• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Hidup Yang Mahal

BAB IV: Fetisisasi Gaya Hidup Hijau

A. Dilema Politik Konsumsi

2. Gaya Hidup Yang Mahal

Seluruh partisipan dalam penelitian ini dikenali sebagai bagian dari masyarakat urban. Setidaknya telah mencicipi pendidikan setingkat

perguruan tinggi, mudah mendapatkan berbagai informasi dan memiliki jaringan sosial lintas negara. Jadi meski beberapa praktik gaya hidup hijau yang dilakukan memiliki kesamaan dengan praktik hidup warga “biasa”,

ada aura fashionable, intelektual dan pengetahuan modern yang

membuatnya menjadi tampak seolah sangat berbeda.

Homestead memang dibangun di desa yang cukup jauh dari kota. Namun jangan menyamakannya dengan desa lainnya yang tumbuh secara

organik, ini berbeda. Homestead dibangun dengan sengaja dan

menggunakan konsep pertanian ala permaculture yang sangat modern.

Jadi meski rumah keluarga Green Family berasal dari rumah tradisional Joglo, dikelilingi oleh pertanian dan peternakan, ia berbeda dengan rumah warga desa sekitarnya.

Homesteaddibangun dengan segala teknik dan peralatan modern, di

lahan yang luasnya bahkan cukup untuk membentuk satu kelurahan. Mengadopsi sistem pertanian dan peternakan modern, didukung peralatan-peralatan yang umumnya tidak dimiliki oleh warga desa.

Homestead memang menyatakan hidup harus bergantung kepada alam,

namun untuk melakukannya ternyata manusia harus “mengatur” alam yang ada sedemikian rupa.

Berbeda dengan warga desa umumnya di Indonesia yang secara

literal bergantung kepada apa saja yang tersedia, homestead harus

kebutuhan dengan standar yang diharapkan. Contoh yang paling jelas adalah air. Homestead tidak bisa bergantung begitu saja kepada alam untuk menghasilkan air dengan tingkat kemurnian, higienitas, kebersihan dan ketersediaan menurut standar yang diharapkan. Ia harus memasang peralatan modern untuk itu.

Satu yang pasti, semuanya menjadi tidak “alami”. Ia adalah hasil kerja

manusia, teknologi serta biaya yang amat mahal. Membangun homestead

sebagai tempat tinggal membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membeli tanah yang luas, modal pertanian yang tidak sedikit, teknologi instalasi energi, serta pembuatan dan pemeliharaan hutan pribadi. Selain itu tentulah dibutuhkan juga keahlian yang sungguh-sungguh cakap karena harus mengerjakan dan memproduksi segala kebutuhan secara mandiri. Kecuali anda dapat sekaya keluarga Green Family yang mampu memperkerjakan beberapa orang, serta memiliki jaringan perkawanan yang sangat luas yang dapat menolong memasang semua alat-alat modern itu.

Baik, katakanlah kita tidak sedang membangun sebuah homestead, cukuplah hanya membangun sebuah rumah ramah lingkungan yang tidak membutuhkan alat pendingin ruangan yang jahat itu. Malangnya ternyata tetap membutuhkan modal yang besar juga. Untuk membangun sebuah rumah yang sesuai dengan “visi hidup” si pemilik rumah, pertama-tama

yang harus dilakukan adalah memiliki modal berupa tanah dan uang yang besar.

Biaya yang dibutuhkan untuk membangun sebuah rumah dengan desain khusus selalu lebih mahal daripada rumah yang dibangun dengan desain biasa. Belum menghitung modal jaringan sosial yang mempertemukan kita dengan arsitek yang dapat membuat rancangan rumah yang mewujudkan “visi hidup” yang dimaui.

Demikian juga dengan makanan organik, peralatan rumah tangga

dengan label eco atau ramah lingkungan, semuanya membutuhkan modal

yang sungguh-sungguh tidak sedikit. Beberapa partisipan penelitian ini – yang tentu saja kaya- bahkan mengaku bahwa mengkonsumsi makanan organik setiap hari hampir-hampir adalah kemustahilan. Sebabnya satu, biaya yang teramat besar. Makanan organik tidak sama dengan jenis konsumsi tertentu yang cukup sesekali saja dikonsumsi. Gaya hidup hijau bicara soal kehidupan sehari-hari, karena itu makanan organik adalah bahan konsumsi setiap hari, jika ingin mendapat khasiat sebagaimana yang dijanjikannya.

Jika persoalan lingkungan hidup adalah persoalan bersama yang membutuhkan kerja antara negara dan publik, maka tampaknya praktik gaya hidup hijau –yang ditawarkan sebagai solusi- menunjukkan hal itu tidak dapat dilakukan. Kebutuhan biaya yang amat besar membuat pola

hidup ini hanya mampu dilakukan oleh sebagian elit saja, yakni mereka yang memiliki modal ekonomi dan modal sosial yang besar.

Inilah yang akhirnya terjadi jika sebuah kebutuhan publik yang membutuhkan gerakan publik dibekukan kedalam konsumsi privat. Ia tidak dapat dikerjakan oleh semua orang, hanya segelintir orang saja yang

mampu untuk memilikinya (segmented). Pengalaman partisipan

sebenarnya telah menunjukkan betapa banyak kesulitan yang dihadapi jika persoalan lingkungan hidup dihadapi dengan gaya hidup hijau saja. Selain biaya yang dikeluarkan menjadi sangat mahal, terlalu banyak infrastruktur yang tidak mendukung. Akhirnya kesulitan-kesulitan itu dilimpahkan sebagai keluhan-keluhan kepada liyan.

Seorang aktivis lingkungan hidup arus utama Indonesia mengatakan bahwa gaya hidup hijau adalah bentuk “membumikan” wacana krisis lingkungan hidup global. Tujuannya adalah agar wacana politis itu tidak

menjadi isu yang terlalu njelimet dan hanya mampu dipahami oleh

sebagian orang intelektual saja. Tapi ternyata penelitian ini membuktikan harapan itu tidak terbukti. Justru gaya hidup hijau-lah yang membuat wacana ini menjadi milik sebagian elit saja, ia tidak bisa menjadi gerakan yang dapat dikerjakan publik bersama-sama.

Lebih dari itu, malahan ia hanya menguntungkan pelaku gaya hidup hijau semata. Ide gaya hidup hijau memberi legitimasi bahwa kepemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang justru akan dianggap sebagai

pahlawan lingkungan. Meski beberapa perlakuan hidup hijau tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan perlakuan “warga biasa”, gaya hidup hijau dengan label-labelnya membuat tindakan ini tampak berbeda. Ia dianggap lebih baik dan lebih legitim.

“Warga biasa” disebut sebagai pembuat masalah, sementara pelaku gaya hidup hijau mendapat label “pahlawan lingkungan”. Gaya hidup hijau menjadi modal kultural yang menguntungkan secara sosial dan ekonomi, sebagaimana yang terlihat pada seluruh partisipan. Hanya mereka yang bermodal besar saja yang mendapat pengakuan sosial sebagai yang perduli kepada lingkungan hidup.

Bagian ini menunjukkan apa jadinya jika sebuah wacana yang berpotensi melahirkan gerakan publik diikat dan dibatasi ke dalam

persoalan konsumsi privat dansegmented.Ia membatasi, merebutnya dari

publik menjadi milik segelintir elit dan memberikan tambahan keuntungan modal sosial dan ekonomi. Posisi subjek ditarik dari arena publik ke dalam batasan posisi sebagai konsumen yang tidak bisa berlaku kepada semua orang. Sebagai konsumen tentulah ia hanya akan berurusan dengan objek komoditi semata. Jika demikian subjek seperti apakah yang akan dihasilkannya?