• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mulai Dari Diri Sendiri

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

A. Individualisasi

1. Mulai Dari Diri Sendiri

Beberapa partisipan yang saya temui memiliki kisah personal yang membuat mereka serius menerapkan gaya hidup hijau dan terlibat dalam komunitas hijau. Kisah personal itu mengkaitkan persoalan hidup dengan informasi tentang lingkungan hidup. Pak Soleh misalnya, mengkaitkan penyakit asma yang ia derita dengan persoalan polusi udara dan makanan yang tidak sehat yang ia konsumsi saat tinggal di kota.

Ia kemudian pindah ke sebuah desa di selatan Yogyakarta. Ia mengaku bahwa penyakit asma-nya telah sembuh berkat udara segar di wilayah kediamannya yang hijau serta makanan organik yang ia produksi dan konsumsi. Bersama keluarga besarnya ia membangun “desa privat” yang ia nyatakan sebagai keluarga yang “connected with nature” melalui sistempermacultureyang mereka terapkan di desa ini.

Mbak Arma dan Mbak Nana pun demikian. Mbak Arma mengkaitkan ruam-ruam pada kulitnya dengan makanan yang tidak organik, dipenuhi unsur kimia dan karena itu tidak sehat. Ia kemudian memutuskan menjadi seorang vegetarian dan bekerja sebagai artisan roti-roti organik. Sementara Mbak Nana mengkaitkan riwayat penyakit kanker yang diderita salah

seorang anggota keluarganya dengan persoalan makanan serta situasi lingkungan hidup.

Namun ketika ditanya lebih lanjut, persoalan kesehatan ternyata tidak cukup sebagai alasan mengapa subjek melakukan gaya hidup hijau. Setiap partisipan memiliki alasan tambahan sehingga gaya hidup hijau dapat diterima sebagai tindakan yang sudah selayaknya dilakukan. Jawaban Mbak Arma bisa mewakili, ia katakan:

“Mengapa tidak? Kenapa nggak mau, ya kan? Makanya gaya hidup hijau ini nggak bisa ditolak, movement-nya udah jelas, untuk kesehatan iya, untuk lingkungan jelas, manfaatnya lebih

banyak. Hari gini nggakgo greennggak keren ya kan, kayaknya

sekarang ini lagi gerakannya ya,movementgitu lho.” (Mbak Arma, wawancara, 19 Februari 2016)

Alasan tambahan di luar kisah personal itu adalah bahwa gaya hidup hijau sudah menjadi sebuah gerakan lingkungan. Dari seluruh partisipan, didapati gerakan lingkungan hidup itu mencakup upaya menolak produk pertanian monokultur, pertanian dengan penggunaan pestisida dan pupuk sintesis, perlindungan kepada petani serta menentang penyiksaan terhadap hewan-hewan.

Namun hal-hal besar ini tentulah membutuhkan perjuangan yang harus melibatkan publik yang luas dan perubahan struktur. Gerakan semacam ini mau tak mau menuntut perubahan dalam cara bagaimana seharusnya negara dengan segala sumber dayanya dikelola. Jalannya menjadi panjang karena harus membangun gerakan publik yang bersifat

sangat politis. Membangun gerakan publik membutuhkan banyak perbincangan, diskusi, perdebatan, penelitian dan sebagainya. Sementara pelibatan banyak orang akan membentur kepentingan tiap orang yang beragam pula. Belum lagi resiko yang akan dihadapi karena akan mengganggu kepentingan kekuasaan tertentu yang mendapatkan keuntungan dengan situasi saat ini.

Susah, demikian kira-kira yang terbayang saat membayangkan jalan rumit serta resiko yang harus ditempuh itu. Karena itu cara yang ditempuh para partisipan ini bukanlah jalan yang susah itu, namun jalan lain yang memperkecil resiko-resiko itu. Jalan itu adalah: mulailah dari diri sendiri. Mas Hari mengatakan demikian:

“Waktu posisi saya sebagai mentri kordinator kebijakan dasar regio teknik di kampus, dari situ kita mikir cara perubahan pengelolaan energi yang paling efektif di Indonesia itu menurut kami adalah per individu-individu. Mulai dari diri kita sendiri, tapi kita ngerasa nggak cukup kita sendiri gitu, yang punya gaya hidup kayak gini, kita harus menularkan ini ke masyarakat yang lain.”

(Mas Hari, wawancara, tanggal 4 Oktober 2015)

Ide “mulai dari diri sendiri” juga menjadi tema utama dalam sebuah diskusi komunitas hijau dengan judul “Menjaga Lingkungan dari Meja

Makan”65. Diskusi ini menekankan bahwa perlawanan terhadap sistem

pangan nasional yang tidak menguntungkan petani dan konsumen pangan haruslah dimulai dari meja makan individu. Para pemateri diskusi yang 65 Diskusi ini merupakan salah satu kelas diskusi yang diselenggarakan oleh Jagongan Media

berasal dari 3 komunitas hijau menekankan pentingnya tiap individu mengubah pola berkonsumsi pangan. Perubahan ini dimulai dengan cara mulai menanam sendiri kebutuhan pangan sehari-hari, mengkonsumsi makanan organik serta memiliki kemampuan mengolah bahan pangannya masing-masing.

Perubahan cara memperoleh makanan dianggap akan menghasilkan pelestarian lingkungan karena tidak akan memakai pestisida dan pupuk sintetis yang merusak tanah dan keragaman tanaman. Perubahan ini juga akan memutus pencemaran udara dari sektor transportasi makanan. Penekanan pada kemampuan personal mengolah makanan mencakup kemampuan menciptakan variasi menu makanan lokal dengan cara yang lebih modern. Kemampuan ini dianggap dapat meminimalisir sampah makanan sisa. Mulai dari diri sendiri menekankan kemandirian individu memenuhi kebutuhan diri, umumnya dikenal dengan slogan DIY atau Do It Yourself.

Ide mulai dari diri sendiri memang diharapkan menjadi jalan menggapai cita-cita yang besar, yakni menciptakan masyarakat ideal yang sejahtera dengan bumi yang hijau. Kesejahteraan bumi bersama individu dan keluarga itu terungkap lewat harapan masa depan yang digambarkan oleh partisipan. Mbak Aminah misalnya:

“Sebagai mahkluk planet bumi kita harus ambil peran, kalo kamu nggak bisa melakukan daur ulang maka setidaknya kamu melakukan penggunaan kembali, karna ketika kamu melakukan

penggunaan kembali, taruhlah dalam skala rumah tangga, kamu mengurangi kemungkinan pemakaian plastik misalnya. Ketika kamu tidak bisa menghasilkan energi, setidaknya kamu menghemat energi, dengan tidak pakai listrik secara sembarangan, menghemat air semaksimal mungkin. Ketika kamu tidak bisa melakukan pengolahan limbah setidaknya kamu mengurangi semaksimal mungkin produksi limbah misalnya. Karna kita harus memikirkan jauh ke depan, generasi mendatang, anakku, anaknya anakku, cucuku nanti, trus nanti cucunya lagi.”

(Mbak Aminah, wawancara, tanggal 5 Oktober 2015)

Menurut Pak Soleh, impian gaya hidup hijau adalah terciptanya masyarakat ideal yang sehat dan pintar, yang dicapai melalui pendidikan adab atau budi pekerti dan tersedianya pangan organik yang sehat. Ia mencontohkan Kuba sebagai negara mandiri yang bahkan mencapai surplus pangan organik. Ia menyatakan jika hal itu tidak segera dimulai maka korbannya adalah generasi masa depan, generasi anak cucu. Ia katakan:

“Harapannya harus sampai begitu, kalau enggak kasian anak cucu kita dong, kalau sampai di era kita sekarang ini semua serba enak, jangan dibilang kemudian 10 tahun 20 tahun tetap seperti ini lho, tambah parah, dan nanti kalo kita mati nggak pernah anak cucu kita doain kita akan kebaikan kita, mereka akan mengutuk kita, kurang ajar semua dihabisin sekarang saya harus nanggung akibatnya, semua harus beli, mahal semua, untuk nafas susah, untuk nyari kualitas air bersih susah, kesehatan tambah mahal, makanannya nggak ada yang kualitasnya bagus, apa mau kita disalahkan begitu?”

(Pak Soleh, wawancara, tanggal 7 April 2016)

Dari sini kita melihat harapan besar terciptanya dunia yang ideal ditumpukan kepada individu. Manusia diandaikan sebagai individu yang

hanya punya 2 kemungkinan, sebagai penyebab kerusakan alam atau sebagai penyelamat. Manusia tidak dipandang sebagai bagian dari korban – bersama lingkungan hidup- dari sebuah sistem. Bahkan sebuah produk berlabel “greenshop” membuat slogan penjualannya dengan kalimat

“Nggak butuh waktu or dukungan orang lain untuk berubah, You just need to decide. Sustainability Starts From You!”.

Penekanannya adalah pada individu. Karena itu ketika ditanyakan apa saja modal yang diperlukan untuk melakukan gaya hidup hijau ini, maka jawaban para partisipan hanya satu, yaitu kesadaran diri.