• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapatan Keluarga

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 103-109)

V. Ketahanan Fisik 63

6.2. Pendapatan Keluarga

Kecukupan penghasilan sebagai salah satu aspek ketahanan ekonomi keluarga akan diukur dengan indikator objektif dan indikator subjektif. Pertama, indikator objektif akan melihat kecukupan penghasilan dengan pendapatan perkapita rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Kedua, indikator subjektif akan melihat kecukupan rumah tangga berdasarkan persepsi kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rumah tangga yang mempunyai persepsi penghasilannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik.

6.2.1 Pendapatan Perkapita Keluarga

Studi yang dilakukan KPPPA bersama LPPM-IPB terkait ketahanan keluarga, menyebutkan batas minimal pendapatan perkapita per bulan adalah sebesar Rp 250.000,00. Artinya bahwa rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan lebih dari Rp 250.000,00 lebih tahan secara ekonomi dibandingkan dengan rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00. Dalam sub-bab ini, pendapatan rumah tangga perkapita per bulan akan diproksi dengan pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan yang dibagi dalam empat kelompok, yaitu Kelompok I merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00; Kelompok II Rp 250.000,00 sampai Rp 499.999,00;

Kelompok III Rp 500.000,00 sampai Rp 749.999,00; dan Kelompok IV lebih dari Rp 750.000,00. Informasi pengeluaran perkapita per bulan diperoleh dari hasil Susenas Modul Konsumsi Maret 2015 yang sudah mencakup pengeluaran makanan dan non makanan.

Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015 3,54

29,78

24,64 42,04

Kelompok I (< 250.000)

Kelompok II (250.000 - 499.999) Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥750.000)

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 | 83 83 Gambar 6.3 memperlihatkan besarnya persentase rumah tangga berdasarkan empat kelompok pengeluaran perkapita per bulan. Sekitar 42,04 persen rumah tangga termasuk dalam Kelompok IV (pengeluaran perkapita lebih dari Rp 750.000,00) dan hanya sekitar 3,54 persen rumah tangga yang termasuk dalam kelompok I (pengeluaran perkapita kurang dari Rp 250.000,00), sementara mayoritas rumah tangga lainnya termasuk dalam kelompok II dan III. Sedangkan jika dilihat per provinsi terlihat bahwa mayoritas pengeluaran perkapita per bulan rumah tangga di Indonesia telah lebih dari Rp 250.000,00 di seluruh provinsi (Gambar 6.5). Bahkan di provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Utara persentase rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulannya kurang dari Rp 250.000,00 boleh dikatakan sudah tidak ada. Selain itu, data kemiskinan BPS juga telah menetapkan bahwa garis kemiskinan nasional di Indonesia pada tahun 2015 semester 2 untuk daerah perkotaan adalah sebesar Rp 356.378,00 dan daerah perdesaan adalah sebesar Rp 333.034,00. Garis kemiskinan merupakan batas minimum besarnya pengeluaran perkapita per bulan sebelum seseorang dikategorikan miskin. Untuk DKI Jakarta garis kemiskinan tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp. 503.038,00, selain itu DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin paling kecil, yaitu 3,61 persen (BPS, 2015). Sehingga sangat wajar jika persentase rumah tangga yang pengeluaran perkapita per bulannya di bawah Rp 250.000,00 mencapai nol persen.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa nilai batas (cutting point) pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan sebesar Rp 250.000,00 kurang tepat digunakan sebagai pembeda ketahanan ekonomi rumah tangga. Sebagai alternatif, disajikan pula garis kemiskinan sebagai nilai batas (cutting point) pengganti, dimana pengeluaran perkapita per bulan akan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu 1) kelompok rumah tangga miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang atau sama dengan garis kemiskinan; 2) kelompok rumah tangga hampir miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara garis kemiskinan sampai dengan 1,2 kali garis kemiskinan; 3) kelompok rumah tangga rentan miskin lainnya yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran antara 1,2 garis kemiskinan sampai dengan 1,6 garis kemiskinan; dan 4) kelompok rumah tangga tidak miskin yang merupakan rumah tangga dengan pengeluaran lebih dari 1,6 garis kemiskinan.

Keunggulan dari nilai batas (cutting point) dengan menggunakan garis kemiskinan adalah nilai batas (cutting point) ini akan terus dapat digunakan pada tahun-tahun selanjutnya karena besaran garis kemiskinan ini akan terus diperbaharui sesuai dengan besaran pengeluaran penduduk referensi yang sudah mempertimbangkan pula nilai barang konsumsi pada masing-masing provinsi.

6.2 PENDAPATAN KELUARGA

Kecukupan penghasilan sebagai salah satu aspek ketahanan ekonomi keluarga akan diukur dengan indikator objektif dan indikator subjektif. Pertama, indikator objektif akan melihat kecukupan penghasilan dengan pendapatan perkapita rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Kedua, indikator subjektif akan melihat kecukupan rumah tangga berdasarkan persepsi kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rumah tangga yang mempunyai persepsi penghasilannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diharapkan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik.

6.2.1 Pendapatan Perkapita Keluarga

Studi yang dilakukan KPPPA bersama LPPM-IPB terkait ketahanan keluarga, menyebutkan batas minimal pendapatan perkapita per bulan adalah sebesar Rp 250.000,00. Artinya bahwa rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan lebih dari Rp 250.000,00 lebih tahan secara ekonomi dibandingkan dengan rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00. Dalam sub-bab ini, pendapatan rumah tangga perkapita per bulan akan diproksi dengan pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan yang dibagi dalam empat kelompok, yaitu Kelompok I merupakan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00; Kelompok II Rp 250.000,00 sampai Rp 499.999,00;

Kelompok III Rp 500.000,00 sampai Rp 749.999,00; dan Kelompok IV lebih dari Rp 750.000,00. Informasi pengeluaran perkapita per bulan diperoleh dari hasil Susenas Modul Konsumsi Maret 2015 yang sudah mencakup pengeluaran makanan dan non makanan.

Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015 3,54

29,78

24,64 42,04

Kelompok I (< 250.000)

Kelompok II (250.000 - 499.999) Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥750.000)

Gambar 6.5 Persentase Rumah Tangga Menurut Rata-rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015 1,51

Kelompok I (< 250.000) Kelompok II (250.000 - 499.999) Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥ 750.000)

Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Rata-rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Dengan menggunakan garis kemiskinan sebagai cutting point ketahanan ekonomi maka rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan berpotensi untuk memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Gambar 6.4 menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga Indonesia merupakan rumah tangga tidak miskin atau telah memiliki pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan (64,64%). Kelompok rumah tangga tidak miskin tersebut tidak mencakup kelompok rumah tangga hampir miskin (9,23%) dan rentan miskin lainnya (16,52%). Berdasarkan klasifikasi wilayahnya, Gambar 6.4 juga menunjukkan bahwa persentase rumah tangga tidak miskin di perkotaan (71,77%) lebih besar dibandingkan di perdesaan (57,47%). Sebaliknya, persentase rumah tangga miskin, hampir miskin dan rentan miskin lainnya lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi rumah tangga di perdesaan cenderung lebih rendah daripada di perkotaan. Perbandingan persentase rumah tangga tidak miskin pada masing-masing provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.5.

Miskin Hampir Miskin Rentan Miskin Lainnya Tidak Miskin

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 85 Gambar 6.5 Persentase Rumah Tangga Menurut Rata-rata Pengeluaran

Perkapita Per Bulan dan Provinsi, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015 1,51

Kelompok I (< 250.000) Kelompok II (250.000 - 499.999) Kelompok III (500.000 - 749.999) Kelompok IV (≥ 750.000)

84 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016

Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Rata-rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015

Sumber : Susenas KOR 2015

Dengan menggunakan garis kemiskinan sebagai cutting point ketahanan ekonomi maka rumah tangga yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan berpotensi untuk memiliki ketahanan ekonomi yang lebih baik. Gambar 6.4 menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga Indonesia merupakan rumah tangga tidak miskin atau telah memiliki pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan (64,64%). Kelompok rumah tangga tidak miskin tersebut tidak mencakup kelompok rumah tangga hampir miskin (9,23%) dan rentan miskin lainnya (16,52%). Berdasarkan klasifikasi wilayahnya, Gambar 6.4 juga menunjukkan bahwa persentase rumah tangga tidak miskin di perkotaan (71,77%) lebih besar dibandingkan di perdesaan (57,47%). Sebaliknya, persentase rumah tangga miskin, hampir miskin dan rentan miskin lainnya lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi rumah tangga di perdesaan cenderung lebih rendah daripada di perkotaan. Perbandingan persentase rumah tangga tidak miskin pada masing-masing provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.5.

Miskin Hampir Miskin Rentan Miskin Lainnya Tidak Miskin

Gambar 6.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari dan Kelompok Pendapatan, 2014

Sumber : SPTK 2014

Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih tinggi daripada mereka yang merasa tidak cukup. Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga tertinggi dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Gambar 6.8). Selain itu, masih terdapat 11 provinsi yang memiliki persentase rumah tangga di bawah angka nasional untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup, yakni Aceh, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku.

45,12 27,58 13,27

4,53 1,10

50,63 68,00 76,20 73,18 49,74

4,24 4,42 10,54 22,30 49,16

> Rp. 7.200.000 Rp 4.800.000 - Rp 7.200.000 Rp 3.000.001 - Rp 4.800.000 Rp 1.800.001 - Rp 3.000.000

≤ Rp 1.800.000

Lebih dari cukup Cukup Kurang 6.2.2 Kecukupan Pendapatan Keluarga

Berbeda dengan sebelumnya, sub-bab ini membahas mengenai kecukupan pendapatan rumah tangga berdasarkan persepsi subjektif kepala rumah tangga/pasangan terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini penting mengingat kesejahteraan keluarga sebagai bagian dari ketahanan keluarga tidak hanya dapat diukur secara objektif saja namun juga secara subjektif. Penilaian pendapatan secara subjektif ini lebih menekankan pada kepuasan rumah tangga atas pendapatan yang telah didapat. Asumsinya akan ada hubungan yang searah antara penilaian subjektif ini dengan kondisi objektif ekonomi keluarga. Artinya adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin puas rumah tangga tersebut akan kondisi ekonominya.

Gambar 6.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari, 2014

Sumber : SPTK 2014

Secara nasional, terdapat 29,73 persen rumah tangga yang merasa pendapatannya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.6).

Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda berdasarkan klasifikasi wilayah, dimana persentase rumah tangga yang merasa kurang ternyata lebih tinggi di perdesaan (34,34%) daripada di perkotaan (25,09%). Kemudian, jika di teliti lebih jauh, penilaian terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dipengaruhi oleh besaran pendapatan rumah tangga.

Semakin rendah kelompok pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang merasa pendapatan rumah tangganya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.7).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

10,02 6,51 8,26

64,89

59,15 62,01

25,09

34,34

29,73

Lebih dari cukup Cukup Kurang

Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 87

Gambar 6.7 Persentase Rumah Tangga Menurut Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari dan Kelompok Pendapatan, 2014

Sumber : SPTK 2014

Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih tinggi daripada mereka yang merasa tidak cukup. Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga tertinggi dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Gambar 6.8). Selain itu, masih terdapat 11 provinsi yang memiliki persentase rumah tangga di bawah angka nasional untuk rumah tangga yang merasa pendapatannya cukup atau lebih dari cukup, yakni Aceh, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku.

45,12 27,58 13,27

4,53 1,10

50,63 68,00 76,20 73,18 49,74

4,24 4,42 10,54 22,30 49,16

> Rp. 7.200.000 Rp 4.800.000 - Rp 7.200.000 Rp 3.000.001 - Rp 4.800.000 Rp 1.800.001 - Rp 3.000.000

≤ Rp 1.800.000

Lebih dari cukup Cukup Kurang

86 | Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 6.2.2 Kecukupan Pendapatan Keluarga

Berbeda dengan sebelumnya, sub-bab ini membahas mengenai kecukupan pendapatan rumah tangga berdasarkan persepsi subjektif kepala rumah tangga/pasangan terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini penting mengingat kesejahteraan keluarga sebagai bagian dari ketahanan keluarga tidak hanya dapat diukur secara objektif saja namun juga secara subjektif. Penilaian pendapatan secara subjektif ini lebih menekankan pada kepuasan rumah tangga atas pendapatan yang telah didapat. Asumsinya akan ada hubungan yang searah antara penilaian subjektif ini dengan kondisi objektif ekonomi keluarga. Artinya adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin puas rumah tangga tersebut akan kondisi ekonominya.

Gambar 6.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Wilayah dan Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari, 2014

Sumber : SPTK 2014

Secara nasional, terdapat 29,73 persen rumah tangga yang merasa pendapatannya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.6).

Selain itu, terdapat kecenderungan yang berbeda berdasarkan klasifikasi wilayah, dimana persentase rumah tangga yang merasa kurang ternyata lebih tinggi di perdesaan (34,34%) daripada di perkotaan (25,09%). Kemudian, jika di teliti lebih jauh, penilaian terkait kecukupan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dipengaruhi oleh besaran pendapatan rumah tangga.

Semakin rendah kelompok pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pula persentase rumah tangga yang merasa pendapatan rumah tangganya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 6.7).

Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

10,02 6,51 8,26

64,89

59,15 62,01

25,09

34,34

29,73

Lebih dari cukup Cukup Kurang

Dalam dokumen PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA 2016 (Halaman 103-109)