• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

B. Menjadi Konsumen Hijau

5. Mengurangi Plastik

Akhirnya cara yang dianggap terbaik dalam menangani sampah plastik adalah dengan mengurangi pemakaian kantong plastik baru pada level individu. Setelah banjir besar yang melanda Jakarta di awal tahun 2013, Tiza Mafira, seorang mantan staf khusus kepresidenan era Susilo Bambang Yudhoyono, membuat petisi untuk kantung plastik berbayar. Petisi ini didukung oleh beberapa komunitas hijau seperti Earth Hour dan The Body Shop Indonesia dengan membentuk deklarasi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP).

Menurut mereka, Jakarta mengalami banjir besar karena masyarakat Jakarta yang terlalu banyak memakai kantong plastik dan membuangnya dengan sembarangan hingga menyumbat selokan dan sungai. Selain itu mereka juga mengeluhkan sikap masyarakat yang menyalahkan pemerintah tentang penanganan banjir. Gerakan ini kemudian meminta para pengusaha ritel untuk menerapkan kantong plastik berbayar sebagai cara untuk mengajak masyarakat berdiet menggunakan kantong plastik.71

Perjuangan itu membuahkan hasil pada tahun ini. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia akhirnya membuat peraturan agar pengusaha ritel modern tidak lagi menyediakan kantong

71 Dalam http://olahraga.kompas.com/read/2013/05/31/18434793/

plastik secara gratis sejak tanggal 21 Februari 2016. Biaya itu dibebankan kepada konsumen yang membutuhkan kantong plastik saat berbelanja.

Inilah cara yang diambil untuk mengatasi persoalan ekologi yang disebabkan oleh karakter kantong plastik yang beracun dan sulit terurai, yaitu memaksa masyarakat dalam posisi sebagai konsumen. Masyarakat Indonesia dianggap sebagai konsumen yang sangat boros memakai kantong plastik, karena itu diet atau mengurangi pemakaiannya melalui kantong plastik berbayar dipandang sebagai solusi.

Namun sebelum peraturan ini disahkan umumnya para partisipan penelitian ini menyatakan bahwa mereka sudah lama mengurangi pemakaian kantung plastik. Mas Farah mulai mengurangi konsumsi kantung plastik setelah menyaksikan timbunan sampah plastik di gunung-gunung saat ia mendaki. Sejak itu ia mulai memilih untuk mengatur cara pembelian makan dan minum agar menghasilkan sampah sesedikit mungkin.

Mbak Aminah selalu membawa beberapa kantung plastik di mobilnya. Selain digunakan sebagai tempat sampah, kantung plastik itu juga ia gunakan jika berbelanja kebutuhan harian keluarganya sehingga tidak memerlukan kantong plastik baru. Mbak Nana memilih membawa wadah makanan sendiri setiap kali berbelanja makanan di warung dan menolak kantong plastik yang ditawarkan si pedagang. Kebiasaan ini semakin dilakukan terutama setelah ia rutin berbelanja di pasar organik.

Karena itu ia kini mengoleksi cukup banyak wadah makanan dan minuman ber-merk Tupperware yang melabelkan dirinya sebagaieco-friendly.

Para pedagang di pasar organik memang meminta para konsumen-nya untuk membawa sendiri wadah makanan dan minuman, serta tas belanja sendiri untuk belanja bahan pangan. Pedagang di pasar ini tidak menyediakan kantung plastik, pedagang makanan hanya menyiapkan kantung kertas dan daun pisang sebagai wadahnya.

“Aku malah nggak tau kalo dibuat peraturan plastik berbayar ya, toh biasanya juga nggak pake plastik. Aku sarankan bawa wadah sendiri ya, supaya hemat plastik dan hemat kertas. Plastik jelas nggak bisa daur ulang, lama, kertas bisa sih daur ulang tapi kan menebang hutan, jadi kalo bisa bawa tempat sendiri. Plastik bekas kalo ada palingan buat buang sampah, kalo ada dimaksimalkan penggunaannya. Biasanya aku nggak pake.”

(Wawancara dengan Mbak Arma tanggal 19 Februari 2016)

Jika kantong plastik tidak lagi digunakan maka wadah apa yang dipakai saat berbelanja? Mbak Arma menyiapkan kertas roti berlabel

eco-friendly, salah satunya kertas roti dengan merk Detpak untuk konsumen

yang tidak membawa wadah sendiri. Mbak Nana dan Mbak Ina, seorang aktivis komunitas Jogja Hemat Enegi, membawa tas belanja sendiri yang

mereka sebut goody-bag atau tote-bag atau reusable-bag, bahkan

mengoleksi beberapa macam tas-tas ini.

Selain tas belanja sendiri, cara lainnya adalah dengan memakai kardus sebagai wadah barang. Kardus dianggap lebih baik daripada

kantong plastik karena terbuat dari kertas dan bisa dimanfaatkan untuk banyak kegunaan berkali-kali. .

“Begitu kita ambil plastik dari supermarket, bayangin deh tiap 1 menit seluruh warga Indonesia bawa plastik, setiap menit tambah sampah plastik, ikannya mati, kura-kuranya mati, gajahnya mati, semua sebabnya plastik. Airnya sudah tercemar

chemical dan sebagainya, la.. apakah kita tidak termasuk dalam menyumbang dosa itu? Makanya belanjanya harusnya pake kardus, jangan plastik.”

(Wawancara dengan Pak Soleh tanggal 7 April 2016)

Pada umumnya kardus dibuat dari bahan baku kayu yang saat masih berada dalam tahap pulp atau bubur kertas tidak membutuhkan proses pembersihan dan proses pemutihan yang maksimal sehingga tetap berwarna coklat. Kardus juga dapat dibuat dari bahan daur ulang dengan proses yang sederhana, bahkan berulang-ulang kali. Sejak diberlakukannya peraturan kantong plastik berbayar, beberapa

supermarket atau toko ritel modern menawarkan kotak kardus bekas sebagai wadah barang pengganti kantong plastik.

Kotak kardus menjadi ramah lingkungan karena berbahan kertas yang dapat terurai dengan proses pembuatan yang sedikit memerlukan bahan pembersih kimiawi. Tapi yang terutama dari itu ialah sebelum sampai ke tangan konsumen ia terlebih dahulu dipakai sebagai wadah untuk barang yang lain. Kotak kardus yang dijadikan alat belanja kepada konsumen umumnya kardus bekas, jadi pemanfaatannya dianggap

maksimal sebelum menjadi sampah. Dan ketika menjadi sampah pun ia masih bisa didaur ulang atau terurai di alam.

Kotak kardus dan goody-bag memang memiliki lebih banyak

keunggulan dibandingkan kantong plastik. Namun sayangnya 2 jenis wadah ini membutuhkan sarana tertentu saat dipakai. Sarana itu bersifat

privat dan tidak semua orang dapat melakukannya. Harga sebuah

goody-bag mungkin tidak mahal bagi sebagian orang, namun harga yang

mencapai beberapa puluhan ribu demikian tentu hanya murah bagi kelompok orang yang kebutuhan hariannya sudah terpenuhi.

Terlebih lagi beberapa partisipan mengatakan mereka memiliki

koleksi goody-bag untuk macam-macam keperluan. Kotak kardus

membutuhkan sarana transportasi sendiri, Pak Salas memiliki mobil pribadi -karena homestead yang jauh dan tidak dilalui oleh tranportasi publik- sehingga tak masalah jika menjadikan kotak kardus sebagai wadah barang belanjaannya.

Toko Superindo, salah satu jenis toko ritel modern, biasa memberikan kotak kardus kepada konsumennya, bahkan mengurangi biaya belanja konsumen sebesar Rp. 200,- untuk setiap kardus yang dipakai. Mereka juga mengurangi biaya belanja sebesar Rp. 100,- untuk setiap lembar kantong plastik yang dihemat. Namun Toko Superindo umumnya didatangi oleh konsumen tertentu saja. Mbak Aminah rutin

berbelanja di sini karena ia merasa Toko Superindo bisa menghargai upayanya dalam mengurangi kebutuhan kantong plastik baru.

Tentu menyediakan kotak kardus tidak jadi masalah bagi toko ini, karena banyaknya barang yang dijual membuat persediaan kardus bekas selalu tersedia. Memakai kotak kardus juga tidak menjadi masalah bagi konsumen karena umumnya mereka membawa kendaraan sendiri.

Wadah kardus cocoknya ya dengan mobil, membawa kardus dengan

motor pun belum tentu bisa dibawa dengan aman.

Tentu berbeda dengan pasar tradisional. Beberapa partisipan mengeluhkan para pedagang dan warga lokal yang berbelanja di pasar tradisional yang dianggap mengumbar kantong plastik tanpa kesadaran. Di pasar tradisional tentulah sulit mengharapkan sang pedagang menyiapkan kotak-kotak kardus itu, harga satu buah kotak kardus bekas lebih mahal daripada selusin kantong plastik. Lagipula kebanyakan warga yang berbelanja di pasar tradisional datang dengan berjalan kaki, menaiki sepeda, atau sepeda motor. Menenteng kantong plastik lebih mudah daripada membawa kotak kardus.

Penyelesaian persoalan kantong plastik yang diletakkan di level individu ini ternyata tidak membuat kantong plastik berhenti dipakai. Harganya yang murah tetap menjadi pilihan oleh pedagang di warung-warung kecil dan pasar tradisional karena tidak ada alternatif lebih mudah dan lebih murah yang disediakan. Hanya kelompok masyarakat tertentu

saja yang “berhasil” mengurangi pemakaiannya, yakni mereka yang memiliki modal ekonomi tertentu yang memang memungkinkannya untuk melakukannya.