• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: ANTROPOSENTRISME DALAM WACANA LINGKUNGAN HIDUP

B. Hijau Sebagai Jalan Selamat

2. Ekonomi Hijau

Wacana lingkungan hidup di Indonesia setidaknya berada dalam 2 fase, yaitu pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru isu lingkungan hidup diperkenalkan dan dijalankan oleh negara. Soemarwoto (2001) menyebutkan tonggak sejarah wacana lingkungan hidup di Indonesia terjadi pada penyelenggaraan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengembangan Nasional di Universitas Padjadjaran tanggal 15- 18 Mei 1972.

Seminar ini diadakan sebagai persiapan delegasi Indonesia mengikuti Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm pada bulan Juni 1972 yang bertema Hanya Satu Bumi. Karena itu seminar ini memakai bahan- bahan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Panitia Penyelenggara

Konferensi Stockholm. Namun sebelumnya isu ekologi sudah dihembuskan. Persoalannya sama dengan isu ekologi yang dikembangkan oleh aktivis Malthussian dan OECD, bahwa kepadatan penduduk adalah akar persoalan.

Indonesia berada dalam daftar hitam. Bagian dari negara-negara Dunia Ketiga, secara ekonomi jelas tidak kaya, dan memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Indonesia disebut sebagai negara berkelebihan penduduk yang menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan sehingga menyebabkan penipisan sumber daya alam dan tingkat kemiskinan yang tinggi.54

Setelah konferensi Stockholm selesai, Presiden Soeharto kemudian mempersiapkan sejumlah tim untuk menyusun berbagai Keputusan Presiden (Keppres) yang menyangkut soal masyarakat, lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dari sini dibentuklah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) tahun 1978 di bawah pimpinan Prof. Dr. Emil Salim.

Masalah kependudukan menjadi masalah utama pemerintahan Orde Baru. Sebagai bagian dari anggota negara-negara PBB, Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Sensus Nasional sekali tiap dasawarsa atau sepuluh tahun.55Program Keluarga Berencana digalakkan sejak tahun 1970

54 Drs. N. Daldjoeni (1981), Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka, Bandung: Penerbit

Alumni, hlm. 92.

untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kemudian program transmigrasi dilaksanakan untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Dan akhirnya Revolusi Hijau pun dilaksanakan untuk “mengatasi” krisis pangan.

Pada akhirnya hampir semua program kependudukan dan lingkungan hidup itu menuai persoalan. Program Keluarga Berencana membuat sejumlah kematian perempuan melalui efek samping pemakaian alat kontrasepsi yang dipaksakan. Program transmigrasi berakhir dengan sejumlah konflik horizontal dan kekerasan budaya di sejumlah wilayah, ditambah eksploitasi transmigran nelayan oleh sejumlah korporasi yang ber-kongkalikong dengan pejabat daerah.56 Revolusi Hijau yang ditujukan untuk menyelamatkan krisis pangan berakhir dengan pemiskinan dan penurunan kesehatan petani, serta hilangnya diversitas varietas padi lokal Indonesia.

Di masa-masa ini sejumlah kekerasan ekologi dilakukan oleh aparat negara. Pembangunan waduk-waduk dan proyek-proyek makro lainnya memakan begitu banyak korban jiwa. Mulai dari buruh yang bekerja di dalam proyek itu maupun sejumlah warga sekitarnya. Hutan-hutan yang selama ini menjadi salah satu sumber pangan warga lokal kemudian ditutup dari warga.

56 George Junus Aditjondro (2003), Kebohongan-Kebohongan Negara, Yogyakarta: Pustaka

Termasuk petani yang mengusahakan beberapa jenis tanaman hutan. Mereka diusir dari hutan adat, tanaman-tanaman dirusak, bahkan kampung-kampung para petani dibakar. Semuanya memakai alasan pelestarian lingkungan. Sejumlah kasus lingkungan hidup terjadi karena negara yang bekerjasama dengan sejumlah korporasi yang mengambil

keuntungan ekonomi.57

Masa pasca reformasi persoalan ekologi diperkenalkan oleh banyak aktor. Yang paling mencolok adalah organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta kelompok-kelompok komunitas hijau yang tumbuh subur. Pemerintahan SBY memang telah menyusun dokumen dengan judul beraroma birokratis, yaitu Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Salah satu isi dokumen ini adalah ajakan kepada individu-individu untuk terlibat dalam aksi nasional menghadapi perubahan iklim dengan memberikan panduan untuk mengubah gaya hidup konsumtif menjadi gaya hidup hijau.

Presiden SBY juga pernah menyatakan akan mengubah gaya hidup rakyat Indonesia agar beradaptasi terhadap situasi perubahan iklim lewat pidatonya di forum World Economics Forum di Davos di tahun 2007. Namun rasa-rasanya dua hal ini kurang cocok jika menyatakan bahwa publik Indonesia mendapatkan informasi tentang gaya hidup hijau melalui sosialisasi ala pemerintah.

Memang program Bank Sampah dan Kebun Organik di beberapa kelurahan di Pulau Jawa telah dijalankan oleh RT/RW atas kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup. Namun program ini dijalankan justru setelah sebagian besar publik mengetahui informasi itu terlebih dulu. Sederhananya, aksi pemerintah selalu lebih lambat dibandingkan kecepatan publik ataupun korporasi untuk menangkap informasi tentang apa dan bagaimana gaya hidup hijau itu.

Tersebarnya informasi mengenai gaya hidup hijau lebih menandakan publik Indonesia yang kosmopolit. Kehadiran internet, televisi serta media cetak yang luas telah menjadi alat yang sangat efektif untuk itu. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok-kelompok komunitas hijau pasca Orde Baru juga menjadi agen yang efektif. Umumnya LSM dan komunitas hijau ini diisi mahasiswa dan pemuda yang mendapatkan akses informasi dengan cukup mudah lewat aneka teknologi58.

Komunitas Earth Hour misalnya, cukup gencar berkampanye tentang penghematan energi dan gaya hidup hijau lainnya bukan karena anjuran pemerintah. Melainkan karena dibentuk oleh World Wild Fund (WWF) sejak tahun 2009. Komunitas Indonesia Berkebun mulanya dibentuk di Bandung pada tahun 2011 lewat prakarsa Ridwan Kamil –sebelum menjadi walikota Bandung-. Namun komunitas ini juga berdiri bukan karena asuhan 58Tentang teknis pengorganisasian dan kampanye yang dilakukan lembaga dan komunitas hijau

dapat dibaca dalam Suharko dkk. (2014),Organisasi Pemuda Lingkungan Di Indonesia Pasca- Orde Baru,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

pemerintah. Melainkan ide para kosmopolit Indonesia yang mencoba meniruurban farmingyang ada di kota-kota besar dunia, seperti kota-kota di Jepang ataupun Amerika Serikat.

Pemerintah sendiri tampaknya belum bisa melepaskan kelatahan

menampung wacana yang sedang trend dan mencocokkannya dengan

proyek-proyek makro tanpa bersusah-payah menggali persoalan publiknya sendiri. Demikian pula dengan wacana pemanasan global, ide pembangunan berkelanjutan serta konsep ekonomi hijau yang dijadikan rumus mengatasi krisis lingkungan hidup di Indonesia.

Sebelumnya kelebihan jumlah penduduk disebut sebagai faktor utama kemiskinan dan berbagai krisis, maka kini pemanasan global yang disertai perubahan iklim dan bencana antropogenik lainnya disebut sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan. Untuk itu digulirkanlah Ekonomi Hijau untuk mengatasi persoalan itu.

Ide Ekonomi Hijau datang dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan dipakai oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak tahun 2007 sebagai strategi yang disebutkannya dapat mendukung diwujudkannya pembangunan berkelanjutan. Ide ini mencakup empat konsep, yakni pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-green atau 4P. Ekonomi Hijau menjadi satu dari dua isu utama yang dibicarakan dalam KTT Rio +20 di Rio de Jeneiro, Brazil. Sembari bernostalgia membangkitkan lagi

semangat KTT Bumi tahun 1992 -tepat 20 tahun sebelumnya di tempat yang sama.

Dalam konferensi ini SBY dengan gagah menyatakan komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sebesar 26 hingga 41 persen hingga tahun 2020 sambil memasang target 7 persen pertumbuhan ekonomi nasional melalui sistem Ekonomi Hijau. Tentu saja “komitmen” ini tidak disambut dengan semangat dan sukacita oleh para aktivis lingkungan, akademisi, termasuk pejabat di departemen terkait lingkungan. Karena seperti biasa, janji SBY di dunia internasional terlampau “maju” jika membandingkan dengan situasi birokrasi pemerintahannya59.

Secara sederhana Ekonomi Hijau berisi “harapan” kepada sistem pasar untuk menyelesaikan persoalan ekologi. Karena itu isinya berkisar pada cara-cara jual beli karbon yang disusun dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism [CDM]), Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation [REDD]) serta “harapan” terciptanya industri hijau.

CDM dan REDD memfasilitasi negara-negara industri untuk tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa dan memproduksi emisi karbon lebih dari yang dibatasi di negaranya. Tentu dengan syarat memberikan 59 Lihat misalnya pada artikel Sapariah Saturi “Penerapan Ekonomi Hijau RI masih Banyak

Kendala” dalam http://www.mongabay.co.id/tag/ekonomi-hijau/, dibaca tanggal 2 Februari 2016.

kompensasi uang yang ditaruh pada “perlindungan” hutan-hutan di negara- negara berkembang. Sementara industri hijau menekankan pada efisiensi pemakaian sumber daya alam sembari memberi nilai pasar kepada segala sumber daya alam serta pemakaian teknologi baru yang lebih efektif, efisien dan “ramah lingkungan”.

Indonesia di bawah rejim SBY yang berharap mendapatkan penilaian yang baik dari dunia internasional menjalankan saran-saran Ekonomi Hijau. Ada 4 hal, yakni: 1) menciptakan kondisi domestik yang kondusif didukung oleh mekanisme pembiayaan yang inovatif serta reformasi fiskal, 2) menciptakan kemitraan publik dan swasta termasuk mekanisme pendanaan investasi hijau, 3) investasi hijau dengan paket stimulus termasuk investasi hijau dalam anggaran rutin pemerintah, 4) mendukung terciptanya kondisi global yang kondusif (perdagangan, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Official Development Agency (ODA), teknologi transfer dan Perjanjian Multilateral Lingkungan).60

Seluruhnya sesuai dengan yang disarankan oleh sistem neoliberalisme. Menyerahkan segalanya ke dalam pasar bebas, menegaskan kepemilikan privat dan mengurangi campur tangan negara lewat deregulasi. Di sini Indonesia sungguh menjadi anak yang baik yang senantiasa bergantung kepada dunia internasional, termasuk menerima krisis apa yang boleh dihadapi serta bagaimana cara menghadapinya. 60Dra. Liana Bratasida, M.Sc. dan Vrilly Natalia Rondonuwu, B.Sc., M.Min., (2011), hlm. 56.

Karenanya tak heran program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2025) nan berlabel hijau kemudian diluncurkan. Pemerintahan SBY rajin memberikan ijin pertambangan dan industri perkebunan, termasuk di hutan-hutan lindung serta hutan adat yang telah lama dikelola sendiri oleh masyarakat. Privatisasi segala sumber daya alam tetap marak, termasuk air yang menjadi kebutuhan publik yang amat penting.

Publik semakin terbiasa melihat korporasi ber-merk hijau yang rajin berkampanye soal penyelamatan lingkungan hidup. Mereka rajin menanam

1000 pohon, membuat berbagai acara (event) dengan tema krisis ekologi

serta berkampanye meminta masyarakat berhemat untuk menyelamatkan lingkungan. Ekonomi hijau memberi konteks besar pada gaya hidup hijau.

Negara seperti tidak punya alternatif lain tentang bagaimana sebaiknya mengelola negara yang memiliki areal yang sangat luas, jumlah penduduk melimpah serta sumber daya beragam dengan berbagai persoalan ekonomi, sosial, serta lingkungan hidup yang dihadapi publik. Ujung-ujungnya menyerah pada mekanisme pasar yang ditekankan oleh rejim global. Kerusakan yang diakibatkan oleh kapitalisme coba diselesaikan dengan kapitalisme juga. Tidak ada perubahan struktural, korporasi tetap berbisnis seperti biasa, sementara publik –sang korban- diminta, bahkan dipaksa melakukan banyak hal sebagai cara menebus kesalahan – entah kesalahan siapa.

Karena itu persoalan lingkungan hidup di Indonesia seperti tidak mengalami perubahan berarti dengan masa sebelum reformasi. Persoalan lingkungan hidup tetap berada dalam pusaran ekonomi politik, korupsi, perijinan yang tumpang tindih. Termasuk keberpihakan aparat kepada korporasi dan konflik tenurial yang saling terpaut satu dengan lainnya.61

Warga diminta melakukan penghematan energi, sementara perijinan pertambangan batubara diobral kepada korporasi dengan pengawasan hukum yang longgar. Warga diminta mengkonsumsi barang-barang yang ber-label hijau, sementara hingga kini belum ada produk dalam negeri apapun yang telah memiliki pengakuan ramah lingkungan62.

Hingga kini tidak ada badan yang dibentuk untuk mengeluarkan sertifikasi hijau secara resmi dan diakui. Akibatnya beberapa pedagang Indonesia harus mendapatkan label hijau dari luar negeri dengan biaya yang mahal dan berakibat barang-barang label hijau itu pun menjadi jauh lebih mahal.63

Warga diminta rajin menanam pohon sementara hutan-hutan ternyata dijual kepada korporasi yang kemudian dibakar untuk dijadikan perkebunan 61 Misalnya berbagai kasus pekebunan dan hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera,

http://www.walhi.or.id/kejahatan-hutan-masih-terjadi-di-kalteng.html dan

http://www.antarasumsel.com/berita/275620/walhi-sumsel-laporkan-dugaan-korupsi- perusahaan-perkebunan, dibaca pada 20 Mei 2016.

62 Petra Widmer dan Heinz Frick (2007), Hak Konsumen dan Ekolabel, Yogyakarta: Penerbit

Kanisius, hlm. 41.

63Dalam

http://properti.kompas.com/read/2015/08/27/090000521/Sertifikasi.Label.Hijau.Domestik.Leb ih.Murah dan http://www.cifor.org/furniture/industri-mebel-perajin-kecil-sulit-memperoleh- sertifikasi-ekolabel/, dibaca pada 20 Mei 2016.

monokultur, sebagaimana peristiwa nasional kebakaran hutan yang terjadi di sepanjang tahun 2015 lalu. Demikianlah situasi janggal yang terjadi di publik Indonesia dalam menghadapi wacana krisis lingkungan hidup.