• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

B. Menjadi Konsumen Hijau

6. Hemat Energi

Setiap individu yang ada di suatu negara memberikan kontribusi terhadap negaranya. Demikian juga halnya terkait polusi atau emisi gas rumah kaca. Masyarakat berkonstribusi pada emisi gas rumah kaca nasional. Demikian kabar yang disampaikan koran harian Kompas Ekstra Hidup Hijau, 26 September 2011. Masih dalam tulisan yang sama, dikabarkan kebijakan negara yang membiarkan batubara sebagai bahan bakar fosil dianggap sebagai kebijakan tidak pro-pengurangan emisi rumah kaca. Dan kebijakan ini dianggap akan membuat masyarakat terus terdorong tetap boros energi dan boros penggunaan bahan bakar fosil.

Pemborosan energi inilah yang menjadi alasan Mas Hari, aktivis komunitas Save Energy, dan Mas Yuki, aktivis komunitas Jogja Hemat Energi, melakukan praktik penghematan energi sekaligus aktif berkampanye soal yang sama melalui komunitas masing-masing. Mas Yuki bahkan cukup yakin mengatakan bahwa 90% warga Indonesia membiarkan pemborosan energi terjadi di rumahnya masing-masing melalui televisi yang dibiarkan berada dalam posisi stand-by. Lampu

tersambung. Menurutnya perilaku ini memboroskan energi listrik sebesar 25%.

Mas Hari menyatakan bahwa cadangan energi nasional akan segera habis, karena itu diperlukan perilaku hemat energi bagi setiap warga negara. Kedua partisipan ini meyakini bahwa penghematan energi yang dilakukan oleh setiap individu di Indonesia akan memberi 2 manfaat. Yang pertama adalah laju emisi karbon dapat ditahan pada batas angka tertentu yang dianggap aman. Manfaat yang kedua adalah cadangan energi listrik yang dihemat di Pulau Jawa dapat diberikan kepada warga di Pulau Kalimantan dan Lampung yang menurutnya mengalami kekurangan energi listrik.

Kedua partisipan sepakat menyatakan bahwa ada persoalan energi

listrik dalam skala nasional. Yang pertama adalah ketimpangan

persediaan infrastruktur energi listrik sehingga yang menikmati energi ini hanyalah Pulau Jawa dan Bali. Bahkan Lampung yang merupakan batas Pulau Sumatera yang paling dekat dengan Pulau Jawa disebutkan sebagai salah satu provinsi yang tidak mendapatkan kemewahan energi listrik yang cukup. Demikian juga Pulau Kalimantan yang justru telah diporak-poranda oleh berbagai perusahaan pertambangan batubara, bahan bakar utama penghasil listrik di Indonesia, ternyata tetap gelap dan tidak pernah mendapatkan hasil apa-apa selain kerusakan hutan dan tanah.

Persoalan kedua adalah cadangan energi yang terbatas dan defisit dibandingkan kebutuhan konsumsi masyarakat.

“Beberapa kali belajar tentang energi dan saya menemukan hal pertama yang saya jadikan dasar itu fakta bahwa produksi minyak kita itu cuma sekitar 800ribu barel per hari. Padahal sebenarnya konsumsi masyarakat Indonesia itu sampai 1,3 juta barel per hari. Dari data itu ya menurut saya sih nggak perlu kita kuliah tinggi-tinggi ya, kayak S1 apa S2, anak SD pun bakal ngerti gitu kalau ini gak dijaga ya suatu saat Indonesia bakal hancur, suatu saat Indonesia bakal kiamat energi, kita gak bisa mendapatkan sumber daya energi sesuai dengan kemauan kita, kita akan semakin sulit mendapatkan bensin, minyak tanah, dan sebagainya. Nah dari situ makanya, ya udah nih, kondisi kayak gini gak bisa kita biarkan.”

(Wawancara dengan Mas Hari tanggal 4 Oktober 2015)

Selama ini Indonesia selalu diperkenalkan sebagai negara yang amat kaya dengan persediaan sumber daya alamnya, termasuk minyak bumi dan batubara. Seolah cadangan energi itu tak akan pernah habis dan dapat menjamin kesejahteraan hingga selamanya. Wacana yang melenakan itu ternyata tidak dipercaya oleh Mas Hari dan komunitasnya. Malahan mereka percaya bahwa sumber daya alam itu akan segera habis jika tetap dipakai dengan pola yang sama seperti sekarang ini. Situasi menjadi lebih buruk karena kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia ternyata melebihi jumlah produksi nasional. Situasi defisit nasional ini menurutnya akan membuat Indonesia berada dalam situasi sulit jika situasi sekarang terus dibiarkan.

Namun kedua persoalan bangsa yang amat serius ini ternyata hanya mendapat satu tawaran jalan keluar dari partisipan, yaitu penghematan listrik pada level individu. Jalan keluar ini tidak menyentuh persoalan kebijakan energi pada level nasional, bagaimana seharusnya negara mengelola sumber daya yang ia miliki untuk memenuhi kebutuhan energi listrik warganya.

“Kita mikir cara perubahan pengelolaan energi yang paling efektif di Indonesia itu menurut kami adalah per individu-individu orangnya, masyarakatnya sendiri. Sebelum tidur memastikan alat elektronik itu mati dulu, misalnya laptop, trus hapecharger-nyakita cabut trus kita stand by-kandi samping kita, trus lampu kita matikan, kipas angin kalo misalnya gak pake dimatikan, jadi sebelum tidur itu udah kita pastikan itu alat elektronik mati dulu. Lampu, juga kipas angin, kalo siang dan pas cuaca cerah, terang, kita nggak boleh pake, gitu. Menurut saya sebenarnya kita bisa efektif, efisien itu ngeliat dari apa yang ada di sekitar kita aja gitu. Sesuai enggak, dibutuhkan apa enggak saat itu, kalo enggak ya udah matiin.” (Wawancara dengan Mas Hari tanggal 4 Oktober 2015)

Bagi Mas Hari persoalan besar yang dihadapi negara bisa diselesaikan dengan kesediaan tiap-tiap individu menghemat pemakaian listrik-nya melalui pengaturan pemakaian alat-alat teknologi di kediaman pribadi. Demikian juga dengan Mbak Ina, aktivis Jogja Hemat Energi yang bukan saja mematikan semua lampu dan alat elektronik yang tidak diperlukan, bahkan keluarganya juga menukar seluruh lampu-lampu di rumahnya dengan jenis lampu yang diiklankan sebagai lampu hemat energi.

“Jadi Philips promosi tentang lampunya dia yang hemat energi, trus dikasihlah kita voucher buat beli lampunya kek gitu, ya udah trus tunjukin tuh ke papaku, pa ini lho begini-begini, eh papaku beli, borong (tertawa)..borong gitu tuh trus dapat bonus tumblr ini, jadi seneng banget, udah wahh..lampu di rumah sudah hemat energi, dapat bonus ini lagi.”

(Wawancara dengan Mbak Ina tanggal 2015)

Solusi yang ditawarkan oleh Pak Soleh tidak hanya pada tataran menghemat energi tapi juga mengubah sumber energi. Tempat tinggal Pak Soleh, Green Family, sejak awal tidak menggunakan listrik yang diproduksi oleh PLN atau Perusahaan Listrik Negara. Keluarga ini memilih memakai energi listrik tenaga surya yang bersih dan tidak menghasilkan emisi karbon. Setiap hari Pak Soleh ataupun karyawannya bergantian

memeriksa jumlah pemakaian listrik di steadhome mereka, untuk

memastikan bahwa mereka menggunakan listrik dengan hemat. Penghematan energi listrik dilakukan dengan cara hanya memasang lampu mulai sore hingga subuh saja. Baik rumah maupun warung tidak memakai kipas angin ataupun pendingin ruangan.

Energi listrik yang berasal dari pembangkit listrik tenaga surya adalah sumber energi yang paling direkomendasikan karena emisi karbon yang dihasilkannya mendekati nol. Namun sayangnya instalasi listrik tenaga surya ini tidak dipasang untuk memenuhi kebutuhan warga yang jumlahnya cukup banyak. Tidak ada warga lain di luar mereka yang bisa ikut merasakan manfaatnya, alat itu milik privat.

Lantas mengapa warga desa tetangga Green Family tidak ikut memasang alat yang bersih ini? Selain karena kabar bahwa alat ini belum mampu mengumpulkan energi surya yang cukup banyak, masalah lain yang lebih penting adalah harganya yang cukup mahal.

“Trus saya juga menjadi pengurus di Panti Jompo, pemakaian gas-nya itu besar sekali untuk bikin air panas untuk mandi, tapi untuk beralih ke tenaga surya dan sebagainya itu kami nggak punya biaya untuk itu. Memang tenaga surya itu ramah lingkungan tapi kan mahal sekali, mahal sekali di Indonesia. Saya kepengen banget lho bagaimana untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan tapi teknologi kita belum mencapai ke situ dan masih lebih mahal daripada yang ada sekarang.”

(Wawancara dengan Ibu Dian tanggal 23 Februari 2016)

Ibu Dian sudah lama menginginkan membangun alat ini sebagai pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan sebuah panti jompo di bawah naungan yayasan tempat ia bekerja. Ia dan pengurus lainnya tidak ingin energi listrik dan gas yang mereka pakai untuk menolong para lansia akan merusak lingkungan hidup. Sayangnya niat yang sangat baik ini terpaksa tidak bisa diwujudkan karena persoalan biaya yang teramat mahal.

Demikian sulit memang jika sebuah persoalan besar diserahkan kepada kemampuan individu masing-masing. Tidak ada infrastruktur yang cukup agar publik luas bisa mendapatkannya. Sesuatu yang sangat baik hanya bisa dipakai dan dimanfaatkan oleh orang tertentu saja.