam rumah tangga lebih baik di perkotaan daripada di perdesaan.

Gambar 6.16 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Anggota Rumah Tangga (ART), 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

39,38 46,39 42,88

16,72 14,35 15,54

43,89

39,26 41,58

Tidak Ada Sebagian Semua

KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGIS

Dimensi keempat yang membentuk ketahanan keluarga adalah dimensi ketahanan sosial psikologis. Berbeda dengan dimensi pembentuk ketahanan keluarga lainnya, dimensi ketahanan sosial psikologis tidak dapat dilihat secara fisik. Dimensi ini terdiri atas dua variabel yaitu (1) variabel keharmonisan keluarga (mencakup sikap anti kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan perilaku anti kekerasan terhadap anak) dan (2) variabel kepatuhan terhadap hukum (dilihat dari pengalaman rumah tangga menjadi korban tindak pidana). Kedua variabel tersebut telah sesuai dengan konsep yang menyebutkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia, karena keluarga merupakan unit terkecil dalam sistem sosial di masyarakat yang memiliki peranan penting sebagai tempat anak bersosialisasi dan membangun relasi dengan lingkungannya seusia dini.

Sedangkan variabel kepatuhan terhadap hukum dimaksudkan untuk melihat kepatuhan keluarga terhadap hukum dengan tidak pernah melakukan tindakan kriminalitas atau pelanggaran hukum.

7.1 KEHARMONISAN KELUARGA

Keharmonisan keluarga menjadi salah satu variabel penting dalam menyusun ketahanan sosial psikologis dalam keluarga. Keharmonisan keluarga ini berkaitan dengan ketahanan psikologis keluarga, dimana keluarga dikatakan memiliki ketahanan psikologis yang baik apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non-fisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami kepada istri (Sunarti dalam Puspitawati, 2012). Untuk itu, pengukuran keharmonisan dalam keluarga pada studi ini ditekankan pada sikap dari kepala rumah tangga terhadap kepedulian terhadap perempuan dan anak. Indikator yang mendukung pada studi ini adalah bagaimana sikap anti kekerasan terhadap perempuan dan prilaku anti kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Keluarga yang memiliki sikap anti kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak maka keluarga tersebut cenderung akan memiliki ketahanan keluarga yang relatif tinggi, begitu pula sebaliknya.

7

Gambar 6.18 Persentase Rumah Tangga yang Semua ART-nya Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

56,70

Indonesia : 41,58

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 101

KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGIS

Dimensi keempat yang membentuk ketahanan keluarga adalah dimensi ketahanan sosial psikologis. Berbeda dengan dimensi pembentuk ketahanan keluarga lainnya, dimensi ketahanan sosial psikologis tidak dapat dilihat secara fisik. Dimensi ini terdiri atas dua variabel yaitu (1) variabel keharmonisan keluarga (mencakup sikap anti kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan perilaku anti kekerasan terhadap anak) dan (2) variabel kepatuhan terhadap hukum (dilihat dari pengalaman rumah tangga menjadi korban tindak pidana). Kedua variabel tersebut telah sesuai dengan konsep yang menyebutkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia, karena keluarga merupakan unit terkecil dalam sistem sosial di masyarakat yang memiliki peranan penting sebagai tempat anak bersosialisasi dan membangun relasi dengan lingkungannya seusia dini.

Sedangkan variabel kepatuhan terhadap hukum dimaksudkan untuk melihat kepatuhan keluarga terhadap hukum dengan tidak pernah melakukan tindakan kriminalitas atau pelanggaran hukum.

7.1 KEHARMONISAN KELUARGA

Keharmonisan keluarga menjadi salah satu variabel penting dalam menyusun ketahanan sosial psikologis dalam keluarga. Keharmonisan keluarga ini berkaitan dengan ketahanan psikologis keluarga, dimana keluarga dikatakan memiliki ketahanan psikologis yang baik apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non-fisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami kepada istri (Sunarti dalam Puspitawati, 2012). Untuk itu, pengukuran keharmonisan dalam keluarga pada studi ini ditekankan pada sikap dari kepala rumah tangga terhadap kepedulian terhadap perempuan dan anak. Indikator yang mendukung pada studi ini adalah bagaimana sikap anti kekerasan terhadap perempuan dan prilaku anti kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Keluarga yang memiliki sikap anti kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak maka keluarga tersebut cenderung akan memiliki ketahanan keluarga yang relatif tinggi, begitu pula sebaliknya.

7

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 99 Gambar 6.18 Persentase Rumah Tangga yang Semua ART-nya Memiliki

Jaminan Kesehatan Menurut Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

56,70

Indonesia : 41,58

Keluarga yang memperlakukan perempuan dengan cara-cara kekerasan akan menurunkan tingkat keharmonisan keluarga yang pada akhirnya berdampak pada ketahanan keluarga yang kurang baik. Oleh karena itu, sikap anti kekerasan terhadap perempuan harus ditanamkan pada setiap individu sejak dini, agar perempuan tidak lagi menjadi korban kekerasan karena praktek kultural di masyarakat. Data menunjukkan, sekitar 74,14 persen rumah tangga tidak membenarkan tindakan suami memukul istri untuk keenam alasan di atas (Gambar 7.1). Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda terkait sikap anti kekerasan menurut klasifikasi wilayah dan tingkat pendidikan. Rumah tangga yang bertempat tinggal di perkotaan lebih cenderung memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul terhadap istri (78,35%) dibandingkan di daerah perdesaan (69,96%). Kemudian berdasarkan tingkat pendidikan, data menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan maka lebih cenderung untuk tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (Lampiran 7.3). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung masih memiliki pemahaman yang salah terkait tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan pendidikan mempunyai peranan penting dalam memberikan pemahaman yang benar bahwa tindakan kekerasan dengan alasan apapun tidak boleh dibiarkan, apalagi dalam kehidupan rumah tangga.

Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga yang KRT/Pasangannya Bersikap Membenarkan Tindakan Suami Memukul Istri dengan Alasan Tertentu, 2014

Sumber: Susenas Modul Hansos 2014 7.1.1 Sikap Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam

Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 113-0)